Malam-malamku masih sama. Sendiri tanpa belaian. Meski aku
tak sesering dulu untuk merindumu tiap sunyi menggeliat di sumsum tulangku.
Malam masih sama. Gelap, pekat. Kini aku hampir tak bisa merasakan lembut
tanganmu menjelajahi lekuk tubuh telanjangku. Aku tak bisa lagi merasakan
bilurku melebur ketika kuingat sentuhmu, menyembuhkannya seketika. Tak bisa
lagi kurengkuh sedikit rasa yang tersisa hanya dalam ingatanku yang sedikit
pudar.
Bukan berarti kenanganmu pudar saat ini. aku masih sedikit
haus akan cumbumu. Aku masih ingin mereguk manis bibirmu. Hanya saja aku sudah
tak bisa merasakannya seperti dulu. aku tak bisa merasakannya dalam hayalanku.
Kadang aku berharap untuk bertemumu dalam mimpiku. Kau
kembali memelukku terbata, ah memang kau bukan pemeluk yang fanatik, sepertiku.
Aku suka memeluk. Aku sangat fanatik terhadap aliran pemelukan itu. kupuja
puji. Aku begitu menyukai pelukan, terlebih memelukmu. Itu dulu. kini aku tak berharap aku masih memiliki
gairah itu untukmu. Kau menyuruhku melepaskan pelukanku. Kuturutilah. Demimu.
Mungkin kau merasa sesak napas atau apalah. Atau jangan-jangan pelukanku
menyiksa? Apa aku membuatmu terluka karena kulingkarkan tanganku pada tubuhmu?
Mungkin saja.
Saat rembulan setengah sadar, aku memburu ingatanku akanmu. Sungguh.
Memoriku masih sebaik dulu. aku masih menyimpan semua dalam otakku yang
semrawut. Kusut. Sayang, sudah kubilang. Meski aku mengingatnya, aku tak bisa
lagi merasakannya ada ketika kumembayangkannya, menciptakan memori itu dalam
bayangku. Aku hanya melihat tanpa tersentuh. Aku hanya memandang tanpa terpaku
ke dalamnya. Rasaku mati meski masih jelas sekali aku tetap merindumu untuk
membungkusku dalam hidupmu.
Sudah. Sudah cukup larut. Mari hentikan saja bualan ini.
apa?? aku tak membual. Ini apa yang kupikir dan rasakan. Cukuplah menuangkannya
saja tanpa perlu kau baca. Semoga bisa meredakan rinduku yang berkecamuk akan
rasa yang pernah ada.