Sunday 12 August 2012

tentang dosa


Aku pernah berdebat tentang keyakinan. Melelahkan. Sangat melelahkan untuk mengutarakan apa yang menjadi keyakinan kita kepada orang yang justru tak ingin meyakininya, membantahnya.
Bukan aku bermaksud mengutukimu yang tak berkeyakinan sama denganku. Bukan. Bukan bermaksud aku mencemooh keyakinanmu itu yang terlalu menantang buatku. Kala itu. tak ada niat sama sekali menyebutmu tak bertuhan, hanya kesimpulanmu saja yang keliru. Atau kau tak pernah memahamiku?
Benar bahwa ku melaknat apapun yang dijalani olehmu. Sangat berbeda dengan kehidupanku sebelum memasuki kehidupanmu. Aku yang kolot. Aku yang bebal. Aku yang bodoh. Kukatakan padamu tentang dosa, padahal tak kutahui apa itu dosa. Kukatakan padamu kutakut akan api neraka, padahal apakah neraka itu ada aku pun tak benar tahu. Keyakinanku saja. tak berbukti di depan mata.
Wanita. Lemah katanya. Memang benar. Mudah terombang-ambing atas keyakinan yang ia bawa sendiri. dengan mudahnya ia akan meluluh-lantak keyakinannya atas nama cinta. Pikirannya tersodomi oleh butanya ia terhadap cinta. Padahal ia tak tahu apa sebenarnya cinta itu. pikirku saat itu.
Aku tak mau melawan keyakinanku, yang membuat kita berdebat. Kau pun tak mau tahu apa inginku, hanya nafsu. Aku membencinya.
Saat itu aku memang takut akan dosa. Saat itu aku memang takut terbakar api neraka. Tapi dengan itu aku sadar bahwa tak selamanya aku harus takut dengan momok seperti itu yang membelenggu. Momok yang tak terbaca oleh mata kepala.
kini.... Bukannya aku murtad dan memilih untuk tak percaya, tak yakin, tak mengimani lagi apa yang saat itu ingin kubawa sampai mati. Aku hanya akan menjadi aku yang berpikir, bukan tersodomi. Aku ingin berdiri pada kemampuan otakku yang masih dapat mencerna realitas. Aku ingin kokoh melawan kelemahanku yang terlalu sering diperkosa oleh keyakinan leluhur. Bukannya aku bebal dan tak mau lagi belajar dan meyakini, aku sudah bilang dari tadi. Bukan itu. yang kuingini hanya ingin memikir lagi. Aku tak mau ditelanjangi jika kau tak telanjang pula.
Yang ada di otakku saat ini tentang adu mulutku kala itu telah sedikit membantuku untuk berdiri sendiri tanpamu. Ya. Kau memilih meninggalkanku yang kau pikir kolot dan berbeda denganmu yang mencintai kebebasanmu. Kau tau? Aku iri padamu tentang hal itu. terkadang aku harus berjuang sendiri melawan egoku, melawan nafsuku. Demi apa? demi ketakutanku pada neraka. Demi kengerianku pada siksanya.
Maaf, aku memang tak bisa membebaskan jeruji yang merekat erat saat itu (ingat!! saat itu!!). aku justru menyakitimu. Kau pasti merasakannya. Dikecewakan olehku yang kolot. Maaf, tak ada maksud seperti itu, sayangku.
Ah, aku harus memberitahumu apa yang ada dalam pikirku saat ini tentang perdebatan kita itu. saat ini aku menyadari bahwa aku memilih jalan yang tepat untuk tak terbuai oleh nafsuku saat itu. kau tahu kenapa? aku hanya ingini kebebasan, sepertimu. Aku sadar bahwa tak selamanya kau akan selalu temaniku. Aku sadar bahwa suatu saat kau akan terbang dari duniaku juga meski kita pernah menyatukan keringat kita di tengah malam yang syahdu. Aku berterima kasih kau tak melukaiku lebih jauh. Aku berterima kasih pula padaku yang kolot saat itu. apa jadinya jika aku mengagungkan nafsuku? Aku akan terjerat semakin jauh pada keyakinan kolotku. Aku akan diihantui oleh neraka yang merusak mimpiku, aku akan memohon dan menyembahmu untuk mengawiniku di depan bapakku. Mungkin saja seperti itu.
Aku tak merasa benar-benar salah telah melukaimu dengan keyakinan tololku saat itu. kenapa? karena kita ditakdirkan sama. Kau ingin bebas, aku pun ingin bebas…
entah.. aku belum menemukan lagi keyakinan lainnya yang lebih menyamankan aku selain ini.
padamu yang mungkin saja tersakiti oleh ini, aku tahu kau pasti punya otak untuk menafsirkan ini. dan itu tak lain adalah untukmu dan aku. untuk kebaikan kita berdua, semoga.

Saturday 11 August 2012

pikirku tentang hidup


Hidup.
Aku sampai sekarang masih saja heran mengapa ada kehidupan. Mengapa aku diciptakan. Mengapa aku mengenal mereka yang kukenal. Mengapa aku hidup. Mengapa aku dihidupkan.
Hidup.
Banyak peristiwa dalam hidup yang harus dijalani dan dihadapi.
Hidup.
Banyak rasa dan emosi yang harus dirasakan. Sedih, senang, suka, pedih, gembira, marah, jengkel, bosan, dendam, ikhlas.
Hidup.
Belajar untuk menerima dan memberi
Hidup.
Belajar untuk berada di tengah-tengah manusia lainnya. Berinteraksi, bergaul, berkomunikasi, bercengkrama, saling bertutur sapa.
Hidup.
Belajar berusaha jadi manusia sebaik-baiknya.
Hidup.
Menyaksikan beragam kejadian yang kita alami sendiri maupun yang dialami orang lain. Dari sana kita bisa belajar untuk mempertahankan hidup yang tengah kita jalani sekarang.
Hidup.
Selalu belajar dari kesalahan untuk membuat sebuah kebenaran yang akan kembali disalahkan untuk menemukan kebenaran mutlak yang sesuangguhnya manusia tak punyai.
Hidup.
Mengenal adanya sang pencipta karena kita tak akan bisa lahir begitu saja. realistis saja karena kita pun tak akan bisa menjelaskan hal sekecil siapa yang ada pertama kali, ayam atau telur??
Hidup.
Kadang ada saatnya kita menyalahkan apa yang kita sebut sang pencipta tentang perihal kita dilahirkan. Ketika itu pasti kita tengah dalam keadaan putus asa.

Hidup.
Suatu ketika kita tak akan ingat bahwa kita pernah menyalahkan sang pencipta, justru menyanjung mengagungkannya ketika bahagia yang luar biasa mendatangi hidup kita.
Hidup.
Banyak pertanyaan yang belum terjawab dalam hidup kita.
Hidup.
Banyak hal yang akan kita sesali. Banyak hal yang akan kita lupakan.
Hidup.
Sebuah pilihan dimana yang kuat akan bertahan. Bukan otot yang di sini kita bicarakan. Kekuatan untuk bertahan menjalani lika-liku kehidupan.
Hidup.
Kadang kita di atas. Kadang kita jauh terperosok ke jurang.
Hidup.
Merasakan sehat yang tak pernah kita syukuri keberadaannya sebelum kita merasakan sakit.
Hidup.
Makanan adalah yang mendominasi kehidupan kita. Tak perlu disangkal bahwa hidup kita sebagian besar tertuju pada hal yang berbau makanan. Pagi, siang, sore. Manusia bekerja untuk bisa menyuap mulut mereka dengan makanan.
Salah satu yang dapat manusia lakukan untuk mempertahankan hidup.
Hidup.
Mengapa harus dipertahankan?
Mengapa kita tidak bersikap tak peduli saja. bukannya sang pencipta yang harusnya bertanggung jawab atas penghidupannya terhadap kita, manusia? Kenapa kita yang harus berkorban atas tindakan yang dilakukan sang pencipta dalam hal menghidupkan kita di sini, di dunia yang sekarang kita kenal.
Hidup.
Pernah terpikir bahwa ini hanya sebuah permainan??? Permainan yang diciptakan dan dinikmati oleh sang pencipta.

Hidup.
Masih bertanya, mengapa kita dihidupkan?? Apa alasan sang pencipta menghidupkan kita?
Bosankah Ia atas kehidupan surga yang monoton?
Hidup.
Masih juga bertanya, apa yang akan kita alami besok, hari setelah besok, dan hari-hari yang akan datang?
Hidup.
Sering bertanya-tanya, kenapa harus ada hidup kalau tujuannya hanya akan dimatikan lagi?
Hidup.
Identik dengan kata mati. Ada hidup dan pula mati. Akan kemanakah kita setelah tak bernyawa lagi?
Pernah aku dijelaskan bahwa aka nada kehidupan barzah, kehidupan alam kubur. Kehidupan macam apa itu? apa nanti kita akan hidup lagi di sana dan menjalani kehidupan yang baru dengan kejadian dan peristiwa yang baru?
Hidup.
Pasrah pada akhirnya. Bukan pasrah tanpa usaha pastinya. Pasrah sang pencipta ingin kita seperti apa. yang bisa dilakukan tentu saja tetap berusaha untuk mendapatkan yang terbaik. Untuk kebahagiaan yang kita semua elukan.

dalam diam kuberontak


Aku seorang wanita yang tengah berusia cukup untuk menjalin hubungan serius dengan seorang pria yang kuanggap pantas memilikiku dan yang menganggapku pantas memilikinya. Itulah yang terbenam dalam otak manusia yang hidup di sekitarku. Bukan termasuk aku yang memiliki pikiran yang menurutku kolot itu. mindset yang diinseminasi oleh nenek moyang tak kukenal. Tak berlaku untukku.
Kenyataan yang harus kuhirup adalah aku merasa takut untuk berkomitmen. yang kurasai adalah, aku begitu takut terhadap apa yang dinamai pernikahan. ngeri sekali aku dibuatnya. Salah satu alasan mengapa begitu kutinggikan kengerianku adalah aku tak mau hidup di bawah ketiak sang pria. aku tak mau terkekang kebebasanku olehnya yang mengagungkan sakralnya pernikahan. Tak mau. Tak sudi. Tak sudi aku dijadikan budak pria itu. apalagi jika pernikahan itu sudah dibumbui dan mengatasnamakan tuhan. Mual rasanya.
Aku wanita yang mencintai kebebasanku. Tak bisakah aku hanya kawin saja dan nantinya masuk surga dan kawin lagi tentunya. Yah, mereka bilang kawin tanpa pernikahan itu sundal! Lalu apa aku harus menikah dulu untuk bisa merasakan kawin?
Ah…Kawin kawin kawin. Itukah yang ada di otak semua orang? Apakah itu tujuan kita diciptakan? Untuk kawin. Untuk menyusu. Kumenyusu penismu, kau menyusu payudaraku. Itu saja kan yang nantinya ada dalam pernikahan. Saling menyusu. Saling menikmati tubuh masing-masing.
Kenapa harus ada pernikahan? Jujurlah wahai kau pria! Kau pun tak mau kan terjerat di dunia seperti itu. pasti jika ada pilihan, kau pasti memilih tak ada yang namanya pernikahan! Jujurlah, pria! Kau pasti terbebani untuk menghidupi hidup kami, menghidupi wanitamu yang kau berhasrat ingin menyusu padanya. Menenggelamkan kemaluanmu pada rahimnya. Menghangatkan batu ajianmu pada gua garbanya yang basah menggiurkan. Berkatalah. Jika ada pilihan, pasti kau memilih untuk kawin saja. berkatalah sejujurnya, wahai kau pria. Aku tak akan menyalahkanmu untuk itu. aku pun menginginkannya. Hanya kawin! Kawin saja! kawin dengan orang yang kusuka tanpa terbebani dan membebani.
Aku sering bertanya. Kenapa untuk kain saja harus  dengan pelegalan jika yang bersangkutan di sini hanya aku, sang wanita dan kau, sang pria. Apa hubungannya dengan pemerintah? Apa hubungannya dengan  agama? seperti mereka akan mengangkat keterpurukanku saja. tak ada hubungannya. Toh jika aku mendapatkan kehinaan oleh adanya pernikahan yang terpaksa, mereka justru semakin menuduhku yang tak becus. Bullshit apa itu pernikahan. Tak ada hubungannya dengan mereka, apa lagi dengan masyarakat kolot yang hanya bercocot. Otak tak pernah diasah, hanya mengikuti tanpa mengerti, ah, seperti kumengerti saja apa yang benar. Tentu aku punya kebenaran sesuai takaranku. Dan kebenaran itu adalah, aku takut adanya pernikahan yang akan membelenggu dan memasungku ke dalam keterpurukan tanpa kebebasan.

Mari bersulang bersama


Untuk sang pecinta senja,
Mari bersulang bersama

Sekejab. Singkat. Namun pekat. Buih-buih masih tercecap dalam rasa. Begitulah kita bertemu. Sempat ku merasa tak ada kecocokan diantara kita. Dulu, sebelum tahu sedikit tentangmu. Hidup kita mungkin berbeda, pikirku saat sebelum berceloteh pilu sendu dan haru denganmu.
Kita sang pesakitan. Persamaan itu yang kudapat dan melekat erat. Pesakitan yang tersiksa karena dustanya cinta yang menipu kita, terbuai karenanya. Cinta atau kebutuhan sebenarnya pun aku tak tahu pasti. Yang pasti kita hidup sebagai pesakitan.
Derita kadang hinggap di sela tidur nyenyak kita. Begitu mengganggu. Begitu menyesakkan. Siapa yang mau hidup sebagai pesakitan?? Kau mau wahai sang pecinta senja? Pasti jawabanmu sama denganku. Tak mau. Namun apa kau tahu? Terkadang bilur ini membahagiakan urat-urat kecewaku. Aku mengalihkan luka itu kepada hal yang membuatku merasa gila. Aku pernah bercerita pada teman sebelah hunian tak nyamanmu itu. salah satu teman berbagi ceritaku, bukan, teman yang kubagikan sedikit dukaku. Aku melantunkan sajak-sajak biru lantaran kesah memberakutku, sakit. Tak ayal aku merengut saja seharian. Ah, terlalu banyak jika kubilang seharian. Hanya beberapa jam saja. lalu setelahnya aku malah tertawa padanya yang tengah sibuk melakukan entah apa. dia terlihat heran sepertinya. Kubiarkan saja. aku lalu bilang bahwa aku merasakan hal yang aneh. Aku tak merasa sedih tentang apa yang menimpa padaku, sesuatu tentangnya yang menyakitkan jiwaku. Aku bahkan heran pada diriku sendiri. aku berkata padanya bahwa aku menyukai peristiwa pilu yang meleburkan senyumku hari itu. aku menikmati kesakitan itu, wahai sang pecinta senja. Kuberkata lagi padanya, “begitu menginspirasi! Hidup yang kujalani begitu bergelora! Aku menyukai sakit ini!”
Apakah aku gila? Apakah aku terlalu sakit sehingga tak kurasakan sakit itu lagi? Apa aku hanya mencari-cari sesuatu untuk membuatku nyaman hidup dalam zona kacau seperti itu? ah, kau belum tahu, sang pecinta senja. Aral itu tentang aku yang terfitnah palsu. Aral itu menyebutkan dia yang kucinta tak pernah sedikit pun mencintaiku. Kudengar itu dari mulut sampah. Entah itu benar atau palsu. Aku sama sekali tak ingin menyiksa diri dengan menyuntikkan derita itu pada nadiku. Terlalu perih.
Sudah kukatakan padamu sedari tadi. Aku seperti penggila sang brutal. Aku mencintai liku. Aku mengagumi kelu. Membuatku merasa hidup.
Tapi, tak kan kusangkal. Aku merinduinya yang mencumbuku. Aku ingin meringkuk lagi dalam hangatnya seperti fajar itu.
Arrrghhh..lelah aku! Dia pun tak memikir tentang adanya aku. Sudah saatnya kuberburu tubuh yang mendambaku. Ingin terbebas dari segala angan palsu.
Tidak. Akan kunikmati saja diriku sebagai sang pesakitan. Apa kau masih sang pesakitan juga, sang pecinta senja? Mari kita bersulang saja. meleburkan rasa sebentar saja. mungkin memang jalan kita, terpupuki aral berliku untuk membuat kita menertawai kesakitan kita dalam sebait cerita.
Semoga suatu detik setelahnya kita akan menemukan cerita bahagia yang mewarnai lebih berwarna dari pada hitam yang selalu kita konsumsi untuk mempertahankan hidup kita yang seyogyanya ingin terbang bebas.

Terimakasih, sang pecinta senja. kau membuatku bergairah untuk meracik lagi kebebasanku yang sempat terkebiri.

Tuesday 7 August 2012

Hidupmu Hidupku


Hidupmu adalah hidupmu. Hidupku adalah hidupku.
Aku menjalani hidupku dengan caraku, begitu juga kamu.
Aku tak akan menentang apapun yang kau ingini, jangan kau kecam apa yang kujalani.
Agamamu agamamu, agamaku agamaku. Aku memilih agama kalbu. Aku memuja agamaku. Dimana kesewenangan terpadamkan. Dimana kemurkaan diharamkan. Aku mengagumi agama yang kuikatkan dalam hatiku. Agama yang memilih untuk bersatu. Bukan agama yang bersikukuh dalam kesepahaman kolot tanpa tahu. Aku mencintai agamaku yang tak menggurui tapi saling mengerti. Aku mencintai agamaku yang memilih untuk berangkulan tnpa penelikungan. Aku memuji agamaku, agama sang pecinta tanpa melaknat sang pembenci.

Sunday 5 August 2012

biarkan saja mati


Pagi menyapaku di sini tanpa sentuhmu lagi. Berkali ku panjatkan harap meminta sedikit memori untuk mengikiskan diri. Sungguh aku telah berjuang untuk mematikan emosi dalam hati. Sungguh ku telah berperang mencokel sedikit nafsuku sendiri.
Mengenalmu memberikan sebuah warna pelangi dalam hidupku. Itu dulu. kini pelangi itu menjelmakan dirinya menjadi satu warna yang buram. Tak terlihat lagi. 
Sayang, meski tak nampak dalam mata, aku masih bisa merasakan sedikit gigitanmu pada bibirku yang bergetar kala itu. manis kurasa mengecap manismu. aku masih bisa membaui wangi shampo yang melumuri rambutmu, aku masih bisa merasakan hangat tubuh yang menghangatkan tubuh telanjangku yang kedinginan hampir mati, aku masih mencerna semua peluh hasratmu yang membara, aku masih bisa menjilat tiap ego yang mencakari kesaklekan pikirku tentang apa yang harusnya kita jalani, aku masih bisa mencumbu air mata dalam hatimu yang rapuh tanpa kau sadari, aku masih merasakan bahagiamu dalam detail rajutan ceritamu yang kau bagikan padaku. benar. Pelangi itu masih kusimpan disini.
memang. Ada suatu masa aku terlupa sosokmu menghantui. Namun kusadari lagi, itu hanya detik-detik yang akan tersia. Kembali, aku mengingatmu di sini.
Aku tak menyayangkan kematian rasa yang menghinggapimu,  rasa yang dulu kau punyai yang kurasa telah mencabut akar kuntum hati yang bersemadi di dalam rongga dadaku ini. Belum jua kau kembalikannya pada tanah yang kini telah mongering di sana, tanpa buih-buih menyegarkan jiwa. Aku benar-benar terbunuh olehmu yang mengambilnya, sekuntum hati yang kini kau letakkan dalam peti mati. Kenapa tak kau kembalikan saja padaku???? Biar aku bisa menanam dan merawatnya sendiri..
Entahlah. kini aku hanya bertahan dengan kemarau yang mengakar dan menjalari sistem tubuhku. Apa yang selanjutnya akan terjadi masih kutanyakan dalam kekosongan hati. Tak ada rasa ingin memiliki rasa itu lagi. Biarkan saja mati. Biarkan saja jika memang kau menguburnya dalam peti matimu yang tak pernah sekalipun kau ciumi lagi. terbuang dalam jurang  yang kau hadiahkan padaku kini.

Thursday 2 August 2012

cerita lama (13maret2011)


Malam  mendung meratapi kepiluan terperih yang melanda sang awan. Tersakiti oleh jutaan liter percikan air yang siap mengguyur sang bumi. Di sini aku masih berkelana dalam pikirku sendiri. Aku pun juga meratapi keperihan yang menyiksa batin. Bagaimana bisa seorang gadis yang beranjak dewasa sepertiku tak bisa lagi mencintai? Apakah aku sudah kehilangan akal sehatku? Beberapa lelaki terlihat rela menyerahkan hatinya untukku, tapi sayangnya tak ingin kuberi sedikit onggokan hatiku yang kelabu. Banyak juga yang rela tersakiti hatinya sendiri tatkala aku tengah memurkai jagat raya. Sepertinya aku harus berdoa pada Tuhan yang maha kuasa untuk meleburkan hatiku yang beku.
Malam ini aku ingin berkhayal tentang sesuatu yang membuat perasaanku sedikit merekah.
Dalam hayal kulihat ia akhirnya datang membawa sejuta senyuman. Kugambarkan imagi untukku diami. Di sana aku berada di sebuah tempat yang teduh. Di bawah sebuah pohon rindang. Entahlah, aku tak terlalu tertarik pada nama sebuah pohon. Pikiranku masih terfokus pada pria tinggi yang beberapa langkah lagi sampai di hadapanku. Kutatap lekat wajah yang sudah lama tak kupandang, tak kusentuh, tak kubelai itu. Betapa aku hanya terbuai nyanyian merdu hatiku sendiri. Sebuah lagu sendu. Sebait yang bisa tertulis dan tetap melekat,
Kau tatap mataku bagai busur panah, yang kau lepaskan di relung hatiku….
Lalu sekejab saja seorang gadis berambut panjang menerpakan angin topan ke hulu jantungku. Tiba-tiba saja berlari kecil meraih tangannya. Meraih tangan pria yang sedari tadi menggelayut dalam pelupuk mataku. Menerobos terus ke jantungku. Kini yang tersisa hanya senyum palsuku. Hatiku meratap….
Mengertilah, aku resah, mungkinkah aku cemburu…..
Aku cemburu melihat kamu disampingnya….
Ku cemburu…..bila kau dengannya…
Entah, berapa banyak lagi lagu cemburu yang kini tenggelam bersama jiwaku.
“Hai, Ra. Apa kabar?” aku masih terdiam tak membalas sedikitpun dengan suaraku. Masih bersama kekagetan dan kesakitan yang luar biasa menjamah. Dari ujung rambut, hingga ujung kuku kakiku yang agak memanjang.
“Eh.. hai.. Jo.. hai..kabar baik. Kamu gimana?” jawabku terbata yang dibalasnya dengan senyuman merekah yang pernah menjadi milikku itu.
“Aku juga baik. Oh ya, ini istriku, Lara” dia memperkenalkan wanita berambut panjang itu padaku. Masih dengan senyum terpaksa dari bibirku, Aku menyambut uluran tangannya yang memohon untuk kusambut.
“Rasta” memberitahukan namaku dengan suara datar.
“Oh yah, sepertinya aku harus pergi. aku masih ada janji,” kataku sekenanya karena tak kuat menahan perasaan terlukaku.
“Okey, kayaknya penting banget tuh.” Ucapnya sambil tetap menggenggam tangan si wanita berambut panjang dan bermata bulat itu.
“Sampai jumpa” kataku seraya melambaikan dengan malas tangan kiriku.
Aku berlari kecil dan tetap mempertahankan itu sampai beberapa menit. Mengira sudah agak jauh dari Jovin, aku berlari sekencang-kencangnya, melawan hembusan angin yang menerpa kulitku. Aku mulai membuat air dipelupuk mataku menjadi belepotan diantara pipiku. Aku menangis. Parahnya, aku ternyata menangisi kebahagiannya.
Aku ingin hujan menemaniku. Aku ingin hujan membasuh kesedihanku. Yang pasti, aku ingin hujan menutupi air mataku yang terus jatuh yang belum bisa berhenti sampai sekarang. teringat sebuah lagu.
Ingin kubunuh pacarmu, saat dia peluk tubuh indahmu, di depan kedua mataku… hatiku terbakar jadinya…aku cemburu…
Lagu itu menghujam seluruh tubuhku. Melemahkan semua syarafku. Air mata ini semakin membanjiri seluruh tempatku berdiri. setidaknya itu yang terjadi dalam bayangku. Aku kembali meratap
Tuhan berikanlah aku cinta…untuk temaniku dalam sepi. Tangkap aku dalam terangmu… tuhan, beri aku cinta…
Sepertinya aku telah menemukan apa yang sebenarnya menyakiti jiwa, raga, batin dan hatiku. Sesungguhnya baru aku menyadari bahwa aku telah kalah darinya. Sampai saat dimana aku harus mengorbankan status hubungan pacaranku dengannya, hingga saat ini pun aku masih tak pernah mendapatkan gantinya. Dia? Mungkin sudah berkali-kali menjajaki hubungan cinta, dan sekarang? Istri cantik, rupawan, telah dia miliki. Aku? Masih teronggok seorang diri di kamar yang pengap ini.
Aku tak bisa lepaskanmu dari mataku, aku tak bisa membunuuhmu..dan aku tak bisa bohongi diriku butuh kamu… aku tak bisa melupakanmu…
Tuhan… apa yang terjadi dalam hidupku? Bukankah dulu aku bahkan tak mencintainya? Tapi sekarang? Dia membuatku seperti ini. aku tak bisa hadapi kenyataan ini. aku mohon, kuatkanlah diriku menghadapi dilemma ini. kirimi aku penyembuh yang bisa membalut luka ini. luka yang selama ini masih terpendam oleh dempul, sehingga aku tak menyadari bahwa luka itu menganga terlalu lebar setelah dempul itu terambil sesaat setelah ku melihatnya kembali setelah sekian lama.
Apa yang harus aku lakukan? Mungkin aku akan berhayal lagi. Aku bisa mengakhiri khayalan yang membuatku hampir mati ini. aku segera mungkin akan menggantinya dengan yang indah. Tapi aku butuh sedikit lagu cinta yang bahagia….
Here we go….lagu yang membuatku bersemangat lagi lirih terdengar…
Kuyakin cinta slalu mengerti…kuyakin cinta tak salah…kuyakin cinta kan saling percaya…lalalalalalalalalal….