Aku
meraba lenganku sendiri. Ada yang aneh. Tanpa kusadari, sejak dulu ternyata aku
memiliki sebaris tanda lahir yang melekat erat di sana, menyatu dengan kulitku
yang lebih terang.
Bagaimana
bisa aku tak pernah menyadari bahwa aku mempunyai noda hitam kecoklatan itu?
Ah, mungkin saja bercak itu bukan lahir dalam Rahim ibuku. Mungkin saja itu
baru muncul beberapa hari yang lalu. Atau, bercak itu memang baru saja ada
sepersekian detik saat aku merabanya. Yah, aku benar-benar tak tahu, itu
intinya.
Aku mulai
terdiam.
Gelap.
Dini hari dan aku tertidur pulas. Aku terbangun satu jam kemudian, selalu
seperti itu setiap malam. Tapi tidak. Ada yang janggal saat aku terbangun.
Rasa-rasanya aku ingin makan sesuatu. Aku lapar, benar. Seharian perutku kosong
tak terisi. Maklum saja. Aku bukan seperti konglomerat itu yang bisa makan apa
saja setiap saat. Aku hanya seorang diri di bilik berukuran sedang yang terbuat
dari triplek bekas bangunan yang sudah dihancurkan, bangunan-bangunan yang
sudah dirubuhkan yang kini berdiri mall raksasa. Di pinggir jalan sana, yang
ramai, yang setiap malam riuh dengan adegan motor dihentakkan gasnya. Membuatku
sedikit mengeluh pada Tuhan. Tapi begitulah, begitulah yang harus kualami tiap
malam. Dan aku sudah terbiasa. Dan aku sudah menerimanya. Tidak. Tidak akan
sebenarnya. Dengan hidupku ini saja aku sudah mengutukinya, kadang.
Aku
lapar. Perutku keroncongan. Harus bagaimana aku tak tahu. Lalu kugerakkan
kakiku. Kuberdirikan tubuhku. Kutampar denyut jantungku agar lantas ia
berdenyut dan membuatku punya kekuatan untuk berjalan. Lalu kubuka pintu,
keluar dari bilik dan angin malam menyongsongku, menerpaku, menusukku, begitu
dingin. Mau ke mana? Tentu saja aku tak tahu.
Belum
genap seratus langkah, kutemui bak sampah yang penuh. Kuhampiri bak sampah itu
dengan menghilangkan rasa jijikku—hmm.. sebenarnya rasa jijik yang ada dalam
diri manusiaku sudah lama hilang, semenjak aku tak kenal lagi dengan yang
namanya kebahagiaan—kukeluarkan satu persatu beberapa sampah yang memang tak
bisa dimakan. Kukeluarkan dengan jeli, mencoba menemukan sesuatu yang masih
bisa kukunyah dan membuat perutku berhenti berteriak. Memang kubaui aroma tak
sedap dari beberapa sampah yang tercecer, yang mungkin sudah berhari-hari di
sana. Lalu ada sepercik harap. Datang dua orang manusia yang membawa sampahnya.
Dua kardus makanan yang mungkin saja sudah mereka lahap habis, tapi apa
salahnya tetap berharap mereka masih menyisakan beberapa jumput nasi dan
sambal. Mereka semakin mendekat, dan aku sedikit menjauh.
Seorang
laki-laki bertubuh besar dan temannya yang gondrong, sedikit bertubuh kurus dan
pendek. Mereka memandangku sejenak sebelum akhirnya membuang kardus makanan
itu. “Betapa mulia sekali hati mereka hingga mau membuang sampah di tempat yang
seharusnya, tak seperti kebanyakan orang di Negara ini, membuang sampah di mana
saja mereka sukai. Pantas saja banyak manusia yang menghuni Negara ini jadi
terlantar, mungkin mereka anggap kami ini sampah.” pikirku dalam hati.
Mereka
mulai menjauh, sedikit melirikku saat melenggang pergi, melirikku yang kini
duduk mendekap lututku sendiri.
Kuikuti
tubuh mereka dengan mataku. Sekiranya mereka sudah beberapa meter jauhnya, baru
aku akan menghambur pada makan malamku. Semoga. Semoga ada yang tersisa.
Belum
lagi kutengok pada tempat sampah itu, sudah berdiri di sana satu orang yang
sepertinya kukenal. Yah, gelandangan juga sepertiku. Tapi tempatnya berteduh
tak sekomplek denganku. Atau bisa dibilang kami adalah musuh. Saling memusuhi
demi mendapatkan apa yang menjadi incaran kami. Sesuap nasi. Kadang kami
bertengkar saat ada yang memberikan uang recehan, kadang kami bertengkar ketika
kudapati ia curang, mengambil beberapa botol minuman yang sudah seharian aku
kumpulkan.
“Heh, itu
jatahku! Aku sudah menungguinya sejak tadi!” kataku padanya.
“Enak
saja. Aku yang mengambilnya lebih dulu!” ia julurkan lidahnya. Kulihat sudah
ada kardus di tangannya, terbuka, dengan isi di dalamnya yang masih setengah
penuh.
Lalu kami
pun bertengkar. Bergelut, adu kekuatan. Saling merebut makanan. Kulihat rokoknya
masih tersangkut di mulutnya, membuat ia sedikit kesulitan. Lalu dengan mudah
kurebut nasi kotak itu darinya. Aku berlari, berlari seperti kuda. Tapi, aku
terlalu lemah. Aku tak kuat berlari lagi, sampai akhirnya napasku yang
berlarian, tersengal-sengal. Tak kusadari musuh sudah dekat, aku malah jatuh
tersungkur ke tanah. Ah, biarlah. Aku menyerah.
Sebelum
ia merenggut makan malamku, ia meninggalkan kenang-kenangan untukku.
AAAAAHHHHHHH
Aku
kesakitan. Ia membuat lenganku tersengat rokoknya. Begitu panas, perih. Dan ia
pun tertawa, berlari dengan makananku di tangannya. Aku tergeletak tak berdaya…
gelap semakin menyerang mataku.
“Rosiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii………………”
Aku
tersentak. Ah, Mama. Mengganggu lamunanku saja.