Saturday, 12 April 2014

Lamun

Aku meraba lenganku sendiri. Ada yang aneh. Tanpa kusadari, sejak dulu ternyata aku memiliki sebaris tanda lahir yang melekat erat di sana, menyatu dengan kulitku yang lebih terang.
Bagaimana bisa aku tak pernah menyadari bahwa aku mempunyai noda hitam kecoklatan itu? Ah, mungkin saja bercak itu bukan lahir dalam Rahim ibuku. Mungkin saja itu baru muncul beberapa hari yang lalu. Atau, bercak itu memang baru saja ada sepersekian detik saat aku merabanya. Yah, aku benar-benar tak tahu, itu intinya.
Aku mulai terdiam.
Gelap. Dini hari dan aku tertidur pulas. Aku terbangun satu jam kemudian, selalu seperti itu setiap malam. Tapi tidak. Ada yang janggal saat aku terbangun. Rasa-rasanya aku ingin makan sesuatu. Aku lapar, benar. Seharian perutku kosong tak terisi. Maklum saja. Aku bukan seperti konglomerat itu yang bisa makan apa saja setiap saat. Aku hanya seorang diri di bilik berukuran sedang yang terbuat dari triplek bekas bangunan yang sudah dihancurkan, bangunan-bangunan yang sudah dirubuhkan yang kini berdiri mall raksasa. Di pinggir jalan sana, yang ramai, yang setiap malam riuh dengan adegan motor dihentakkan gasnya. Membuatku sedikit mengeluh pada Tuhan. Tapi begitulah, begitulah yang harus kualami tiap malam. Dan aku sudah terbiasa. Dan aku sudah menerimanya. Tidak. Tidak akan sebenarnya. Dengan hidupku ini saja aku sudah mengutukinya, kadang.
Aku lapar. Perutku keroncongan. Harus bagaimana aku tak tahu. Lalu kugerakkan kakiku. Kuberdirikan tubuhku. Kutampar denyut jantungku agar lantas ia berdenyut dan membuatku punya kekuatan untuk berjalan. Lalu kubuka pintu, keluar dari bilik dan angin malam menyongsongku, menerpaku, menusukku, begitu dingin. Mau ke mana? Tentu saja aku tak tahu.
Belum genap seratus langkah, kutemui bak sampah yang penuh. Kuhampiri bak sampah itu dengan menghilangkan rasa jijikku—hmm.. sebenarnya rasa jijik yang ada dalam diri manusiaku sudah lama hilang, semenjak aku tak kenal lagi dengan yang namanya kebahagiaan—kukeluarkan satu persatu beberapa sampah yang memang tak bisa dimakan. Kukeluarkan dengan jeli, mencoba menemukan sesuatu yang masih bisa kukunyah dan membuat perutku berhenti berteriak. Memang kubaui aroma tak sedap dari beberapa sampah yang tercecer, yang mungkin sudah berhari-hari di sana. Lalu ada sepercik harap. Datang dua orang manusia yang membawa sampahnya. Dua kardus makanan yang mungkin saja sudah mereka lahap habis, tapi apa salahnya tetap berharap mereka masih menyisakan beberapa jumput nasi dan sambal. Mereka semakin mendekat, dan aku sedikit menjauh.
Seorang laki-laki bertubuh besar dan temannya yang gondrong, sedikit bertubuh kurus dan pendek. Mereka memandangku sejenak sebelum akhirnya membuang kardus makanan itu. “Betapa mulia sekali hati mereka hingga mau membuang sampah di tempat yang seharusnya, tak seperti kebanyakan orang di Negara ini, membuang sampah di mana saja mereka sukai. Pantas saja banyak manusia yang menghuni Negara ini jadi terlantar, mungkin mereka anggap kami ini sampah.” pikirku dalam hati.
Mereka mulai menjauh, sedikit melirikku saat melenggang pergi, melirikku yang kini duduk mendekap lututku sendiri.
Kuikuti tubuh mereka dengan mataku. Sekiranya mereka sudah beberapa meter jauhnya, baru aku akan menghambur pada makan malamku. Semoga. Semoga ada yang tersisa.
Belum lagi kutengok pada tempat sampah itu, sudah berdiri di sana satu orang yang sepertinya kukenal. Yah, gelandangan juga sepertiku. Tapi tempatnya berteduh tak sekomplek denganku. Atau bisa dibilang kami adalah musuh. Saling memusuhi demi mendapatkan apa yang menjadi incaran kami. Sesuap nasi. Kadang kami bertengkar saat ada yang memberikan uang recehan, kadang kami bertengkar ketika kudapati ia curang, mengambil beberapa botol minuman yang sudah seharian aku kumpulkan.
“Heh, itu jatahku! Aku sudah menungguinya sejak tadi!” kataku padanya.
“Enak saja. Aku yang mengambilnya lebih dulu!” ia julurkan lidahnya. Kulihat sudah ada kardus di tangannya, terbuka, dengan isi di dalamnya yang masih setengah penuh.
Lalu kami pun bertengkar. Bergelut, adu kekuatan. Saling merebut makanan. Kulihat rokoknya masih tersangkut di mulutnya, membuat ia sedikit kesulitan. Lalu dengan mudah kurebut nasi kotak itu darinya. Aku berlari, berlari seperti kuda. Tapi, aku terlalu lemah. Aku tak kuat berlari lagi, sampai akhirnya napasku yang berlarian, tersengal-sengal. Tak kusadari musuh sudah dekat, aku malah jatuh tersungkur ke tanah. Ah, biarlah. Aku menyerah.
Sebelum ia merenggut makan malamku, ia meninggalkan kenang-kenangan untukku.
AAAAAHHHHHHH
Aku kesakitan. Ia membuat lenganku tersengat rokoknya. Begitu panas, perih. Dan ia pun tertawa, berlari dengan makananku di tangannya. Aku tergeletak tak berdaya… gelap semakin menyerang mataku.
“Rosiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii………………”
Aku tersentak. Ah, Mama. Mengganggu lamunanku saja.