Tuesday, 15 March 2016

71 Jam

Tinggal kira-kira 71 jam lagi. Rasanya baru kemarin aku mengenalmu. Rasanya baru beberapa jam lalu kita duduk di bawah tebing menikmati secangkir kopi. Rasanya baru beberapa menit yang lalu aku masih baru mengenakan toga kelulusanku. Namun, ini memang masih tinggal 71 jam dari sekarang. 71 jam menuju ikrar yang kan kau ucapkan.
Masih lama memang, ini pun aku masih menunggu 8 jam lagi untuk mendengarkan azan magrib. Tapi rasanya memang sedikit 'aneh' untuk menunggu 71 jam itu.
Bukannya aku tak sabar, aku hanya merasa bertanya-tanya. Apakah ini nyata? Apakah memang ini benar? Jangan-jangan hanya mimpi belaka?
Rasanya aneh. Ketika kamu merasa masih berusia belasan di hari yang lalu, dan ini sudah berkepala dua. Lantas menuju proses dewasa yang berikutnya.
Yah, di bawah naungan keluarga kecil kita sendiri. Ada engkau beserta suami atau istri.
Dan aku pun masih bertanya-tanya. Apakah pantas saya menuliskan semua perasaan saya di sini? Perasaan yang hanya aku dan Tuhanku ketahui.
Entahlah... Pantas tidak pantas, aku toh tetap menulisnya. Meski di baca atau tidak aku tak peduli.
Dan hatiku kembali bercengkrama dengan nurani.
Mereka tengah sibuk mempersiapkan sesuatu, mereka di bawah sana, sana keluarga saya. Mengatur belanjaan ini itu, mengatur masakan apa saja. Banyak yang diurusi. Dan saya jadi bertanya lagi. Untuk acara apa ini? Aku sadar diri, ini semua untuk acara sakralku nanti.
Oh, Tuhan... Ini benar terjadi? Tak ada yang mampu meragukan nikmatMu. Kau benar- benar tau kapan, dengan siapa, dan bagaimana kami akan bersatu.
Namun masih 71 jam lagi-ups, sudah berkurang selagi tadi aku menulis- tak pernah ada yang tau akan seperti apa beberapa jam lagi. Yang kutahu, aku selalu berdoa dalam hati, semoga kami senantiasa diridhoi.

Saturday, 5 March 2016

Perjalanan Pulang

Perjumpaanku bersama ibu temanku membuatku ingat tentang masa dulu. Bertahun yang lalu ketika usiaku masih bisa diukur dengan jumlah jari tanganku. Masa kecilku.
Dulu gemar sekali bermain bersama teman-temanku. Rumah ke rumah disambangi, bermain apa saja. Entah apa yang menjadi kegemaranku aku sedikit lupa. Bermain bekel, bermain peran, berenang di bak mandi, masak-masakan, bahkan belajar kelompok selalu kuikuti.
Kami akur namun kadang saling benci. Tak lama, sebentar saja sudah lupa. Seringnya kami bergembira. Masa kecilku kuhabiskan dengan suka cita.
Masa kecilku yang bahagia secepat kilat berganti musim. Aku yang menginjak remaja menjadi berteman dengan mereka yang kadang mencampur rasa sukanya dengan lawan jenis kami. Saling naksir, saling lempar senyum, saling berucap kata lewat selembar kertas, banyak sekali diantara temanku yang mulai menapaki masa jatuh cinta. Aku? Iya juga. Sedikit suka dengan teman sekelasku sewaktu SMP. Namun kupendam, tak jadi sayang. Aku berpacaran pada akhirnya karena keterpaksaan. Terpaksa mengikuti rayuan teman-temanku yang berencana kencan bersama. Aku yang tak punya pacar dijodohkan. Tidak dengan sebayaku, dengan adik kelasku. Malu rasanya. Tapi lumayan. Dia tampan. Itu yang aku tau.
Tak lama juga, setelah itu aku berjumpa dengan pria. Dia suka. Aku nyaman. Kita pacaran diam-diam. Aku mendua. Sadis. Tapi putus dua-duanya. Tak ingin pacaran lagi.
Menginjak SMA. Aku bersekolah di Asrama. Mengikrar tak pacaran selama setahun dengan satu teman wanita. Ya. Aku bisa. Ku usir mereka yang suka. Sadis. Namun aku tetap memendam rasa pada satu pria. Tak pernah kusebut namanya. Itu rahasia. Sampai nanti juga tak akan ada yang akan mengetahuinya, kecuali aku khilaf berkata. Namun sudah kulupakan dia. Aku anggap dia teman belaka.
Kelas tiga, aku ditembak seorang teman kelas IPA. Sekelas denganku. Aku takut mengecawakannya, pernah dulu dia bilang suka di kelas satu, aku menolaknya. Yang kedua, aku akhirnya mengiyakannya. Kami pacaran. Jadi beneran sayang. Namun itu berlalu juga. Hati patah di akhirnya.
Mungkin trauma. Semenjak kuliah aku ingin belajar saja. Kuhapus memori tentang cinta. Namun lagi-lagi datanglah dia, seorang laki-laki yang tak menaruh hati padaku namun aku suka. Yah, akhirnya hanya kakak-kakak an saja. Cinta itu gampang terlupa. Mungkin aku tak benar suka padanya.
Diakhir episode perkuliahanku aku bertemu seorang pria lagi. Kubenci dia awalnya, kusinisi dia, namun dia mendekat. Aku terpikat. Dia agak jahat. Yasudah hatiku memilih untuk memecat dia dari kehidupanku. Cinta sesaat.
Kupikir aku tak akan menemukan yang benar-benar membuatku menjadi wanita paling bahagia sedunia. Aku sempat berpikir juga, nanti ketika usiaku tak lagi pantas untuk menjadi sendirian, kuminta ayahku menjodohkan. Mungkin aku pesimis duluan. Atau aku mungkin juga yang kecewa pada cinta agak keterlaluan.
Ya. Akhirnya dia datang. Dia yang tak pernah kupikirkan akan ada dalam hidupku, kini menjadi kehidupanku.
Dia menjelma dari malaikat yang dikirimkan ibuku di surga. Dia selalu ada. Meskipun kami tidak jarang pula bertengkar kecil-kecilan. Tapi aku gampang melupakan yang kukeluhkan padanya. Dia terlalu menyenangkan untuk dikecewakan. Wajah polosnya yang mendamaikan, sikap pendiamnya yang cuma ditampakkan pada orang tak dikenal, sikap baiknya pada semua orang, sikap bertanggung jawabnya dengan pekerjaan, banyak hal. Banyak sekali yang menjadi kelebihannya. Bukan semata itu saja yang aku suka. Tak bisa kupanjang lebarkan. Tapi dia memang istimewa dalam kehidupanku.
Lagi-lagi kuberharap tak akan mengecewakannya. Umurku sudah sekian. Mungkin ini perjalanan. Semua pasti merasakan. Akan ada saatnya kapal kehidupanmu berlabuh di pelabuhan hati sang pujaan hati. Hanya bersabar. Kehidupan memang berjalan ke depan. Maka dari itu tetap isi bensinmu dan tetap berjalan. Ketika sudah di depan rumah, itu saatnya kamu pulang.