Well.. Ini
adalah hari ke satu bulan Ramadhan, atau yang pada umumnya sering kita sebut
bulan puasa, “poso” kata orang Jawa. Masih sama seperti dulu, dan akan tetap
sama waktunya, mulai dari imsak sampai
ke azan magrib kita diwajibkan untuk menahan hawa nafsu. Nafsu makan, nafsu
minum, nafsu birahi, dan nafsu-nafsu yang lain (jadi kepikiran sama capres
cawapres kita, kalau mereka bernafsu untuk mendapatkan kekuasaan tertinggi di Negara
kita, mereka harusnya puasa juga dari nafsu koar-koarnya kali yah? Hee).
Hmm… jadi
terpikir juga sewaktu dulu masih kecil. Kira-kira usiaku masih dapat dihitung
dengan jari tangan. Sewaktu sepupu-sepupuku juga masih anak ingusan. Dulu begitu
indah bulan puasa. Banyak hal yang dapat kukenang. Ada yang indah dan tak indah
tentunya, tapi yang pasti, begitu menyenangkan. Dapat kurasakan selalu tiap
paginya musim puasa, menyegarkan, melegakan, membuat jantungku berdebaran (bukan
karena apa, hanya karena aku memikirkan berapa banyak baju lebaran yang akan
dibelikan ibuku) hingga kurasakan haus sangat di tenggorokanku kala aku sudah
sampai di rumah sehabis jalan-jalan pagi bersama saudara-saudara sebayaku.
Ada satu cerita
lucu, ceritaku dan teman sebayaku yang juga teman sekelasku yang juga
tetanggaku. Rumah kami berdekatan, hanya terpaut satu rumah dan suatu gang
kecil. Nah, ceritanya, sewaktu musim puasa tiba, pasti di desaku ada saja yang
menjalankan tradisi “tete’an” (oy, jangan mikir jorok, bukan “tetek” ini “Tete’an”
atau “klotekan”). Itu adalah semacam anak-anak kecil yang berkumpul dan
membentuk grup musik di jalanan. Maksudnya, mereka itu memukul-mukul benda
seadanya untuk membuat irama yang bisa mengiringi sahutan mereka “sahuuuurr…
sahuuurrr…..” benar! Itu adalah semacam parade di jalanan untuk membangunkan
orang untuk sahur. Biasanya mereka mulai sekitar jam satu dini hari, biasanya
sampai jam dua. Eh, jadi lupa ceritanya yah. Ceritanya.. aku dan juga temanku
yang bernama, sebut saja Bibah (nama yang sebenarnya), berinisiatif untuk
melihat secara langsung siapa-siapa yang biasanya rebut-ribut membangunkan
orang sahur.
Waktu itu
sekitar pukul setengah dua dini hari, saat itu belum marak yang namanya ponsel,
maka dari itu sabelumnya kami sudah janjian. Nah, aku paksa tubuhku untuk
beranjak dari kasur, memerkosa mataku agar membelalak, menyiksa tubuhku yang
tak terbalut baju tebal dengan tusukan hawa dingin dini hari. Aku terseok-seok
keluar, mencoba tetap dalam sikap damai hingga tak menimbulkan suara yang bisa
membuat ayah-ibuku bangun. Akhirnya kubuka gerbang depan dan melintasi beberapa
kursi jalan, menuju depan rumah Bibah yang kutahu pasti datang lebih lambat. Kutunggu,
kutunggu, kutunggu. Dia keluar rumah juga akhirnya. Sepi. Hanya jalanan lengan
yang kami dapati. Beberapa menit kami hanya terdiam. “mana, sih? Kok ga ada?”
keluhku. “iya, kok ga lewat, yah?” sahut Bibah sama kecewanya. Lalu kami mulai
berbincang hal tak penting yang sekarang sudah kulupa, saking tak pentingnya. Lalu
kami mulai menguap. Menahan sisa-sisa kantuk yang masih setia hinggap di
pelupuk mata.
Seperempat jam
berlalu dengan nihilnya. Lantas kami sudah terlanjur kecewa dan memutuskan
untuk menyerah saja. “pulang aja, yuk?” ajakku. “iya, ayuk!” lalu kami
melenggang ke rumah masing-masing. Hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk
lagi memaksakan diri untuk sekedar ingin tahu pada hal tak penting yang membuat
hati kami kecewa. Cukup sekali aku menunggu hal tak pasti. Lalu kami memutuskan
untuk tak lagi membahas masalah ini, masalah keinginan kami melihan “tetek”
(maaf, bukan tetek yang itu, tetek yang jadi tradisi membangunkan sahur warga
dengan memukul-mukur barang seadanya)
Nah itu salah
satu cerita tentang ramadhan favoritku yang selalu terkenang. Masih banyak
lagi.. tapi besok saja lagi kuceritakan.