Friday, 6 July 2012

sekisah prolog-Sorrow of the Morrow


SEKISAH
PROLOG

Sampai detik ini mataku masih belum lepas menatapi jendela bening. Jendela itu berjarak kira-kira 2 meter dari tempatku terbaring. Sangat mudah bagiku menatapnya karena posisinya yang strategis. Saat itu awan mulai menampakkan warna kelabu muramnya. Cuaca di luar terlihat begitu suram, begitu dingin, berbanding terbalik dengan ruangan ini. Tubuhku merasa hangat, walau hanya dibalut dengan selimut tipis bergaris. Selain memang pendingin ruangan sengaja dimatikan.
Baru sebentar saja kupalingkan wajah dari jendela itu, aku mendengar suara merdu titik-titik hujan mulai bernyanyi lepas. Mereka terdengar begitu riuh menyanyikan kebebasannya. Tapi semakin aku merasakan keriuhan itu, semakin aku merasa suasananya menjadi demikian sendu. Nyanyian rintik air dan semilir angin membahana dengan ritme tak teratur, begitu mewakili tangisan dalam hatiku.
Kukira-kira, mungkin saja saat ini semua orang tengah hilir mudik dengan berbagai aktifitasnya. Barangkali sedang berteduh, berlindung dari basah yang akan ditimbulkan tetesan air dari langit itu.
Di sini, aku tengah terbaring lemah di sebuah ruangan berukuran 4x6. Seluruh temboknya bercat warna putih. Korden berwarna hijau muda--sama persis dengan daun yang masih kuncup--menghiasi kaca jendela yang sekarang terlihat tertutup rapat. Aku, seorang  perempuan yang  bertubuh kurus, tinggi 155 cm, berkulit putih, terlihat agak berkeriput di sekitar leher, kini memandang lurus pada satu arah tanpa melihat apa yang aku lihat. Mereka selalu berkata bahwa dari rona muka pucatku penderitaan yang aku alami sangat berat. Dan mereka memang benar.
Armeina Lavinska, begitulah yang terpajang di depan pintu kamar ini. Hampir 1 minggu aku berada di sini menjalani pengobatan yang menurutku tak akan pernah sanggup aku tersembuhkan dari penyakit itu. Beberapa minggu ini aku lebih memilih untuk diam dan berpaling dari semua wajah yang kukenal. Hanya satu harapanku. MATI. Tak ada lagi yang bisa aku harapkan di dunia ini. Aku telah hancur. Ah, mungkin lebih tepatnya aku telah menghancurkan hidupku. Aku ingin mengubur dalam-dalam diriku dalam kesunyian. Aku tak ingin lagi bertemu dengan diriku yang sudah tega menghancurkan masa depanku sendiri. Lalu, aku mulai melamun untuk kesekian kalinya (karena hanya itu yang menjadi hiburanku selama di tempat ini).
Setengah perjalanan menuju lamunan yang semakin dalam, tiba-tiba saja terdengar bunyi langkah dari luar. Suara itu lebih mirip deru mesin tembak berkekuatan manover. Mungkin seseorang itu sedang berlari atau bahkan lebih dari sekedar berlari, namun sayang sekali, tak kutemukan kata yang tepat untuk menggambarkan hal itu dari bahasa mana pun di dunia (mungkin aku harus menciptakan kata baru lagi yang harus kalian sepakati. Melangkah, berjalan, setengah berlari, berlari, kemudian ber(rikol) atau ber(ridas) atau ber(rigi). Sepertinya kata-kata yang aku ciptakan sangat aneh dan tak bertempat di otak. Tepat sekali, mungkin aku hanya bisa menjelaskannya begini saja, “berlari kesetanan” atau “berlari dengan kecepatan pesawat jet tempur”. Lebih mudah dimengerti bukan?).
Seorang lelaki berkulit putih yang terlihat menumbuhkan jenggot tipis pada dagunya kini mulai menjejakkan kaki untuk memasuki sebuah ruangan. Dia datang dengan hanya membawa seonggok tubuh yang berkeringat dingin di sekitar pelipisnya, tubuhnya sendiri. Kemejanya terlihat basah terkena air hujan. Perlahan dia mendekati tempat tidur yang berada ditengah ruangan itu,  tempat di mana aku tegeletak tak berdaya. Membawa semua lara dari masa-masa terberat dalam hidupku.
“Mei,” katanya bergetar. Seraya mengusap peluh dengan lengan kemejanya, lantas ia menggenggam tangan kananku yang tidak di infus.
Aku hanya terdiam, terpaku. Tanpa kusadari air mata telah membasahi pipi cekungku. Dengan tetap terdiam, aku menyambut genggaman tangan lelaki itu, begitu hangat dan nyaman. Aku mengenggamnya lebih erat dari yang dia lakukan. Kini yang aku rasakan justru berbeda dari sebelumnya. Aku mulai bertanya-tanya, kenapa aku mulai mengalami ketakutan yang sangat? Mungkinkah aku takut mati? Terlebih lagi, mungkinkah kini aku takut mati dengan sia-sia? Padahal, ratusan jam yang lalu aku masih  mengharapkan kematian datang menjemputku. Semuanya kini berubah setelah melihat sosok yang dulu sempat mengisi relung jiwaku. Sosok yang telah lama terkubur damai dalam angan dan hatiku. Kini dia ada di hadapanku, di depan mata kepalaku, di dalam pandanganku, menghangatkan jiwaku. Dia muncul kembali menawarkan cinta yang tak bisa kuraih.
Terpaku beberapa saat, aku mulai memandang sekeliling untuk mengatasi rasa takutku yang berlebih, yang tiba-tiba muncul tanpa aku memintanya. Bola mataku kini berkelana ke sana kemari mencoba menangkap sesuatu yang berusaha kukejar selama belasan tahun. Tertangkap olehku detik jarum jam tepat di atas televisi berwarna di depan pandanganku yang akhirnya membawaku  jauh ke masa lalu. Kembali mengingat Hidupku yang berjalan melintasi waktu bersama ribuan kenangan pahit.



Aku hanya ingin bebas. Aku ingin bernafas. Aku tak ingin terhempas. Terperosok jauh dalam kegelapan yang buas.

2 comments:

Write me your comment