Sunday 29 June 2014

#1

Well.. Ini adalah hari ke satu bulan Ramadhan, atau yang pada umumnya sering kita sebut bulan puasa, “poso” kata orang Jawa. Masih sama seperti dulu, dan akan tetap sama waktunya, mulai dari  imsak sampai ke azan magrib kita diwajibkan untuk menahan hawa nafsu. Nafsu makan, nafsu minum, nafsu birahi, dan nafsu-nafsu yang lain (jadi kepikiran sama capres cawapres kita, kalau mereka bernafsu untuk mendapatkan kekuasaan tertinggi di Negara kita, mereka harusnya puasa juga dari nafsu koar-koarnya kali yah? Hee).
Hmm… jadi terpikir juga sewaktu dulu masih kecil. Kira-kira usiaku masih dapat dihitung dengan jari tangan. Sewaktu sepupu-sepupuku juga masih anak ingusan. Dulu begitu indah bulan puasa. Banyak hal yang dapat kukenang. Ada yang indah dan tak indah tentunya, tapi yang pasti, begitu menyenangkan. Dapat kurasakan selalu tiap paginya musim puasa, menyegarkan, melegakan, membuat jantungku berdebaran (bukan karena apa, hanya karena aku memikirkan berapa banyak baju lebaran yang akan dibelikan ibuku) hingga kurasakan haus sangat di tenggorokanku kala aku sudah sampai di rumah sehabis jalan-jalan pagi bersama saudara-saudara sebayaku.
Ada satu cerita lucu, ceritaku dan teman sebayaku yang juga teman sekelasku yang juga tetanggaku. Rumah kami berdekatan, hanya terpaut satu rumah dan suatu gang kecil. Nah, ceritanya, sewaktu musim puasa tiba, pasti di desaku ada saja yang menjalankan tradisi “tete’an” (oy, jangan mikir jorok, bukan “tetek” ini “Tete’an” atau “klotekan”). Itu adalah semacam anak-anak kecil yang berkumpul dan membentuk grup musik di jalanan. Maksudnya, mereka itu memukul-mukul benda seadanya untuk membuat irama yang bisa mengiringi sahutan mereka “sahuuuurr… sahuuurrr…..” benar! Itu adalah semacam parade di jalanan untuk membangunkan orang untuk sahur. Biasanya mereka mulai sekitar jam satu dini hari, biasanya sampai jam dua. Eh, jadi lupa ceritanya yah. Ceritanya.. aku dan juga temanku yang bernama, sebut saja Bibah (nama yang sebenarnya), berinisiatif untuk melihat secara langsung siapa-siapa yang biasanya rebut-ribut membangunkan orang sahur.
Waktu itu sekitar pukul setengah dua dini hari, saat itu belum marak yang namanya ponsel, maka dari itu sabelumnya kami sudah janjian. Nah, aku paksa tubuhku untuk beranjak dari kasur, memerkosa mataku agar membelalak, menyiksa tubuhku yang tak terbalut baju tebal dengan tusukan hawa dingin dini hari. Aku terseok-seok keluar, mencoba tetap dalam sikap damai hingga tak menimbulkan suara yang bisa membuat ayah-ibuku bangun. Akhirnya kubuka gerbang depan dan melintasi beberapa kursi jalan, menuju depan rumah Bibah yang kutahu pasti datang lebih lambat. Kutunggu, kutunggu, kutunggu. Dia keluar rumah juga akhirnya. Sepi. Hanya jalanan lengan yang kami dapati. Beberapa menit kami hanya terdiam. “mana, sih? Kok ga ada?” keluhku. “iya, kok ga lewat, yah?” sahut Bibah sama kecewanya. Lalu kami mulai berbincang hal tak penting yang sekarang sudah kulupa, saking tak pentingnya. Lalu kami mulai menguap. Menahan sisa-sisa kantuk yang masih setia hinggap di pelupuk mata.
Seperempat jam berlalu dengan nihilnya. Lantas kami sudah terlanjur kecewa dan memutuskan untuk menyerah saja. “pulang aja, yuk?” ajakku. “iya, ayuk!” lalu kami melenggang ke rumah masing-masing. Hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk lagi memaksakan diri untuk sekedar ingin tahu pada hal tak penting yang membuat hati kami kecewa. Cukup sekali aku menunggu hal tak pasti. Lalu kami memutuskan untuk tak lagi membahas masalah ini, masalah keinginan kami melihan “tetek” (maaf, bukan tetek yang itu, tetek yang jadi tradisi membangunkan sahur warga dengan memukul-mukur barang seadanya)

Nah itu salah satu cerita tentang ramadhan favoritku yang selalu terkenang. Masih banyak lagi.. tapi besok saja lagi kuceritakan. 

1 comment:

Write me your comment