Waktu
adalah teman berhargaku selama ini. Waktu yang mengajariku untuk
menghargai sesuatu. Waktu memaksaku menyadari tindakanku. Waktu
menyampaikan padaku tentang pelajaran hidup yang aku harus tahu. Waktu
pulalah yang mempertemukan aku dengannya. Sehingga di waktu sekarang,
hatiku penuh dengan kehadirannya. Meski ia tak di sini, di sampingku,
tapi aku tahu, dia di sana juga memikirkan aku. Jelas aku berharap
itu.
Yah. Aku cemara. Mendiang Ibu yang memberi nama itu. Ayah berkata
bahwa Ibu berharap aku bisa seindah cemara yang melambung tinggi,
seperti hendak menggapai langit. Meraup bintang kemerlipan. Meraihnya
setinggi itu, namun tetap kokoh berpijak mencengkeram bumi yang
menjadikannya ada. Entahlah, Ayah tak begitu jelas bercerita. Seperti
tiap harinya, ia jarang berbicara. Tapi aku sayang dia. Satu-satunya
manusia yang dengan tulus merawatku hingga aku dewasa. Sendiri.
Sejak ibu tiada, aku seperti hilang kendali. Tapi aku bisa merasa
hidup lagi semenjak aku memutuskan untuk kemanapun yang aku ingini.
Sejak itu aku begitu suka melakukan petualangan. Kemana saja. Ke
tempat di mana aku tak mengenal siapapun juga. Petualangan yang
akhirnya memberiku banyak cerita. Menghiasi hidupku yang banyak
berkalang derita. Dulu. Entahlah esok, hanya Tuhan yang tahu jadi
bagaimana. Aku hanya mengikuti alurnya, yang kadang kala kuharap
alurnya akan seperti apa yang kuinginkan, dengan segala waktu yang
Tuhan telah hadiahkan.
***
Hujan mulai membisiki supaya aku tertidur lelap. Tapi mataku tak ingin
kututup. Aku masih ingin menyaksikan hidupku berjalan dengan detik jam
yang masih berputar.
Ah, bukan. Aku bukannya tak ingin mengistirahatkan jiwa dan batinku
sejenak. Aku hanya tak bisa beranjak. Aku menunggu paket sepatu
gunungku. Sepatu yang aku inginkan selama setahun ini. Untung saja aku
cerdik, menyisihkan uang sakuku tiap hari demi mendapatkan apa yang
aku ingini. Tak perlu menyusahkan ayahku. Tak perlu merengek minta
dikasihani, eh, dikasih duit maksudnya.
Dan gemuruh knalpot motor pak pos pun bersenandung di telingaku.
Cepat-cepat kularikan kakiku. Kuinjak-injak lantai rumahku dengan
debum keras, cepat, dan tergesa. Lalu aku sudah sampai di sana, di
depan gerbang rumah yang sudah kubuka lebar. Aku pun membelalakkan
mata, mulutku tak sengaja kubuka. Lalu langkah pak pos semakin dekat.
Ia bawa serta kotak coklat, berisi sepatu gunungku yang kupesan
seminggu lalu.
"Selamat siang, dengan mbak Cemara? Ini ada kiriman paketnya untuk
mbak Cemara." Kata pak pos santun.
"Iya, pak. Ini dengan saya sendiri" kataku menyambut sodoran kotak
itu. Kuraih cepat dan lekas menandatangani kertas yang ditunjukkan
lelaki berseragam senja itu.
"Terima kasih, pak"
Lalu aku berlari, ke kamarku sendiri. Tak sabar ingin segera membuka
bungkusan itu.
"Waaa... Akhirnya aku benar-benar bisa ke puncak Panderman di
Malang.." Kataku pada diri sendiri.
***
menghargai sesuatu. Waktu memaksaku menyadari tindakanku. Waktu
menyampaikan padaku tentang pelajaran hidup yang aku harus tahu. Waktu
pulalah yang mempertemukan aku dengannya. Sehingga di waktu sekarang,
hatiku penuh dengan kehadirannya. Meski ia tak di sini, di sampingku,
tapi aku tahu, dia di sana juga memikirkan aku. Jelas aku berharap
itu.
Yah. Aku cemara. Mendiang Ibu yang memberi nama itu. Ayah berkata
bahwa Ibu berharap aku bisa seindah cemara yang melambung tinggi,
seperti hendak menggapai langit. Meraup bintang kemerlipan. Meraihnya
setinggi itu, namun tetap kokoh berpijak mencengkeram bumi yang
menjadikannya ada. Entahlah, Ayah tak begitu jelas bercerita. Seperti
tiap harinya, ia jarang berbicara. Tapi aku sayang dia. Satu-satunya
manusia yang dengan tulus merawatku hingga aku dewasa. Sendiri.
Sejak ibu tiada, aku seperti hilang kendali. Tapi aku bisa merasa
hidup lagi semenjak aku memutuskan untuk kemanapun yang aku ingini.
Sejak itu aku begitu suka melakukan petualangan. Kemana saja. Ke
tempat di mana aku tak mengenal siapapun juga. Petualangan yang
akhirnya memberiku banyak cerita. Menghiasi hidupku yang banyak
berkalang derita. Dulu. Entahlah esok, hanya Tuhan yang tahu jadi
bagaimana. Aku hanya mengikuti alurnya, yang kadang kala kuharap
alurnya akan seperti apa yang kuinginkan, dengan segala waktu yang
Tuhan telah hadiahkan.
***
Hujan mulai membisiki supaya aku tertidur lelap. Tapi mataku tak ingin
kututup. Aku masih ingin menyaksikan hidupku berjalan dengan detik jam
yang masih berputar.
Ah, bukan. Aku bukannya tak ingin mengistirahatkan jiwa dan batinku
sejenak. Aku hanya tak bisa beranjak. Aku menunggu paket sepatu
gunungku. Sepatu yang aku inginkan selama setahun ini. Untung saja aku
cerdik, menyisihkan uang sakuku tiap hari demi mendapatkan apa yang
aku ingini. Tak perlu menyusahkan ayahku. Tak perlu merengek minta
dikasihani, eh, dikasih duit maksudnya.
Dan gemuruh knalpot motor pak pos pun bersenandung di telingaku.
Cepat-cepat kularikan kakiku. Kuinjak-injak lantai rumahku dengan
debum keras, cepat, dan tergesa. Lalu aku sudah sampai di sana, di
depan gerbang rumah yang sudah kubuka lebar. Aku pun membelalakkan
mata, mulutku tak sengaja kubuka. Lalu langkah pak pos semakin dekat.
Ia bawa serta kotak coklat, berisi sepatu gunungku yang kupesan
seminggu lalu.
"Selamat siang, dengan mbak Cemara? Ini ada kiriman paketnya untuk
mbak Cemara." Kata pak pos santun.
"Iya, pak. Ini dengan saya sendiri" kataku menyambut sodoran kotak
itu. Kuraih cepat dan lekas menandatangani kertas yang ditunjukkan
lelaki berseragam senja itu.
"Terima kasih, pak"
Lalu aku berlari, ke kamarku sendiri. Tak sabar ingin segera membuka
bungkusan itu.
"Waaa... Akhirnya aku benar-benar bisa ke puncak Panderman di
Malang.." Kataku pada diri sendiri.
***
No comments:
Post a Comment
Write me your comment