Gemerincing gelas saling beradu. Sedikit cairan di dalamnya menyeruak keluar, membasahi meja-meja yang setia dalam diam. Cairan merah yang terpaksa terusir dari biliknya, terbebas dari mulut-mulut pencumbu gelas-gelas kaca. Dan ocehan dari mulut para pencumbu itu lepas dan lantak mengucurkan bualan-bualan hidup mereka.
Ada satu lelaki muda. Dia gemar memakai pakaian ternama. Hanya saja dia tak pernah merebak rahasianya, bahwa ia hanya penjaja batagor tiap pagi harinya. Yah.. ...Hidupnya, terlalu muda untuk bergaul dengan kawan sebayanya yang perlente kaumnya. Ia terpaksa hanya bisa mendamba, suatu hari ia terbebas menjadi apa yang ia lakukan setiap harinya.
Ada lagi wanita yang memakai rok mini. Ia memakai lipstik merah, semerah darah pada bibirnya sendiri. Membuat ngeri. Membuat bulu kuduk berdiri, hanya jika ia menyeringai dalam gelap hari. Tapi ia cantik sekali, tak terlihat seperti drakuli. Ia pun seksi. Badannya aduhai sekali, tak terlihat sama sekali bahwa hidupnya itu terlibat perang dengan jiwanya sendiri. Ia lelaki. Tak ada yang mengetahui.
Satu lagi yang terlihat tanpa masalah. Wajahnya polos dan rekah. Pemuda berkacamata itu sebenarnya mengalami kegundahan di hati kecilnya. Ia punya pacar dua. Tapi ia akhirnya meninggalkan dua-duanya. Ia tak sanggup lagi menyakiti mereka. Bukannya ia ingin menjadi kejam pada dua wanita kesayangannya. Ia hanya tak bisa. Tak bisa membiarkan hati mereka terluka, mengetahui ada wanita lain yang ada di hatinya. Dua wanita yang ia nodai pula kehormatannya. Entahlah, ia pusing memikirkannya. Ia ingin mempertanggungjawabkan perbuatannya. Lalu? Apa ia harus menikahi keduanya? Tak bisa ia berpikir dengan akal sehatnya. Sungguh hal yang menyiksa batinnya. Dan ia tahu, wanita-wanita itu pun tersiksa dengan sikapnya. Tapi ia menampakkan wajah yang selalu bahagia. Seperti biasa, tertawa-tawa dengan kelucuannya.
Dentang gelas mulai tak seriuh pada awalnya. Gelas-gelas mulai kosong. Cairan merah habis terteguk. Satu persatu kawanannya yang lain mulai beranjak. Pergi ke suatu tempat yang tak diketahui masing-masing temannya. Mereka mulai berdiri, berciuman pipi, lalu melangkah pergi.
Mereka sama-sama tahu wajah, sama-sama tahu untuk bersenang-senang bersama. Tapi di balik itu mereka sama-sama tak saling mengenal. Hanya dentuman jam di arloji yang setia mengikuti kemanapun mereka pergi. Dan esok pun masih tetap sama. Hanya denting gelas berisi cairan merah yang menyatukan diri mereka. Hanya tegukan dan cumbuan pada bibir gelas yang menghangatkan. Tak perlu saling tau apa masalah yang dihadapi. Cukup mereka tahu bahwa mereka ada untuk berbagi, berbagi gelas yang menyegarkan otak dan hati.
Ada satu lelaki muda. Dia gemar memakai pakaian ternama. Hanya saja dia tak pernah merebak rahasianya, bahwa ia hanya penjaja batagor tiap pagi harinya. Yah.. ...Hidupnya, terlalu muda untuk bergaul dengan kawan sebayanya yang perlente kaumnya. Ia terpaksa hanya bisa mendamba, suatu hari ia terbebas menjadi apa yang ia lakukan setiap harinya.
Ada lagi wanita yang memakai rok mini. Ia memakai lipstik merah, semerah darah pada bibirnya sendiri. Membuat ngeri. Membuat bulu kuduk berdiri, hanya jika ia menyeringai dalam gelap hari. Tapi ia cantik sekali, tak terlihat seperti drakuli. Ia pun seksi. Badannya aduhai sekali, tak terlihat sama sekali bahwa hidupnya itu terlibat perang dengan jiwanya sendiri. Ia lelaki. Tak ada yang mengetahui.
Satu lagi yang terlihat tanpa masalah. Wajahnya polos dan rekah. Pemuda berkacamata itu sebenarnya mengalami kegundahan di hati kecilnya. Ia punya pacar dua. Tapi ia akhirnya meninggalkan dua-duanya. Ia tak sanggup lagi menyakiti mereka. Bukannya ia ingin menjadi kejam pada dua wanita kesayangannya. Ia hanya tak bisa. Tak bisa membiarkan hati mereka terluka, mengetahui ada wanita lain yang ada di hatinya. Dua wanita yang ia nodai pula kehormatannya. Entahlah, ia pusing memikirkannya. Ia ingin mempertanggungjawabkan perbuatannya. Lalu? Apa ia harus menikahi keduanya? Tak bisa ia berpikir dengan akal sehatnya. Sungguh hal yang menyiksa batinnya. Dan ia tahu, wanita-wanita itu pun tersiksa dengan sikapnya. Tapi ia menampakkan wajah yang selalu bahagia. Seperti biasa, tertawa-tawa dengan kelucuannya.
Dentang gelas mulai tak seriuh pada awalnya. Gelas-gelas mulai kosong. Cairan merah habis terteguk. Satu persatu kawanannya yang lain mulai beranjak. Pergi ke suatu tempat yang tak diketahui masing-masing temannya. Mereka mulai berdiri, berciuman pipi, lalu melangkah pergi.
Mereka sama-sama tahu wajah, sama-sama tahu untuk bersenang-senang bersama. Tapi di balik itu mereka sama-sama tak saling mengenal. Hanya dentuman jam di arloji yang setia mengikuti kemanapun mereka pergi. Dan esok pun masih tetap sama. Hanya denting gelas berisi cairan merah yang menyatukan diri mereka. Hanya tegukan dan cumbuan pada bibir gelas yang menghangatkan. Tak perlu saling tau apa masalah yang dihadapi. Cukup mereka tahu bahwa mereka ada untuk berbagi, berbagi gelas yang menyegarkan otak dan hati.