Tuesday, 27 October 2015

Dear, Mind

Kadang saya merasa terlalu lelah menjadi seperti saya. Saya ingin menjadi semut, yang berkerumun pesta pora. Jika sudah kenyang, kita tertidur di dalam gelas kaca. Lalu wush... Mati kemudian. Sudah. Usai cerita. Tak ada drama.
Kadang saya senang menjadi saya sendiri. Berpikir bahwa tak ada yang mempedulikan saya. Ingin pergi ke samudra tak usah banyak tanda tanya. Ya. Janya jika saya tak mempedulikan yang peduli dengan saya.
Kadang saya ingin menjadi anak kecil. Berlarian ke sana kemari asal saya bergembira dalam hati. Urusan lapar nanti. Paling ibu sudah menyiapkan saya nasi.
Kadang...
Hidup kenapa kadang-kadang? Ya. Karena saya cepat bosan. Bosan dengan ini itu yang sudah saya tau
Bosan...
Kenapa bisa bosan? Ya. Karena saya ingin mencari tau lainnya. Yang tak pernah kutahu sebelumnya.
Apakah itu berarti saya tidak puas dengan menjadi saya sendiri?
Kepuasan pun saya tak tau darimana datangnya. Puas karena kenyang? Karena banyak uang? Punya banyak teman? Punya sandang dan kemewahan?
Terlalu kolot kepuasan yang saya sebutkan.
Tapi apa kita bisa mengecohnya? Jelas.. Pasti pernah suatu ketika kita merasa puas dengan hal itu. Tapi apakah lantas puas seseorang dengan sudah memiliki semuanya?
Jelas TIDAK!
Bukannya kodrat manusia tak bisa berpuas diri? Selalu inginkan yang melebihi. Iya. Sampai kelebihan tak peduli.
Bicara apa saya ini.
Bukan basa basi. Namun hal yang terjadi.
Acak sekali otak ini.

WAKTU

Hal basi namun memang terjadi yaitu waktu terus berlari maju. Entah itu kita juga maju atau tidak, yang jelas waktu tak pernah peduli kesibukan kita.
Waktu tidak melihat bagaimana kita masih kekurangannya dalam satu hari saja. Waktu pun tak mendengar bahwa satu detik sempat terasa begitu berabad lamanya.

Waktu. Dia relatif. Lebih cepat ketika kita membutuhkannya. Lebih lambat saat kita sedang dilanda bencana.
Waktu kadang baik hatinya. Kadang ia kejam tak terhingga.

Bayangkan saja, demi mencari sesuap nasi, beberapa orang digaji perjamnya. Padahal akan butuh banyak waktu dalam sehari untuk mendapatkan satu piring nasi dan lauknya.
Namun melihat beberapa orang lagi, terutama yang patah hatinya, jangankan satu menit, bahkan ia tak lagi membutuhkan waktu untuk ia bangkit. Iyalah. Dia berharap dunia kiamat saja. Biar dia atau siapapun tak ada yang bahagia.

Waktu... Bagaimanakah sebenarnya cara menghitungmu.