Sesuatu yang hinggap dan menyergap kini menguap. Mungkin saja
segenggam asa yang kutawarkan padamu telah lenyap seiring terkesiapnya hatiku
mencerna kata yang tercuap. Atau saja aku tak terlalu meleburkannya dalam
otakku yang selalu berteriak dalam perangkap. Sudah cukup teriris atau sudah
terlalu terkikis. Onggokan hitam kecoklatan yang bersemayam dalam rongga dadaku
terlalu banyak menangis.
Ada kalanya terbersit sedikit hampa oleh ketakhadiranmu di
hari yang menggembala. Ada saatnya terkelabuilah diriku oleh manisnya bibirmu
yang mengaduh, membuat bibirku dengan ringannya berlabuh. Ada masanya kulitku
meraung meminta sedikit hangat dari belaianmu yang berkelana dalam nadiku yang
tercabik hampa. Namun kuharap kini berlalu. Tak ada lagi sekelebat kesadaran
yang mengarah pada kecupan merdumu. Meski rindu akan rintihanmu yang memelas
rongga keimananku, aku tetap tak akan mengalah. Detik ini ku coba mengeriknya
dengan belati. Detik ini akan kucabut akar-akar yang bersemedi. Sayang, kurasa
gagal. harusnya tak kucoba merangkai kata-kata yang tersebut sebelumnya. Teringat
lagi akan sosokmu yang berang, kecewa akan kesepahamanku yang menjilat. Walah,
aku terperangkap lagi dalam jerat. Harusnya tak terbersit menuliskannya dalam
serat. Ingin kuraungkan kata Jancuk. Ancuk. Dancuk. Pincuk. Gancuk. Apalagi itu.
tak kukenal kata itu sebelumnya. Hanya kata mereka saja yang terdengar penuh
amarah ketika mengucapnya, melemparnya ke udara. Aku ikut-ikut saja untuk
membuang resahku dalam sela-sela oksigen yang terburai sebebasnya. Marah pada
diri sendiri. merah menelaah pada sunyi. Aku terpikat lagi pada pesona hasrat
yang terpatri.
Love this, Lit... :)
ReplyDelete