Sunday 12 August 2012

tentang dosa


Aku pernah berdebat tentang keyakinan. Melelahkan. Sangat melelahkan untuk mengutarakan apa yang menjadi keyakinan kita kepada orang yang justru tak ingin meyakininya, membantahnya.
Bukan aku bermaksud mengutukimu yang tak berkeyakinan sama denganku. Bukan. Bukan bermaksud aku mencemooh keyakinanmu itu yang terlalu menantang buatku. Kala itu. tak ada niat sama sekali menyebutmu tak bertuhan, hanya kesimpulanmu saja yang keliru. Atau kau tak pernah memahamiku?
Benar bahwa ku melaknat apapun yang dijalani olehmu. Sangat berbeda dengan kehidupanku sebelum memasuki kehidupanmu. Aku yang kolot. Aku yang bebal. Aku yang bodoh. Kukatakan padamu tentang dosa, padahal tak kutahui apa itu dosa. Kukatakan padamu kutakut akan api neraka, padahal apakah neraka itu ada aku pun tak benar tahu. Keyakinanku saja. tak berbukti di depan mata.
Wanita. Lemah katanya. Memang benar. Mudah terombang-ambing atas keyakinan yang ia bawa sendiri. dengan mudahnya ia akan meluluh-lantak keyakinannya atas nama cinta. Pikirannya tersodomi oleh butanya ia terhadap cinta. Padahal ia tak tahu apa sebenarnya cinta itu. pikirku saat itu.
Aku tak mau melawan keyakinanku, yang membuat kita berdebat. Kau pun tak mau tahu apa inginku, hanya nafsu. Aku membencinya.
Saat itu aku memang takut akan dosa. Saat itu aku memang takut terbakar api neraka. Tapi dengan itu aku sadar bahwa tak selamanya aku harus takut dengan momok seperti itu yang membelenggu. Momok yang tak terbaca oleh mata kepala.
kini.... Bukannya aku murtad dan memilih untuk tak percaya, tak yakin, tak mengimani lagi apa yang saat itu ingin kubawa sampai mati. Aku hanya akan menjadi aku yang berpikir, bukan tersodomi. Aku ingin berdiri pada kemampuan otakku yang masih dapat mencerna realitas. Aku ingin kokoh melawan kelemahanku yang terlalu sering diperkosa oleh keyakinan leluhur. Bukannya aku bebal dan tak mau lagi belajar dan meyakini, aku sudah bilang dari tadi. Bukan itu. yang kuingini hanya ingin memikir lagi. Aku tak mau ditelanjangi jika kau tak telanjang pula.
Yang ada di otakku saat ini tentang adu mulutku kala itu telah sedikit membantuku untuk berdiri sendiri tanpamu. Ya. Kau memilih meninggalkanku yang kau pikir kolot dan berbeda denganmu yang mencintai kebebasanmu. Kau tau? Aku iri padamu tentang hal itu. terkadang aku harus berjuang sendiri melawan egoku, melawan nafsuku. Demi apa? demi ketakutanku pada neraka. Demi kengerianku pada siksanya.
Maaf, aku memang tak bisa membebaskan jeruji yang merekat erat saat itu (ingat!! saat itu!!). aku justru menyakitimu. Kau pasti merasakannya. Dikecewakan olehku yang kolot. Maaf, tak ada maksud seperti itu, sayangku.
Ah, aku harus memberitahumu apa yang ada dalam pikirku saat ini tentang perdebatan kita itu. saat ini aku menyadari bahwa aku memilih jalan yang tepat untuk tak terbuai oleh nafsuku saat itu. kau tahu kenapa? aku hanya ingini kebebasan, sepertimu. Aku sadar bahwa tak selamanya kau akan selalu temaniku. Aku sadar bahwa suatu saat kau akan terbang dari duniaku juga meski kita pernah menyatukan keringat kita di tengah malam yang syahdu. Aku berterima kasih kau tak melukaiku lebih jauh. Aku berterima kasih pula padaku yang kolot saat itu. apa jadinya jika aku mengagungkan nafsuku? Aku akan terjerat semakin jauh pada keyakinan kolotku. Aku akan diihantui oleh neraka yang merusak mimpiku, aku akan memohon dan menyembahmu untuk mengawiniku di depan bapakku. Mungkin saja seperti itu.
Aku tak merasa benar-benar salah telah melukaimu dengan keyakinan tololku saat itu. kenapa? karena kita ditakdirkan sama. Kau ingin bebas, aku pun ingin bebas…
entah.. aku belum menemukan lagi keyakinan lainnya yang lebih menyamankan aku selain ini.
padamu yang mungkin saja tersakiti oleh ini, aku tahu kau pasti punya otak untuk menafsirkan ini. dan itu tak lain adalah untukmu dan aku. untuk kebaikan kita berdua, semoga.

2 comments:

  1. surga neraka,,

    kadang kita terbelenggu oleh hal-hal yang tak yakin benar ada. terbelungga oleh metafora yang sayang,,, kadang diartikan dengan sangat leterlek.

    ah, sebentar, sebentar. mungkin bukan terbelenggu. tapi justru kita membelenggu diri kita dengan sikap-masa-bodoh sendiri, abai, dan kolot..

    ReplyDelete
  2. bukan membelenggu diri kita sendiri...terpaksa untuk mengikuti arah belenggu

    ReplyDelete

Write me your comment