Aku seorang wanita yang tengah berusia cukup untuk menjalin
hubungan serius dengan seorang pria yang kuanggap pantas memilikiku dan yang
menganggapku pantas memilikinya. Itulah yang terbenam dalam otak manusia yang
hidup di sekitarku. Bukan termasuk aku yang memiliki pikiran yang menurutku
kolot itu. mindset yang diinseminasi oleh nenek moyang tak kukenal. Tak berlaku
untukku.
Kenyataan yang harus kuhirup adalah aku merasa takut untuk
berkomitmen. yang kurasai adalah, aku begitu takut terhadap apa yang dinamai
pernikahan. ngeri sekali aku dibuatnya. Salah satu alasan mengapa begitu
kutinggikan kengerianku adalah aku tak mau hidup di bawah ketiak sang pria. aku
tak mau terkekang kebebasanku olehnya yang mengagungkan sakralnya pernikahan.
Tak mau. Tak sudi. Tak sudi aku dijadikan budak pria itu. apalagi jika pernikahan
itu sudah dibumbui dan mengatasnamakan tuhan. Mual rasanya.
Aku wanita yang mencintai kebebasanku. Tak bisakah aku hanya
kawin saja dan nantinya masuk surga dan kawin lagi tentunya. Yah, mereka bilang
kawin tanpa pernikahan itu sundal! Lalu apa aku harus menikah dulu untuk bisa
merasakan kawin?
Ah…Kawin kawin kawin. Itukah yang ada di otak semua orang?
Apakah itu tujuan kita diciptakan? Untuk kawin. Untuk menyusu. Kumenyusu
penismu, kau menyusu payudaraku. Itu saja kan yang nantinya ada dalam
pernikahan. Saling menyusu. Saling menikmati tubuh masing-masing.
Kenapa harus ada pernikahan? Jujurlah wahai kau pria! Kau
pun tak mau kan terjerat di dunia seperti itu. pasti jika ada pilihan, kau
pasti memilih tak ada yang namanya pernikahan! Jujurlah, pria! Kau pasti
terbebani untuk menghidupi hidup kami, menghidupi wanitamu yang kau berhasrat ingin
menyusu padanya. Menenggelamkan kemaluanmu pada rahimnya. Menghangatkan batu
ajianmu pada gua garbanya yang basah menggiurkan. Berkatalah. Jika ada pilihan,
pasti kau memilih untuk kawin saja. berkatalah sejujurnya, wahai kau pria. Aku
tak akan menyalahkanmu untuk itu. aku pun menginginkannya. Hanya kawin! Kawin
saja! kawin dengan orang yang kusuka tanpa terbebani dan membebani.
Aku sering bertanya. Kenapa untuk kain saja harus dengan pelegalan jika yang bersangkutan di
sini hanya aku, sang wanita dan kau, sang pria. Apa hubungannya dengan
pemerintah? Apa hubungannya dengan
agama? seperti mereka akan mengangkat keterpurukanku saja. tak ada
hubungannya. Toh jika aku mendapatkan kehinaan oleh adanya pernikahan yang
terpaksa, mereka justru semakin menuduhku yang tak becus. Bullshit apa itu
pernikahan. Tak ada hubungannya dengan mereka, apa lagi dengan masyarakat kolot
yang hanya bercocot. Otak tak pernah diasah, hanya mengikuti tanpa mengerti,
ah, seperti kumengerti saja apa yang benar. Tentu aku punya kebenaran sesuai
takaranku. Dan kebenaran itu adalah, aku takut adanya pernikahan yang akan
membelenggu dan memasungku ke dalam keterpurukan tanpa kebebasan.
No comments:
Post a Comment
Write me your comment