Untuk sang pecinta senja,
Mari bersulang bersama
Sekejab. Singkat. Namun pekat. Buih-buih masih tercecap
dalam rasa. Begitulah kita bertemu. Sempat ku merasa tak ada kecocokan diantara
kita. Dulu, sebelum tahu sedikit tentangmu. Hidup kita mungkin berbeda, pikirku
saat sebelum berceloteh pilu sendu dan haru denganmu.
Kita sang pesakitan. Persamaan itu yang kudapat dan melekat
erat. Pesakitan yang tersiksa karena dustanya cinta yang menipu kita, terbuai
karenanya. Cinta atau kebutuhan sebenarnya pun aku tak tahu pasti. Yang pasti
kita hidup sebagai pesakitan.
Derita kadang hinggap di sela tidur nyenyak kita. Begitu
mengganggu. Begitu menyesakkan. Siapa yang mau hidup sebagai pesakitan?? Kau
mau wahai sang pecinta senja? Pasti jawabanmu sama denganku. Tak mau. Namun apa
kau tahu? Terkadang bilur ini membahagiakan urat-urat kecewaku. Aku mengalihkan
luka itu kepada hal yang membuatku merasa gila. Aku pernah bercerita pada teman
sebelah hunian tak nyamanmu itu. salah satu teman berbagi ceritaku, bukan, teman
yang kubagikan sedikit dukaku. Aku melantunkan sajak-sajak biru lantaran kesah memberakutku, sakit. Tak ayal aku merengut saja seharian. Ah, terlalu
banyak jika kubilang seharian. Hanya beberapa jam saja. lalu setelahnya aku malah tertawa
padanya yang tengah sibuk melakukan entah apa. dia terlihat heran sepertinya.
Kubiarkan saja. aku lalu bilang bahwa aku merasakan hal yang aneh. Aku tak
merasa sedih tentang apa yang menimpa padaku, sesuatu tentangnya yang
menyakitkan jiwaku. Aku bahkan heran pada diriku sendiri. aku berkata padanya
bahwa aku menyukai peristiwa pilu yang meleburkan senyumku hari itu. aku
menikmati kesakitan itu, wahai sang pecinta senja. Kuberkata lagi padanya,
“begitu menginspirasi! Hidup yang kujalani begitu bergelora! Aku menyukai sakit
ini!”
Apakah aku gila? Apakah aku terlalu sakit sehingga tak
kurasakan sakit itu lagi? Apa aku hanya mencari-cari sesuatu untuk membuatku
nyaman hidup dalam zona kacau seperti itu? ah, kau belum tahu, sang pecinta
senja. Aral itu tentang aku yang terfitnah palsu. Aral itu menyebutkan dia yang
kucinta tak pernah sedikit pun mencintaiku. Kudengar itu dari mulut sampah.
Entah itu benar atau palsu. Aku sama sekali tak ingin menyiksa diri dengan
menyuntikkan derita itu pada nadiku. Terlalu perih.
Sudah kukatakan padamu sedari tadi. Aku seperti penggila
sang brutal. Aku mencintai liku. Aku mengagumi kelu. Membuatku merasa hidup.
Tapi, tak kan kusangkal. Aku merinduinya yang mencumbuku.
Aku ingin meringkuk lagi dalam hangatnya seperti fajar itu.
Arrrghhh..lelah aku! Dia pun tak memikir tentang adanya aku.
Sudah saatnya kuberburu tubuh yang mendambaku. Ingin terbebas dari segala angan
palsu.
Tidak. Akan kunikmati saja diriku sebagai sang pesakitan.
Apa kau masih sang pesakitan juga, sang pecinta senja? Mari kita bersulang saja.
meleburkan rasa sebentar saja. mungkin memang jalan kita, terpupuki aral
berliku untuk membuat kita menertawai kesakitan kita dalam sebait cerita.
Semoga suatu detik setelahnya kita akan menemukan cerita
bahagia yang mewarnai lebih berwarna dari pada hitam yang selalu kita konsumsi
untuk mempertahankan hidup kita yang seyogyanya ingin terbang bebas.
Terimakasih, sang pecinta senja. kau membuatku bergairah
untuk meracik lagi kebebasanku yang sempat terkebiri.
No comments:
Post a Comment
Write me your comment