Aku pernah berdebat tentang keyakinan. Melelahkan. Sangat
melelahkan untuk mengutarakan apa yang menjadi keyakinan kita kepada orang yang
justru tak ingin meyakininya, membantahnya.
Bukan aku bermaksud mengutukimu yang tak berkeyakinan sama
denganku. Bukan. Bukan bermaksud aku mencemooh keyakinanmu itu yang terlalu
menantang buatku. Kala itu. tak ada niat sama sekali menyebutmu tak bertuhan,
hanya kesimpulanmu saja yang keliru. Atau kau tak pernah memahamiku?
Benar bahwa ku melaknat apapun yang dijalani olehmu. Sangat
berbeda dengan kehidupanku sebelum memasuki kehidupanmu.
Aku yang kolot. Aku yang bebal. Aku yang bodoh. Kukatakan padamu tentang dosa,
padahal tak kutahui apa itu dosa. Kukatakan padamu kutakut akan api neraka,
padahal apakah neraka itu ada aku pun tak benar tahu. Keyakinanku saja. tak
berbukti di depan mata.
Wanita. Lemah katanya. Memang benar. Mudah terombang-ambing
atas keyakinan yang ia bawa sendiri. dengan mudahnya ia akan meluluh-lantak
keyakinannya atas nama cinta. Pikirannya tersodomi oleh butanya ia terhadap
cinta. Padahal ia tak tahu apa sebenarnya cinta itu. pikirku saat itu.
Aku tak mau melawan keyakinanku, yang membuat kita berdebat.
Kau pun tak mau tahu apa inginku, hanya nafsu. Aku membencinya.
Saat itu aku memang takut akan dosa. Saat itu aku memang
takut terbakar api neraka. Tapi dengan itu aku sadar bahwa tak selamanya aku
harus takut dengan momok seperti itu yang membelenggu. Momok yang tak terbaca
oleh mata kepala.
kini.... Bukannya aku murtad dan memilih untuk tak percaya, tak
yakin, tak mengimani lagi apa yang saat itu ingin kubawa sampai mati. Aku hanya
akan menjadi aku yang berpikir, bukan tersodomi. Aku ingin berdiri pada
kemampuan otakku yang masih dapat mencerna realitas. Aku ingin kokoh melawan
kelemahanku yang terlalu sering diperkosa oleh keyakinan leluhur. Bukannya aku
bebal dan tak mau lagi belajar dan meyakini, aku sudah bilang dari tadi. Bukan
itu. yang kuingini hanya ingin memikir lagi. Aku tak mau ditelanjangi jika kau
tak telanjang pula.
Yang ada di otakku saat ini tentang adu mulutku kala itu
telah sedikit membantuku untuk berdiri sendiri tanpamu. Ya. Kau memilih
meninggalkanku yang kau pikir kolot dan berbeda denganmu yang mencintai
kebebasanmu. Kau tau? Aku iri padamu tentang hal itu. terkadang aku harus
berjuang sendiri melawan egoku, melawan nafsuku. Demi apa? demi ketakutanku
pada neraka. Demi kengerianku pada siksanya.
Maaf, aku memang tak bisa membebaskan jeruji yang merekat
erat saat itu (ingat!! saat itu!!). aku justru menyakitimu. Kau pasti merasakannya. Dikecewakan
olehku yang kolot. Maaf, tak ada maksud seperti itu, sayangku.
Ah, aku harus memberitahumu apa yang ada dalam pikirku saat
ini tentang perdebatan kita itu. saat ini aku menyadari bahwa aku memilih jalan
yang tepat untuk tak terbuai oleh nafsuku saat itu. kau tahu kenapa? aku hanya
ingini kebebasan, sepertimu. Aku sadar bahwa tak selamanya kau akan selalu
temaniku. Aku sadar bahwa suatu saat kau akan terbang dari duniaku juga meski kita
pernah menyatukan keringat kita di tengah malam yang syahdu. Aku berterima
kasih kau tak melukaiku lebih jauh. Aku berterima kasih pula padaku yang kolot
saat itu. apa jadinya jika aku mengagungkan nafsuku? Aku akan terjerat semakin
jauh pada keyakinan kolotku. Aku akan diihantui oleh neraka yang merusak
mimpiku, aku akan memohon dan menyembahmu untuk mengawiniku di depan bapakku.
Mungkin saja seperti itu.
Aku tak merasa benar-benar salah telah melukaimu dengan
keyakinan tololku saat itu. kenapa? karena kita ditakdirkan sama. Kau ingin
bebas, aku pun ingin bebas…
entah.. aku belum menemukan lagi keyakinan lainnya yang lebih menyamankan aku selain ini.
padamu yang mungkin saja tersakiti oleh ini, aku tahu kau pasti punya otak untuk menafsirkan ini. dan itu tak lain adalah untukmu dan aku. untuk kebaikan kita berdua, semoga.