Wednesday, 30 January 2013

biarkan waktu bicara part 3


Matanya nanar walau aku tak melihatnya langsung. Isaknya semakin keras. Jalan yang kami hantam dengan sepeda motor menjadi saksi bisu kesakitan yang ia pendam. Aku hanya terdiam di jok belakang. Kucoba sedikit menghiburnya dengan belaian.
“aku nggak ngerti mesti gimana. Apa aku harus tanya sama dia hubungan ini udah berakhir atau tidak? Apa lelah digantung kayak gini terus.” Ucapnya sambil terisak.
Malam itu begitu kejam dan kelam. Ribuan memori masuk dalam ubun-ubunnya. Lalu sedikit yang bisa aku katakan padanya. “yaudah, bilang aja kamu maunya gimana. Tanya sama dia maunya kayak apa.”
Benar. Sahabat baikku itu masih saja memendam perasaan pada lelaki yang ia cinta. Seperti yang kukatakan, banyaknya kenangan bersama menambah beban dalam rasa. Lalu, ada jarak juga yang menyita perhatian mereka. begitu lumpuh ikatan cinta yang seperti itu.
Usai tangisnya yang merebak tiba-tiba ia mengatakan hal lain. Ya, begitulah kami berdua. Seakan tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya, pembahasan lain yang mencuat di lidah pun bisa menjadi lebih menarik untuk dicermati lagi. Mengalir lagi. Bercerita lagi.
“mas itu udah mutusin”
“ha? Mutusin apa?” jawabku.
Sms itu dikirimnya sebelum aku berniat untuk mengunjungi sahabatku itu di kota kediamannya. Belum ada jawaban apa-apa. saat aku bertatap muka langsung dengannya, ia memperlihatkan obrolannya dengan lelaki calon suaminya itu.
Sebelumnya aku sempat ceritakan bagaimana mereka berdua saling ingin mengetahui lewat jejaring maya. Iya. Hal itu menjadi awal pendekatan mereka. temanku berkata padaku bahwa ia akan mencoba membuka hatinya untuk lelaki pilihan bapaknya ini. sekedar ingin mengenalnya lebih baik lagi. Bukan apa-apa. ia hanya ingin mempertahankan tali silaturrahmi. Syukur kalau ternyata berjodoh, kalau tidak? Yah banyak positifnya. Ia pun sepertinya menginginkan sosok kakak lelaki di dalam hidupnya.
Saling menyapa di dunia maya berlangsung berhari-hari. Mereka saling mengenalkan diri. Kedekatan mereka terbentuk. Tidak drastis, tapi perlahan dan pasti. Meski kadang sahabat baikku itu lalu menggerutu akibat pesannya tak terbalas langsung. Ah, hal yang biasa bagi seorang wanita. Kami memang selalu merasa ada hal yang salah ketika pesan atau kata-kata kami tak direspon dengan baik.
Begitulah sampai akhirnya mereka berdua mencuatkan permasalahan tentang bagaimana kelanjutan cerita mereka.
“dia bilangnya nanti kalau aku sekeluarga berkunjung ke rumahnya” sahabatku berkata antusias meskipun dengan nada datar.
“apa? berkunjung satu keluarga ke rumahnya? Sumpah. Kalau begini kejadiannya, ini pasti serius. Gila. Ini udah bener-bener serius!” responku dengan berkobar saking syoknya.
“lah itu dia. Aku juga bingung. Dia bilangnya gitu.” Lanjutnya bercerita.
“lalu? Kenapa kamu nggak tanya langsung aja sih sama orangnya? Kenapa harus ketemu langsung. Apalagi ini pakai acara ketemu keluarga gitu. Bener. ini pasti dia positif.” Tebakku
“terus gimana?”
“coba deh kamu tanya sama dia, emangnya kenapa kok dia nggak mau bilang langsung?” saranku.
“kan kamu tahu, dia orangnya agak-agak kolot gimana gitu. Dia aja nggak berpikir buat ketemu langsung berdua sama aku atau gimana gitu. Ini nih, dia emang nggak pernah pacaran soalnya.”
Ingin rasanya aku tertawa, tapi mau gimana. Aku juga dibuat bingung oleh lelaki alim itu. kenapa temanku itu bisa mempunyai jalan hidup yang seperti ini. ah, begitu beruntungnya dia menemukan sosok lelaki yang sudah jarang bisa ditemui lagi di dunia hitam ini.
“yaudah deh. Mungkin nanti aku tanya sama dia, kenapa dia tidak mau ngasih tau langsung. Kenapa dia harus ngomong pas aku sekeluarga berkunjung ke rumahnya. Aduh.. bingung.” Lanjutnya.
“bener tuh. Ada dua kemungkinan. Dia tidak cocok dengan kamu dan sungkan ngomong sama kamu langsung. Makanya dia pengen ngomong baik-baik waktu sekeluargamu berkunjung. Atau kemungkinan keduanya, dia ingin ada ikatan langsung saat keluarga kalian berdua bertatap muka lagi. Hayo.. yang mana coba?” aku memberikan pendapatku.
Ketakutan terbayang di mukanya. Bukan ketakutan terhadap makhluk gaib. Itu seperti ketakutan terhadap diri sendiri. mungkin masih banyak hal yang ia gantung dari ceritanya padaku.
Mari kita tunggu kelanjutan kisah ini di lain waktu.



No comments:

Post a Comment

Write me your comment