Namanya Shihab. Dia adik laki-laki saya
satu-satunya. Satu-satunya pula yang selalu membuat ulah. Wajar, dia pejantan
satu-satunya dari hasil perkawinan sperma ayah dan indung telur ibu. Dulu,
betapa bersyukurnya ibu saya ketika ia lahir ke dunia. Betapa bangganya ia
hingga ia tak bisa berkata-kata. Memang, aku pun bahagia memiliki adik
laki-laki setelah sebelumnya mempunyai dua adik perempuan, meski yang satu,
yang paling dekat dengan saya, telah diambil kembali oleh Tuhan. Senang hati
saya memiliki adik laki-laki yang sudah lama pula diimpikan ibu dan ayah saya.
Saya pikir ibu saya akan hidup lebih lama,
sayang, hanya tiga tahun saja ia menikmati buah hatinya yang berjenis kelamin
seperti Adam. Sayang pula, Shihab hanya bisa menikmati tiga tahun saja pelukan
ibu saya. Kadang saya merasa saya beruntung bisa memilikinya lebih lama dari
adik-adik saya, tapi ketika melihat Shihab yang kini beranjak dewasa, selama
itu pulalah ia tak pernah terbelai oleh ibu saya.
Memang pilu jika membayangkan Shihab kecil
yang harus terpisah dari ibu. Anak sekecil itu yang ia sendiri saja tak pernah
ingat kejadian sewaktu ibu tiada, sudah harus terlepas dari kasih sayang
ibunya. Hanya tiga tahun usianya saat itu. Kini ia sudah hampir 15 tahun. Sudah
akil baligh. Sudah seharusnya tahu
dan mengenal apa rasanya cinta. Tapi saya ragu, apa dia sudah sebesar itu
sekarang? Saya masih tetap menganggapnya anak kecil yang dulu ditinggal mati
ibunya. Anak kecil yang tak menangis sama sekali ketika mencium jasad ibunya. Iya.
Karena ketidaktahuannya. Ia tak tahu apa yang terjadi kala itu.
Berbicara tentang cinta. Shihab sudah
pernah bercerita bahwa ia menyukai gadis manis anak Pak Kiai di sekitar rumah
saya. Tinggi juga seleranya. Gadis itu memang mempesona. Selain pintar, ia pun
cantik dan tidak banyak bicara. Kutanya Shihab suatu ketika, apakah ia tak
ingin mengungkapkan perasaannya. Ia jawab. Sudah pernah mengatakannya. Kutanya lagi
dengan berondongan pertanyaan menggoda. apa jawabnya? Pasti ia menolak? Ia jawab.
Iya. Kukatakan padanya. Iyalah, kamu jelek owk. Malesan, ga pernah belajar, ga
dapat ranking. Pantas ia menolak. Ia tertawa. Aku dan adik perempuanku yang
ikut ada bersama kami juga tertawa. Kami bertiga tertawa, seperti tak ada
beban. Anak-anak manusia yang hanya bisa menikmati masa hidupnya tanpa
kehadiran ibundanya. Yah, hanya dengan itu saja saya bahagia.
Ada satu hal yang saya benci dari Shihab. Ia
selalu tak pernah mendengarkan nasehat apapun yang keluar dari mulut ayah. Apalagi
saya. Selalu ada saja balasan perkataan yang akan ia lontarkan. Kesal rasanya. Dibantahnya
apa saja. Seperti tak pernah merasa salah. Tapi ya sudahlah. Lelah lama-lama
jika berdebat dengannya. Mungkin memang ada baiknya jika kadang hanya
mendiamkannya.
Ah, pernah suatu ketika ia dimarahi ayahku.
Marah besar, entah apa perkaranya tak tahu. Tiga hari ia tak disapa atau diajak
bicara ayahku. Tak sadar pula anak itu. Tapi semakin lama semakin menempel pada
ayahku. Ia godai ayahku. Memeluk ayah hingga ayah menampik pelukannya. Bergelayutan
pada ayah hingga ayah merasa iba padanya. Ah, begitu itu yang kadang membuat
ayah kasihan padanya. Sering kali ayah menangis karena Shihab. Shihab kecil
yang dulu menggemaskan bertransformasi menjadi Shihab ABG yang kadang
menjengkelkan, tapi selalu membuat kami akhirnya tertawa. Entah karena
kepolosannya, entah karena celotehannya. Bagaimanapun ia tumbuh, kami tetap
menyayanginya. Dan kami, ingin melihatnya tumbuh menjadi lelaki yang kuat dan
tangguh. Menjadi lelaki yang bertanggung jawab pada keluarganya. Menjadi adik
laki-laki saya dan adik perempuan saya yang nantinya bisa kami andalkan. Semoga.
Semoga ibu saya di sana juga selalu mengiringi jalannya.
pic of Shihab and Mia