Friday, 21 February 2014

tentang adik saya

Namanya Shihab. Dia adik laki-laki saya satu-satunya. Satu-satunya pula yang selalu membuat ulah. Wajar, dia pejantan satu-satunya dari hasil perkawinan sperma ayah dan indung telur ibu. Dulu, betapa bersyukurnya ibu saya ketika ia lahir ke dunia. Betapa bangganya ia hingga ia tak bisa berkata-kata. Memang, aku pun bahagia memiliki adik laki-laki setelah sebelumnya mempunyai dua adik perempuan, meski yang satu, yang paling dekat dengan saya, telah diambil kembali oleh Tuhan. Senang hati saya memiliki adik laki-laki yang sudah lama pula diimpikan ibu dan ayah saya.
Saya pikir ibu saya akan hidup lebih lama, sayang, hanya tiga tahun saja ia menikmati buah hatinya yang berjenis kelamin seperti Adam. Sayang pula, Shihab hanya bisa menikmati tiga tahun saja pelukan ibu saya. Kadang saya merasa saya beruntung bisa memilikinya lebih lama dari adik-adik saya, tapi ketika melihat Shihab yang kini beranjak dewasa, selama itu pulalah ia tak pernah terbelai oleh ibu saya.
Memang pilu jika membayangkan Shihab kecil yang harus terpisah dari ibu. Anak sekecil itu yang ia sendiri saja tak pernah ingat kejadian sewaktu ibu tiada, sudah harus terlepas dari kasih sayang ibunya. Hanya tiga tahun usianya saat itu. Kini ia sudah hampir 15 tahun. Sudah akil baligh. Sudah seharusnya tahu dan mengenal apa rasanya cinta. Tapi saya ragu, apa dia sudah sebesar itu sekarang? Saya masih tetap menganggapnya anak kecil yang dulu ditinggal mati ibunya. Anak kecil yang tak menangis sama sekali ketika mencium jasad ibunya. Iya. Karena ketidaktahuannya. Ia tak tahu apa yang terjadi kala itu.
Berbicara tentang cinta. Shihab sudah pernah bercerita bahwa ia menyukai gadis manis anak Pak Kiai di sekitar rumah saya. Tinggi juga seleranya. Gadis itu memang mempesona. Selain pintar, ia pun cantik dan tidak banyak bicara. Kutanya Shihab suatu ketika, apakah ia tak ingin mengungkapkan perasaannya. Ia jawab. Sudah pernah mengatakannya. Kutanya lagi dengan berondongan pertanyaan menggoda. apa jawabnya? Pasti ia menolak? Ia jawab. Iya. Kukatakan padanya. Iyalah, kamu jelek owk. Malesan, ga pernah belajar, ga dapat ranking. Pantas ia menolak. Ia tertawa. Aku dan adik perempuanku yang ikut ada bersama kami juga tertawa. Kami bertiga tertawa, seperti tak ada beban. Anak-anak manusia yang hanya bisa menikmati masa hidupnya tanpa kehadiran ibundanya. Yah, hanya dengan itu saja saya bahagia.
Ada satu hal yang saya benci dari Shihab. Ia selalu tak pernah mendengarkan nasehat apapun yang keluar dari mulut ayah. Apalagi saya. Selalu ada saja balasan perkataan yang akan ia lontarkan. Kesal rasanya. Dibantahnya apa saja. Seperti tak pernah merasa salah. Tapi ya sudahlah. Lelah lama-lama jika berdebat dengannya. Mungkin memang ada baiknya jika kadang hanya mendiamkannya.

Ah, pernah suatu ketika ia dimarahi ayahku. Marah besar, entah apa perkaranya tak tahu. Tiga hari ia tak disapa atau diajak bicara ayahku. Tak sadar pula anak itu. Tapi semakin lama semakin menempel pada ayahku. Ia godai ayahku. Memeluk ayah hingga ayah menampik pelukannya. Bergelayutan pada ayah hingga ayah merasa iba padanya. Ah, begitu itu yang kadang membuat ayah kasihan padanya. Sering kali ayah menangis karena Shihab. Shihab kecil yang dulu menggemaskan bertransformasi menjadi Shihab ABG yang kadang menjengkelkan, tapi selalu membuat kami akhirnya tertawa. Entah karena kepolosannya, entah karena celotehannya. Bagaimanapun ia tumbuh, kami tetap menyayanginya. Dan kami, ingin melihatnya tumbuh menjadi lelaki yang kuat dan tangguh. Menjadi lelaki yang bertanggung jawab pada keluarganya. Menjadi adik laki-laki saya dan adik perempuan saya yang nantinya bisa kami andalkan. Semoga. Semoga ibu saya di sana juga selalu mengiringi jalannya.



pic of Shihab and Mia

Thursday, 20 February 2014

missing mom (again)

Hi, Mommy…. It is good to talk to you this way. So.. you should understand what I am saying, okey. I know you good in English too that I never know. Yes, I have ever heard you talk to the mister bule when I was a little girl. It was really long time ago. Yes. It was too long to not remember it. It was the time when this town so much wealthy. There were many foreigners here to increase our income, here, in our country. It happened before the economic condition in this country collapse. Was that right, Mom?? Oh my god what I was talking about. Do you understand that, Mom. I know you do. Right? But let us not to talk about the hard thing like that. I just need a little rest to just talk about chips thing. Easy and simple.
Mom… I know u know me missing you all the time. Of course, Mommy. It was taking almost eleven years since you closed your eyes forever. I didn’t remember the date, and I didn’t want to remember when I cried so much loud that I couldn’t let you go from my life, from our family’s life. Without you this family never be perfect. U made it be. But you went there, catching up with my lil sister who went first. I hope you two had met there and live well waiting us to be one as a family in heaven.
Mom… do you remember your little cute son, the only son u dreamed forever to have? He was in his 13th now, 14th in this year, the age of mine when you left us. Lemme tell you a little thing about him. You know, Mom. He grew up so fast, he almost like a man.. but I thought he never felt that way. Yeah, I know. He was the youngest, and he always act like kids all the time, though. Sometimes I cried for him to never have your kindness of mother soul, was that pity as I thought? Whatever. I love him, though. I also love my lil sister who grew faster than me. I love them till death. And I don’t want you to be sad to let us go, I know I can have a strength to make them live well. I promised, Mom.

Well, Mom.. have I ever said I love you directly? No? yes.. I never did, right? I know, Mom. I didn’t have that chance anymore. But I know you could hear me as well as you hear me begging for something I want and I yelled at the world till you made my wishes come true. Yes, Mom. I wanted to say I love you. So I miss you.. thank you for the whole life of yours to raise me up till I have a good life like this. I knew I just can have you for a little while. But you would be in my heart forever. I love you.

Wednesday, 5 February 2014

tulisan ke 100

Saya ingin sekali bisa membaca pikiran. Terutama membaca pikiran orang-orang yang saya sayang. Saya ingin tahu benar, apa yang dimaui mereka. Saya begitu ingin memahami mereka. Apalagi jika saya mengetahui saya salah. Saya ingin tahu  dengan cara apa saya bisa dimaafkan.
Tapi apakah benar dengan mengetahui pikiran mereka saya lantas bisa bahagia? Bisa lebih sempurna? Jangan-jangan nanti saya kecewa. Jangan-jangan nanti saya terluka. Mungkin memang benar Tuhan tidak memberikan kita kemampuan itu, karena memang tiada guna selain membuat celaka.
Yah, tapi terkadangan saya ingin sesekali diberikan daya lebih untuk tahu pikiran orang-orang di sekitar saya. Saya ingin tahu seperti apa saya di mata mereka. Mungkin saya memang egois, mungkin saya memang suka semaunya, mungkin saya memang suka tega, tidak peka, itulah. Saya mengakuinya. Tapi apakah keburukan saya itu akan lebih buruk atau lebih tidak buruk di mata mereka?
Sudah, mari hentikan rasa ingin saya untuk bisa membaca pikiran. Saya rasa hal itu tak akan mungkin hidup dalam diri saya.
Lalu, apa yang akan saya  bicarakan lagi?
Sesekali saya ingin membicarakan cinta. Sudah lama saya tidak menulis tentang cinta. Ah, iyakah? Terakhir menulis tentang cinta?? Saya lupa. Sungguh. Mungkin baru beberapa hari yang lalu. Buka di sini, tapi di hati saya. Saya mungkin jarang sekali berbicara mengenai hal ini, tapi percayalah. Saya tidak mati rasa.
Saya ingin menuliskan sesuatu di sini, untuk siapa? Rahasia. :D
Aku melihat bayangan putih
Bukan setan, pocong, kuntilanak, atau sebagainya
Aku melihat sekelebat cerah
Bukan matahari yang kini memerah
Aku melihat kerlip kekuningan
Bukan sorotan lampu jalan,
bukan pula bintang di angkasa yang menggantung riang
aku melihatmu, melihat sinar yang matamu
aku melihatmu, melihat kerlip cerah di senyummu
lalu aku terpaku
aku terdiam lama dan tak kunjung tahu menahu
apa ini yang mengaliri pedihku?
Itu kamu, kamu yang ada di sini, di hamparan dalamnya hati
Kau tahu?
Aku selalu suka caramu menggenggam tanganku yang dingin
Aku selalu menyukai pembicaraan kita yang kadang tak masuk akal
Aku selalu suka caramu tertawa yang membuat duniaku berwarna
Aku tentu saja suka bersandar di bahumu untuk sekedar melepas lelahku
Nah, aku tersenyum sekarang. Aku selalu begitu jika memikirkanmu
Sudah, aku sekarang tersipu malu
Pasti sekarang kau membacai tulisanku
Cukup. Aku cukupkan tulisanku.
Tapi tenang saja, sayang, tak akan kusudahi cintaku padamu.

Nb: tulisan ini begitu kacau, tapi ya terserah saya. Kalau tidak suka, tak usah baca. Eh, jangan, kalu ada masalah dengan tulisan saya, silakan komentar. Kalau diam, tandanya tak ada masalah bukan?? :D



Tuesday, 4 February 2014

sariawan

Saya belum pernah membaca karakter atau tokoh di novel terkena penyakit yang namanya sariawan. Kalau seandainya ada yang pernah tahu, tolong, beritahu saya judul novel itu biar saya membacanya. Sebegitu tidak pentingkah sariawan menurut penulis-penulis novel itu? Ah, yang jelas saya ingin tahu karena saya sedang mengalami sebuah peristiwa di mana mulut saya terluka, menganga, perih, sakit, yah, begitulah. Kau tahu sendiri jika menderita sariawan.
Sariwan. Kenapa saya bisa sering terkena sariawan. Mungkin memang makanan yang saya konsumsi tidak terlalu banyak membantu kesehatan saya. Mungkin juga karena susunan gigi saya yang tidak mendukung. Saya beritahu padamu, gigi saya tak ada yang rata. Semua mengandung taring. Yah, mungkin hanya gigi depan saya yang atas yang masih sedikit rata, meskipun, hmm.. meskipun sama juga, posisinya menjorok ke dalam. Kau ingin tahu gigi taring saya? Satu di bagian kiri atas terkena guncangan gigi lainnya, hingga akhirnya ia tak punya tempat bernaung untuk kehidupannya. Lantas ia akhirnya memilih untuk menjorok ke depan. Ah, pusing sendiri kau nanti jika kujelaskan satu persatu gigi saya. Yang pasti gigi saya tidak rata. Itu saja. Dan kau tahu lagi, itulah mengapa saya sering menggigit sendiri mulut saya hingga terluka. Itu. Benar itu. Sariawan!
Pernah suatu hari, dulu sekali, saya ingin mencoba membuat rata gigi saya dengan sistem pemagaran. Ya, sistem behel kalau bahasa afdholnya sekarang. Tapi sayang, sayang beribu sayang. Saya urungkan niat saya itu karena saya harus merelakan satu gigi saya tercerabut dari gusi saya. Saya tentu tak rela. Apalagi sayang pernah mendengar bahwa jika gigi normal dicabut, akan berdampak pada kerusakan saraf. Takutlah saya. Bagaimana jika saya nanti gila karena saraf saya putus? Putus cinta saja sakit, apalagi putus saraf. Tidak terbayangkan betapa saya akan menangis setahun penuh (mungkin saya akan menangis sepanjang hidup saya, di rumah sakit jiwa, jika saya akhirnya gila tentu saja).
Yah, begitulah tentang curahan sariawan saya. Betapa sangat mengganggunya luka yang menganga pada mulut saya itu. Hingga akhirnya saya rela, bahkan membuka mulut lebar-lebar untuk mengkonsumsi makanan yang rasanya nauzubillah kecutnya (ngaruh nggak sih makan yang kecut-kecut. Katanya vitamin C kan yang kecut-kecut. Lah, emangnya saya hamil? Ngidamnya yang kecut, hah, entahlah)
Cukup sekian dan terima kasih. Semoga dengan ini penderitaan yang kamu rasakan sedikit terkurangi, karena di sini saya merasakan sariawan ini begitu melukai. Sakit hingga ke ulu hati.


Sunday, 2 February 2014

Makhluk masa lalu

pikiranku melayang. mungkin sekarang telah terbang ke awan-awan. aku berharap ada segerombolan awan yang lalu menghiburnya. karena apa? karena pikiranku ingin pergi jauh dariku. jika pikiranku pergi, aku harus berpikir dengan apa nanti? pikiranku memang terkadang liar, terkadang jinak, terkadang membosankan dengan pembahasan yang itu-itu saja. tapi, aku mencintainya. pikiranku yang kupuja. pikiranku yang bisa membawaku lepas dari belenggu kepenatan yang menyiksa.
yah, paling tidak, jika nanti pikiranku melayang, awan putih bisa sekedar menenangakannya untukku. paling tidak awan itu bisa mencoba berubah bentuk dengan menariknya hingga pikiranku nanti senang. paling tidak awan itu bisa menghentikan pikiranku dari pikiran untuk lari dari diriku. dan akhirnya pikiranku bisa kembali lagi padaku. memenuhi hariku dengan berbagai ide-ide cemerlang untuk masa depan.
tapi terkadang aku ingin pikiranku pergi dariku. aku ingin mengusirnya jika tiba-tiba dia mulai menyesakiku dengan makhluk-makhluk di masa laluku. hal yang paling aku tidak suka, mengingat. aku tidak suka mengingat. dan jika pikiranku memaksaku mengingat, aku akan murka dan ingin segera melemparkannya ke neraka.
pikiranku suka sekali menyimpan memori. berbagai gambar terekam, berbagai adegan terfilmkan dengan rapi di deretan memori. ada kalanya aku memang suka jika pikiranku mengajakku diam dan mengingat ketika bahagia menjelangku. tapi aku akan mulai gila jika pikiranku menarikku pada makhluk masa lalu yang tak begitu jelas dalam ingatan. kepalaku selalu saja berhasil dibuatnya nyeri, dibuatnya menggerutu dan mengiba kelu. ah, kenapa juga aku selalu benci mengingat makhluk masa lalu. bukannya aku tidak menghargai kebaikan mereka, tapi aku hanya tak ingin mengingatnya. ah, satu saja makhluk yang bisa kutolerir keberadaannya. ibu. yah, ibu saja. ibu yang melahirkan aku ke dunia. tentu saja aku bisa dengan mudah mengingatnya. bukan hanya ingat. di luar kepala sudah. untuk hal itu, aku tak bisa marah pada pikiranku.

Saturday, 1 February 2014

what is happy family?


Saya tiba-tiba ingin hilang ingatan jika sudah menyangkut persoalan “happy family”. Dulu mungkin saya merasa kalau bahagia di dalam keluarga itu saat ibu, ayah, saya, dan adik-adik saya menghabiskan waktu bersama di pantai. Memakan bekal yang dibawa ibu saya di sana dengan menggelar tikar usang. Lalu, bermain air di pantai pagi yang bening hingga bisa lihat berbagai kerang berkilauan tanpa menyibak airnya. Bahagia lainnya? Tentu saja ketika permintaan saya dituruti ayah ibu saya. Yah, pastinya sering dipenuhi. Tahu kenapa? Karena jika sampai saya tak mendapatkan apa yang saya minta, saya pasti akan mencoba mengancam untuk bunuh diri, lompat dari genteng rumah nenek saya yang hanya tiga meteran dari permukaan tanah. Entahlah itu benar-benar terjadi atau tidak, yang pasti sepupu saya yang menceritakan kenakalan saya di masa lalu.
Lalu apa itu “happy family” yang sekarang saya miliki? Entah. Apa saya masih memilikinya atau tidak. Yang jelas, setelah ibu saya pergi meninggalkan dunia hal yang pernah kami lakukan bersama seakan turut pergi bersamanya. Tak ada lagi libur di pantai. Tak ada lagi makan bekal. Tak ada lagi melihat air laut yang sebening Kristal. Saya sudah ditinggal pergi semua itu, atau sayalah yang sudah pergi meninggalkan semua kebahagiaan itu. Saya pula tak tahu menahu.
Ah, sekarang saya bisa mengartikan bahagia lebih sederhana dari sekedar berlibur bersama-sama. Saya merasa bahagia jika bisa berbincang bersama ayah saya, bercanda dengan adik-adik saya, dan bisa memasakkan masakan yang lezat untuk mereka (tidak termasuk ayah saya karena dia tak pernah mau memakan masakan saya, hehe). Memang saya tidak jago memasak. Tapi saya suka mencobai resep yang sekiranya saya dapat menemukannya di pasar dekat rumah saya. Biasanya saya dapat mood untuk memasak saat libur dari dunia kerja, sabtu dan minggu. Saya suka melirik resep masakan di web dan mencoba merealisasikannya. Yah, seringkali rasanya tidak karuan, tapi di situlah bahagia saya dapatkan. Jackpot saya dapatkan ketika saya berhasil membuat masakan yang saya inginkan dengan hasil yang enak (bisa dilihat seberapa cepat masakan saya itu terlahap oleh lidah adik-adik saya). Saya saat itu berdobel bahagia.
Happy family?
Hanya itu yang bisa saya deskripsikan dari hati terdalam saya.
Mungkin saja ada banyak yang bisa membuat saya bahagia. Tapi jika menyangkut masalah keluarga… sulit bagi saya menjelaskan. Dengan berbagai lika liku yang terjadi dalam keluarga saya setelah kepergian ibunda tersayang. Entahlah… mungkin saja ibu memang tiang kebahagiaan keluarga saya. Dan dia telah pergi, rumah saya ambrukkah kini?? Keluarga saya hancurkah kini?? Entahlah. Mungkin saya yang harus membuat tiang itu ada lagi itu menyangga seluruh hidup bahagia anggota keluarga saya. 

Draw a map, find a path take a deep breath….
Wishing it comes true. Get a Happy family once more and forever will be.



ps: images taken from google

That Night

Lepas tertawaku kali ini. Parade komedi yang apik telah menyudahi kekesalan hati. Namun hati ini kadang merasa binal, mencoba menapaki apa yang seharusnya hanya menjadi angan, ingini hari tak pernah berganti.
**
Kupeluk ia erat. Seperti ia akan pergi sejauhnya dari genggaman tanganku. Napas kuatur satu-satu hanya demi membuat semua yang menghantui menghamba pada harapku. Bahkan, tanganku yang biasanya dingin kulawan dengan seluruh hawa panas dari tubuhku. Hingga sejengkal saja rasa takut menyerangku, aku akan membakarnya. Seperti aku mempunyai elemen api dalam nadiku. 
Lalu aku lagi-lagi memeluknya dengan sisa kekuatanku. Berharap akan ada temali mengikat dia dan aku. Lantas kurasa dia seperti merasa yang sama. Entah juga aku tak tahu. Bendungan apa ini yang akhirnya tumpah menyeruak di hati. desirannya semakin kuat ketika ia menggenggam tanganku erat. Oh, Tuhan. bolehkah aku mencintainya sekuat aku mencintaiMu? 
Mungkin seharusnya apa yang aku rasakan kukatakan padanya. Bahwa aku tak rela dia melepas genggamannya, meskipun saat itu ia harus melawan mautnya. Mungkin seharusnya tak kukatakan bahwa seandainya aku bisa mengatakan apa yang ada di hatiku adalah melulu tentang aku takut kehilangannya. Mungkin aku hanya boleh memikirkannya dalam hati saja jika memang benar aku ingin dia yang hanya ada. Atau mungkin juga aku harus bilang bahwa aku tak ingin hujan berhenti dan membawaku pulang tanpanya. Aku hanya tak ingin malam itu berakhir begitu saja. Paling tidak, tidak berakhir secepat itu. Tapi kau tahu, hal itu seperti tahayul yang menyebar ke pembuluh nadi. Antara harap dan nyata. Antara percaya dan tiada. Tapi, bisakah kau memelukku sekali lagi? sekali saja yang erat hingga aku bisa membawa hangatmu dalam bahagia.