Saturday, 1 February 2014

That Night

Lepas tertawaku kali ini. Parade komedi yang apik telah menyudahi kekesalan hati. Namun hati ini kadang merasa binal, mencoba menapaki apa yang seharusnya hanya menjadi angan, ingini hari tak pernah berganti.
**
Kupeluk ia erat. Seperti ia akan pergi sejauhnya dari genggaman tanganku. Napas kuatur satu-satu hanya demi membuat semua yang menghantui menghamba pada harapku. Bahkan, tanganku yang biasanya dingin kulawan dengan seluruh hawa panas dari tubuhku. Hingga sejengkal saja rasa takut menyerangku, aku akan membakarnya. Seperti aku mempunyai elemen api dalam nadiku. 
Lalu aku lagi-lagi memeluknya dengan sisa kekuatanku. Berharap akan ada temali mengikat dia dan aku. Lantas kurasa dia seperti merasa yang sama. Entah juga aku tak tahu. Bendungan apa ini yang akhirnya tumpah menyeruak di hati. desirannya semakin kuat ketika ia menggenggam tanganku erat. Oh, Tuhan. bolehkah aku mencintainya sekuat aku mencintaiMu? 
Mungkin seharusnya apa yang aku rasakan kukatakan padanya. Bahwa aku tak rela dia melepas genggamannya, meskipun saat itu ia harus melawan mautnya. Mungkin seharusnya tak kukatakan bahwa seandainya aku bisa mengatakan apa yang ada di hatiku adalah melulu tentang aku takut kehilangannya. Mungkin aku hanya boleh memikirkannya dalam hati saja jika memang benar aku ingin dia yang hanya ada. Atau mungkin juga aku harus bilang bahwa aku tak ingin hujan berhenti dan membawaku pulang tanpanya. Aku hanya tak ingin malam itu berakhir begitu saja. Paling tidak, tidak berakhir secepat itu. Tapi kau tahu, hal itu seperti tahayul yang menyebar ke pembuluh nadi. Antara harap dan nyata. Antara percaya dan tiada. Tapi, bisakah kau memelukku sekali lagi? sekali saja yang erat hingga aku bisa membawa hangatmu dalam bahagia.

No comments:

Post a Comment

Write me your comment