Sunday, 9 December 2012

Prakata untuk Cuaca yang Begitu Muramnya


Senja makin muram. Gerimis pun perlahan turun dari singgasananya. Udara begitu dingin dengan angin yang bertiup meremangkan tubuhku. Semakin gelap saja langit yang biasanya biru. Tak mungkin membiru tentu saja sewaktu matahari telah lelah menghibur bumi belahan sini, di mana aku bisa menatapnya pagi, siang, dan sore hari. Kini, matahari telah kembali ke belahan bumi lain. Mencoba menggembirakan kehampaan hati orang-orang yang berkeliaran di sana. lalu, nasibku di sini yang kini mereguk sepi tanpa sang matahari.
Sedari tadi aku menatap pada ponsel touchscreenku. Men-slide berulang-ulang tanpa ada tujuan pasti. Melihat pesan masuk tanpa membacanya secara rinci. Sebenarnya yang kuinginkan Cuma satu. Aku ingin sekali mengirim pesan pada seseorang. Seseorang yang kini tengah kupikirkan. Seseorang yang sedang kurindukan. Namun sayang. Aku terlalu takut melihat namanya dalam daftar kontakku. Aku takut tak bisa kukendalikan diriku untuk benar-benar mengirimkan kata rindu itu padanya. Tidak. Tidak untuk saat ini.
Beberapa menit berlalu. Dengan berat kugeletakkan begitu saja ponselku. Biar saja ia mati kedinginan. Biar saja eror sekalian. Matilah saja, berkata diriku pada ponsel tak berdosa itu. lalu aku mencoba memejamkan mata, sedikit demi sedikit mulai memadamkan mataku dari cahaya. Redup. Lalu aku jatuh tertidur dengan masih menyimpan sedikit beku di hati ini.


No comments:

Post a Comment

Write me your comment