Saturday, 27 July 2013

Keju[tan]


written by = @fahmiezan    @leetalit


Kereta berjalan dengan garangnya, menembus keheningan malam dan udara malam yang mencekat. Hanya suara mesin kereta yang terdengar di gerbong ini. Yang terlihat di depan mataku hanya manusia2 yang terlelap dalam tidurnya. Mati untuk sementara dengan jiwa yang mengembara sesukanya, sebelum kembali ke yang empunya. Aku masih gelisah, setelah mendengar suara Ibu menelepon yang menyuruhku pulang tadi siang. Memang aku sedang mengembara, mengembara di bumi Jakarta. Untuk mencari penghidupan setelah aku menjadi sarjana. Karena rasa gelisahku ini, aku menjadi tak bisa tidur, aku masih kepikiran perkataan Ibu. Iya Ibu memang cuma berkata, "cepatlah pulang nak, Ibu sudah kangen sama kamu". Tapi wajar saja, aku memang sudah setahun ini tidak pulang ke rumah. Mungkin saja rasa kangen itu datang. Jam 9 malam tadi aku mulai perjalanan menuju ke Semarang, untuk pulang ke rumah, untuk menemui Ibuku, Ibuku yang sedang rindu denganku, anak satu2 nya yang Ia miliki. Dan akhirnya sampailah aku di stasiun Semarang, jam 3 pagi aku sudah sampai. Namun aku harus menunggu sampai pagi datang untuk melanjutkan perjalanan menuju Jepara. Kotaku tercinta, yang telah lama kutinggalkan. Karena harus menunggu angkutan menuju ke Jepara yang baru ada ketika jam sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Aku empat tahun kuliah di Jogja, dan pulang hanya kalau lebaran datang, setelah lulus sarjana aku langsung bekerja di Jakarta. Dan baru kali ini aku menginjakkan kaki lagi di Semarang.
Aku hanya menunggu di emperan kursi tunggu stasiun. Namun jenuh juga yang hanya minum air akua sambil pegang sebatang rokok untuk menghangatkan tubuh yang mulai menggigil. Di sini sepi, banyak juga orang2 disini yang tertidur di kursi tunggu. Aku mencoba mencari kehidupan, keluar dari stasiun, mencoba mencari warung kopi. satu hal yang menjadi alasannya, karena disini aku seperti tidak menemukan kehidupan. 
Di tengah angin malam yang membelai ragu kulitku, tak jarang pula tubuh ini menggigil karena dinginnya angin malam, sampai bulu kuduk berdiri, aku mencari warung kopi. Dan akhirnya kutemukan apa yang kutuju, ia terletak tepat di pinggir jalan tak jauh dari stasiun. 
Di sana, nampak laki2 setengah tua yang berjualan kopi. 
"Pak, pesan kopi cappucino 1, yang panas ya, Pak". Sambil memandangi jalanan, yang memang masih sepi, jarang orang berlalu lalang, datangnya seorang perempuan setengah tua, dengan wajah sedikit kusam, namun sepertinya make upan. Dengan gayanya yang cool, sambil membawa rokok di tangan kanan, dan botol minuman di tangan kiri. Ia datang ke arahku, aku bergidik ngeri seketika itu. 
"Hai dek, mau kemana?" Sapanya. Aku hanya menjawab, "iya Buk, ini mau pulang ke rumah, ke Jepara". Yah obrolan cuma singkat saja, aku tak mau menimpalinya semakin jauh, tetapi perempuan itu menawariku, "mau gak main sama aku?" Dalam hatiku berkata "ini perempuan maksudnya apa ya?" «Tapi yunolah, aku sudah tau maksud dia, ini cuma pencitraan saja. 
Namun aku menolaknya, aku melambaikan tangan ke arahnya. Ya, dia hanya diam, untung aku tidak dipaksa menidurinya. Walaupun gratis sekalipun, aku tak mau, karena keperjakaanku hanya untuk istriku kelak. Setelah lumayan lama, aku melihat pria setengah baya datang ke warung kopi itu, ia mulai bercakap mesra dengan perempuan itu. Dan perempuan itu mengajak pria tsb ke balik warung kopi, ternyata di balik warung kopi ada sebuah bedeng kecil. Mereka bercinta di sana. Dan mulai mengeluarkan suara gaduh. Aku mulai risih dan memutuskan membayar kopi yang kuminum dan kembali ke dalam stasiun yang sepi, sunyi seperti tak ada kehidupan.

Dua jam tepat aku di sini. Sudah tiba waktunya untuk supir angkutan menjajakan tenaga mereka. Suara debum dan deru kendaraan umum yang sudah siap melaju menghampiri telingaku, pertanda aku harus segera berdiri khusyuk menyambut kedatangan mereka. Orang-orang yang bertujuan sama mulai terbangun dari mimpi gelisah mereka. Aku berdiri mengheningkan cipta, berdoa semoga perjalanan ke rumah bisa lancar dan tak ada kendala.
Di saat kakiku melangkah menuju kendaraan yang mengantarku pulang, sekelebat saja kulihat ada seorang wanita yang tadi menawariku bercinta. Sepertinya ia menuju di tempat aku menanjakkan kaki. Semakin mendekati. Hatiku mulai kalut sendiri. Bagaimana jika ia masih sedikit terobsesi, memerawaniku yang masih perjaka ini. ih... aku bergidik ngeri. Tapi tidak. Bahkan melihatku saja tidak, di saat ia mulai sebatas satu meter denganku. Aku mulai berjalan lagi menuju angkutan yang sudah siap melayani. Wanita separuh baya yang bertubuh tegap itu mengiringi langkahku dengan irama langkahnya yang ragu-ragu. Seperti ada penyesalan di langkahnya yang semakin mengejar langkahku. Benar saja. Ia hendak pulang juga. Mungkin saja. Atau menuju persinggahan pria-pria yang mau membayarnya. Tetap saja. Ia akhirnya memang duduk tepat di depanku. Satu angkutan denganku, menuju Jepara. Tanah kelahiranku.
Di perjalanan kikuk ini aku mulai gelisah. Sedikit melirik pada wanita itu. Seperti tak asing. Kuperhatikan lagi. Ada segaris wajah lelaki. Dengan jambangnya yang berhasil wig tutupi. Aku semakin ingin mengerti. Ada wajah siapa di sana. Wanita atau lelaki. Namun, aku kembali menunduk gelisah. Merasa ada yang salah. Seperti aku memang mengenali seraut wajah yang tadinya terlihat seram. Entahlah... mataku memaksa untuk terpejam.
Perjalanan yang melelahkan... seharian bersama asap debu dan kumal keringat. Akhirnya tempatku menuju sudah di depan mataku yang kelopaknya masih ingin menutup erat. Rumah. Ibu. Rindu. Tiga hal yang membuat aku menjadi lebih kukuh. Aku mulai berdiri, di susul wanita paruh baya yang wajahnya seperti kukenali. Ia, apa ia mengikutiku untuk mengebiriku yang tak mau mendonor maniku ini padanya? Tidak . ia bahkan tak melihatku. Matanya kosong. Seperti ada penyesalan di sana.
“Pak, berhenti.” Ia mendahului apa yang ingin kuucapkan pada kernet angkutan. Benar. Tujuan kami sama persis. Di sini. Di tempatku menangis di dunia untuk pertama kali. Sudahlah... aku tak ambil pusing lagi. Tubuhku sudah benar-lelah. Ingin segera sampai rumah.
“Ibu....” sontak saja aku memanggil ibuku, bahkan sebelum pintu kuketuk. Suara derak langkah mulai mendekat. Agak cepat, namun sedikit lambat. Kekuatan manusia paruh baya. Aku begitu tak sabar menyambut pagi hari ini dengan pelukan ibuku yang lama tak kutemui. Kunci pintu mulai berderit, dan pula sedikit  merintih ketika gagang pintu dibuka. Usia rumah ini kira-kira memang lebih lama dari ibuku sendiri.
“alhamdulillah, nak....kamu sudah pulang.” Ucap ibuku tampak bahagia. Langsung saja aku menghambur ke pelukannya.
“ibu kangen sekali sama kamu, nak..”
“anakmu ini juga kangen sekali sama ibu.” Aku tersenyum haru.
Kami berdua mulai melepas rindu. Kuceritakan semua yang kurasakan pada ibu. Diceritakan semua yang ibu rasakan padaku. Entah, perasaan ini teramat syahdu. Kami berdua larut dalam emosi penuh haru. Hingga akhirnya ibu mulai bercerita padaku.
“ibu ada kabar bahagia, nak..”
“apa itu, bu?” tanyaku ingin tahu. Mulai kudekatkan kepalaku pada pangkuan ibu. Ingin ia membelai rambutku sambil bersenandung untukku.
“ibu ada kabar bahagia.”
“benarkah? Apa, bu? Apa?”
“sabar... sebentar lagi kamu akan tahu.”     
“yah, ibu..” kecewaku,  yang  malah disambut gelak tawa ibu, membuat luruh kecewaku. Tawa renyah itu yang kurindukan. Tawa yang melegakan jiwaku. Tawa yang begitu aku nikmati dengan segala sisa tenagaku.
Kami bersenda gurau penuh kegembiraan. Pagi yang begitu sempurna dengan matahari yang semakin berani menampakkan wujudnya.
Ketika kami tengah bercerita mengenai pengembaraanku, terdengar pintu diketuk perlahan. Beberapa kali, hingga kami mendengar. Ibu sontak tersenyum mencurigakan.
“siapa itu, bu?” aku bertanya padanya.
“itu dia kejutannya. Sebentar. Ibu buka pintu sebentar.” Aku mengangguk, mengiyakan.
Langkah ibu perlahan, semakin membuatku penasaran. Siapa di balik pintu itu yang katanya kejutan? Pikirku berkelana kemana-mana. Mengimaji apa saja yang kubisa. Sayang, tak sampai pikiranku ke sana.
Ah, dua langkah kaki manusia mulai mendekat, menuju ruang keluarga yang dibekali sofa tua warisan keluarga. Di tempat aku kini berada. Mengangkat wajahku tinggi-tinggi, pertanda aku dikelilingi rasa penasaran yang semakin tak tahu diri
Dua langkah yang begitu mesra melangkah. Dan aku pun berdiri seketika, melihat laki-laki setengah tua berada digandengan ibuku yang cantik jelita meski di usia tua.
Aku masih belum menyadarinya, ada yang tiba-tiba menyergap di dalam hati. Aku masih belum menyadari sebelum lelaki itu begitu terkejut melihatku.
“nah.. ini, nak... yang ibu katakan kejutan untukmu.” Ibu terlihat begitu bahagia. Wajahnya berseri tiada tara. Sedang lelaki itu, lelaki yang tampak tak asing lagi, begitu kalut wajahnya. Tak ada kata terucap dari mulutnya.
“ini, ini ayahmu. Yang sudah lama dipenjara. Maaf ibu tak pernah cerita. Tapi sekarang sudah tiba saatnya ibu berkata padamu. Ini dia ayahmu yang selalu kau tanyakan. Ayah yang dipenjara karena fitnah belaka. Maafkan ibumu ini. ibu hanya tak ingin kamu menyesali, mempunyai ayah yang dibui. Kini dia sudah bebas. Kini kita bersama lagi.” Ibu begitu bersemangat menceritakannya. Aku menghampiri mereka. Mencium tangan lelaki yang ibu bilang adalah ayahku. Ayahku. Ayahku. Yang sekarang aku tahu wajahnya yang tak asing lagi bagiku.
“ibu siapin sarapan dulu.” Ibu menuju dapur, meninggalkan kekikukan yang dialami kami berdua.
Wanita paruh baya itu. Wanita yang memiliki cambang yang disamarkan. Dia tak lain adalah lelaki yang sekarang ada di depanku. Lelaki yang menyamar menjadi wanita tuna susila, yang menjajakan kemaluannya. Yang menawariku kemaluannya. Yang mencoba menjebakku demi uang yang akan ibu gunakan untuk berbelanja. Tak salah lagi. Kuraih isi tasnya. Segala benda yang melekati badannya pada pagi buta itu. Benar! Itu ayahku. Ayahku yang menjajakan kemaluannya. Aku dan dia menyadari. Kami terdiam tak ada kata sama sekali. Kuharap ibu yang kini sudah di dalam dapur menyiapkan makan tak menyadari. Kubersihkan segala yang berserakan. Kembali terdiam. Kami terdiam. Berdua seperti disumpal mulutnya. Dan ibu datang pada kami, menyuruh kami menyiapkan diri. Menikmati sarapan bersama di pagi hari. Menikmati bersama ayahku yang datang kembali. Menikmati kebersamaan kami. Menikmati kekikukan yang ibuku tak sadari.


bahagiaku


aku masih ingat tentangmu, masa laluku. ketika aku tak harus memikirkan masa depanku. sungguh hanya bahagia saja yang ada. dan saat itu terasa lebih bahagia ketika kukenal kamu. bidadari peneduh hati. bidadari berambut panjang, berkulit putih. aku menyukai segala yang ada di ragamu. senyummu adalah favoritku. sayang, kau pergi sebelum aku bisa mengatakan sebuah rahasia. 
kau pergi, menghilang dari pandanganku yang menelisik pada parasmu. di saat itu memang tak kurasakan kesedihan yang terlalu. kau tahu, umurku tak mendukung untuk memikirkan tangisan karena kehilangan bidadari. aku lebih suka memainkan kereta mainanku yang rel-relnya kupasang memangjang,.. memangjang dan memutar. kau tahu, di saat kujalankan kereta itu di atas rel yang memutar, aku baru tahu satu hal. semua yang pergi akan kembali. semua yang datang akan pergi. entahlah. aku masih bingung sendiri. kumakan saja wafer coklat superman kebanggaanku ini. aku kembali mengingat bidadariku. membuatku sedikit kesulitan untuk bernapas. tapi kubiarkan. kau tahu, aku masih lebih menyukai layang-layangku. aku merasa ingin menerbangkannya. 
aku berjalan kaki sejauh-jauhnya, demi menuju lapangan kuda yang sudah dialih-fungsikan menjadi lahan tak terpakai. pemiliknya mati, berikut kuda-kudanya. wabah flu burung. entah apa hubungannya kuda dengan burung. entahlah. aku tak ingin ikut campur, atau lebih tepatnya, aku tak peduli. ku ambil tali layang-layangku yang sudah tergulung rapi. kutarik, kuulur, hingga aku tahu sudah tepat jika kuterbangkan sekarang ini. aku mulai berlari, demi melihat layanganku terbang melintasi lelangitan. yes. akhirnya angin bertiup kencang, cukup kencang membuat layang-layangku terbang. kutarik, kutarik lebih kencang lagi talinya. hingga layang-layangku terbang hampir ke surga. ah.... sayang, aku lupa mengamati baik-baik talinya. terlalu kencang kutarik talinya. akhirnya tali itu putus di tengah-tengahnya. membuat layang-layangku terbang. kini aku tahu, dia pasti sudah bebas untuk terbang sampai surga. tak ada lagi temali yang menghambat perjalanannya. sejak itu aku tahu, bahwa layang-layangku ingin bebas. hal ini membuatku sadar bahwa semua orang yang hidup ingin juga kebebasan. semakin ia diikat kencang, semakin ia terbang jauh, berusaha lepas dari ikatan. dan aku tahu, tidak ada ikatan yang sempurna. dan hidup itu memang perlu ditarik dan diulur.... semua harus seimbang. biar tidak membosankan. biar tidak terbang sembarangan. apa ini!! tidak semua yang ditarik-ulur itu seimbang. ada hal lain yang tak menginginkan untuk dikenakan teori tarik-ulur. cinta. ya. cinta. apa iya? ada yang pernah berkata seperti itu padaku. entah siapa. aku terlalu kecil untuk memahaminya. kuamini saja tanpa bisa membalas perkataannya. kau tahu, ia bilang, ia teramat merasakan sakit ditarik-ulur oleh kekasihnya. hahaha. aku ingin tertawa. aku tak peduli juga. aku masih lebih menyukai untuk peduli pada kebahagiaanku. egoiskah aku? tentu tidak. aku masih kanak-kanak. bahkan kata egois pun aku tak tahu. apa itu? yang jelas, aku masih ingin bermain dengan hidupku. aku masih ingin bersenang-senang tanpa memikirkan masa depanku. kunikmati sekarang, atau tak akan pernah sama sekali. karena dari iklan, aku tahu, bahwa jadi orang gedhe itu menyenangkan, tapi sulit ngejalaninnya. the end. aku mau membeli layang-layang lagi. aku kembali lagi ke masaku yang kini. di mana itu terbukti. menjadi dewasa itu memang tidak mudah menjalani.

Wednesday, 24 July 2013

Pertemuan dan Perpisahan



Aku sedikit merasa sedih. Tiba-tiba terpikir rasa getir nan perih. Sepertinya aku harus berdalih. Namun, apa bisaku? Hanya mencoba kembali berpikir jernih.
Ini yang ingin aku bicarakan. Tentang pertemuan. Dan juga tentang perpisahan. Selalu oposisi itu yang membuat mata menjadi setengah basah dan setengah kering, sembab, oleh bekas air mata. Namun aku tak suka menangis, jadilah aku hanya merasakan getirnya,
Pertemuan. Seperti kau tahu, dua insan yang bertemu dalam masa tertentu. Ada aku dan kamu. Ada kamu dan dia. Ada dia dan aku. Selalu seperti itu, aku datang dan pergi. Kau pergi dan tak tahu kapan kembali. Dia berlalu dan kini yang aku tahu adalah kamu. Aku datang, aku pergi. Kau pun juga seperti itu. Hanya bisa mengandalkan waktu, yang akan menjawab semua pertanyaanmu. Pertemuan. Dua manusia yang bertatapan ragu-ragu. Mulai bercakap malu-malu. Berlanjut pada ucapan yang sedikit syahdu. Kembali pada memori yang lalu, pastinya dengan manusia yang baru. Selalu saja seperti itu. Pertemuan. Aku dan kau bertemu. Hingga aku tahu namamu, hingga kau tahu maksud ucapanku. Hingga akhirnya pertemuan itu menuju titik penghabisan. Selalu seperti itu.
Perpisahan. Rangkaian dari pertemuan yang terjadi tanpa pemberitahuan. Perpisahan yang membuat relung hati kita tersia. Perpisahan yang membuat siapa saja merasa tercabik hatinya. Dan kosong meraja. Pertemuan dan perpisahan. Rangkaian dua peristiwa yang saling bertabrakan satu sama lainnya. Tak ada yang menyukai perpisahan, tapi aku lebih tak menyukai pertemuan. Karena apa? Ujungnya pasti perpisahan akan tiba masanya.
Oh. Jangan!! Bagaimana mungkin aku membenci pertemuan?  Bagaimana bisa otakku sekerdil ini yang menganggap setiap pertemuan akan berakhir perpisahan? Jangan! Tolong jangan sampai diri ini membenci pertemuan. Jangan sampai otak ini berpikir dangkal bahwa pertemuan adalah awal dari kesedihan yang akan beranak pinak hingga sampai ajal menjelang. Oh... tidak! Tidak akan!
Kau tahu? Seperti yang kau tahu. Setiap pertemuan membuat kita semakin bijak. Mungkin kau bertemu dengannya yang baik hatinya, hingga tertular virusnya sampai ke hatimu. Hingga kau merasakan kesejukan tiap kali kau berbuat kebajikan yang tak kau catat dalam buku.
Kau tahu? Seperti halnya yang kau tahu. Setiap pertemuan merupakan awal dari pelajaran hidup yang baru. Siapa tahu dia adalah manusia yang berakal budi yang jelita, hingga kau bisa mendapatkan apa yang sebelumnya tak kau ketahui dari mana pun juga.
Kau tahu? Hoamm... aku mulai mengantuk. Mata ini sudah tinggal beberapa persen saja kadarnya. Tapi tunggu dulu.. aku belum selesai berkultum ria. Uh.... abaikan saja. Kuberbicara dengan pikiranku sendiri.
Kau tahu? Apa kau tahu? Mungkin saja tahu, mungkin juga tidak. Kau tahu? Setiap perpisahan membuatmu lebih berbesar hati, membuatmu merasakan bahwa hidup memang untuk mati. Dan setiap manusia itu mati, tunggu saja giliran. Yang pasti banyaklah berbuat kebajikan sebelum ajal menjelang.
Ah, seperti aku sudah pernah mati saja. Tapi orang bilang kalau mati itu sulit. Mati itu menyakitkan. Mati itu,,,,,sebuah misteri yang tak pernah terpecahkan.

Tuesday, 23 July 2013

tubuh tak bernyawa



suatu kali aku merasa sesak yang sangat. bukan sesak di dada seperti kebanyakan yang orang rasakan. sesak di raga. sepertinya nyawa ini ingin berselancar ke mana ia suka. seperti lelah terperangkap di dalam tubuhku yang lama-lama lemah tak bertenaga. ia, nyawaku, meronta. ia mulai menusukiku dengan kukunya yang panjang dan tajam. ia ingin segera melayang menjauh dari tubuh yang kutelanjangi, tak tahan dengan panas yang disebabkan tusukan nyawaku sendiri. aku marah. semua yang di sekitarku sudah pecah belah. aku menengadah. mulai berpikir bahwa aku memang merasa gelisah. tubuh ini kesakitannya bertambah parah. 
dan semua berakhir sudah. nyawaku kini melesak hingga membuatku berdarah. matamu, mataku mungkin tak bisa menjamah sang darah. namun aku yakinkan dirimu, darah ini berceceran di tanah. nyawaku sudah mulai menjelajah. kini aku hanya sebatang sampah. bangkai penuh nanah, tak bernyawa dan kini lunglai di tanah yang basah. 
aku tak bisa apa-apa tanpa nyawaku yang kini sudah pergi. ia berkelana seorang diri, entah ia akan menyinggahi siapa, aku mulai menanyai diri yang kini berbaring tanpanya. dingin menusuki raga ini. dingin hingga aku ingin mati saja. ah, aku sudah mati ternyata. lalu, kenapa aku bahkan bisa bicara? dengan apa dan siapa aku mengucap kata-kata. oh, aku mulai gila. 
kunanti semalaman. nyawaku terbang entah kemana. mungkin saja ia kini sudah merasa bebas melayang-layang tanpa ada rasa iba. ibanya pada tubuhku yang hanya tulang kulit saja. ia lari dariku. ia menghindari aku yang sudah tak lagi berguna. sebatang tubuh yang sudah renta. benar. aku sadar bahwa kini aku menua. lantas, aku merelakan sang nyawa pergi. mungkin ia juga sudah lelah di sini. memang sudah puluhan tahun ia menemani. sudah saatnya nyawaku kembali. dan ragaku yang tersia ini? mungkin akan kumasukkan kantong plastik saja untuk dimutilasi. siapa tahu ada sumanto lain yang ingin makan bangkaiku. biarlah.., paling tidak aku masih berguna meski hanya seonggok tubuh tak bernyawa.

Sunday, 21 July 2013

Di balik suatu pagi

》fahmiezan
Pagiku pagimu pagi kita.
Pagi akan selalu datang dalam kadar yg sama.
Tapi aku, kamu dan kita menerimanya secara berbeda.
Aku sebagai kepala keluarga menyambut pagi dengan langkah tegap, bersiap mencari sebercak nafkah demi keluarga kecil kita. Iya masih keluarga kecil karena kami belum mempunyai buah dari cinta (anak-red).
Pagimu selalu kamu awali dengan kecupan manis di keningku, sungguh romantis. Dan kamu bersiap mempersiapkan segala keperluanku di kala matahari masih bersiap menyinari.
Pagi kita? Iya pagi kita. Masih belum mempunyai momongan membuat pagi kita sunyi. Entahlah, aku sudah menikahimu 8 tahun yang lalu, tapi masih belum ada tanda-tanda datangnya sang jabang bayi. Tapi aku tak mempermasalahkan hal itu, aku tetap mencintaimu.
Pagi berubah menjadi siang, aku bekerja dengan penuh doa, iya istriku pasti berdoa buatku, buat dia dan buat kita. Dalam doanya pasti akan terkandung banyak harapan untuk punya momongan.
Pernah suatu ketika, dia mengijinkanku untuk menikahi wanita lain, untuk apa?supaya aku bisa dapat seorang anak dari wanita itu. Ah pikirku tak karuan saat itu, istriku pasti memendam rasa kekecewaan yg sangat dalam pada dirinya sendiri. Tapi aku tak boleh berpikiran sama seperti istriku, ini jalan Tuhan untuk kita. Iya kita, keluarga yang terlampau kecil sejak 8 tahun yang lalu yang merindukan hadirnya buah cinta.


》leetalit
Aku seorang wanita. Wanita yang tak pantas menjadi wanita. Seorang wanita yang tak bisa memberi rasa bahagia. Itukah aku Tuhanku yang maha bijaksana?
Apa aku pantas disebut wanita jika sampai sekarang masih belum bisa kuhadiahi suamiku seorang boneka kecil bernyawa? Atau aku Kau anggap tak pantas menerima anugerahmu yang begitu kuingini itu Tuhan?
Bagaimana lagi harus aku terima nasib malangku ini. Bukannya aku sudah berdoa padamu tiap malam hingga kering airmataku? Bukannya aku telah mencoba berbagai cara hingga sudah lelah rasanya berusaha? Tidak. Aku tak boleh putus asa begitu rupa. Aku akan tetap berpasrah karena ini adalah jalanku yang kau ingini,Tuhan.
Lalu, masih pantaskah aku mendampingi hidup lelaki yang selalu mengusap lembut kepalaku ketika airmata ini membanjiri? Tapi tak semudah itu aku bisa membaginya dengan wanita lain jika itu yang harus kulakukan pada akhirnya. Oh, tuhan, dia begitu mulia, hambaMu itu sungguh tak pantas untuk diri ini yang tak sempurna. Yang tidak mempunyai daya menciptakan rasa bahagia dalam hidupnya. Taukah kau Tuhan, dia menepis begitu saja pintaku untuk menyunting gadis yang bisa menyemaikan harinya. Kau tahu Tuhan, aku begitu bahagia, namun ada sedikit kecewa. Lalu apa yang harus kulakukan berikutnya? Haruskah aku memintanya melepasku saja? Atau? Tidak.. Apa bisaku tanpanya? Baiklah Tuhan, aku akan lebih bersabar saja. Jika itu memang yang Kau kehendaki. Semoga suatu ketika aku bisa memantaskan diri hambaMu ini untuk kau anugerahi kebahagian untuk kami.

Sumpah serapah di balik sampah

#fahmiezan

Mengais sampah orang, jijik?
Bagiku tidak, karena dari situlah aku hidup.
Sejak kecil aku sudah terlahir dalam keluarga miskin.
Keluarga yg hanya mengais sampah orang lain.
Bagi mereka tak berarti, tapi bagi kami sangatlah berarti.
Aku tinggal di bedeng rumah kardus,yang remuk ketika hujan, hanyut ketika banjir, mengelupas ketika panas dan terbakar ketika ada api.
Begitu rapuh, iya sangatlah rapuh rumah yang kutempati seperti halnya hidupku yang rapuh. Rapuh karena tak ada kerjaan lain yang bisa kulakukan. Pengusaha2 di sana butuh pekerja yg tamat sekolahnya, sedangkan aku, pensil saja tak bisa menggunakannya. Betapa malang hidupku. Tak ada yang bisa menerimaku. Busuk, dekil, kumal dan hitam begitulah espektasi mereka terhadapku. Tanpa melihat apa yang bisa kuperbuat.
Aku didunia sudah seperempat abad, dan itu kuhabiskan di sini, di sampah ini, seperti orang terbuang yang menghuni daerah ini. Hanya bisa melihat mewahnya gedung,tingginya gedung dan indahnya arsitektur gedung, tapi tak bisa kumemasukinya. Perih, itulah yg kurasa ketika kumencoba memasuki gedung baru sampai di gerbang sudah ada seorang satpam sok kekar berbaju biru yang melarangku. Sampah memang tak pantas masuk gedung mewah. Sempat terlintas dalam pikirku, lebih sampah mana aku dengan koruptor yg berbaju mewah tapi hati mereka sampah!

#leetalit


Tak punya malu! Yah, memang ini kurasa tak adil, tapi aku memanglah seonggok sampah, tak perlu kau hormati, tapi hatiku tak sesampah hati koruptor berbaju mewah.
Perlahan aku melangkah menjauh. Menjauh dari segala yang berkilau nan mewahnya gedung itu. Kurasa banyak mata memandangku kala itu, memandangku seakan memandang onggokan tai yang berkeliaran. Sebegitu jijikkah aku di mata mereka. Mereka yang mengaku berjasa bagi bangsa.mereka yang saling berebut kuasa. Ya. Berebut kuasa demi kucuran uang selipan yang datang dari mana saja. TAI. Mereka itu TAI. Harusnya dibuang di kali. Biar ke laut saja dan mati. Tapi tak apa. Biarkan aku saja yang menjadi tai di mata mereka. Meski aku tak rela, aku akan terus berusaha memperbaiki tanah air ini, pastinya dengan caraku sendiri. Biarkan aku tetap bercinta dengan seluruh sampah mereka, sampah yang di buang kalangan mewah. Paling tidak aku bisa mencegah tanah ini dari bencana. Mengumpulkan sampah. Pekerjaan mulia,bukan? Tenangku sendiri. Lebih mulia dari mengabdi untuk bangsa, namun diam-diam mengebiri. Kotor sekali. Dasar TAI yang tidak sadar diri.

Saturday, 20 July 2013

Merayakan Kebebasan Bersama Hujan




Aku punya sahabat. Namanya Ronda. Ronda Arfano. Wajahnya putih mulus. Tubuhnya tinggi sempurna. Badannya tegak mempesona. Sayang, banyak yang mengecam dia karena dia tidak seperti laki-laki kebanyakan. Banyak yang menganggap dia aneh dan layak dijauhi. Itu bukan termasuk aku. Aku selalu menyukainya. Aku menyukai gurauannya. Aku pun menyukai loyalitasnya sebagai sahabat.
Sekali waktu dia bercerita tentang saat dirinya masih sangat muda. Kalau tidak salah, dia berkata, saat itu dia berusia sembilan tahun. “Itu bukan muda,” kataku padanya. Kulihat matanya melotot, tak terima karena dia mengira umur segitu memang terbilang muda. Dia tetap ngotot. Dia pun memonyongkan mulutnya yang terbilang sudah termasuk jajaran monyong. “Itu masih anak-anak, Ronda.” Jelasku padanya. Dia lalu tertawa. Hahaha. Itu yang aku suka darinya, polos sekali. Apalagi mulutnya yang aduhai saat dia tertawa pasrah, selalu saja membuatku terkikik.
Dari ceritanya aku menangkap kisah yang kelam. Dia bercerita tentang perasaannya yang kacau saat itu. Dia menyukai seorang anak lelaki di kelasnya. Saat anak laki-laki seusianya saling mengejeki soal gadis yang mereka incar, dia justru suka berada di tengah-tengah anak perempuan. Entah itu bermain lompat tali, atau sekedar bermain bola bekel, bersama denganku yang memang satu kelas dengannya. Saat itu dia mulai sadar bahwa dirinya bukan seperti lainnya. Memang aku ketika itu belum tahu. Baru saat SMP dia mulai berani memberitahukanku. Kabar baiknya, kedua orang tua Ronda selalu mendukungnya, meski dia bukan seperti anak kebanyakan. Sama seperti kedua orang tuanya, aku pun menerima Ronda apa adanya. Ya. Dia seorang lelaki penyuka sesama.
Sebagai sahabatnya, aku lalu mengangkat Ronda sebagai penasehat cintaku juga. Sudah tiga tahun aku jadi single lady, sudah sejak pacarku memutuskan untuk pergi dari hidupku. Tahun ini akan aku patahkan status itu. Aku berencana untuk mencari pacar lagi.
Sejak dia menjadi penasehat cintaku, Ronda selalu ada untukku. Aku selalu memasrahkan pilihan lelaki yang mendekatiku padanya. Aku selalu percaya padanya. Kau tahu lah, dia penilai lelaki terhebat yang pernah kutemui. Pernah suatu ketika dia memberitahukanku bahwa lelaki yang sedang mendekatiku itu ada maunya. Mungkin mau tubuhku-banyak yang bilang aku cantik dan tubuhku tinggi gemulai-atau sekedar ingin numpang tenar saja. Ronda benar. Setelah kami berdua selidiki, lelaki itu memang tengah mencalonkan diri jadi ketua Badan Eksekutif Mahasiswa.
Namaku Diandra Asmara. Sudah lima bulan ini aku dianugerahi mahkota sebagai duta kampus. Banyak kegiatan sosial yang memajang namaku sebagai ikonnya. Aku pintar bergaul. Aku pula pintar dalam segi akademis. Kalau saja aku boleh menyombongkan diri, aku akan bilang bahwa hidupku sempurna. Namun, di balik kesempurnaanku, aku menyimpan sesuatu. Aku seorang lesbian. Ronda pun tak tahu itu. Mungkin juga aku memang pintar menyembunyikan dan mengingkarinya. Namun, aku jelas tak ingin ada orang mengetahuinya. Lantas, kukatakan pada Ronda untuk mencarikanku lelaki. Paling tidak, dengan itu aku bisa sedikit meredakan gejolakku menyukai sesama jenis. Kuharap terapi ini bisa membantu. Kuharap lagi dengan ini tak ada yang bisa mengetahui rahasia besarku ini.
Aku memang memilih untuk menutupi hal yang masih tabu itu, bahkan orang tuaku pun tak pernah tahu. Jelas. Aku juga tak ingin mereka merasa malu karena punya anak seperti aku. Benar saja, mereka memang termasuk orang terpandang. Ayahku pejabat, ibuku pengusaha. Lagipula, mereka juga tak pernah peduli padaku. Apa bedanya, mereka tahu atau tidak tahu, tetap saja mereka tak pernah ada untukku.
Aku sadar kalau aku beda ketika aku masih bersama Riko, mantan pacarku. Aku memang tak pernah merasa nyaman, namun tetap saja kupertahankan. Saat dia memberi ciuman, aku bahkan tak pernah merasakan. Seperti bibirku saat itu menjadi kebal. Tak ada rasa, kecuali jijik saja. Mungkin saja Riko tahu, lalu dia akhirnya pergi meninggalkanku.
Ronda, sahabatku sejak SD dulu. Meski dia tak pernah mengetahui keanehanku, dia teman yang selalu bisa membuatku bisa bertahan hidup dalam keadaanku ini. Lebih dari itu, Ronda juga tahu bagaimana rasanya jadi beda. Aku bersyukur memiliki sahabat seperti dia. Jelas, itulah yang membuatku masih selalu bisa tersenyum. Ronda.

***
Hujan gemerisik di atas payung yang melindungi tubuh menggigilku. Saat itu sudah jam delapan malam. Aku baru pulang dari pemotretan untuk majalah kampus edisi bulanan. Aku berjalan pulang sendirian. Tak kusangka, saat aku berhenti sejenak untuk mengusap tetesan air di keningku-maklum saja, payung temuan-aku berpapasan dengan seorang gadis yang kehujanan. Dia duduk berpangku tangan di taman dekat jembatan. Kutebak umurnya masih belasan, terpaut kira-kira lima tahun di bawahku.
Kuhampiri gadis yang masih memakai seragam SMA. Kudekati perlahan dari arah belakang. Ia menengok seketika mendengar derap langkahku yang sudah berusaha untuk pelan. Sepertinya dia ketakutan. Kudekati lagi pelan-pelan, sambil berkata, “Tenang aja. Aku nggak jahat, kok,” bibirku nyengir kuda dadakan.
Sepertinya gadis itu mulai tenang. Dia lalu bercerita, bercerita kedukaannya. Sambil menangis dia terus bercerita. Begitu terkejutnya aku saat dia bilang telah diperkosa. Pantas, setelah kuselidiki, bajunya memang agak robek di bagian lengannya kanan. Aku tak mengetahui sebelumnya karena aku duduk tepat di sebelah kirinya. Dengan masih memegang tangkai payung untuk melindungi kami berdua, aku reflek mengusap kepalanya. Lantas, ia lalu menangis di pundakku. Pundak orang asing yang baru sekali bertemu.
Kutanya padanya, “Di mana rumah kamu?” dengan harapan bisa mengantarnya ke sana. Tak mungkin aku membawanya ke rumah, sedang ada acara arisan keluarga, itu kata ibuku tadi pagi. Mungkin sampai sekarang acara itu masih berlangsung. Aku tak mau berada di sana, makanya aku tadi memilih berjalan pulang dari pada naik taksi seperti biasanya. “Aku nggak mau pulang.” Katanya, masih tetap membiarkan air matanya meleleh. Kutanya lagi, “kenapa?” ia diam saja, lantas menangis dengan isakan dalam volume yang makin tinggi. Sejenak kubiarkan saja gadis itu menangis. Sayang, aku tak dapat memprediksi. Ternyata setelah itu dia lari dengan batas tercepatnya. Aku yang masih terkejut hanya bisa berdiri dan kemudian mulai berteriak. “HEI… KAMU MAU KE MANA?” dan aku mengejarnya.
Tak sampai sepuluh menit, aku kelelahan. Kulihat dia pun keletihan. Dia duduk lagi, memandangku yang sudah semakin dekat jaraknya. Jika aku bisa memvisualkan, kami berdua seperti bermain lari-larian. Hanya bermain. Namun, ini bukanlah permainan. Aku tengah menghadapi korban pemerkosaan. Sudah seharusnya aku membantunya. Lalu, kuputuskan untuk membawanya pulang, setelah setengah jam dalam argumen penuh bujukan. Sudahlah. Keluargaku pasti mengerti. Sudah layaknya mereka mengerti.
Aku kini tidak sendirian lagi. Aku berjalan pulang dengan seorang gadis malang. Sesekali kutengok dia yang berjalan di belakangku. Kucoba menggandeng tangannya, namun ia enggan. Sempat aku berpikir untuk membawanya ke kantor polisi dan melaporkan kejadian ini. Aku urungkan, lantaran dia terlihat begitu kelelahan.

***

Memang aku berencana untuk membawa pulang gadis yang mengaku namanya Ciara itu. Akan tetapi, aku melihat kemungkinan yang sedikit riskan. Selain takut tak diijinkan, aku juga malas untuk pulang. Lantas, kubelokkan saja ke arah kos Ronda yang memang agak dekat dengan rumahku. Ya, Ronda memang sejak ditinggal orang tuanya meninggal enam tahun lalu, memutuskan untuk tinggal di kos saja. Dia memilih untuk menyewakan rumah peninggalan orang tuanya demi melupakan kesedihannya. Sudah layaknya dia begitu karena orang tua yang dia cintai meninggal lantaran rumahnya dirampok orang. Apalagi kabarnya dia sempat diperlakukan tak layak oleh para perampok itu. Sudahlah, aku sudah janji pada diriku sendiri untuk tak membahasnya lagi.
Sesampainya di depan pintu kos, aku langsung mengetuk pintunya. Saat itu sudah pukul sepuluh malam. Mungkin Ronda sudah tidur. Ah, sahabatku itu memang jago sekali kalau ada hubungannya dengan kasur dan bantal.
“Ronda… bukain pintu, dong,” setengah berbisik aku memanggil Ronda setelah ketukanku pada pintu kuanggap percuma.
Semua usahaku sia-sia. Sudah hampir lima belas menit kami berdua di depan pintu kos Ronda menanti harapan.
Seketika saja terpikir untuk menelpon ke ponselnya. Baru kukeluarkan ponsel dari dalam tasku, Pintu kos Ronda berdenyit. Dia tampak berkeringat. Masih belum menyadari ada aku di depannya. Telinganya tersumbat headphone yang terdengar suaranya sampai ke telingaku, agak bocor saking kerasnya. Lagaknya sedikit berjoget salsa, hobi lainnya yang ia sangat sukai. Pantas saja ia tak dengar. Dia pasti tadi sedang asik joget-joget sendiri di kamar. Ah, Ronda…
Ronda setengah terlonjak ketika dia menengadah dan matanya menangkap bentukku yang ternyata ada di sana. “DIANDRA!” dia menjerit spontan. “Kaget, tau!” dia lalu menepuk jidatnya seperti yang biasa ia lakukan saat tercengang. Ronda, sahabatku yang unik. “Untung gue mau nyari camilan.” Lanjutnya menjelaskan. Dia pun melenggang mencari camilan. Sepertinya tak sempat melihat Ciara yang berdiri di belakangku.
“Yah, kok kamu pergi?” teriakku padanya yang semakin jauh berjalan menuju warung jajanan. Kubiarkan saja akhirnya.
Ciara kulihat masih diam saja di belakangku. Diam tak bergeming. Mungkin juga ia tengah menahan sakit yang dideranya. Kasihan sekali. Tanpa basa-basi lagi aku langsung masuk ke kamar Ronda dengan menggandeng Ciara.
“Ayo, masuk.”
Sampai di kamar, aku menyuruh Ciara membersihkan diri dan langsung istirahat. Beruntung, kamar kos Ronda memang tergolong besar. Barangnya juga disimpan rapi di lemari. Tak ada satu pun barang tergeletak berantakan, tak seperti kamar laki-laki kebanyakan. Ada dua tempat tidur, atas dan bawah. Memang dia sengaja mempunyai dua tempat tidur. Sampai saat ini, dia masih berharap kalau orang tuanya bisa mengunjunginya dan menginap. Sayang, hal itu tak mungkin. Meski demikian, tetap saja dia merasa lebih nyaman seperti itu. Toh, biasanya aku yang menempati kasur satunya. Ya, aku memang kadang lebih memilih menginap di kos Ronda daripada di rumah kesepian. Maklum saja, orang tuaku sering bepergian. Entah kemana.
“Eh, itu siapa yang di kamar mandi, Di?” celoteh Ronda yang terkejutnya semakin menjadi.
“Ssst.. Jangan berisik. Ntar aku ceritain.” Bisikku ke telinga Ronda, mencegah Ciara untuk mendengarnya.
Usai mandi, Ciara kuperkenalkan pada Ronda. Lalu, aku memintanya untuk beristirahat dengan segera.
***
Televisi yang ada di kamar sudah menyala. Programnya memang tak jelas, kami paksakan saja untuk menontonnya. Pasti Ronda sedang sibuk dengan pikirannya sendiri, begitu pun aku.
Tepat pukul dua belas malam. Anjing perumahan sudah menggonggong di luaran. Berkeliaran seperti merayakan kebebasan. Saat itu, kulihat Ciara sudah tertidur pulas. Kemudian dengan mengendap aku dan Ronda keluar. Aku mengajak Ronda ke beranda. Demikianlah, kuceritakan padanya semua yang terjadi.
“Ya ampun, Di. Kok bisa gitu, ya? Kasian sekali si Ciara.” Respon Ronda setelah kuceritakan kejadian yang tengah dialami Ciara. Lantas aku mengiyakan dengan anggukan dalam.
“Menurut kamu gimana, Ron? Kita bakalan laporin ke polisi?” tanyaku padanya meminta pendapat.
“Aduh, Di. Aku males kalau urusan-urusan sama polisi. Kita nggak kenal dia juga, kan? Rempong, ah.” Keluhnya.
“Kok kamu gitu, sih? harusnya kita bisa bantu Ciara, Ron. Sebagai wanita, aku nggak terima.” Jengkelku pada Ronda yang sepertinya tidak ingin direpotkan dengan masalah ini.
“Diandra, aku bukannya nggak mau bantu, tapi ini urusan serius. Aku sebenarnya takut, Di.”
“Takut kenapa?”
“Nggak tahu. Pokoknya aku nggak mau bantu kalau masalah polisi.”
“Terus gimana, Ron? Anak orang, tuh. Kasihan.”
“Iya, anak orang. Masa anak gorilla.” Kesal Ronda diselipi gurauan khasnya. Akhirnya aku ngakak juga dibuatnya. Suasana pun menjadi sedikit lebih tenang.
“Kita sembunyiin aja dulu. Itung-itung buat temen aku di sini,” lanjut Ronda. Aku mulai mempertimbangkan.
“Kenapa kita nggak antar dia ke rumahnya, sih?” sela Ronda tiba-tiba.
“Nah, itu dia. Orang tadi pas aku nanya sama dia rumahnya di mana, dianya langsung kabur. Besok lagi deh kalau dia udah agak tenang, kita tanyain.” Ucapku akhirnya.
“Iya, deh. Eh, Udah malam sekali, ya? Kamu nginep, kan?”
“Iya. Masa aku mau pulang jam segini juga? Kamu mau aku diperkosa juga?” candaku. Ronda tertawa.
“Dasar. Mending aku yang perkosa kamu.” Usilnya, masih sambil terpingkal.
“Ih, emang kamu doyan?”
“Enggak… “ pasrahnya sambil menjitak kepalaku. “AW, Ronda.” Kubalas menjitaknya. Kami tertawa memegangi perut, sambil beranjak menuju kamar Ronda, tepat saat hujan mulai menari-nari lagi bersama angin yang mendendang.
***
Sudah dua hari sejak Ciara di sini, di kos Ronda. Aku tidak selalu di sana. Aku masih pulang ke rumah untuk sekedar absen pada orang tua. Siang usai kuliah aku usahakan ada di sana. Sampai malam menjelang, baru aku turun ke kandangku sendiri. Sepertinya kami bertiga sudah cukup akrab. Tapi, aku dan Ronda masih belum berani buka mulut tentang kasus Ciara. Kami berdua sengaja membiarkannya tenang dulu.
Ciara masih belum banyak bicara. Dia hanya bisa tertawa saat Ronda mulai melucu lagi dengan tingkahnya. Aku pun tak banyak ucap, hanya sekedar berkeluh-kesah pada Ronda, seperti biasanya.
Menjelang seminggu, tak ada kabar yang menjelaskan bahwa Ciara telah hilang. Aku curiga, sebenarnya Ciara itu siapa? Kuberitahukan pada Ronda. Akhirnya kami berdua memberanikan diri untuk bertanya pada Ciara.
Suatu petang datang, kami bertiga berkumpul di depan tivi melihat acara para komedian. Kukira ini saat yang tepat. Ciara tengah berwajah ceria. Saatnya kami bertindak.
“Ciara, ehmm…” aku mulai bicara. Ciara yang tengah terbahak sontak kaget. “Ha? Kenapa, Kak?” ucapnya tidak tenang.
“Sebenarnya kamu ini siapa?” Ronda langsung melontarkan isi kepalanya. Kulihat kepala Ciara menunduk ngeri. Seperti ada yang disembunyikan.
“Kamu beneran udah diperkosa, Ci? Yang nglakuin siapa? Cerita aja sama kita. Siapa tahu aku sama Kak Ronda bisa nolongin kamu. Apa kamu nggak dicariin orang tua kamu?” cerocohku menuntut kejelasan.
Sebenarnya aku tak ada masalah dengan adanya Ciara dalam hidupku dan Ronda. Justru aku merasa bersyukur punya dia sekarang. Hidupku dan Ronda menjadi lebih berwarna lantaran Ciara memang gadis ceria. Malahan, Ciara sedikit bisa membuat hatiku bahagia, sepertinya aku menyukai gadis cantik ini. Lebih dari sekedar suka, aku mulai sayang padanya. Tapi, dia menyembunyikan sesuatu. Itu yang selalu mengganjal dalam hatiku.
Sempat aku memutuskan untuk memberitahu Ronda tentang kelesbianku. Namun, kupikir belum saatnya. Selama kami berdua tak tahu siapa Ciara dan bagaimana asal usulnya, aku akan memendam rasa ini. Aku akan bertahan untuk merahasiakannya sampai kasus Ciara terungkap kebenarannya.
Bukannya aku tak percaya cerita Ciara, namun ini semuanya aneh bagiku. Mana mungkin dia setegar itu, sesantai itu, padahal dia korban perkosaan. Tak sewajarnya dia tenang. Aku semakin yakin bahwa Ciara menyimpan rahasia.
Ciara terdiam sesaat. Sesaat yang lama. Mungkin sekitar sepuluh menit. Sepuluh menit yang panjang. Ditambah lagi suara hujan di luar membuat kami bertiga seakan-akan berada dalam drama seri yang sering muncul di televise. Dramatis. Menegangkan.
“Kak Ronda, Kak Diandra..” Ciara mulai membuka mulutnya. Bibirnya bergetar sepertinya.
“Maafin Ciara. Ciara udah bohong sama kalian.”
Hatiku terkoyak seketika, namun ada sedikit perasaan lega. Kulirik Ronda, dia sepertinya juga sama rasa.
“Jadi, aku ini enggak diperkosa. Aku lari dari Mami. Dia yang menampungku di sini. Rumahku ada di luar Jawa. Orang tuaku sudah tiada. Aku ke kota ini seorang diri. Mami bantu aku ngasih tempat tinggal. Bayarannya.. “ Ciara berhenti bercerita. Dia menangis saat itu juga. Aku dan Ronda tahu jalan cerita itu selanjutnya, maka kami berdua hanya bisa memeluknya.
“Udah, udah. Nggak apa-apa, kok. Kita berdua bakalan jaga kamu di sini. Nggak usah kuatir, ya.” Ronda berkata lembut pada Ciara, mencoba menenangkan. Dari kata-katanya terselip sesuatu. Dia pun ingin mencoba menenangkan dirinya sendiri dengan berkata demikian. Lantas, kami bertiga tetap berpelukan, mengharu biru dalam rintik hujan yang masih memburu.
***
Hari ini sabtu malam. Kedua orang tuaku biasanya pergi keluar kota sekitar dua harian. Aku berencana untuk mengajak Ciara ke rumahku untuk bermalam. Apalagi, Ronda sempat memberitahukanku dia akan ada deadline untuk artikel mingguan. Kebetulan.
Entah kenapa perasaanku semakin menjadi. Aku merasakan yang namanya berdebar di dada. Aku pun sering merindukan Ciara. Aku selalu ingin bersamanya. Mungkinkah aku mencintai gadis itu?
Memang tidak ada salahnya kalau ada kaitannya dengan cinta. Aku pun mengakui bahwa aku tidak seperti perempuan kebanyakan. Aku tak pernah memikirkan ingin punya lelaki untuk kujadikan pacar. Semua usahaku untuk mencari pasangan berjenis kelamin lelaki itu hanya untuk mengalihkan pikiranku. Mengalihkan pikiran untuk memikirkan perempuan. Tuhan, kenapa Kau jadikan aku seperti ini? Aku pun ingin menjadi normal. AARRRGGhhh… Sudahlah. Tak akan kupersalahkan lagi Tuhan. Ini semua memang sudah jadi suratan.
Maka, kujemput Ciara di kos Ronda. Aku mengendarai sepeda. Menyusuri jalanan ramai orang berduaan di taman dekat rumahku. Kukayuh perlahan agar tidak terlalu berkeringat. Ditambah banyak polisi tidur sepanjang jalan menuju kos Ronda. Maklum, perumahan padat penduduk. Banyak anak kecil yang sering berkeliaran di jalanan depan rumah mereka masing-masing. Berlarian bersama teman-teman sebaya mereka yang nakal minta ampun. Sering sekali anak-anak SD itu mengeroyok pejalan kaki untuk dimintai uang jajan. Wajar, anak kecil. Tapi, anak kecil yang bongsor badannya. Jadi ngeri. Semoga mereka tidak sedang bermain di jalanan. Seperti biasa, aku hanya akan berlagak sok ganas saja. Seperti biasa, mereka nanti pasti enggan dekat-dekat karena wajahku yang kubuat sangar.
Setelah sepuluh menit kukayuh sepeda, aku sampai di kos Ronda. Aku langsung manghampiri Ciara. Tak kusangka. Semuanya yang kupersiapkan sia-sia. Ciara tidak di sana.
***
Langit melegam. Bintang enggan menemaninya yang tengah bersedu sedan. Akhirnya langit sendirian. Sepertiku tanpa teman. Kulajukan sepedaku melintasi jalanan penuh keramaian. Mereka menghindari hujan yang mendadak datang. Berlarian untuk menemukan perlindungan. Mereka mencari tempat berteduh dengan imbalan saling menggenggam pasangan. Aku tak mau melihat romansa hujan. Lantas kuberdiri menantang hujan. Sendirian.
“Tuhan, apa perasaanku ini salah? Baru saja ingin berkata jujur dan menerima keadaan. Tapi, kesempatan itu Kau ambil juga, Tuhan? Apa aku harus selalu sendirian tanpa ada cinta? Aku menyukai perempuan. Memangnya kenapa, Tuhan? Bukannya ini takdirku? Berilah aku keringanan, berikanku perempuan pembawa kebahagiaan. Lalu, aku akan berani menghadapi dunia yang kejam. Aku bahkan tak peduli lagi orang nanti mau berkata apa. Biarkan aku memiliki Ciara, Tuhan.”
Air mataku mengalir sederas hujan. Langit seakan mendengar rintihanku yang dalam. Mungkin langit merasakan apa yang kurasakan. Lalu hujan pun terus melindungiku dari kesepian.
Dari kejauhan kudengar suara memanggilku. Suara sayup-sayup yang menghentikan detak jantungku dalam tempo sepersekian detik. Suara peri kecilku yang tiap malam kuimpikan. Ciara. Kutolehkan kepalaku kebelakang. Ciara dan Ronda sudah berdiri di bawah pohon rindang, menghindari hujan. Padahal, baju mereka tampak basah seperti baju yang kukenakan. Mereka menghampiriku yang terduduk sendirian.
“Di, aku udah denger semuanya,” ucap Ronda.
“Iya, Kak. Kita udah denger,” sela Ciara berikutnya.
Aku terhenyak menahan perasaanku yang berlomba-lomba untuk mendominasi. Malu, gelisah, senang, kecewa, bahagia, bingung.
“Iya, Di. Tadi aku lihat kamu keluar dari kos. Mau kita panggil, kamu udah cepet banget ngayuh sepedanya. Akhirnya kita kejar sampai ke sini. Aku sama Ciara tadi keluar. Ciara juga sempat cerita sama aku. Ciara sama kayak kamu, Di,” jelas Ronda.
“Kak Diandra. Selama ini aku juga mengalami hal kayak Kakak. Aku emang sempat jadi pelacur. Tapi, aku heran karena aku sama sekali tidak bisa seperti pelacur lainnya yang pasrah akan nasibnya. Bahkan banyak yang justru menikmati perannya. Aku enggak bisa. Aku ternyata tidak seperti mereka. Aku sama kayak Kakak. Aku lesbi. Maaf, aku nggak berani bilang sama Kak Diandra kalau aku sering mikirin Kakak. Makanya tadi aku nenangin diri dan cerita semuanya sama Kak Ronda. Aku takut Kakak jadi jauh,” Ciara menunduk sedih lantas melanjutkan kata-katanya yang masih belum terucap.
Aku sama sekali tidak bisa berucap apa-apa. Air mataku berhenti seketika meski hujan belum mau reda.
“Kak Diandra, aku juga sayang sama Kakak. Kak Ronda juga bilang, perasaanku ini nggak salah. Nggak ada yang salah kalau menyangkut cinta. Meski kita beda dari orang lain, tapi kita berhak mendapatkan cinta. Iya, kan?” Ciara meminta pendapatku. Kulihat Ronda juga seakan mendukungku untuk mengakui perasaanku. Seketika kupeluk mereka berdua tanpa kata. Mereka berdua memelukku erat. Kami bertiga menyatukan jiwa kami dalam pelukan penuh kebahagiaan. Tak lupa, hujan juga memberikan ucapan selamat pada jiwa kami yang saling merapatkan barisan.
Hujan sering tak diharapkan, hujan pun sering dikecam karena membuat tubuh yang wangi kebasahan. Hujan sering dicela karena datang tak sesuai harapan. Namun, hujan pun selalu setia memberi kebahagiaan, hujan pun pantas diberi penghargaan. Karena berkat hujan, tanah yang kering kini jadi subur seketika. Kami berbeda, tapi kami juga berhak bahagia dengan cara kami sendiri. Seperti hujan yang layak mendapat kebahagian dengan membiarkannya merayakan kebebasan dari belenggu awan kelam.