Sunday 21 July 2013

Sumpah serapah di balik sampah

#fahmiezan

Mengais sampah orang, jijik?
Bagiku tidak, karena dari situlah aku hidup.
Sejak kecil aku sudah terlahir dalam keluarga miskin.
Keluarga yg hanya mengais sampah orang lain.
Bagi mereka tak berarti, tapi bagi kami sangatlah berarti.
Aku tinggal di bedeng rumah kardus,yang remuk ketika hujan, hanyut ketika banjir, mengelupas ketika panas dan terbakar ketika ada api.
Begitu rapuh, iya sangatlah rapuh rumah yang kutempati seperti halnya hidupku yang rapuh. Rapuh karena tak ada kerjaan lain yang bisa kulakukan. Pengusaha2 di sana butuh pekerja yg tamat sekolahnya, sedangkan aku, pensil saja tak bisa menggunakannya. Betapa malang hidupku. Tak ada yang bisa menerimaku. Busuk, dekil, kumal dan hitam begitulah espektasi mereka terhadapku. Tanpa melihat apa yang bisa kuperbuat.
Aku didunia sudah seperempat abad, dan itu kuhabiskan di sini, di sampah ini, seperti orang terbuang yang menghuni daerah ini. Hanya bisa melihat mewahnya gedung,tingginya gedung dan indahnya arsitektur gedung, tapi tak bisa kumemasukinya. Perih, itulah yg kurasa ketika kumencoba memasuki gedung baru sampai di gerbang sudah ada seorang satpam sok kekar berbaju biru yang melarangku. Sampah memang tak pantas masuk gedung mewah. Sempat terlintas dalam pikirku, lebih sampah mana aku dengan koruptor yg berbaju mewah tapi hati mereka sampah!

#leetalit


Tak punya malu! Yah, memang ini kurasa tak adil, tapi aku memanglah seonggok sampah, tak perlu kau hormati, tapi hatiku tak sesampah hati koruptor berbaju mewah.
Perlahan aku melangkah menjauh. Menjauh dari segala yang berkilau nan mewahnya gedung itu. Kurasa banyak mata memandangku kala itu, memandangku seakan memandang onggokan tai yang berkeliaran. Sebegitu jijikkah aku di mata mereka. Mereka yang mengaku berjasa bagi bangsa.mereka yang saling berebut kuasa. Ya. Berebut kuasa demi kucuran uang selipan yang datang dari mana saja. TAI. Mereka itu TAI. Harusnya dibuang di kali. Biar ke laut saja dan mati. Tapi tak apa. Biarkan aku saja yang menjadi tai di mata mereka. Meski aku tak rela, aku akan terus berusaha memperbaiki tanah air ini, pastinya dengan caraku sendiri. Biarkan aku tetap bercinta dengan seluruh sampah mereka, sampah yang di buang kalangan mewah. Paling tidak aku bisa mencegah tanah ini dari bencana. Mengumpulkan sampah. Pekerjaan mulia,bukan? Tenangku sendiri. Lebih mulia dari mengabdi untuk bangsa, namun diam-diam mengebiri. Kotor sekali. Dasar TAI yang tidak sadar diri.

No comments:

Post a Comment

Write me your comment