Saturday, 27 July 2013

Keju[tan]


written by = @fahmiezan    @leetalit


Kereta berjalan dengan garangnya, menembus keheningan malam dan udara malam yang mencekat. Hanya suara mesin kereta yang terdengar di gerbong ini. Yang terlihat di depan mataku hanya manusia2 yang terlelap dalam tidurnya. Mati untuk sementara dengan jiwa yang mengembara sesukanya, sebelum kembali ke yang empunya. Aku masih gelisah, setelah mendengar suara Ibu menelepon yang menyuruhku pulang tadi siang. Memang aku sedang mengembara, mengembara di bumi Jakarta. Untuk mencari penghidupan setelah aku menjadi sarjana. Karena rasa gelisahku ini, aku menjadi tak bisa tidur, aku masih kepikiran perkataan Ibu. Iya Ibu memang cuma berkata, "cepatlah pulang nak, Ibu sudah kangen sama kamu". Tapi wajar saja, aku memang sudah setahun ini tidak pulang ke rumah. Mungkin saja rasa kangen itu datang. Jam 9 malam tadi aku mulai perjalanan menuju ke Semarang, untuk pulang ke rumah, untuk menemui Ibuku, Ibuku yang sedang rindu denganku, anak satu2 nya yang Ia miliki. Dan akhirnya sampailah aku di stasiun Semarang, jam 3 pagi aku sudah sampai. Namun aku harus menunggu sampai pagi datang untuk melanjutkan perjalanan menuju Jepara. Kotaku tercinta, yang telah lama kutinggalkan. Karena harus menunggu angkutan menuju ke Jepara yang baru ada ketika jam sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Aku empat tahun kuliah di Jogja, dan pulang hanya kalau lebaran datang, setelah lulus sarjana aku langsung bekerja di Jakarta. Dan baru kali ini aku menginjakkan kaki lagi di Semarang.
Aku hanya menunggu di emperan kursi tunggu stasiun. Namun jenuh juga yang hanya minum air akua sambil pegang sebatang rokok untuk menghangatkan tubuh yang mulai menggigil. Di sini sepi, banyak juga orang2 disini yang tertidur di kursi tunggu. Aku mencoba mencari kehidupan, keluar dari stasiun, mencoba mencari warung kopi. satu hal yang menjadi alasannya, karena disini aku seperti tidak menemukan kehidupan. 
Di tengah angin malam yang membelai ragu kulitku, tak jarang pula tubuh ini menggigil karena dinginnya angin malam, sampai bulu kuduk berdiri, aku mencari warung kopi. Dan akhirnya kutemukan apa yang kutuju, ia terletak tepat di pinggir jalan tak jauh dari stasiun. 
Di sana, nampak laki2 setengah tua yang berjualan kopi. 
"Pak, pesan kopi cappucino 1, yang panas ya, Pak". Sambil memandangi jalanan, yang memang masih sepi, jarang orang berlalu lalang, datangnya seorang perempuan setengah tua, dengan wajah sedikit kusam, namun sepertinya make upan. Dengan gayanya yang cool, sambil membawa rokok di tangan kanan, dan botol minuman di tangan kiri. Ia datang ke arahku, aku bergidik ngeri seketika itu. 
"Hai dek, mau kemana?" Sapanya. Aku hanya menjawab, "iya Buk, ini mau pulang ke rumah, ke Jepara". Yah obrolan cuma singkat saja, aku tak mau menimpalinya semakin jauh, tetapi perempuan itu menawariku, "mau gak main sama aku?" Dalam hatiku berkata "ini perempuan maksudnya apa ya?" «Tapi yunolah, aku sudah tau maksud dia, ini cuma pencitraan saja. 
Namun aku menolaknya, aku melambaikan tangan ke arahnya. Ya, dia hanya diam, untung aku tidak dipaksa menidurinya. Walaupun gratis sekalipun, aku tak mau, karena keperjakaanku hanya untuk istriku kelak. Setelah lumayan lama, aku melihat pria setengah baya datang ke warung kopi itu, ia mulai bercakap mesra dengan perempuan itu. Dan perempuan itu mengajak pria tsb ke balik warung kopi, ternyata di balik warung kopi ada sebuah bedeng kecil. Mereka bercinta di sana. Dan mulai mengeluarkan suara gaduh. Aku mulai risih dan memutuskan membayar kopi yang kuminum dan kembali ke dalam stasiun yang sepi, sunyi seperti tak ada kehidupan.

Dua jam tepat aku di sini. Sudah tiba waktunya untuk supir angkutan menjajakan tenaga mereka. Suara debum dan deru kendaraan umum yang sudah siap melaju menghampiri telingaku, pertanda aku harus segera berdiri khusyuk menyambut kedatangan mereka. Orang-orang yang bertujuan sama mulai terbangun dari mimpi gelisah mereka. Aku berdiri mengheningkan cipta, berdoa semoga perjalanan ke rumah bisa lancar dan tak ada kendala.
Di saat kakiku melangkah menuju kendaraan yang mengantarku pulang, sekelebat saja kulihat ada seorang wanita yang tadi menawariku bercinta. Sepertinya ia menuju di tempat aku menanjakkan kaki. Semakin mendekati. Hatiku mulai kalut sendiri. Bagaimana jika ia masih sedikit terobsesi, memerawaniku yang masih perjaka ini. ih... aku bergidik ngeri. Tapi tidak. Bahkan melihatku saja tidak, di saat ia mulai sebatas satu meter denganku. Aku mulai berjalan lagi menuju angkutan yang sudah siap melayani. Wanita separuh baya yang bertubuh tegap itu mengiringi langkahku dengan irama langkahnya yang ragu-ragu. Seperti ada penyesalan di langkahnya yang semakin mengejar langkahku. Benar saja. Ia hendak pulang juga. Mungkin saja. Atau menuju persinggahan pria-pria yang mau membayarnya. Tetap saja. Ia akhirnya memang duduk tepat di depanku. Satu angkutan denganku, menuju Jepara. Tanah kelahiranku.
Di perjalanan kikuk ini aku mulai gelisah. Sedikit melirik pada wanita itu. Seperti tak asing. Kuperhatikan lagi. Ada segaris wajah lelaki. Dengan jambangnya yang berhasil wig tutupi. Aku semakin ingin mengerti. Ada wajah siapa di sana. Wanita atau lelaki. Namun, aku kembali menunduk gelisah. Merasa ada yang salah. Seperti aku memang mengenali seraut wajah yang tadinya terlihat seram. Entahlah... mataku memaksa untuk terpejam.
Perjalanan yang melelahkan... seharian bersama asap debu dan kumal keringat. Akhirnya tempatku menuju sudah di depan mataku yang kelopaknya masih ingin menutup erat. Rumah. Ibu. Rindu. Tiga hal yang membuat aku menjadi lebih kukuh. Aku mulai berdiri, di susul wanita paruh baya yang wajahnya seperti kukenali. Ia, apa ia mengikutiku untuk mengebiriku yang tak mau mendonor maniku ini padanya? Tidak . ia bahkan tak melihatku. Matanya kosong. Seperti ada penyesalan di sana.
“Pak, berhenti.” Ia mendahului apa yang ingin kuucapkan pada kernet angkutan. Benar. Tujuan kami sama persis. Di sini. Di tempatku menangis di dunia untuk pertama kali. Sudahlah... aku tak ambil pusing lagi. Tubuhku sudah benar-lelah. Ingin segera sampai rumah.
“Ibu....” sontak saja aku memanggil ibuku, bahkan sebelum pintu kuketuk. Suara derak langkah mulai mendekat. Agak cepat, namun sedikit lambat. Kekuatan manusia paruh baya. Aku begitu tak sabar menyambut pagi hari ini dengan pelukan ibuku yang lama tak kutemui. Kunci pintu mulai berderit, dan pula sedikit  merintih ketika gagang pintu dibuka. Usia rumah ini kira-kira memang lebih lama dari ibuku sendiri.
“alhamdulillah, nak....kamu sudah pulang.” Ucap ibuku tampak bahagia. Langsung saja aku menghambur ke pelukannya.
“ibu kangen sekali sama kamu, nak..”
“anakmu ini juga kangen sekali sama ibu.” Aku tersenyum haru.
Kami berdua mulai melepas rindu. Kuceritakan semua yang kurasakan pada ibu. Diceritakan semua yang ibu rasakan padaku. Entah, perasaan ini teramat syahdu. Kami berdua larut dalam emosi penuh haru. Hingga akhirnya ibu mulai bercerita padaku.
“ibu ada kabar bahagia, nak..”
“apa itu, bu?” tanyaku ingin tahu. Mulai kudekatkan kepalaku pada pangkuan ibu. Ingin ia membelai rambutku sambil bersenandung untukku.
“ibu ada kabar bahagia.”
“benarkah? Apa, bu? Apa?”
“sabar... sebentar lagi kamu akan tahu.”     
“yah, ibu..” kecewaku,  yang  malah disambut gelak tawa ibu, membuat luruh kecewaku. Tawa renyah itu yang kurindukan. Tawa yang melegakan jiwaku. Tawa yang begitu aku nikmati dengan segala sisa tenagaku.
Kami bersenda gurau penuh kegembiraan. Pagi yang begitu sempurna dengan matahari yang semakin berani menampakkan wujudnya.
Ketika kami tengah bercerita mengenai pengembaraanku, terdengar pintu diketuk perlahan. Beberapa kali, hingga kami mendengar. Ibu sontak tersenyum mencurigakan.
“siapa itu, bu?” aku bertanya padanya.
“itu dia kejutannya. Sebentar. Ibu buka pintu sebentar.” Aku mengangguk, mengiyakan.
Langkah ibu perlahan, semakin membuatku penasaran. Siapa di balik pintu itu yang katanya kejutan? Pikirku berkelana kemana-mana. Mengimaji apa saja yang kubisa. Sayang, tak sampai pikiranku ke sana.
Ah, dua langkah kaki manusia mulai mendekat, menuju ruang keluarga yang dibekali sofa tua warisan keluarga. Di tempat aku kini berada. Mengangkat wajahku tinggi-tinggi, pertanda aku dikelilingi rasa penasaran yang semakin tak tahu diri
Dua langkah yang begitu mesra melangkah. Dan aku pun berdiri seketika, melihat laki-laki setengah tua berada digandengan ibuku yang cantik jelita meski di usia tua.
Aku masih belum menyadarinya, ada yang tiba-tiba menyergap di dalam hati. Aku masih belum menyadari sebelum lelaki itu begitu terkejut melihatku.
“nah.. ini, nak... yang ibu katakan kejutan untukmu.” Ibu terlihat begitu bahagia. Wajahnya berseri tiada tara. Sedang lelaki itu, lelaki yang tampak tak asing lagi, begitu kalut wajahnya. Tak ada kata terucap dari mulutnya.
“ini, ini ayahmu. Yang sudah lama dipenjara. Maaf ibu tak pernah cerita. Tapi sekarang sudah tiba saatnya ibu berkata padamu. Ini dia ayahmu yang selalu kau tanyakan. Ayah yang dipenjara karena fitnah belaka. Maafkan ibumu ini. ibu hanya tak ingin kamu menyesali, mempunyai ayah yang dibui. Kini dia sudah bebas. Kini kita bersama lagi.” Ibu begitu bersemangat menceritakannya. Aku menghampiri mereka. Mencium tangan lelaki yang ibu bilang adalah ayahku. Ayahku. Ayahku. Yang sekarang aku tahu wajahnya yang tak asing lagi bagiku.
“ibu siapin sarapan dulu.” Ibu menuju dapur, meninggalkan kekikukan yang dialami kami berdua.
Wanita paruh baya itu. Wanita yang memiliki cambang yang disamarkan. Dia tak lain adalah lelaki yang sekarang ada di depanku. Lelaki yang menyamar menjadi wanita tuna susila, yang menjajakan kemaluannya. Yang menawariku kemaluannya. Yang mencoba menjebakku demi uang yang akan ibu gunakan untuk berbelanja. Tak salah lagi. Kuraih isi tasnya. Segala benda yang melekati badannya pada pagi buta itu. Benar! Itu ayahku. Ayahku yang menjajakan kemaluannya. Aku dan dia menyadari. Kami terdiam tak ada kata sama sekali. Kuharap ibu yang kini sudah di dalam dapur menyiapkan makan tak menyadari. Kubersihkan segala yang berserakan. Kembali terdiam. Kami terdiam. Berdua seperti disumpal mulutnya. Dan ibu datang pada kami, menyuruh kami menyiapkan diri. Menikmati sarapan bersama di pagi hari. Menikmati bersama ayahku yang datang kembali. Menikmati kebersamaan kami. Menikmati kekikukan yang ibuku tak sadari.


No comments:

Post a Comment

Write me your comment