written by = @fahmiezan @leetalit
Kereta berjalan dengan garangnya,
menembus keheningan malam dan udara malam yang mencekat. Hanya suara mesin
kereta yang terdengar di gerbong ini. Yang terlihat di depan mataku hanya
manusia2 yang terlelap dalam tidurnya. Mati untuk sementara dengan jiwa yang
mengembara sesukanya, sebelum kembali ke yang empunya. Aku masih gelisah,
setelah mendengar suara Ibu menelepon yang menyuruhku pulang tadi siang. Memang
aku sedang mengembara, mengembara di bumi Jakarta. Untuk mencari penghidupan
setelah aku menjadi sarjana. Karena rasa gelisahku ini, aku menjadi tak bisa
tidur, aku masih kepikiran perkataan Ibu. Iya Ibu memang cuma berkata,
"cepatlah pulang nak, Ibu sudah kangen sama kamu". Tapi wajar saja,
aku memang sudah setahun ini tidak pulang ke rumah. Mungkin saja rasa kangen
itu datang. Jam 9 malam tadi aku mulai perjalanan menuju ke Semarang, untuk
pulang ke rumah, untuk menemui Ibuku, Ibuku yang sedang rindu denganku, anak
satu2 nya yang Ia miliki. Dan akhirnya sampailah aku di stasiun Semarang, jam 3
pagi aku sudah sampai. Namun aku harus menunggu sampai pagi datang untuk
melanjutkan perjalanan menuju Jepara. Kotaku tercinta, yang telah lama
kutinggalkan. Karena harus menunggu angkutan menuju ke Jepara yang baru ada
ketika jam sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Aku empat tahun kuliah di Jogja, dan
pulang hanya kalau lebaran datang, setelah lulus sarjana aku langsung bekerja
di Jakarta. Dan baru kali ini aku menginjakkan kaki lagi di Semarang.
Aku hanya menunggu di emperan kursi
tunggu stasiun. Namun jenuh juga yang hanya minum air akua sambil pegang
sebatang rokok untuk menghangatkan tubuh yang mulai menggigil. Di sini sepi,
banyak juga orang2 disini yang tertidur di kursi tunggu. Aku mencoba mencari
kehidupan, keluar dari stasiun, mencoba mencari warung kopi. satu hal yang
menjadi alasannya, karena disini aku seperti tidak menemukan kehidupan.
Di tengah angin malam yang membelai
ragu kulitku, tak jarang pula tubuh ini menggigil karena dinginnya angin malam,
sampai bulu kuduk berdiri, aku mencari warung kopi. Dan akhirnya kutemukan apa
yang kutuju, ia terletak tepat di pinggir jalan tak jauh dari stasiun.
Di sana, nampak laki2 setengah tua
yang berjualan kopi.
"Pak, pesan kopi cappucino 1,
yang panas ya, Pak". Sambil memandangi jalanan, yang memang masih sepi,
jarang orang berlalu lalang, datangnya seorang perempuan setengah tua, dengan
wajah sedikit kusam, namun sepertinya make upan. Dengan gayanya yang cool,
sambil membawa rokok di tangan kanan, dan botol minuman di tangan kiri. Ia datang
ke arahku, aku bergidik ngeri seketika itu.
"Hai dek, mau kemana?"
Sapanya. Aku hanya menjawab, "iya Buk, ini mau pulang ke rumah, ke
Jepara". Yah obrolan cuma singkat saja, aku tak mau menimpalinya semakin
jauh, tetapi perempuan itu menawariku, "mau gak main sama aku?" Dalam
hatiku berkata "ini perempuan maksudnya apa ya?" «Tapi yunolah, aku sudah tau maksud dia, ini cuma
pencitraan saja.
Namun aku menolaknya, aku melambaikan
tangan ke arahnya. Ya, dia hanya diam, untung aku tidak dipaksa menidurinya.
Walaupun gratis sekalipun, aku tak mau, karena keperjakaanku hanya untuk
istriku kelak. Setelah lumayan lama, aku melihat pria setengah baya datang ke
warung kopi itu, ia mulai bercakap mesra dengan perempuan itu. Dan perempuan
itu mengajak pria tsb ke balik warung kopi, ternyata di balik warung kopi ada
sebuah bedeng kecil. Mereka bercinta di sana. Dan mulai mengeluarkan suara
gaduh. Aku mulai risih dan memutuskan membayar kopi yang kuminum dan kembali ke
dalam stasiun yang sepi, sunyi seperti tak ada kehidupan.
Dua jam tepat aku di sini. Sudah tiba
waktunya untuk supir angkutan menjajakan tenaga mereka. Suara debum dan deru
kendaraan umum yang sudah siap melaju menghampiri telingaku, pertanda aku harus
segera berdiri khusyuk menyambut kedatangan mereka. Orang-orang yang bertujuan
sama mulai terbangun dari mimpi gelisah mereka. Aku berdiri mengheningkan
cipta, berdoa semoga perjalanan ke rumah bisa lancar dan tak ada kendala.
Di saat kakiku melangkah menuju
kendaraan yang mengantarku pulang, sekelebat saja kulihat ada seorang wanita
yang tadi menawariku bercinta. Sepertinya ia menuju di tempat aku menanjakkan
kaki. Semakin mendekati. Hatiku mulai kalut sendiri. Bagaimana jika ia masih
sedikit terobsesi, memerawaniku yang masih perjaka ini. ih... aku bergidik
ngeri. Tapi tidak. Bahkan melihatku saja tidak, di saat ia mulai sebatas satu
meter denganku. Aku mulai berjalan lagi menuju angkutan yang sudah siap
melayani. Wanita separuh baya yang bertubuh tegap itu mengiringi langkahku
dengan irama langkahnya yang ragu-ragu. Seperti ada penyesalan di langkahnya
yang semakin mengejar langkahku. Benar saja. Ia hendak pulang juga. Mungkin
saja. Atau menuju persinggahan pria-pria yang mau membayarnya. Tetap saja. Ia
akhirnya memang duduk tepat di depanku. Satu angkutan denganku, menuju Jepara.
Tanah kelahiranku.
Di perjalanan kikuk ini aku mulai
gelisah. Sedikit melirik pada wanita itu. Seperti tak asing. Kuperhatikan lagi.
Ada segaris wajah lelaki. Dengan jambangnya yang berhasil wig tutupi. Aku
semakin ingin mengerti. Ada wajah siapa di sana. Wanita atau lelaki. Namun, aku
kembali menunduk gelisah. Merasa ada yang salah. Seperti aku memang mengenali
seraut wajah yang tadinya terlihat seram. Entahlah... mataku memaksa untuk
terpejam.
Perjalanan yang melelahkan...
seharian bersama asap debu dan kumal keringat. Akhirnya tempatku menuju sudah
di depan mataku yang kelopaknya masih ingin menutup erat. Rumah. Ibu. Rindu.
Tiga hal yang membuat aku menjadi lebih kukuh. Aku mulai berdiri, di susul
wanita paruh baya yang wajahnya seperti kukenali. Ia, apa ia mengikutiku untuk
mengebiriku yang tak mau mendonor maniku ini padanya? Tidak . ia bahkan tak
melihatku. Matanya kosong. Seperti ada penyesalan di sana.
“Pak, berhenti.” Ia mendahului apa
yang ingin kuucapkan pada kernet angkutan. Benar. Tujuan kami sama persis. Di
sini. Di tempatku menangis di dunia untuk pertama kali. Sudahlah... aku tak
ambil pusing lagi. Tubuhku sudah benar-lelah. Ingin segera sampai rumah.
“Ibu....” sontak saja aku memanggil
ibuku, bahkan sebelum pintu kuketuk. Suara derak langkah mulai mendekat. Agak
cepat, namun sedikit lambat. Kekuatan manusia paruh baya. Aku begitu tak sabar
menyambut pagi hari ini dengan pelukan ibuku yang lama tak kutemui. Kunci pintu
mulai berderit, dan pula sedikit merintih ketika gagang pintu
dibuka. Usia rumah ini kira-kira memang lebih lama dari ibuku sendiri.
“alhamdulillah, nak....kamu sudah
pulang.” Ucap ibuku tampak bahagia. Langsung saja aku menghambur ke pelukannya.
“ibu kangen sekali sama kamu, nak..”
“anakmu ini juga kangen sekali sama
ibu.” Aku tersenyum haru.
Kami berdua mulai melepas rindu.
Kuceritakan semua yang kurasakan pada ibu. Diceritakan semua yang ibu rasakan
padaku. Entah, perasaan ini teramat syahdu. Kami berdua larut dalam emosi penuh
haru. Hingga akhirnya ibu mulai bercerita padaku.
“ibu ada kabar bahagia, nak..”
“apa itu, bu?” tanyaku ingin tahu.
Mulai kudekatkan kepalaku pada pangkuan ibu. Ingin ia membelai rambutku sambil
bersenandung untukku.
“ibu ada kabar bahagia.”
“benarkah? Apa, bu? Apa?”
“sabar... sebentar lagi kamu akan
tahu.”
“yah, ibu..”
kecewaku, yang malah disambut gelak tawa ibu, membuat
luruh kecewaku. Tawa renyah itu yang kurindukan. Tawa yang melegakan jiwaku.
Tawa yang begitu aku nikmati dengan segala sisa tenagaku.
Kami bersenda gurau penuh
kegembiraan. Pagi yang begitu sempurna dengan matahari yang semakin berani
menampakkan wujudnya.
Ketika kami tengah bercerita mengenai
pengembaraanku, terdengar pintu diketuk perlahan. Beberapa kali, hingga kami
mendengar. Ibu sontak tersenyum mencurigakan.
“siapa itu, bu?” aku bertanya
padanya.
“itu dia kejutannya. Sebentar. Ibu
buka pintu sebentar.” Aku mengangguk, mengiyakan.
Langkah ibu perlahan, semakin
membuatku penasaran. Siapa di balik pintu itu yang katanya kejutan? Pikirku
berkelana kemana-mana. Mengimaji apa saja yang kubisa. Sayang, tak sampai
pikiranku ke sana.
Ah, dua langkah kaki manusia mulai
mendekat, menuju ruang keluarga yang dibekali sofa tua warisan keluarga. Di
tempat aku kini berada. Mengangkat wajahku tinggi-tinggi, pertanda aku
dikelilingi rasa penasaran yang semakin tak tahu diri
Dua langkah yang begitu mesra
melangkah. Dan aku pun berdiri seketika, melihat laki-laki setengah tua berada
digandengan ibuku yang cantik jelita meski di usia tua.
Aku masih belum menyadarinya, ada
yang tiba-tiba menyergap di dalam hati. Aku masih belum menyadari sebelum
lelaki itu begitu terkejut melihatku.
“nah.. ini, nak... yang ibu katakan
kejutan untukmu.” Ibu terlihat begitu bahagia. Wajahnya berseri tiada tara.
Sedang lelaki itu, lelaki yang tampak tak asing lagi, begitu kalut wajahnya.
Tak ada kata terucap dari mulutnya.
“ini, ini ayahmu. Yang sudah lama
dipenjara. Maaf ibu tak pernah cerita. Tapi sekarang sudah tiba saatnya ibu
berkata padamu. Ini dia ayahmu yang selalu kau tanyakan. Ayah yang dipenjara
karena fitnah belaka. Maafkan ibumu ini. ibu hanya tak ingin kamu menyesali,
mempunyai ayah yang dibui. Kini dia sudah bebas. Kini kita bersama lagi.” Ibu
begitu bersemangat menceritakannya. Aku menghampiri mereka. Mencium tangan
lelaki yang ibu bilang adalah ayahku. Ayahku. Ayahku. Yang sekarang aku tahu
wajahnya yang tak asing lagi bagiku.
“ibu siapin sarapan dulu.” Ibu menuju
dapur, meninggalkan kekikukan yang dialami kami berdua.
Wanita paruh baya itu. Wanita yang
memiliki cambang yang disamarkan. Dia tak lain adalah lelaki yang sekarang ada
di depanku. Lelaki yang menyamar menjadi wanita tuna susila, yang menjajakan
kemaluannya. Yang menawariku kemaluannya. Yang mencoba menjebakku demi uang
yang akan ibu gunakan untuk berbelanja. Tak salah lagi. Kuraih isi tasnya.
Segala benda yang melekati badannya pada pagi buta itu. Benar! Itu ayahku.
Ayahku yang menjajakan kemaluannya. Aku dan dia menyadari. Kami terdiam tak ada
kata sama sekali. Kuharap ibu yang kini sudah di dalam dapur menyiapkan makan
tak menyadari. Kubersihkan segala yang berserakan. Kembali terdiam. Kami
terdiam. Berdua seperti disumpal mulutnya. Dan ibu datang pada kami, menyuruh
kami menyiapkan diri. Menikmati sarapan bersama di pagi hari. Menikmati bersama
ayahku yang datang kembali. Menikmati kebersamaan kami. Menikmati kekikukan
yang ibuku tak sadari.
No comments:
Post a Comment
Write me your comment