Saturday 20 July 2013

Merayakan Kebebasan Bersama Hujan




Aku punya sahabat. Namanya Ronda. Ronda Arfano. Wajahnya putih mulus. Tubuhnya tinggi sempurna. Badannya tegak mempesona. Sayang, banyak yang mengecam dia karena dia tidak seperti laki-laki kebanyakan. Banyak yang menganggap dia aneh dan layak dijauhi. Itu bukan termasuk aku. Aku selalu menyukainya. Aku menyukai gurauannya. Aku pun menyukai loyalitasnya sebagai sahabat.
Sekali waktu dia bercerita tentang saat dirinya masih sangat muda. Kalau tidak salah, dia berkata, saat itu dia berusia sembilan tahun. “Itu bukan muda,” kataku padanya. Kulihat matanya melotot, tak terima karena dia mengira umur segitu memang terbilang muda. Dia tetap ngotot. Dia pun memonyongkan mulutnya yang terbilang sudah termasuk jajaran monyong. “Itu masih anak-anak, Ronda.” Jelasku padanya. Dia lalu tertawa. Hahaha. Itu yang aku suka darinya, polos sekali. Apalagi mulutnya yang aduhai saat dia tertawa pasrah, selalu saja membuatku terkikik.
Dari ceritanya aku menangkap kisah yang kelam. Dia bercerita tentang perasaannya yang kacau saat itu. Dia menyukai seorang anak lelaki di kelasnya. Saat anak laki-laki seusianya saling mengejeki soal gadis yang mereka incar, dia justru suka berada di tengah-tengah anak perempuan. Entah itu bermain lompat tali, atau sekedar bermain bola bekel, bersama denganku yang memang satu kelas dengannya. Saat itu dia mulai sadar bahwa dirinya bukan seperti lainnya. Memang aku ketika itu belum tahu. Baru saat SMP dia mulai berani memberitahukanku. Kabar baiknya, kedua orang tua Ronda selalu mendukungnya, meski dia bukan seperti anak kebanyakan. Sama seperti kedua orang tuanya, aku pun menerima Ronda apa adanya. Ya. Dia seorang lelaki penyuka sesama.
Sebagai sahabatnya, aku lalu mengangkat Ronda sebagai penasehat cintaku juga. Sudah tiga tahun aku jadi single lady, sudah sejak pacarku memutuskan untuk pergi dari hidupku. Tahun ini akan aku patahkan status itu. Aku berencana untuk mencari pacar lagi.
Sejak dia menjadi penasehat cintaku, Ronda selalu ada untukku. Aku selalu memasrahkan pilihan lelaki yang mendekatiku padanya. Aku selalu percaya padanya. Kau tahu lah, dia penilai lelaki terhebat yang pernah kutemui. Pernah suatu ketika dia memberitahukanku bahwa lelaki yang sedang mendekatiku itu ada maunya. Mungkin mau tubuhku-banyak yang bilang aku cantik dan tubuhku tinggi gemulai-atau sekedar ingin numpang tenar saja. Ronda benar. Setelah kami berdua selidiki, lelaki itu memang tengah mencalonkan diri jadi ketua Badan Eksekutif Mahasiswa.
Namaku Diandra Asmara. Sudah lima bulan ini aku dianugerahi mahkota sebagai duta kampus. Banyak kegiatan sosial yang memajang namaku sebagai ikonnya. Aku pintar bergaul. Aku pula pintar dalam segi akademis. Kalau saja aku boleh menyombongkan diri, aku akan bilang bahwa hidupku sempurna. Namun, di balik kesempurnaanku, aku menyimpan sesuatu. Aku seorang lesbian. Ronda pun tak tahu itu. Mungkin juga aku memang pintar menyembunyikan dan mengingkarinya. Namun, aku jelas tak ingin ada orang mengetahuinya. Lantas, kukatakan pada Ronda untuk mencarikanku lelaki. Paling tidak, dengan itu aku bisa sedikit meredakan gejolakku menyukai sesama jenis. Kuharap terapi ini bisa membantu. Kuharap lagi dengan ini tak ada yang bisa mengetahui rahasia besarku ini.
Aku memang memilih untuk menutupi hal yang masih tabu itu, bahkan orang tuaku pun tak pernah tahu. Jelas. Aku juga tak ingin mereka merasa malu karena punya anak seperti aku. Benar saja, mereka memang termasuk orang terpandang. Ayahku pejabat, ibuku pengusaha. Lagipula, mereka juga tak pernah peduli padaku. Apa bedanya, mereka tahu atau tidak tahu, tetap saja mereka tak pernah ada untukku.
Aku sadar kalau aku beda ketika aku masih bersama Riko, mantan pacarku. Aku memang tak pernah merasa nyaman, namun tetap saja kupertahankan. Saat dia memberi ciuman, aku bahkan tak pernah merasakan. Seperti bibirku saat itu menjadi kebal. Tak ada rasa, kecuali jijik saja. Mungkin saja Riko tahu, lalu dia akhirnya pergi meninggalkanku.
Ronda, sahabatku sejak SD dulu. Meski dia tak pernah mengetahui keanehanku, dia teman yang selalu bisa membuatku bisa bertahan hidup dalam keadaanku ini. Lebih dari itu, Ronda juga tahu bagaimana rasanya jadi beda. Aku bersyukur memiliki sahabat seperti dia. Jelas, itulah yang membuatku masih selalu bisa tersenyum. Ronda.

***
Hujan gemerisik di atas payung yang melindungi tubuh menggigilku. Saat itu sudah jam delapan malam. Aku baru pulang dari pemotretan untuk majalah kampus edisi bulanan. Aku berjalan pulang sendirian. Tak kusangka, saat aku berhenti sejenak untuk mengusap tetesan air di keningku-maklum saja, payung temuan-aku berpapasan dengan seorang gadis yang kehujanan. Dia duduk berpangku tangan di taman dekat jembatan. Kutebak umurnya masih belasan, terpaut kira-kira lima tahun di bawahku.
Kuhampiri gadis yang masih memakai seragam SMA. Kudekati perlahan dari arah belakang. Ia menengok seketika mendengar derap langkahku yang sudah berusaha untuk pelan. Sepertinya dia ketakutan. Kudekati lagi pelan-pelan, sambil berkata, “Tenang aja. Aku nggak jahat, kok,” bibirku nyengir kuda dadakan.
Sepertinya gadis itu mulai tenang. Dia lalu bercerita, bercerita kedukaannya. Sambil menangis dia terus bercerita. Begitu terkejutnya aku saat dia bilang telah diperkosa. Pantas, setelah kuselidiki, bajunya memang agak robek di bagian lengannya kanan. Aku tak mengetahui sebelumnya karena aku duduk tepat di sebelah kirinya. Dengan masih memegang tangkai payung untuk melindungi kami berdua, aku reflek mengusap kepalanya. Lantas, ia lalu menangis di pundakku. Pundak orang asing yang baru sekali bertemu.
Kutanya padanya, “Di mana rumah kamu?” dengan harapan bisa mengantarnya ke sana. Tak mungkin aku membawanya ke rumah, sedang ada acara arisan keluarga, itu kata ibuku tadi pagi. Mungkin sampai sekarang acara itu masih berlangsung. Aku tak mau berada di sana, makanya aku tadi memilih berjalan pulang dari pada naik taksi seperti biasanya. “Aku nggak mau pulang.” Katanya, masih tetap membiarkan air matanya meleleh. Kutanya lagi, “kenapa?” ia diam saja, lantas menangis dengan isakan dalam volume yang makin tinggi. Sejenak kubiarkan saja gadis itu menangis. Sayang, aku tak dapat memprediksi. Ternyata setelah itu dia lari dengan batas tercepatnya. Aku yang masih terkejut hanya bisa berdiri dan kemudian mulai berteriak. “HEI… KAMU MAU KE MANA?” dan aku mengejarnya.
Tak sampai sepuluh menit, aku kelelahan. Kulihat dia pun keletihan. Dia duduk lagi, memandangku yang sudah semakin dekat jaraknya. Jika aku bisa memvisualkan, kami berdua seperti bermain lari-larian. Hanya bermain. Namun, ini bukanlah permainan. Aku tengah menghadapi korban pemerkosaan. Sudah seharusnya aku membantunya. Lalu, kuputuskan untuk membawanya pulang, setelah setengah jam dalam argumen penuh bujukan. Sudahlah. Keluargaku pasti mengerti. Sudah layaknya mereka mengerti.
Aku kini tidak sendirian lagi. Aku berjalan pulang dengan seorang gadis malang. Sesekali kutengok dia yang berjalan di belakangku. Kucoba menggandeng tangannya, namun ia enggan. Sempat aku berpikir untuk membawanya ke kantor polisi dan melaporkan kejadian ini. Aku urungkan, lantaran dia terlihat begitu kelelahan.

***

Memang aku berencana untuk membawa pulang gadis yang mengaku namanya Ciara itu. Akan tetapi, aku melihat kemungkinan yang sedikit riskan. Selain takut tak diijinkan, aku juga malas untuk pulang. Lantas, kubelokkan saja ke arah kos Ronda yang memang agak dekat dengan rumahku. Ya, Ronda memang sejak ditinggal orang tuanya meninggal enam tahun lalu, memutuskan untuk tinggal di kos saja. Dia memilih untuk menyewakan rumah peninggalan orang tuanya demi melupakan kesedihannya. Sudah layaknya dia begitu karena orang tua yang dia cintai meninggal lantaran rumahnya dirampok orang. Apalagi kabarnya dia sempat diperlakukan tak layak oleh para perampok itu. Sudahlah, aku sudah janji pada diriku sendiri untuk tak membahasnya lagi.
Sesampainya di depan pintu kos, aku langsung mengetuk pintunya. Saat itu sudah pukul sepuluh malam. Mungkin Ronda sudah tidur. Ah, sahabatku itu memang jago sekali kalau ada hubungannya dengan kasur dan bantal.
“Ronda… bukain pintu, dong,” setengah berbisik aku memanggil Ronda setelah ketukanku pada pintu kuanggap percuma.
Semua usahaku sia-sia. Sudah hampir lima belas menit kami berdua di depan pintu kos Ronda menanti harapan.
Seketika saja terpikir untuk menelpon ke ponselnya. Baru kukeluarkan ponsel dari dalam tasku, Pintu kos Ronda berdenyit. Dia tampak berkeringat. Masih belum menyadari ada aku di depannya. Telinganya tersumbat headphone yang terdengar suaranya sampai ke telingaku, agak bocor saking kerasnya. Lagaknya sedikit berjoget salsa, hobi lainnya yang ia sangat sukai. Pantas saja ia tak dengar. Dia pasti tadi sedang asik joget-joget sendiri di kamar. Ah, Ronda…
Ronda setengah terlonjak ketika dia menengadah dan matanya menangkap bentukku yang ternyata ada di sana. “DIANDRA!” dia menjerit spontan. “Kaget, tau!” dia lalu menepuk jidatnya seperti yang biasa ia lakukan saat tercengang. Ronda, sahabatku yang unik. “Untung gue mau nyari camilan.” Lanjutnya menjelaskan. Dia pun melenggang mencari camilan. Sepertinya tak sempat melihat Ciara yang berdiri di belakangku.
“Yah, kok kamu pergi?” teriakku padanya yang semakin jauh berjalan menuju warung jajanan. Kubiarkan saja akhirnya.
Ciara kulihat masih diam saja di belakangku. Diam tak bergeming. Mungkin juga ia tengah menahan sakit yang dideranya. Kasihan sekali. Tanpa basa-basi lagi aku langsung masuk ke kamar Ronda dengan menggandeng Ciara.
“Ayo, masuk.”
Sampai di kamar, aku menyuruh Ciara membersihkan diri dan langsung istirahat. Beruntung, kamar kos Ronda memang tergolong besar. Barangnya juga disimpan rapi di lemari. Tak ada satu pun barang tergeletak berantakan, tak seperti kamar laki-laki kebanyakan. Ada dua tempat tidur, atas dan bawah. Memang dia sengaja mempunyai dua tempat tidur. Sampai saat ini, dia masih berharap kalau orang tuanya bisa mengunjunginya dan menginap. Sayang, hal itu tak mungkin. Meski demikian, tetap saja dia merasa lebih nyaman seperti itu. Toh, biasanya aku yang menempati kasur satunya. Ya, aku memang kadang lebih memilih menginap di kos Ronda daripada di rumah kesepian. Maklum saja, orang tuaku sering bepergian. Entah kemana.
“Eh, itu siapa yang di kamar mandi, Di?” celoteh Ronda yang terkejutnya semakin menjadi.
“Ssst.. Jangan berisik. Ntar aku ceritain.” Bisikku ke telinga Ronda, mencegah Ciara untuk mendengarnya.
Usai mandi, Ciara kuperkenalkan pada Ronda. Lalu, aku memintanya untuk beristirahat dengan segera.
***
Televisi yang ada di kamar sudah menyala. Programnya memang tak jelas, kami paksakan saja untuk menontonnya. Pasti Ronda sedang sibuk dengan pikirannya sendiri, begitu pun aku.
Tepat pukul dua belas malam. Anjing perumahan sudah menggonggong di luaran. Berkeliaran seperti merayakan kebebasan. Saat itu, kulihat Ciara sudah tertidur pulas. Kemudian dengan mengendap aku dan Ronda keluar. Aku mengajak Ronda ke beranda. Demikianlah, kuceritakan padanya semua yang terjadi.
“Ya ampun, Di. Kok bisa gitu, ya? Kasian sekali si Ciara.” Respon Ronda setelah kuceritakan kejadian yang tengah dialami Ciara. Lantas aku mengiyakan dengan anggukan dalam.
“Menurut kamu gimana, Ron? Kita bakalan laporin ke polisi?” tanyaku padanya meminta pendapat.
“Aduh, Di. Aku males kalau urusan-urusan sama polisi. Kita nggak kenal dia juga, kan? Rempong, ah.” Keluhnya.
“Kok kamu gitu, sih? harusnya kita bisa bantu Ciara, Ron. Sebagai wanita, aku nggak terima.” Jengkelku pada Ronda yang sepertinya tidak ingin direpotkan dengan masalah ini.
“Diandra, aku bukannya nggak mau bantu, tapi ini urusan serius. Aku sebenarnya takut, Di.”
“Takut kenapa?”
“Nggak tahu. Pokoknya aku nggak mau bantu kalau masalah polisi.”
“Terus gimana, Ron? Anak orang, tuh. Kasihan.”
“Iya, anak orang. Masa anak gorilla.” Kesal Ronda diselipi gurauan khasnya. Akhirnya aku ngakak juga dibuatnya. Suasana pun menjadi sedikit lebih tenang.
“Kita sembunyiin aja dulu. Itung-itung buat temen aku di sini,” lanjut Ronda. Aku mulai mempertimbangkan.
“Kenapa kita nggak antar dia ke rumahnya, sih?” sela Ronda tiba-tiba.
“Nah, itu dia. Orang tadi pas aku nanya sama dia rumahnya di mana, dianya langsung kabur. Besok lagi deh kalau dia udah agak tenang, kita tanyain.” Ucapku akhirnya.
“Iya, deh. Eh, Udah malam sekali, ya? Kamu nginep, kan?”
“Iya. Masa aku mau pulang jam segini juga? Kamu mau aku diperkosa juga?” candaku. Ronda tertawa.
“Dasar. Mending aku yang perkosa kamu.” Usilnya, masih sambil terpingkal.
“Ih, emang kamu doyan?”
“Enggak… “ pasrahnya sambil menjitak kepalaku. “AW, Ronda.” Kubalas menjitaknya. Kami tertawa memegangi perut, sambil beranjak menuju kamar Ronda, tepat saat hujan mulai menari-nari lagi bersama angin yang mendendang.
***
Sudah dua hari sejak Ciara di sini, di kos Ronda. Aku tidak selalu di sana. Aku masih pulang ke rumah untuk sekedar absen pada orang tua. Siang usai kuliah aku usahakan ada di sana. Sampai malam menjelang, baru aku turun ke kandangku sendiri. Sepertinya kami bertiga sudah cukup akrab. Tapi, aku dan Ronda masih belum berani buka mulut tentang kasus Ciara. Kami berdua sengaja membiarkannya tenang dulu.
Ciara masih belum banyak bicara. Dia hanya bisa tertawa saat Ronda mulai melucu lagi dengan tingkahnya. Aku pun tak banyak ucap, hanya sekedar berkeluh-kesah pada Ronda, seperti biasanya.
Menjelang seminggu, tak ada kabar yang menjelaskan bahwa Ciara telah hilang. Aku curiga, sebenarnya Ciara itu siapa? Kuberitahukan pada Ronda. Akhirnya kami berdua memberanikan diri untuk bertanya pada Ciara.
Suatu petang datang, kami bertiga berkumpul di depan tivi melihat acara para komedian. Kukira ini saat yang tepat. Ciara tengah berwajah ceria. Saatnya kami bertindak.
“Ciara, ehmm…” aku mulai bicara. Ciara yang tengah terbahak sontak kaget. “Ha? Kenapa, Kak?” ucapnya tidak tenang.
“Sebenarnya kamu ini siapa?” Ronda langsung melontarkan isi kepalanya. Kulihat kepala Ciara menunduk ngeri. Seperti ada yang disembunyikan.
“Kamu beneran udah diperkosa, Ci? Yang nglakuin siapa? Cerita aja sama kita. Siapa tahu aku sama Kak Ronda bisa nolongin kamu. Apa kamu nggak dicariin orang tua kamu?” cerocohku menuntut kejelasan.
Sebenarnya aku tak ada masalah dengan adanya Ciara dalam hidupku dan Ronda. Justru aku merasa bersyukur punya dia sekarang. Hidupku dan Ronda menjadi lebih berwarna lantaran Ciara memang gadis ceria. Malahan, Ciara sedikit bisa membuat hatiku bahagia, sepertinya aku menyukai gadis cantik ini. Lebih dari sekedar suka, aku mulai sayang padanya. Tapi, dia menyembunyikan sesuatu. Itu yang selalu mengganjal dalam hatiku.
Sempat aku memutuskan untuk memberitahu Ronda tentang kelesbianku. Namun, kupikir belum saatnya. Selama kami berdua tak tahu siapa Ciara dan bagaimana asal usulnya, aku akan memendam rasa ini. Aku akan bertahan untuk merahasiakannya sampai kasus Ciara terungkap kebenarannya.
Bukannya aku tak percaya cerita Ciara, namun ini semuanya aneh bagiku. Mana mungkin dia setegar itu, sesantai itu, padahal dia korban perkosaan. Tak sewajarnya dia tenang. Aku semakin yakin bahwa Ciara menyimpan rahasia.
Ciara terdiam sesaat. Sesaat yang lama. Mungkin sekitar sepuluh menit. Sepuluh menit yang panjang. Ditambah lagi suara hujan di luar membuat kami bertiga seakan-akan berada dalam drama seri yang sering muncul di televise. Dramatis. Menegangkan.
“Kak Ronda, Kak Diandra..” Ciara mulai membuka mulutnya. Bibirnya bergetar sepertinya.
“Maafin Ciara. Ciara udah bohong sama kalian.”
Hatiku terkoyak seketika, namun ada sedikit perasaan lega. Kulirik Ronda, dia sepertinya juga sama rasa.
“Jadi, aku ini enggak diperkosa. Aku lari dari Mami. Dia yang menampungku di sini. Rumahku ada di luar Jawa. Orang tuaku sudah tiada. Aku ke kota ini seorang diri. Mami bantu aku ngasih tempat tinggal. Bayarannya.. “ Ciara berhenti bercerita. Dia menangis saat itu juga. Aku dan Ronda tahu jalan cerita itu selanjutnya, maka kami berdua hanya bisa memeluknya.
“Udah, udah. Nggak apa-apa, kok. Kita berdua bakalan jaga kamu di sini. Nggak usah kuatir, ya.” Ronda berkata lembut pada Ciara, mencoba menenangkan. Dari kata-katanya terselip sesuatu. Dia pun ingin mencoba menenangkan dirinya sendiri dengan berkata demikian. Lantas, kami bertiga tetap berpelukan, mengharu biru dalam rintik hujan yang masih memburu.
***
Hari ini sabtu malam. Kedua orang tuaku biasanya pergi keluar kota sekitar dua harian. Aku berencana untuk mengajak Ciara ke rumahku untuk bermalam. Apalagi, Ronda sempat memberitahukanku dia akan ada deadline untuk artikel mingguan. Kebetulan.
Entah kenapa perasaanku semakin menjadi. Aku merasakan yang namanya berdebar di dada. Aku pun sering merindukan Ciara. Aku selalu ingin bersamanya. Mungkinkah aku mencintai gadis itu?
Memang tidak ada salahnya kalau ada kaitannya dengan cinta. Aku pun mengakui bahwa aku tidak seperti perempuan kebanyakan. Aku tak pernah memikirkan ingin punya lelaki untuk kujadikan pacar. Semua usahaku untuk mencari pasangan berjenis kelamin lelaki itu hanya untuk mengalihkan pikiranku. Mengalihkan pikiran untuk memikirkan perempuan. Tuhan, kenapa Kau jadikan aku seperti ini? Aku pun ingin menjadi normal. AARRRGGhhh… Sudahlah. Tak akan kupersalahkan lagi Tuhan. Ini semua memang sudah jadi suratan.
Maka, kujemput Ciara di kos Ronda. Aku mengendarai sepeda. Menyusuri jalanan ramai orang berduaan di taman dekat rumahku. Kukayuh perlahan agar tidak terlalu berkeringat. Ditambah banyak polisi tidur sepanjang jalan menuju kos Ronda. Maklum, perumahan padat penduduk. Banyak anak kecil yang sering berkeliaran di jalanan depan rumah mereka masing-masing. Berlarian bersama teman-teman sebaya mereka yang nakal minta ampun. Sering sekali anak-anak SD itu mengeroyok pejalan kaki untuk dimintai uang jajan. Wajar, anak kecil. Tapi, anak kecil yang bongsor badannya. Jadi ngeri. Semoga mereka tidak sedang bermain di jalanan. Seperti biasa, aku hanya akan berlagak sok ganas saja. Seperti biasa, mereka nanti pasti enggan dekat-dekat karena wajahku yang kubuat sangar.
Setelah sepuluh menit kukayuh sepeda, aku sampai di kos Ronda. Aku langsung manghampiri Ciara. Tak kusangka. Semuanya yang kupersiapkan sia-sia. Ciara tidak di sana.
***
Langit melegam. Bintang enggan menemaninya yang tengah bersedu sedan. Akhirnya langit sendirian. Sepertiku tanpa teman. Kulajukan sepedaku melintasi jalanan penuh keramaian. Mereka menghindari hujan yang mendadak datang. Berlarian untuk menemukan perlindungan. Mereka mencari tempat berteduh dengan imbalan saling menggenggam pasangan. Aku tak mau melihat romansa hujan. Lantas kuberdiri menantang hujan. Sendirian.
“Tuhan, apa perasaanku ini salah? Baru saja ingin berkata jujur dan menerima keadaan. Tapi, kesempatan itu Kau ambil juga, Tuhan? Apa aku harus selalu sendirian tanpa ada cinta? Aku menyukai perempuan. Memangnya kenapa, Tuhan? Bukannya ini takdirku? Berilah aku keringanan, berikanku perempuan pembawa kebahagiaan. Lalu, aku akan berani menghadapi dunia yang kejam. Aku bahkan tak peduli lagi orang nanti mau berkata apa. Biarkan aku memiliki Ciara, Tuhan.”
Air mataku mengalir sederas hujan. Langit seakan mendengar rintihanku yang dalam. Mungkin langit merasakan apa yang kurasakan. Lalu hujan pun terus melindungiku dari kesepian.
Dari kejauhan kudengar suara memanggilku. Suara sayup-sayup yang menghentikan detak jantungku dalam tempo sepersekian detik. Suara peri kecilku yang tiap malam kuimpikan. Ciara. Kutolehkan kepalaku kebelakang. Ciara dan Ronda sudah berdiri di bawah pohon rindang, menghindari hujan. Padahal, baju mereka tampak basah seperti baju yang kukenakan. Mereka menghampiriku yang terduduk sendirian.
“Di, aku udah denger semuanya,” ucap Ronda.
“Iya, Kak. Kita udah denger,” sela Ciara berikutnya.
Aku terhenyak menahan perasaanku yang berlomba-lomba untuk mendominasi. Malu, gelisah, senang, kecewa, bahagia, bingung.
“Iya, Di. Tadi aku lihat kamu keluar dari kos. Mau kita panggil, kamu udah cepet banget ngayuh sepedanya. Akhirnya kita kejar sampai ke sini. Aku sama Ciara tadi keluar. Ciara juga sempat cerita sama aku. Ciara sama kayak kamu, Di,” jelas Ronda.
“Kak Diandra. Selama ini aku juga mengalami hal kayak Kakak. Aku emang sempat jadi pelacur. Tapi, aku heran karena aku sama sekali tidak bisa seperti pelacur lainnya yang pasrah akan nasibnya. Bahkan banyak yang justru menikmati perannya. Aku enggak bisa. Aku ternyata tidak seperti mereka. Aku sama kayak Kakak. Aku lesbi. Maaf, aku nggak berani bilang sama Kak Diandra kalau aku sering mikirin Kakak. Makanya tadi aku nenangin diri dan cerita semuanya sama Kak Ronda. Aku takut Kakak jadi jauh,” Ciara menunduk sedih lantas melanjutkan kata-katanya yang masih belum terucap.
Aku sama sekali tidak bisa berucap apa-apa. Air mataku berhenti seketika meski hujan belum mau reda.
“Kak Diandra, aku juga sayang sama Kakak. Kak Ronda juga bilang, perasaanku ini nggak salah. Nggak ada yang salah kalau menyangkut cinta. Meski kita beda dari orang lain, tapi kita berhak mendapatkan cinta. Iya, kan?” Ciara meminta pendapatku. Kulihat Ronda juga seakan mendukungku untuk mengakui perasaanku. Seketika kupeluk mereka berdua tanpa kata. Mereka berdua memelukku erat. Kami bertiga menyatukan jiwa kami dalam pelukan penuh kebahagiaan. Tak lupa, hujan juga memberikan ucapan selamat pada jiwa kami yang saling merapatkan barisan.
Hujan sering tak diharapkan, hujan pun sering dikecam karena membuat tubuh yang wangi kebasahan. Hujan sering dicela karena datang tak sesuai harapan. Namun, hujan pun selalu setia memberi kebahagiaan, hujan pun pantas diberi penghargaan. Karena berkat hujan, tanah yang kering kini jadi subur seketika. Kami berbeda, tapi kami juga berhak bahagia dengan cara kami sendiri. Seperti hujan yang layak mendapat kebahagian dengan membiarkannya merayakan kebebasan dari belenggu awan kelam.



No comments:

Post a Comment

Write me your comment