Sunday, 21 July 2013

Di balik suatu pagi

》fahmiezan
Pagiku pagimu pagi kita.
Pagi akan selalu datang dalam kadar yg sama.
Tapi aku, kamu dan kita menerimanya secara berbeda.
Aku sebagai kepala keluarga menyambut pagi dengan langkah tegap, bersiap mencari sebercak nafkah demi keluarga kecil kita. Iya masih keluarga kecil karena kami belum mempunyai buah dari cinta (anak-red).
Pagimu selalu kamu awali dengan kecupan manis di keningku, sungguh romantis. Dan kamu bersiap mempersiapkan segala keperluanku di kala matahari masih bersiap menyinari.
Pagi kita? Iya pagi kita. Masih belum mempunyai momongan membuat pagi kita sunyi. Entahlah, aku sudah menikahimu 8 tahun yang lalu, tapi masih belum ada tanda-tanda datangnya sang jabang bayi. Tapi aku tak mempermasalahkan hal itu, aku tetap mencintaimu.
Pagi berubah menjadi siang, aku bekerja dengan penuh doa, iya istriku pasti berdoa buatku, buat dia dan buat kita. Dalam doanya pasti akan terkandung banyak harapan untuk punya momongan.
Pernah suatu ketika, dia mengijinkanku untuk menikahi wanita lain, untuk apa?supaya aku bisa dapat seorang anak dari wanita itu. Ah pikirku tak karuan saat itu, istriku pasti memendam rasa kekecewaan yg sangat dalam pada dirinya sendiri. Tapi aku tak boleh berpikiran sama seperti istriku, ini jalan Tuhan untuk kita. Iya kita, keluarga yang terlampau kecil sejak 8 tahun yang lalu yang merindukan hadirnya buah cinta.


》leetalit
Aku seorang wanita. Wanita yang tak pantas menjadi wanita. Seorang wanita yang tak bisa memberi rasa bahagia. Itukah aku Tuhanku yang maha bijaksana?
Apa aku pantas disebut wanita jika sampai sekarang masih belum bisa kuhadiahi suamiku seorang boneka kecil bernyawa? Atau aku Kau anggap tak pantas menerima anugerahmu yang begitu kuingini itu Tuhan?
Bagaimana lagi harus aku terima nasib malangku ini. Bukannya aku sudah berdoa padamu tiap malam hingga kering airmataku? Bukannya aku telah mencoba berbagai cara hingga sudah lelah rasanya berusaha? Tidak. Aku tak boleh putus asa begitu rupa. Aku akan tetap berpasrah karena ini adalah jalanku yang kau ingini,Tuhan.
Lalu, masih pantaskah aku mendampingi hidup lelaki yang selalu mengusap lembut kepalaku ketika airmata ini membanjiri? Tapi tak semudah itu aku bisa membaginya dengan wanita lain jika itu yang harus kulakukan pada akhirnya. Oh, tuhan, dia begitu mulia, hambaMu itu sungguh tak pantas untuk diri ini yang tak sempurna. Yang tidak mempunyai daya menciptakan rasa bahagia dalam hidupnya. Taukah kau Tuhan, dia menepis begitu saja pintaku untuk menyunting gadis yang bisa menyemaikan harinya. Kau tahu Tuhan, aku begitu bahagia, namun ada sedikit kecewa. Lalu apa yang harus kulakukan berikutnya? Haruskah aku memintanya melepasku saja? Atau? Tidak.. Apa bisaku tanpanya? Baiklah Tuhan, aku akan lebih bersabar saja. Jika itu memang yang Kau kehendaki. Semoga suatu ketika aku bisa memantaskan diri hambaMu ini untuk kau anugerahi kebahagian untuk kami.

No comments:

Post a Comment

Write me your comment