Aku
punya sahabat. Namanya Ronda. Ronda Arfano. Wajahnya putih mulus. Tubuhnya
tinggi sempurna. Badannya tegak mempesona. Sayang, banyak yang mengecam dia
karena dia tidak seperti laki-laki kebanyakan. Banyak yang menganggap dia aneh
dan layak dijauhi. Itu bukan termasuk aku. Aku selalu menyukainya. Aku menyukai
gurauannya. Aku pun menyukai loyalitasnya sebagai sahabat.
Sekali
waktu dia bercerita tentang saat dirinya masih sangat muda. Kalau tidak salah,
dia berkata, saat itu dia berusia sembilan tahun. “Itu bukan muda,” kataku
padanya. Kulihat matanya melotot, tak terima karena dia mengira umur segitu
memang terbilang muda. Dia tetap ngotot. Dia pun memonyongkan mulutnya yang
terbilang sudah termasuk jajaran monyong. “Itu masih anak-anak, Ronda.” Jelasku
padanya. Dia lalu tertawa. Hahaha. Itu yang aku suka darinya, polos sekali.
Apalagi mulutnya yang aduhai saat dia tertawa pasrah, selalu saja membuatku
terkikik.
Dari
ceritanya aku menangkap kisah yang kelam. Dia bercerita tentang perasaannya
yang kacau saat itu. Dia menyukai seorang anak lelaki di kelasnya. Saat anak
laki-laki seusianya saling mengejeki soal gadis yang mereka incar, dia justru
suka berada di tengah-tengah anak perempuan. Entah itu bermain lompat tali,
atau sekedar bermain bola bekel, bersama denganku yang memang satu kelas
dengannya. Saat itu dia mulai sadar bahwa dirinya bukan seperti lainnya. Memang
aku ketika itu belum tahu. Baru saat SMP dia mulai berani memberitahukanku. Kabar
baiknya, kedua orang tua Ronda selalu mendukungnya, meski dia bukan seperti
anak kebanyakan. Sama seperti kedua orang tuanya, aku pun menerima Ronda apa
adanya. Ya. Dia seorang lelaki penyuka sesama.
Sebagai
sahabatnya, aku lalu mengangkat Ronda sebagai penasehat cintaku juga. Sudah
tiga tahun aku jadi single lady, sudah
sejak pacarku memutuskan untuk pergi dari hidupku. Tahun ini akan aku patahkan
status itu. Aku berencana untuk mencari pacar lagi.
Sejak
dia menjadi penasehat cintaku, Ronda selalu ada untukku. Aku selalu memasrahkan
pilihan lelaki yang mendekatiku padanya. Aku selalu percaya padanya. Kau tahu
lah, dia penilai lelaki terhebat yang pernah kutemui. Pernah suatu ketika dia
memberitahukanku bahwa lelaki yang sedang mendekatiku itu ada maunya. Mungkin
mau tubuhku-banyak yang bilang aku cantik dan tubuhku tinggi gemulai-atau
sekedar ingin numpang tenar saja. Ronda benar. Setelah kami berdua selidiki,
lelaki itu memang tengah mencalonkan diri jadi ketua Badan Eksekutif Mahasiswa.
Namaku
Diandra Asmara. Sudah lima bulan ini aku dianugerahi mahkota sebagai duta
kampus. Banyak kegiatan sosial yang memajang namaku sebagai ikonnya. Aku pintar
bergaul. Aku pula pintar dalam segi akademis. Kalau saja aku boleh
menyombongkan diri, aku akan bilang bahwa hidupku sempurna. Namun, di balik
kesempurnaanku, aku menyimpan sesuatu. Aku seorang lesbian. Ronda pun tak tahu
itu. Mungkin juga aku memang pintar menyembunyikan dan mengingkarinya. Namun,
aku jelas tak ingin ada orang mengetahuinya. Lantas, kukatakan pada Ronda untuk
mencarikanku lelaki. Paling tidak, dengan itu aku bisa sedikit meredakan gejolakku
menyukai sesama jenis. Kuharap terapi ini bisa membantu. Kuharap lagi dengan
ini tak ada yang bisa mengetahui rahasia besarku ini.
Aku
memang memilih untuk menutupi hal yang masih tabu itu, bahkan orang tuaku pun
tak pernah tahu. Jelas. Aku juga tak ingin mereka merasa malu karena punya anak
seperti aku. Benar saja, mereka memang termasuk orang terpandang. Ayahku
pejabat, ibuku pengusaha. Lagipula, mereka juga tak pernah peduli padaku. Apa
bedanya, mereka tahu atau tidak tahu, tetap saja mereka tak pernah ada untukku.
Aku
sadar kalau aku beda ketika aku masih bersama Riko, mantan pacarku. Aku memang
tak pernah merasa nyaman, namun tetap saja kupertahankan. Saat dia memberi ciuman,
aku bahkan tak pernah merasakan. Seperti bibirku saat itu menjadi kebal. Tak
ada rasa, kecuali jijik saja. Mungkin saja Riko tahu, lalu dia akhirnya pergi
meninggalkanku.
Ronda,
sahabatku sejak SD dulu. Meski dia tak pernah mengetahui keanehanku, dia teman
yang selalu bisa membuatku bisa bertahan hidup dalam keadaanku ini. Lebih dari
itu, Ronda juga tahu bagaimana rasanya jadi beda. Aku bersyukur memiliki
sahabat seperti dia. Jelas, itulah yang membuatku masih selalu bisa tersenyum.
Ronda.
***
Hujan
gemerisik di atas payung yang melindungi tubuh menggigilku. Saat itu sudah jam
delapan malam. Aku baru pulang dari pemotretan untuk majalah kampus edisi
bulanan. Aku berjalan pulang sendirian. Tak kusangka, saat aku berhenti sejenak
untuk mengusap tetesan air di keningku-maklum saja, payung temuan-aku
berpapasan dengan seorang gadis yang kehujanan. Dia duduk berpangku tangan di
taman dekat jembatan. Kutebak umurnya masih belasan, terpaut kira-kira lima
tahun di bawahku.
Kuhampiri
gadis yang masih memakai seragam SMA. Kudekati perlahan dari arah belakang. Ia
menengok seketika mendengar derap langkahku yang sudah berusaha untuk pelan.
Sepertinya dia ketakutan. Kudekati lagi pelan-pelan, sambil berkata, “Tenang
aja. Aku nggak jahat, kok,” bibirku nyengir kuda dadakan.
Sepertinya
gadis itu mulai tenang. Dia lalu bercerita, bercerita kedukaannya. Sambil
menangis dia terus bercerita. Begitu terkejutnya aku saat dia bilang telah
diperkosa. Pantas, setelah kuselidiki, bajunya memang agak robek di bagian
lengannya kanan. Aku tak mengetahui sebelumnya karena aku duduk tepat di
sebelah kirinya. Dengan masih memegang tangkai payung untuk melindungi kami
berdua, aku reflek mengusap kepalanya. Lantas, ia lalu menangis di pundakku.
Pundak orang asing yang baru sekali bertemu.
Kutanya
padanya, “Di mana rumah kamu?” dengan harapan bisa mengantarnya ke sana. Tak
mungkin aku membawanya ke rumah, sedang ada acara arisan keluarga, itu kata
ibuku tadi pagi. Mungkin sampai sekarang acara itu masih berlangsung. Aku tak
mau berada di sana, makanya aku tadi memilih berjalan pulang dari pada naik
taksi seperti biasanya. “Aku nggak mau pulang.” Katanya, masih tetap membiarkan
air matanya meleleh. Kutanya lagi, “kenapa?” ia diam saja, lantas menangis
dengan isakan dalam volume yang makin tinggi. Sejenak kubiarkan saja gadis itu
menangis. Sayang, aku tak dapat memprediksi. Ternyata setelah itu dia lari
dengan batas tercepatnya. Aku yang masih terkejut hanya bisa berdiri dan
kemudian mulai berteriak. “HEI… KAMU MAU KE MANA?” dan aku mengejarnya.
Tak
sampai sepuluh menit, aku kelelahan. Kulihat dia pun keletihan. Dia duduk lagi,
memandangku yang sudah semakin dekat jaraknya. Jika aku bisa memvisualkan, kami
berdua seperti bermain lari-larian. Hanya bermain. Namun, ini bukanlah
permainan. Aku tengah menghadapi korban pemerkosaan. Sudah seharusnya aku
membantunya. Lalu, kuputuskan untuk membawanya pulang, setelah setengah jam
dalam argumen penuh bujukan. Sudahlah. Keluargaku pasti mengerti. Sudah
layaknya mereka mengerti.
Aku
kini tidak sendirian lagi. Aku berjalan pulang dengan seorang gadis malang.
Sesekali kutengok dia yang berjalan di belakangku. Kucoba menggandeng
tangannya, namun ia enggan. Sempat aku berpikir untuk membawanya ke kantor
polisi dan melaporkan kejadian ini. Aku urungkan, lantaran dia terlihat begitu
kelelahan.
***
Memang
aku berencana untuk membawa pulang gadis yang mengaku namanya Ciara itu. Akan
tetapi, aku melihat kemungkinan yang sedikit riskan. Selain takut tak
diijinkan, aku juga malas untuk pulang. Lantas, kubelokkan saja ke arah kos
Ronda yang memang agak dekat dengan rumahku. Ya, Ronda memang sejak ditinggal
orang tuanya meninggal enam tahun lalu, memutuskan untuk tinggal di kos saja. Dia
memilih untuk menyewakan rumah peninggalan orang tuanya demi melupakan kesedihannya.
Sudah layaknya dia begitu karena orang tua yang dia cintai meninggal lantaran
rumahnya dirampok orang. Apalagi kabarnya dia sempat diperlakukan tak layak
oleh para perampok itu. Sudahlah, aku sudah janji pada diriku sendiri untuk tak
membahasnya lagi.
Sesampainya
di depan pintu kos, aku langsung mengetuk pintunya. Saat itu sudah pukul
sepuluh malam. Mungkin Ronda sudah tidur. Ah, sahabatku itu memang jago sekali
kalau ada hubungannya dengan kasur dan bantal.
“Ronda…
bukain pintu, dong,” setengah berbisik aku memanggil Ronda setelah ketukanku
pada pintu kuanggap percuma.
Semua
usahaku sia-sia. Sudah hampir lima belas menit kami berdua di depan pintu kos
Ronda menanti harapan.
Seketika
saja terpikir untuk menelpon ke ponselnya. Baru kukeluarkan ponsel dari dalam
tasku, Pintu kos Ronda berdenyit. Dia tampak berkeringat. Masih belum menyadari
ada aku di depannya. Telinganya tersumbat headphone
yang terdengar suaranya sampai ke telingaku, agak bocor saking kerasnya.
Lagaknya sedikit berjoget salsa, hobi lainnya yang ia sangat sukai. Pantas saja
ia tak dengar. Dia pasti tadi sedang asik joget-joget sendiri di kamar. Ah,
Ronda…
Ronda
setengah terlonjak ketika dia menengadah dan matanya menangkap bentukku yang
ternyata ada di sana. “DIANDRA!” dia menjerit spontan. “Kaget, tau!” dia lalu
menepuk jidatnya seperti yang biasa ia lakukan saat tercengang. Ronda,
sahabatku yang unik. “Untung gue mau nyari camilan.” Lanjutnya menjelaskan. Dia
pun melenggang mencari camilan. Sepertinya tak sempat melihat Ciara yang
berdiri di belakangku.
“Yah,
kok kamu pergi?” teriakku padanya yang semakin jauh berjalan menuju warung
jajanan. Kubiarkan saja akhirnya.
Ciara
kulihat masih diam saja di belakangku. Diam tak bergeming. Mungkin juga ia
tengah menahan sakit yang dideranya. Kasihan sekali. Tanpa basa-basi lagi aku
langsung masuk ke kamar Ronda dengan menggandeng Ciara.
“Ayo,
masuk.”
Sampai
di kamar, aku menyuruh Ciara membersihkan diri dan langsung istirahat.
Beruntung, kamar kos Ronda memang tergolong besar. Barangnya juga disimpan rapi
di lemari. Tak ada satu pun barang tergeletak berantakan, tak seperti kamar
laki-laki kebanyakan. Ada dua tempat tidur, atas dan bawah. Memang dia sengaja
mempunyai dua tempat tidur. Sampai saat ini, dia masih berharap kalau orang
tuanya bisa mengunjunginya dan menginap. Sayang, hal itu tak mungkin. Meski
demikian, tetap saja dia merasa lebih nyaman seperti itu. Toh, biasanya aku
yang menempati kasur satunya. Ya, aku memang kadang lebih memilih menginap di
kos Ronda daripada di rumah kesepian. Maklum saja, orang tuaku sering
bepergian. Entah kemana.
“Eh,
itu siapa yang di kamar mandi, Di?” celoteh Ronda yang terkejutnya semakin
menjadi.
“Ssst..
Jangan berisik. Ntar aku ceritain.” Bisikku ke telinga Ronda, mencegah Ciara
untuk mendengarnya.
Usai
mandi, Ciara kuperkenalkan pada Ronda. Lalu, aku memintanya untuk beristirahat
dengan segera.
***
Televisi
yang ada di kamar sudah menyala. Programnya memang tak jelas, kami paksakan
saja untuk menontonnya. Pasti Ronda sedang sibuk dengan pikirannya sendiri,
begitu pun aku.
Tepat
pukul dua belas malam. Anjing perumahan sudah menggonggong di luaran.
Berkeliaran seperti merayakan kebebasan. Saat itu, kulihat Ciara sudah tertidur
pulas. Kemudian dengan mengendap aku dan Ronda keluar. Aku mengajak Ronda ke
beranda. Demikianlah, kuceritakan padanya semua yang terjadi.
“Ya
ampun, Di. Kok bisa gitu, ya? Kasian sekali si Ciara.” Respon Ronda setelah
kuceritakan kejadian yang tengah dialami Ciara. Lantas aku mengiyakan dengan
anggukan dalam.
“Menurut
kamu gimana, Ron? Kita bakalan laporin ke polisi?” tanyaku padanya meminta
pendapat.
“Aduh,
Di. Aku males kalau urusan-urusan sama polisi. Kita nggak kenal dia juga, kan?
Rempong, ah.” Keluhnya.
“Kok
kamu gitu, sih? harusnya kita bisa bantu Ciara, Ron. Sebagai wanita, aku nggak
terima.” Jengkelku pada Ronda yang sepertinya tidak ingin direpotkan dengan
masalah ini.
“Diandra,
aku bukannya nggak mau bantu, tapi ini urusan serius. Aku sebenarnya takut,
Di.”
“Takut
kenapa?”
“Nggak
tahu. Pokoknya aku nggak mau bantu kalau masalah polisi.”
“Terus
gimana, Ron? Anak orang, tuh. Kasihan.”
“Iya,
anak orang. Masa anak gorilla.” Kesal Ronda diselipi gurauan khasnya. Akhirnya
aku ngakak juga dibuatnya. Suasana pun menjadi sedikit lebih tenang.
“Kita
sembunyiin aja dulu. Itung-itung buat temen aku di sini,” lanjut Ronda. Aku
mulai mempertimbangkan.
“Kenapa
kita nggak antar dia ke rumahnya, sih?” sela Ronda tiba-tiba.
“Nah,
itu dia. Orang tadi pas aku nanya sama dia rumahnya di mana, dianya langsung
kabur. Besok lagi deh kalau dia udah agak tenang, kita tanyain.” Ucapku
akhirnya.
“Iya,
deh. Eh, Udah malam sekali, ya? Kamu nginep, kan?”
“Iya.
Masa aku mau pulang jam segini juga? Kamu mau aku diperkosa juga?” candaku.
Ronda tertawa.
“Dasar.
Mending aku yang perkosa kamu.” Usilnya, masih sambil terpingkal.
“Ih,
emang kamu doyan?”
“Enggak…
“ pasrahnya sambil menjitak kepalaku. “AW, Ronda.” Kubalas menjitaknya. Kami
tertawa memegangi perut, sambil beranjak menuju kamar Ronda, tepat saat hujan
mulai menari-nari lagi bersama angin yang mendendang.
***
Sudah
dua hari sejak Ciara di sini, di kos Ronda. Aku tidak selalu di sana. Aku masih
pulang ke rumah untuk sekedar absen pada orang tua. Siang usai kuliah aku
usahakan ada di sana. Sampai malam menjelang, baru aku turun ke kandangku
sendiri. Sepertinya kami bertiga sudah cukup akrab. Tapi, aku dan Ronda masih
belum berani buka mulut tentang kasus Ciara. Kami berdua sengaja membiarkannya
tenang dulu.
Ciara
masih belum banyak bicara. Dia hanya bisa tertawa saat Ronda mulai melucu lagi
dengan tingkahnya. Aku pun tak banyak ucap, hanya sekedar berkeluh-kesah pada
Ronda, seperti biasanya.
Menjelang
seminggu, tak ada kabar yang menjelaskan bahwa Ciara telah hilang. Aku curiga,
sebenarnya Ciara itu siapa? Kuberitahukan pada Ronda. Akhirnya kami berdua
memberanikan diri untuk bertanya pada Ciara.
Suatu
petang datang, kami bertiga berkumpul di depan tivi melihat acara para
komedian. Kukira ini saat yang tepat. Ciara tengah berwajah ceria. Saatnya kami
bertindak.
“Ciara,
ehmm…” aku mulai bicara. Ciara yang tengah terbahak sontak kaget. “Ha? Kenapa,
Kak?” ucapnya tidak tenang.
“Sebenarnya
kamu ini siapa?” Ronda langsung melontarkan isi kepalanya. Kulihat kepala Ciara
menunduk ngeri. Seperti ada yang disembunyikan.
“Kamu
beneran udah diperkosa, Ci? Yang nglakuin siapa? Cerita aja sama kita. Siapa
tahu aku sama Kak Ronda bisa nolongin kamu. Apa kamu nggak dicariin orang tua
kamu?” cerocohku menuntut kejelasan.
Sebenarnya
aku tak ada masalah dengan adanya Ciara dalam hidupku dan Ronda. Justru aku
merasa bersyukur punya dia sekarang. Hidupku dan Ronda menjadi lebih berwarna
lantaran Ciara memang gadis ceria. Malahan, Ciara sedikit bisa membuat hatiku
bahagia, sepertinya aku menyukai gadis cantik ini. Lebih dari sekedar suka, aku
mulai sayang padanya. Tapi, dia menyembunyikan sesuatu. Itu yang selalu
mengganjal dalam hatiku.
Sempat
aku memutuskan untuk memberitahu Ronda tentang kelesbianku. Namun, kupikir
belum saatnya. Selama kami berdua tak tahu siapa Ciara dan bagaimana asal
usulnya, aku akan memendam rasa ini. Aku akan bertahan untuk merahasiakannya
sampai kasus Ciara terungkap kebenarannya.
Bukannya
aku tak percaya cerita Ciara, namun ini semuanya aneh bagiku. Mana mungkin dia
setegar itu, sesantai itu, padahal dia korban perkosaan. Tak sewajarnya dia
tenang. Aku semakin yakin bahwa Ciara menyimpan rahasia.
Ciara
terdiam sesaat. Sesaat yang lama. Mungkin sekitar sepuluh menit. Sepuluh menit
yang panjang. Ditambah lagi suara hujan di luar membuat kami bertiga
seakan-akan berada dalam drama seri yang sering muncul di televise. Dramatis.
Menegangkan.
“Kak
Ronda, Kak Diandra..” Ciara mulai membuka mulutnya. Bibirnya bergetar
sepertinya.
“Maafin
Ciara. Ciara udah bohong sama kalian.”
Hatiku
terkoyak seketika, namun ada sedikit perasaan lega. Kulirik Ronda, dia
sepertinya juga sama rasa.
“Jadi,
aku ini enggak diperkosa. Aku lari dari Mami. Dia yang menampungku di sini.
Rumahku ada di luar Jawa. Orang tuaku sudah tiada. Aku ke kota ini seorang
diri. Mami bantu aku ngasih tempat tinggal. Bayarannya.. “ Ciara berhenti
bercerita. Dia menangis saat itu juga. Aku dan Ronda tahu jalan cerita itu
selanjutnya, maka kami berdua hanya bisa memeluknya.
“Udah,
udah. Nggak apa-apa, kok. Kita berdua bakalan jaga kamu di sini. Nggak usah
kuatir, ya.” Ronda berkata lembut pada Ciara, mencoba menenangkan. Dari
kata-katanya terselip sesuatu. Dia pun ingin mencoba menenangkan dirinya
sendiri dengan berkata demikian. Lantas, kami bertiga tetap berpelukan, mengharu
biru dalam rintik hujan yang masih memburu.
***
Hari
ini sabtu malam. Kedua orang tuaku biasanya pergi keluar kota sekitar dua
harian. Aku berencana untuk mengajak Ciara ke rumahku untuk bermalam. Apalagi,
Ronda sempat memberitahukanku dia akan ada deadline untuk artikel mingguan.
Kebetulan.
Entah
kenapa perasaanku semakin menjadi. Aku merasakan yang namanya berdebar di dada.
Aku pun sering merindukan Ciara. Aku selalu ingin bersamanya. Mungkinkah aku
mencintai gadis itu?
Memang
tidak ada salahnya kalau ada kaitannya dengan cinta. Aku pun mengakui bahwa aku
tidak seperti perempuan kebanyakan. Aku tak pernah memikirkan ingin punya
lelaki untuk kujadikan pacar. Semua usahaku untuk mencari pasangan berjenis
kelamin lelaki itu hanya untuk mengalihkan pikiranku. Mengalihkan pikiran untuk
memikirkan perempuan. Tuhan, kenapa Kau jadikan aku seperti ini? Aku pun ingin
menjadi normal. AARRRGGhhh… Sudahlah. Tak akan kupersalahkan lagi Tuhan. Ini
semua memang sudah jadi suratan.
Maka,
kujemput Ciara di kos Ronda. Aku mengendarai sepeda. Menyusuri jalanan ramai
orang berduaan di taman dekat rumahku. Kukayuh perlahan agar tidak terlalu
berkeringat. Ditambah banyak polisi tidur sepanjang jalan menuju kos Ronda.
Maklum, perumahan padat penduduk. Banyak anak kecil yang sering berkeliaran di
jalanan depan rumah mereka masing-masing. Berlarian bersama teman-teman sebaya
mereka yang nakal minta ampun. Sering sekali anak-anak SD itu mengeroyok
pejalan kaki untuk dimintai uang jajan. Wajar, anak kecil. Tapi, anak kecil
yang bongsor badannya. Jadi ngeri. Semoga mereka tidak sedang bermain di
jalanan. Seperti biasa, aku hanya akan berlagak sok ganas saja. Seperti biasa,
mereka nanti pasti enggan dekat-dekat karena wajahku yang kubuat sangar.
Setelah
sepuluh menit kukayuh sepeda, aku sampai di kos Ronda. Aku langsung manghampiri
Ciara. Tak kusangka. Semuanya yang kupersiapkan sia-sia. Ciara tidak di sana.
***
Langit
melegam. Bintang enggan menemaninya yang tengah bersedu sedan. Akhirnya langit
sendirian. Sepertiku tanpa teman. Kulajukan sepedaku melintasi jalanan penuh
keramaian. Mereka menghindari hujan yang mendadak datang. Berlarian untuk
menemukan perlindungan. Mereka mencari tempat berteduh dengan imbalan saling
menggenggam pasangan. Aku tak mau melihat romansa hujan. Lantas kuberdiri
menantang hujan. Sendirian.
“Tuhan,
apa perasaanku ini salah? Baru saja ingin berkata jujur dan menerima keadaan.
Tapi, kesempatan itu Kau ambil juga, Tuhan? Apa aku harus selalu sendirian
tanpa ada cinta? Aku menyukai perempuan. Memangnya kenapa, Tuhan? Bukannya ini
takdirku? Berilah aku keringanan, berikanku perempuan pembawa kebahagiaan.
Lalu, aku akan berani menghadapi dunia yang kejam. Aku bahkan tak peduli lagi
orang nanti mau berkata apa. Biarkan aku memiliki Ciara, Tuhan.”
Air
mataku mengalir sederas hujan. Langit seakan mendengar rintihanku yang dalam.
Mungkin langit merasakan apa yang kurasakan. Lalu hujan pun terus melindungiku
dari kesepian.
Dari
kejauhan kudengar suara memanggilku. Suara sayup-sayup yang menghentikan detak
jantungku dalam tempo sepersekian detik. Suara peri kecilku yang tiap malam
kuimpikan. Ciara. Kutolehkan kepalaku kebelakang. Ciara dan Ronda sudah berdiri
di bawah pohon rindang, menghindari hujan. Padahal, baju mereka tampak basah
seperti baju yang kukenakan. Mereka menghampiriku yang terduduk sendirian.
“Di,
aku udah denger semuanya,” ucap Ronda.
“Iya,
Kak. Kita udah denger,” sela Ciara berikutnya.
Aku
terhenyak menahan perasaanku yang berlomba-lomba untuk mendominasi. Malu,
gelisah, senang, kecewa, bahagia, bingung.
“Iya,
Di. Tadi aku lihat kamu keluar dari kos. Mau kita panggil, kamu udah cepet
banget ngayuh sepedanya. Akhirnya kita kejar sampai ke sini. Aku sama Ciara
tadi keluar. Ciara juga sempat cerita sama aku. Ciara sama kayak kamu, Di,”
jelas Ronda.
“Kak
Diandra. Selama ini aku juga mengalami hal kayak Kakak. Aku emang sempat jadi
pelacur. Tapi, aku heran karena aku sama sekali tidak bisa seperti pelacur
lainnya yang pasrah akan nasibnya. Bahkan banyak yang justru menikmati
perannya. Aku enggak bisa. Aku ternyata tidak seperti mereka. Aku sama kayak
Kakak. Aku lesbi. Maaf, aku nggak berani bilang sama Kak Diandra kalau aku
sering mikirin Kakak. Makanya tadi aku nenangin diri dan cerita semuanya sama
Kak Ronda. Aku takut Kakak jadi jauh,” Ciara menunduk sedih lantas melanjutkan
kata-katanya yang masih belum terucap.
Aku
sama sekali tidak bisa berucap apa-apa. Air mataku berhenti seketika meski
hujan belum mau reda.
“Kak
Diandra, aku juga sayang sama Kakak. Kak Ronda juga bilang, perasaanku ini
nggak salah. Nggak ada yang salah kalau menyangkut cinta. Meski kita beda dari
orang lain, tapi kita berhak mendapatkan cinta. Iya, kan?” Ciara meminta
pendapatku. Kulihat Ronda juga seakan mendukungku untuk mengakui perasaanku.
Seketika kupeluk mereka berdua tanpa kata. Mereka berdua memelukku erat. Kami
bertiga menyatukan jiwa kami dalam pelukan penuh kebahagiaan. Tak lupa, hujan
juga memberikan ucapan selamat pada jiwa kami yang saling merapatkan barisan.
Hujan
sering tak diharapkan, hujan pun sering dikecam karena membuat tubuh yang wangi
kebasahan. Hujan sering dicela karena datang tak sesuai harapan. Namun, hujan
pun selalu setia memberi kebahagiaan, hujan pun pantas diberi penghargaan.
Karena berkat hujan, tanah yang kering kini jadi subur seketika. Kami berbeda,
tapi kami juga berhak bahagia dengan cara kami sendiri. Seperti hujan yang
layak mendapat kebahagian dengan membiarkannya merayakan kebebasan dari
belenggu awan kelam.