Tuesday, 31 July 2012

terjerumus sepi


Ada sebuah cerita pada sebuah masa. Ketika itu tak ada kata derita di sana. di sana hanya ada gempita. Di sana tak pernah ada gulana. Bayangkan saja cerita itu memang benar adanya. Tampak di sana. suatu ketika itu mengayunlah ayunan bambu yang kecoklatan terpanggang bara sang surya. Seseorang bergayutan di sana. di pipinya bersemayam lubang kecil, dua-duanya. Giginya rata meringis terkikik-kikik. Hatinya gembira berayunan di sana. seperti tak ada lara. Seperti air mata hanya terbendung rapat dalam kubangan dalam matanya, tak ingin menampakkan wajahnya. Kala itu angin bertiup begitu santun. Menghempaskan sedikit demi sedikit rambutnya yang mengayun berlawanan dengan ayunan ayunan yang di dudukinya itu. wush…bertiuplah sepoi. Wush…berhembus dengan asoy…
Tiga puluhan menit ia bayangkan dirinya di surga, meski tak sekali pun ia pernah mengunjunginya. Nampak pada matanya sesosok peri kecil menghampirinya. Ia sapa kilauan yang bergerak itu. berhentilah, menghampirilah, tersenyumlah peri itu padanya. Apa yang tengah kau lakukan dengan terbang di sekitarku? Katanya merasa sama sekali tak terganggu. Diam jawabnya. Sekali lagi ia bertanya. Kau itu apa? kau tak sama sepertiku. Kau bahkan bisa terbang. Katanya sedikit kecewa. Hening menjadi jawabnya. Ayunan terhenti begitu saja. tak lagi-lagi kaki mungil itu mengayuhnya ke depan ke belakang. Ia pandang makhluk mungil di hadapannya. Berkediplah ia dengan kedipan panjang. buka mata yang berikutnya kilauan berlian yang terbang kini hilang. Kepalanya ia tolehkan ke kanan kiri belakang depan menyerong. Lenyaplah. Ia berdiri memunggungi tunggangannya yang mengantar hayalannya sampai di surga. Hening lagii. Kali ini disertailah tatapan mencari. Ia berdiri tertegun sepi.
Begitu mengherankan merasakan perasaanya kala itu. ia tak pernah merasa seperti itu. ia tak sekalipun mengetahui perasaan apa itu. dia terbiasa dengan dirinya sendiri. ia selalu bahagia dengan dirinya sendiri, itu waktu sebelumnya. Sebelum peri kecil itu tiba-tiba tiba. Muncul dengan senyuman di hadapan kedua matanya yang tak pernah menatap mata lain selain matanya sendiri dalam cermin.
Ada ganjalan yang memanas di matanya. Mata jernih itu kini tercemari. Bendungan dalam dalam matanya telah binasa. Air bah menggenang dalam matanya yang jernih. Setetes yang deras tiba di pipinya yang menggunduk penuh. Meliuklah air itu di permukaannya. Air itu jatuh dalam genggamannya. Ia kata pada dirinya, apa ini? air apa yang tiba-tiba jatuh dari mataku ini? ia tak tahu. Perasaannya mengelabui rasa penasarannya yang rasional menjadikannya irasional. Seperti mendidih. Seperti tertindih. Dadanya berat. Napasnya membeban. Ia tarik dalam-dalam. Apa ini yang terjadi pada dadaku yang dulu selalu ringan? Ia tak pernah mengerti.
Apa ini salah peri itu yang mengutuk jiwaku? Bukan! Jawabnya sendiri. ia pikir lagi kemudian. Tak menemukan jawabnya. Termenung lagi. Merenung lagi. Apa ini? yang selalu menjadikannya gelisah. ia tak tahu lagi. Kemudian ia baru menyadari. Ia merasakan ada yang hilang seperti hilangnya peri itu. matanya yang menemukan mata lainnya itu seperti kehilangan jati diri. Meski terbiasa sendiri, ia tak menyangka akan datang seorang peri yang memasung perasaan suka yang yang dulu tak terganti. Memang, ia tercipta sendiri. tapi seharusnya ia mengetahui dan menyadari, jika seseorang telah menghadiri relung hati yang terbiasa sepi, ia akan segera tahu bahwa ia tak bisa untuk ditinggalkan sendiri. meski tercipta dalam kesendirian, jika ada yang mampu menemani, tak sanggup ia akan hidup sendiri. ditinggalkan sepi. 

Monday, 30 July 2012

mencintai yang menyakiti


Begitu banyak permasalahan yang harus dihadapi di dunia ini. namanya hidup, wajarlah kalau punya masalah. Sayang, tak ada yang suka mendapat masalah.
Tunggu…
Ada satu yang mengganjal.
Ganjalannya adalah, aku tak sudi dan tak suka termasuk ke dalam yang namanya mayoritas. Aku anti mayoritas, sebagian besar kemayoritasan. Tapi tetap ada sebagian yang membuatku lebih suka dikungkung dalam anggota persekongkolan orang awam itu. Bukannya aku sombong, aku kadang lebih suka terlibat masalah dari pada bengong tanpa memikir sesuatu. Aku kadang lebih suka terseret di dalam arus yang deras dari pada mengapung di atas keheningan. Tapi lagi, aku suka jenuh. Kadang ingin ini, kadang ingin itu. tak pasti.
Siapa di dunia ini yang tidak ingin bahagia? Tak ada! Mau tahu buktinya? Tuh lihat saja doa-doa yang tersebar di muka dunia. Pasti semua mengandung ingin berbahagia. Tak satu pun kepala yang mengimpi tentang duka, lara, derita. Tapi tahukah? Kadang aku menikmatinya. Lugas hatiku memimpin si duka kepada pengembaraan kata. Mengasikkan bila hanya menyeruputnya dan meninggalkan ampasnya pada selembar kertas. Sehabisnya? Hanya ingatan dan kenangan yang akan membawaku lagi pada sejarahku yang terdahulu. Seperti membaca dongeng serial yang pilu. Di sebalik gundah yang tumpah aku mengenal diriku. Mengingat lagi bagaimana aku yang akan menjadi dahulu.
Tidak banyak yang menghargai keberadaan derita. Mungkin terkadang aku juga mengutukinya. Memakinya. Menyumpahinya sekarat dalam debu. ASU, kataku saat-saat tertentu. Namun kusadarkan lagi jiwaku yang membara. Saat ini pikiranku mengacu pada satu hal yang akan sedikit mengurangi bebanku. Jadikan masalahmu sebagai teman, reguk sesuatu yang indah di sana. ajaklah ia berkencan. Cumbuilah luka yang menganga. Ia seketika akan luluh padamu yang merdeka dari kesakitannya.

malam hampa


Sesuatu yang hinggap dan menyergap kini menguap. Mungkin saja segenggam asa yang kutawarkan padamu telah lenyap seiring terkesiapnya hatiku mencerna kata yang tercuap. Atau saja aku tak terlalu meleburkannya dalam otakku yang selalu berteriak dalam perangkap. Sudah cukup teriris atau sudah terlalu terkikis. Onggokan hitam kecoklatan yang bersemayam dalam rongga dadaku terlalu banyak menangis.
Ada kalanya terbersit sedikit hampa oleh ketakhadiranmu di hari yang menggembala. Ada saatnya terkelabuilah diriku oleh manisnya bibirmu yang mengaduh, membuat bibirku dengan ringannya berlabuh. Ada masanya kulitku meraung meminta sedikit hangat dari belaianmu yang berkelana dalam nadiku yang tercabik hampa. Namun kuharap kini berlalu. Tak ada lagi sekelebat kesadaran yang mengarah pada kecupan merdumu. Meski rindu akan rintihanmu yang memelas rongga keimananku, aku tetap tak akan mengalah. Detik ini ku coba mengeriknya dengan belati. Detik ini akan kucabut akar-akar yang bersemedi. Sayang, kurasa gagal. harusnya tak kucoba merangkai kata-kata yang tersebut sebelumnya. Teringat lagi akan sosokmu yang berang, kecewa akan kesepahamanku yang menjilat. Walah, aku terperangkap lagi dalam jerat. Harusnya tak terbersit menuliskannya dalam serat. Ingin kuraungkan kata Jancuk. Ancuk. Dancuk. Pincuk. Gancuk. Apalagi itu. tak kukenal kata itu sebelumnya. Hanya kata mereka saja yang terdengar penuh amarah ketika mengucapnya, melemparnya ke udara. Aku ikut-ikut saja untuk membuang resahku dalam sela-sela oksigen yang terburai sebebasnya. Marah pada diri sendiri. merah menelaah pada sunyi. Aku terpikat lagi pada pesona hasrat yang terpatri. 

Saturday, 28 July 2012

membunuh cinta


Entah apa lagi ini yang mendera dalam hidupku. Hari-hari yang menyakitkan. Hari yang memuakkan. Sampai aku harus merasakan kesakitan yang mengoyak relung hati. Tak tahu lagi apa yang sebenarnya terjadi. semua ini gara-gara perasaan konyol yang bernama “cinta”. Apa itu!!! kata bodoh yang tercipta dari otak sang pengembara kenikmatan dunia. Omong kosong belaka. Aku terlalu meninggikannya! Tapi tak akan lagi aku memuja perasaan yang kini menghinakanku itu. aku muak dengan akal bulus yang ditawarkan cinta padaku. Kenyataannya?? Aku yang kini harus menaggung getirnya.
Menguasaiku, memperbudakku, menggerogoti otak dan hatiku. Cinta! Ingin membinasakannya dari hidupku. Tak ingin lagi tergoda dengan bujuk rayunya yang meraung-raung minta terbelai oleh halus perasaanku. Tak bisa lagi kurasakan halus itu. kini perasaanku membuas, mengaum, mencakar-cakar setiap organ-organ yang mengatas-namakan cinta. Mati saja, pikirku. Bukan. Bukan aku yang mati. Nanti saja kurasakan kematian bila memang ajal menjemputku. Aku rela. Kini yang harus mati adalah sang “cinta” yang dulu kuelukan. Kini pergilah saja. biarkan saja diriku menjalani hidup tanpa cinta yang membutakan segalanya. Memperdaya iman. Menggodai akal. Mengelabui sistem kerja hati yang murni, menjadikannya merana.
Biar saja aku dicerca oleh sang pecinta “cinta”. Biar saja aku dihina oleh sang penikmat “cinta”. Biar saja aku dicaci oleh sang pelantun makna indah “cinta”. Bagiku, “cinta” kini tak lain adalah kehinaan yang ingin melingkupi kesadaranku. Bagiku, “cinta” hanyalah seonggok kata yang bermakna “sampah”, sisa-sisa yang kudapatkan hanya luka.
Tapi, apa aku bisa hidup tanpa “cinta”? aku kembali dilema. Bukannya aku memang tercipta dari kata itu. “cinta” lah yang mengadakan aku. “cinta” lah yang menciptakan aku. “cinta” lah yang menghidupkanku. Bagaimana ini? apa aku mendurhakai “cinta”? atau aku harus lebih bijaksana dalam memperlakukan “cinta”?
Benar. Mungkin sebaiknya bukan “cinta” yang kubunuh. Mungkin bukan “cinta” yang semestinya  aku maki dari tadi. Mungkin aku  yang salah mendewakannya. Bukan ia yang mengelabuiku. Aku hanya salah menempatkannya. Aku hanya harus lebih cerdas meletakkan cinta, bukan di atas segalanya, namun diantara apa-apa yang ada. Aku sebaiknya menyisipkan satu kata lagi biar ku tak lagi merasa bahwa “cinta” telah memperdayai kemurnian hatiku. Mungkin aku harus membubuhkannya pada setiap hela napasku. Kata itu.. kata yang kuharapkan sedikit mengendorkan saraf angkara murkaku. IKHLAS.

Saturday, 21 July 2012

sayap terkebiri


Aku bertapa di dalam pikiranku yang melambung. Ada semak belukar di sana. aku merasakan perih saat belukar itu mencabik denyut nadiku yang menghidupkan jiwaku. Sebatang pohon tak kunjung kudapati meski tlah kucari belasan tahun dalam hidupku. Bukan pohon itu yang kutemui selama ini, hanya ilalang bergerak semrawut diantara tulang-tulang lunakku, menggelontorkan sedikit pucat dalam darahku. Hanya sekejab. Kudapati lagi rerumputan kering mengoyak kesadaranku. Kering rasanya, aku ingin sedikit membasahi bibir dan kerongkonganku dengan surga di bibirmu yang bergairah. Sedikit saja membawaku merasakan kebebasanku. Kukembali lagi terpasung dalam kungkungan itu sedetik setelah itu. kapan kutemukan pohon itu, pohon berdaun subur yang berbuah ranum. Kemana lagi akan kuberjalan demi melihat sayap ini tumbuh? Aku hanyalah sebagian kecil daari mereka yang terpenjara dalam rantai tak terlihat. Aku tak mau lagi sayap ini terkebiri. Aku ingin membuat sarangku yang mampu melindungi tiap pikiran kotorku, setidaknya itu kata mereka. memangnya apa hak mereka menganggap pikiran ini hina? Tak! Tak punya hak sama sekali. Biarkan saja kutaburkan sendiri pupuk-pupuk yang mampu mengembalikan sayapku yang tlah lama mengkerut, dikebiri secara beruntun. Sudahlah, biarkan sebentar saja aku berkabung dalam dinginnya kesepahamanmu yang tak sepaham dengan otakku yang tak ber-ibu. aku tetap ingin mencari pohon itu sendiri tanpamu yang memasungku dengan besi-besi karatan itu. tak tahukah kamu aku terbakar cemburu oleh setan yang selalu menggodaimu? Kenapa tak dijadikannya saja aku sebagai makhluk berunsur api itu? aku tak perlu harus menunduk-nunduk di depan raksasa kerdil yang kau ciptakan. Aku tak perlu lagi bersujud-sujud pada apa yang kau sebut itu cahayamu. Aku hanya ingin menemukan pohon itu, pohon berbuah ranum memerah yang akan memberikanku sejuta gairah dalam dekapannya yang penuh kebebasan.

Thursday, 12 July 2012

kurasakan kalbu yang mendamba


Masih terasa beban itu menggantung keabadian dalam diriku. Masih bersemi kemunafikan itu dalam nurani yang terkungkung. Berkelana ke negeri kosong. Aku bersemedi dalam hunian yang mlompong. Sendawa menerjang diantara kesunyian. Menakutkan bak sekelebat bayangan putih mendorong kekokohan. Entah apa yang kini kurasakan. Bayangmu memudar tak kuinginkan.
Satu hal yang sempat membuatku berpikir ulang. Akankah kau mengkonsumsi tiap kata yang kulantunkan? Akankah kau melihat pada mataku yang gusar? Ada amarah dalam getar rintihan yang kunyanyikan. Ku masih tetap ingin menyatukan perasaan dalam angan yang hanya dambaan. Haruskah aku membongkar kedustaan yang bertengker dalam otak tiap adam? Bukan. Tidak semua berpikir sama. Aku mencintaimu yang berbeda dari mereka. aku mengagumimu sebanyak aku mengagumi bulir cinta yang menyengat ragaku. Infatuasi ini menggebu dalam setiap detik yang merindu. Aku merindumu layaknya butiran pasir mendamba lautan. Begitu dekatnya kau dalam hayalku, namun begitu luas jarak yang kutempuh menggapai tiap desir kesejukan dalam dekapmu.
Aku di sini masih dalam nurani yang mendambamu. Seikat harapan kutenteng dalam rongga kalbuku. Akankah kau sedikit saja menyapaku dalam diammu? Tak kah kau merasakan hal yang sama sepertiku?
Ini bukan bualan. Ini bukan kepalsuan. Ini yang kurasakan.

Wednesday, 11 July 2012

pada sebuah kerinduan


Kerontang meradang pada bibir ini. merasa ada yang terbengkalai. Usang menjamah pada keranuman bak awan senja. Merah merekah nan sumringah, namun tak lekang oleh sendu. Dan kini menjadi gelisah sudah. Ia mencari-cari di mana pemakamannya sendiri. Ia merasa tlah mati saat ini. Gersang menghinggapi dalam rekahannya yang meng-ilalang pucat penuh rasa kehausan. Sekalipun tersiram air liur, ia tetap kembali meradang. Usapan lembut dari sang penderita menggubahnya menjadi derita. Nyinyir terasa kala suara titik embun berkelana dalam derasnya desiran dalam dada. Ia rasakan tak sanggup lagi memikul padang pasir di permukaannya yang kini berputiran kasar.
Malam pun bersenandung. Sang penderita menyingkapkan kekesalannya pada sebuah gambar.  Ia cermati gambar itu. Sebentar saja ia telah terpaku pada seonggok buku harian yang membayang. Bibir itu kini menderita hayalan panjang. Bibir bersemu merah padam menahan amarah. Ia kesal pada tulisan itu yang kini bersemayam di atas lembaran. ia kesal pada jemari yang menari menorehkan kata-kata yang pilu, membuatnya semakin mengiba. Mungkin sebaiknya ia tutup matanya. Kubur kekeringannya. Tak menghayalkan sedikit pun tentang dewa pujaannya.
Namun gagal. ia tetap merindukan untuk terjamah oleh sedikit ranum dari pujaannya. tak ayal.  Kini, Ia menamakan dirinya keterbengkalaian.

bestfriend part 2


When mourning morning comes through the days
When scattered of the heart decorating times
It is upset, it is bad. It is awful, it is damn
And unexpectedly you come wiping off my tears
And suddenly you hold my cold hand
It is ease to have you here. It is relieve to be with you here

You are my shine when the sun is covered by the cloud
You are the light when the moon is fully hidden by the dark
Hi my friend, my best friend..
Let me hold your hand..
Hi my friend, my best friend,
Seize the joy till the end


When irritated night comes to suffer me inside
When sad arrives to get this smile gone
It is terrible, it is poor. It is horrible, it is damn
And unexpectedly you take these tears away
And suddenly you put the smile on this dread face
It is ease to have you here. It is relieve to be with you here

It is about me, it is about u
And it is about us…
Coz everything we’ve learnt is never last

Tuesday, 10 July 2012

DOngkol membuang Galau


Hari yang menggalaukan. Ih, males banget sih dengar kata itu. G.A.L.A.U. Seperti tak ada kata lain saja. muak melihatnya beredar di dunia maya, apalagi di dunia nyata. Kalau boleh aku bilang, kata itu sebaiknya dimusnahkan saja dari KBBI. Waduh, apa hakku yah? Emangnya aku punya hak untuk menghapuskan apa yang sudah ada dan sudah eksis sebelum keberadaanku di muka bumi?
Sudahlah, sekarang aku ingin menuliskan tentang aku yang tengah terkatung-katung. Tengah jemu menunggu dan menanti sesuatu yang tak pasti.
Orang-orang hilir mudik di depanku, di belakangku,
Melewati sisi badanku yang kiri, kanan, lewat begitu saja.
Raut muka ini masam bercampur kerutan
Otakku bergerombol membentuk kata “DONGKOL”
Sebentuk kekacauan merampas hari yang semakin merongrong
Ku tunggu..
Ku tunggu lagi..
Ku tunggu…
Sampai ngesot-ngesot, sampai perutku tergerogot
Ijinkan ku berteriak, ijinkan ku menjerit
Hanya sekedar ingin menjumput sedikit kelegaan
Hanya sekedar ingin menuntut kebebasan
Sudahlah sudah… bersabarlah sedikit saja, sedikit lagi
Mungkin nanti semua akan memudar,
Sepudar hitam yang terenggut terik matahari
Yang menjadikannya nanar.
Apa? tak ingin nanar yang ku maui
Tak ingin kacau yang ku ingini…
Bagaimana bila ku meminta sedikit hati
Darimu yang kini tlah pergi..
Hibur aku di sini……

Monday, 9 July 2012

BESTFREN


Semua gundah memudar dengan candamu
Semua resah menguap
Seiring tawa yang berkejaran saling bertukar
Kudapatkan bahagia walau tangisanku semalam membelenggu
Kudapatkan gembira dengan senyumanmu yang terpancar

Penawar lara
Penawar duka
Yang usap air mata
Yang hapuskan derita
Kita kini di sini
Kita slalu di sini
Semua masa akan tetap sama
Sejauh apapun akan tetap satu jiwa

Penawar dukaku, jangan lepaskanku sendiri
Kita kan tetap slalu bergandeng tangan
Walau badai sebesar apapun menerjang
Tanganku akan slalu setia mengusap air matamu
Pundakku slalu siap sedia redupkan gundahmu

Pegang erat tanganku
Kan kugenggam jemari tanganmu
Sahabatku ku slalu di sini untukmu…
Kuharap kau slalu bersamaku.

suatu detik yang berlalu


Suatu saat di mana aku terbelenggu dalam akal pikiranku yang beku, kutemukan dirimu membawaku dalam suatu pelarian yang semu. Ku tak bisa mengerti jalan pikiranmu. Tapi ketika masa itu muncul lagi, tak lagi semu yang kurasa. Semuanya nyata. Aku menyukai tanganmu yang meraba kepalsuan dalam tubuhku. Menelanjanginya dengan kebebasanmu. Aku suka ketika kecupanmu melunturkan otakku yang terpasung oleh segala aturan yang melambung jauh dari jangkauanku. Aku bahkan mengagumi pesona lenguhan dan rintihan kenikmatan dari bibirmu yang kau bebaskan dari jeratan kemurnian yang datar.
Namun palsu merenggutmu dari tubuhku. Ku tak bisa lagi menikmati wangi tubuhmu yang terbasahi butiran-butiran asa kita. Kau meninggalkan tubuh yang haus ini pergi menjerat nalar-nalar yang kau masukkan pada otakmu. Kau masih saja menganggapku buta. Ternyata kau melihatku dengan kaca tebal di hadapanku. Kau tau? Aku ingin sekali membebaskan belenggu ini. Aku ingin terbang dari jeratan ini, jeritku. Namun, kau bukan aku, aku bukan kau, setidaknya begitu kata orang. Aku masih mengingat bahwa aku hidup di tengah kesepahaman yang kerdil. Kubebaskan imajiku, jelas sekali. Tapi, belenggu itu kian membebani. Bukan dari orang lain, tapi dari orang yang menciptaku dari kenikmatan yang terbalut kesucian ilahi, begitu manusia suci itu berkata. Tak terbantahkan lagi. Aku memang masih terpasung dalam hunian yang tak sepadan dengan kesempurnaan usapan bibirmu pada bibirku.

Sunday, 8 July 2012

kenangan oh kenangan



Malam-malam panjang menghampiri lamunan
Sebercak kenangan merampas kesadaran
Berjuang menghempas nestapa dalam kerinduan
Terperanjat tak dapat mengentaskan
Ah, kau jahanam
Iming-iming menggiurkan kau tawarkan
Sadarkah aku ini tak bisa melawan
Mungkin kini aku tlah jadi tawanan
Semuanya buram, hanya kenangan yang terpampang
Jika saja mata batinku dapat membuka lalu melepaskan
Jika saja senyuman palsu bisa sedikit memudarkan
Kau mampir tak hanya sebentar
Kau selalu menari menyilaukan bagai pendar
Kau laksana api yang membakar
Membakar seluruh jiwaku dalam kobar

Friday, 6 July 2012

sebercak kebahagiaan


Sebercak Kebahagiaan

Mei
Seminggu sudah aku memutuskan untuk lebih mengeratkan hubunganku dengan Tara. Kemunculannya lagi dalam hidupku membawa kegembiraan yang layak kusyukuri di tengah penderitaanku.
Usai perkenalan ulang kami yang tidak terlalu singkat maupun panjang, satu bulan, Tara mengakui perasaannya terhadapku yang dia simpan selama bertahun-tahun. Sejak kejadian Cinderella sampai dia bertemu denganku lagi dia sadar bahwa gadis yang diidolakannya tetaplah aku. Aku sungguh terharu mendengar pengakuannya. Jujur saja, meski aku memang dulu sempat pula menyukainya, aku tak sampai hati membiarkan hati ini menderita untuk sekadar mengenang cinta monyetku yang telah hilang. Kenyataannya, kini ia telah kembali. Aku merasa masa kecilku yang bahagia kembali merasuk. Tara menjadi simbol nyata bahwa kehadirannya mencerahkan tiap puing-puing hari yang kumiliki. Aku memang masih punya sesuatu yang bisa membuatku kembali merasakan indahnya hidup.
Kupikir hidup memang tidak seindah yang dilantunkan pujangga. Hidup bagiku adalah hukuman. Yang patut kusalahkan di sini adalah Adam, sang manusia pertama yang diciptakan oleh Tuhanku. Kenapa dia bisa terjebak dengan tipu muslihat setan yang terkutuk? Kalau saja dia tidak sampai memakan buah bangsat itu, pastilah kini semua manusia bisa berbahagia di surga.
Aku kembali merenung. Bukannya yang patut disalahkan adalah setan? Kenapa pula dia tega membuat Adam, sesama makhluk ciptaan Tuhan yang sama sepertinya, menjadi sengsara dan harus dikirim ke dunia. Dia sungguh laknat dengan mengirim Adam menderita di bawah kenikmatan yang tak tergapai lagi olehnya. Ditambah dia harus menjalani bertahun-tahun mengarungi belahan dunia demi menemukan Hawa, si perempuan yang membuat Adam menjadi ingin untuk merasakan buah biadab itu. Tunggu! Kenapa bukan Hawa yang harus disalahkan? Kenapa aku menyalahkan setan yang hanya ingin menguji seberapa tinggikah derajat makhluk saingannya itu? ah, Hawa! Hawalah yang harus disalahkan. Dia penyebab semua penderitaan manusia. Dasar perempuan penggoda. Berani-beraninya dia membuat Adam memakan buah terlarang.
Bukan. Bukan Hawa yang salah. Sebenarnya dibalik semua ini, yang berperan penting adalah buah itu. Buah bangsat, keparat, laknat. Buah itu yang menjadi sumber permasalahan. Betapa bodohnya Adam bisa sampai memakannya. Bukannya Tuhan pun telah melarang Adam supaya jangan sampai mendekati, bahkan sampai memakannya. Kalau begitu keadaannya, kenapa Tuhan menciptakan buah itu? apabila memang terlarang, seharusnya Dia tidak menciptakannya. Untuk apa? Untuk apa semua ini? aku justru merasa kalau semua ini hanyalah permainan Tuhan. Dia yang mengadu domba, Dia pula yang menyelesaikan permasalahan. Bukannnya itu jelas menunjukkan kalau Tuhanlah yang membuat kita menjadi bidak-Nya? Kita, makhluk ciptaan-Nya harus menjalani berbagai rintangan yang telah dipersiapkannya sejak awal. Kata orang, Takdir. Tak bisalah kita merubah skenario hidup kita yang telah diciptakan Tuhan. Berarti aku bisa menyimpulkan bahwa Tuhanlah yang bersalah.
Apa yang salah? Kenapa salah? Memangnya salah apa? Aku kembali mempertanyakannya lagi pada diriku di tengah gema Adzan yang menyejukkan. Tuhan tidak salah. Tidak ada yang salah. Bahkan setan pun tak pernah salah dalam hal ini. Ini sepenuhnya adalah hak dan kuasa Tuhan sebagai Sang Pencipta. Dia sudah berlaku adil seadil-adilnya pada kita. Tak pernah sekalipun Dia menghianati apa yang sudah dikatakan-Nya. Dia adalah Sang Penguasa. Pantaslah Dia membuat adegan-adegan manusia, setan, malaikat, dan semua makhluk ciptaannya dalam baris dan kolom yang sesuai dengan takaran semula. Tak ada yang kurang, tak pun ada yang lebih. Dia-lah Sang Maha Adil.
Pancar hangat matahari segera memudar terganti sang rembulan yang mengintip dari balik awan. Jemariku merasa kosong tanpa sentuhan. Aku menaungi diri sendiri dalam angkuhnya malam. Dingin, sepi, merana, hampa. Rentetan kata yang setia mendampingiku.
Berkali-kali sudah ku pasrahkan kebahagianku kepada Tuhan. Tuhan pula yang akhirnya menciptakan kebahagiaan untukku. Dia pula lah yang mnenentukan arah hidupku.  Dengan seonggok tubuh yang mati rasa, aku terbaring tanpa kata.
Kring.. kring..
Telepon rumah berdering melengking. Berkali-kali ritmenya berulang. Tak ada jawaban. Aku merasa malas hanya untuk beranjak dari tempatku mengaduh dari kepenatan. Kring.. kring.. bunyi tetap terdengar meminta segera dibungkam. Ah, mengganggu saja. Memangnya Ayah kemana pula sampai tak ada yang mengangkat telepon sialan itu. Terpaksa kuangkat tubuhku menjauh dari tempat tidur, membuka pintu, lalu memasuki ruangan yang berisik akibat ulah mesin panggilan itu.
“Halo. Dengan siapa ini?” ucapku melalui lubang-lubang kecil yang memenuhi bulatan pada gagang telepon.
“Mei? Ini aku, Vira. Kamu bisa nggak ke café belakang sekolah sekarang. ada sesuatu yang mau aku omongin. Penting!” ujarnya runtut.
“Kenapa nggak ke rumahku aja, sih?” jawabku malas.
“Aduh, nggak bisa. Pokoknya aku tunggu sekarang. Aku duduk di pojok belakang. Sebelah kiri. Cepet ya.”
Tut tut tut…
“Halo, Vir? Halo!” aku memanggilnya walau aku tahu nada TUT yang berirama cepat telah membahana di lubang telingaku.
Ngapain sih,vira. Masa malam-malam begini ngajakin keluar. Mana sepi lagi di rumah. Ayah mana? Kok nggak kelihatan, sih? Gumamku pada diri sendiri.
“Ayah. Ayah!” panggilku. Tak ada jawaban.
Aku menuju tempat istirahat Ayah. Sesampainya di sana yang kudapati hanya kekosongan. Kulajukan lagi diriku ke kamar Mia. Kosong. DI MANA SEMUA ORANG! Jeritku dalam hati.
Kudapati secarik kertas mengayun-ayun tak sempurna di atas lemari es. Magnet penjepitnya hanya satu yang terpasang sempurna di sisi kanan kertas yang kira-kira berukuran 10x5 cm itu. Aku mulai membaca hurufnya satu-satu. Tulisan orang tua jaman dulu.
Ayah sama adik-adik pergi ke rumah Nenek.
Ayah ngetok pintu kamu, kamunya nggak nyahut.
Nanti pulang jam 9.
Suatu kebetulan yang tak diduga. Aku tak perlu meminta ijinnya untuk keluar rumah. Siap-siap ah. Pasti Vira sudah menampakkan wajah uring-uringan karena menungguku lama. Biarlah.
Selesai sudah persiapanku. Ketika itulah jam dinding berbentuk hati itu menunjukkan waktu tepat pukul 8. Kurang dari sepuluh menit aku berdandan seadanya untuk menemui Vira di café dekat sekolah. Kaos kuning bergambar kucing setia menjadi padanan jeans warna krem. Kukalungkan tas kemudian aku segera melarikan kakiku ke tempat tersebut.
Ku dapati café yang bernuansa ceria berbalut hiasan warna-warninya di depan pintu masuk. Aku berjalan semakin jauh. Kulihat sosok yang samar. Sepertinya bukan Vira yang duduk di meja favorit kami. Bahkan rambutnya pun tidak panjang. Apa mataku rabun? Jelas tidak! Aku sangat suka memakan wortel, meskipun kadang kutemukan yang berasa anyir. Tapi diriku sendiri yang menuntut supaya aku menyukai makanan kelinci itu. Aku tak mau mataku rusak dan menyebabkan hidupku semakin kacau lagi. Cukuplah hanya keadaanku yang kacau. Alat pemberian Tuhan ini akan kujaga baik-baik jangan sampai rusak. Tak ada yang menjual gantinya bila tiba-tiba rusak. Sungguh Tuhan Maha Besar. Dia ciptakan alat sehebat ini untuk menangkap cahaya yang membuat manusia bisa melihat dengan jelas.
Kusipitkan mataku tak bulat, ingin segera mengetahui siapa gerangan yang duduk di meja itu dengan wajahnya yang tak asing.
“TARA!” kagetku
“Kamu ngapain di sini? Vira mana?” aku menuntut jawaban darinya. Dia hanya tersenyum. Senyum yang selalu membuat luluh jantungku. Aku mengatur detak jantungku, menerka apa yang tengah dia lakukan di sini, ketika Vira menyuruhku memnemuinya. Feeling-ku aneh.
“Duduk, Mei.” Ucapnya singkat. Yang diajak bicara hanya menurut tanpa sebab. Aku.
“Tunggu, deh. Aku jadi bingung. Bukannya tadi yang nelpon tuh Vira? Kok kamu yang jadi ada di sini?” ucapku dengan irama heran yang membludak.
“Iya, nih. Aku juga nggak tahu. Tadi sih emang ada Vira. Tapi dia bilang mau pergi dulu. Aku disuruh nungguin kamu.” Jawabnya.
“So?” ujarku lagi masih bingung dan ditambah lagi dengan rasa kikuk yang tiba-tiba menyerang.
“Ya, udah. Kita deh yang tersisa di sini.” Katanya sambil masih tersenyum manis. Versiku.
“Terus?” tanyaku pasrah, meskipun dalam hati aku senang. Kusembunyikan dengan rapi, tak membolehkannya untuk tahu apa yang terjadi di hatiku.
“Oh iya. Kamu pesen dulu, gih. Mbak!” panggilnya ke pelayan café.
Perempuan berseragam itu datang dengan membawa catatan di genggamannya.
“Mau pesen apa?”
“Lemon tea, kamu apa?” matanya kini mengarah tetap sasaran, jantungku.
“eh..oh.. apa yah?” jawabku gelimpungan.
“Ehm, jus jambu aja, mbak.” Ucapku kemudian, masih mencoba membendung perasaan kacau.
Sepeninggal pelayan café itu, kami bungkan sejenak. Lalu suara itu timbul kepermukaan lagi.
“Mei, aku punya sesuatu buat kamu,” dia menyodorkan kertas yang baru saja dirogohnya dari saku jaket hitamnya. Kusambut dengan tangan kananku menggapai kertas yang terlipat tersebut.
“Boleh dibuka?” tanyaku
“Dibaca juga boleh,” jawabnya.
Aku mulai membuka lipatannya. Kutemukan berbaris kata berbahasa asing. Bahasa Inggris, mata pelajaran favoritku di sekolah. Dengan segera kulafalkan dalam hatiku barisan kata itu.
How can I even forget?
Hiding behind my mind
Appearing while I’m singing
Last, hurt me with a sharp knife
Now, as a part of my life
Now sorrow had come home
I had been alone in a long time without a warm
It takes so long to you to come along
I start to sing a song
Never wish to be alone
Since you are here to make my lonely gone

Aku menghayati puisi itu. Sedikitpun tak ada yang meleset. Makna yang terkandung tepat seperti apa yang aku kini tengah rasakan sejak kemunculan Tara. Kupandangi kertas itu dan Tara secara bergantian, masih mencari tahu apa yang sebenarnya ingin dia utarakan. Ketika itulah pesanan kami datang.
Tak sepatah katapun keluar dari mulut kami berdua. Minuman kami hanya tinggal seperempat. Karena kebungkaman mulut Tara, aku pun tak mau kalah. Aku memilih untuk tidak mengeluarkan sedikit pun suara dari mulutku. Kami sama-sama tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. Sampai pada akhirnya Tara mengaku kalah. Dia mengawali lagi untuk membuka mulutnya. Bukannya memilih topik untuk mengobrol, Tara malah mengajakku untuk pergi dari sini. Aku sedikit kecewa.
Setelah membayar, dia yang memaksa untuk membayarkan minumanku, kami melenggang keluar dari tempat romantis itu.
“Ayok, ikut aku.” Ajaknya singkat tanpa mempedulikan perasaan kecewaku yang terbenam hingga lama di dalam hati,
“Mau ke mana?” aku menimpali dengan wajah sedikit cemberut. Berharap malam bersamanya tak kunjung usai.
“Ikut aja,” dia menarik tanganku lembut. Melambunglah diriku ke kahyangan bersama bintang-bintang.
Sambil terus menggandengku, Tara dan aku terus berjalan beriringan. Kuketahui setelahnya, kami sedang menuju taman masjid. Saat itu dia mulai melepas genggamannya.
Taman itu agak luas dengan dihiasi banyak bunga mawar di sekitar. Terdapat 2 buah ayunan di tengah arealnya. Cukup untuk tempat dudukku dan Andro. Kebetulan malam itu masjid terlihat lengang. Setelah memilih posisi yang tepat diatas ayunan, Tara melanjutkan niatnya.
“Mei, aku mau kamu tahu satu hal” aku masih terbengong dan tak mengucapkan satu patah kata pun.
“Armeina Lavinska, maukah engkau menjadi orang yang akan kuserahi hatiku?” ucapnya sepenuh hati, membuatku tersontak kaget. Tak percaya Tara akan mengucapkan hal semanis itu.
“Aku ingin kamu yang membawa hatiku dan aku ingin kamu menitipkan hatimu padaku” lanjutnya. Dan aku masih tidak bisa mengucapkan apapun.
“Mei, tolong jawab. Kamu mau kan, Mei,” Tara mengarahkan tangannya pada tanganku seraya menggenggam keduanya dengan erat. Semakin erat tiap detik yang mendebarkan bagiku dan dia. Akhirnya kuputuskan untuk membuka mulutku. Mengeluarkan isi hatiku yang sedari tadi tak menentu saking kaget dan senangnya.
“Tara,” kataku terbata dan aku melanjutkannya dengan menghela napas panjang.
“Kamu serius?” tanyaku.
“Tentu, Mei.  Aku sangat serius dengan ucapanku. Apa kamu mau bukti?” Tara menantangku.
“Sssstt… Aku nggak mau bukti apa-apa, Tara. Aku hanya ingin memastikan keseriusanmu.” Ucapku menenangkannya.
“Aku benar-benar serius, Mei. Kamu mau kan?” mohonnya padaku sambil mengencangkan genggamannya pada tanganku yang kini semakin dingin. Aku semakin terdiam.
“Kamu mau jadi princessku, kan?”
Dengan cepat aku mengeluarkan pena dan kertas dari dalam tasku. Aku mulai menggoresnya dengan cepat pula. Dia terlihat bingung dengan apa yang tengah aku lakukan.
I WILL TRY TO BE YOUR PRINCESS AND YOU CAN BRING MY HEART WITH YOU.
Aku menarik tangan Tara kemudian meletakkan kertas itu di tangannya. Setelah itu aku berlari sekencang-kencangnya tanpa menoleh lagi ke arahnya. Aku memprediksikan bahwa sekarang pasti wajahku sudah sangat merah menahan antara rasa senang dan malu.
“Makasih, Mei. I LOVE YOU!” teriak Tara yang sempat aku dengar sebelum jauh. Aku meresponnya dengan semakin melebarkan senyumanku tanpa sepengetahuannya. Tetap sambil berlari tentunya.
Sesampainya di rumah kulihat seluruh anggota keluargaku sudah berkumpul. Mereka seperti menungguku untuk melengkapi formasinya. Dengan perasaan yang masih melayang aku hanya menyembunyikan senyum di hadapan mereka.
“Dari mana, Mei?” tanya ayah yang terlihat tidak marah dengan kedatanganku yang agak malam. Kupikir dia akan mengamuk, tapi ayahku itu nampak mengerti.
“Cuma nongkrong di café, Yah. Tadi sepi di rumah. Aku ke kamar dulu, Yah.” Timpalku mengakhiri pembicaraan yang coba dimulai oleh Ayah. Tak ada sahutan, hanya anggukan kecil keluar dari kepalanya.
Sampai di kamar aku langsung merogoh laci meja di kamar. Berharap menemukan sesuatu. Nihil. Kucari lagi sesuatu itu dalam temaram yang teredam rembulan. Ketemu! Aku menggapai sebuah buku di atas meja putihku. Meja yang terletak di sudut yang agak jauh dari jangkauanku. Kenapa pula ada di sana. Aku lupa.
Kuraih juga pena yang terdampar tepat di sampingnya. Pena berwarna hitam itu kini telah menuju titik yang membuatku waspada. Sepertinya aku harus membeli yang baru. Yang lebih tahan lama, pikirku. Kucabut kepala pena itu sehingga mengeluarkan bunyi yang sangat familier di telingaku. “CTAK”. Mulai kugoreskan mata pena, membentang keseluruh permukaan yang putih dan kini terlihat tak lagi putih, penuh bercak, penuh goresan, tapi hal itu mampu membuatku mengingat semua. Semua yang aku rasakan dan yang aku alami. Aku mulai menulis lagi. Kutulis rasa yang sedang aku alami. Sepertinya mala mini aku akan bermimpi indah.
Love you Tara.
Tiga kata itu mengakhiri goresan penaku malam ini.

bungkam


Bungkam

Bungkam, bukan saat aku mendendam.
Bukan.
Bukan pula saat kumemendam. Bukan.
Tentu bukan.
Bukan pula saat kumengeram.
Jelas bukan.
Diam.
Tak satupun tahu kuberdiam untuk apa.
Kosong.
Udara semakin kosong.
Cahaya kian mlompong.
Bumi pun gosong.
Ah, rasanya saja.
Seperti tak ada indah yang bertahta.
Senyap. Penat. Hitam pekat.
Aku tak bisa bernapas.
Aku terpenjara dalam kebas,
Tak kurasakan apa-apa.
Mataku memutih,
Telingaku meleleh,
Mulutku mengkerut.
Siapapun pasti menghinaku,
Mereka akan mencemoohku.
Jangan harap kuberitahukan rahasiaku.

derita


Derita

Tergeletak nyawa  usang tak terpakai,
Aku menyeru mendayu-dayu.
Di sana-sini terhampar tubuh-tubuh renta.
Aku merintih terpelintir perih.
Myawaku masih terpasang rekat,
Tubuhku pula tak renta.
Aneh.
Aku lebih mendayu dari detik yang berlalu,
Mendapati tubuh ini sekarat.
Aku lebih merintih lagi,
Mendapati tubuh ini kaku.
Tak bisa kulakukan apapun dengan tubuh ini.
Seperti renta.
Seperti tak berguna.
Seperti sampah.
Seperti kotoran.
Seperti bangkai.
Tuhanï¾…
Cukupilah derita ini.
Aku mengaku telah banyak luputku.
Alirkanlah air suci-Mu,
Biar sedikit hilang gundah laraku.

mauku?


Mauku

Aku ingin mati, kataku.
Aku ingin hilang, bisikku.
Aku ingin hidupku usai, pikirku.
Entah akan ada apa lagi yang menantiku,
Tatkala aku benar-benar mati.
Ketika nyawaku benar tercabut.
Bahagiakah?
Tak ada yang menjawab, hening.
Bisu, tuli, buta.
Apa mauku?
Entah.
Apa inginku?
Entah lagi jawabku pada diri sendiri.
Konyol. Goblok.
Siapa yang kusebut konyol goblok?
Aku?
Kamu?
Oh, aku ternyata.
Memang. Lalu kenapa?
Lalu maumu apa? siapa?
Apa mauku? Otakku mau?
Lelah.
Kuberperang sendiri melawan diri.
Benar aku goblok konyol.
Siapa peduli!

kenangan masa lalu yang indah-sorrowof-bab3


Kenangan Masa Lalu yang Indah

Mei
Sudah 3 bulan berlalu sejak kematian Ibu. Kini aku sadar bahwa kehidupan masih tetap berlangsung, walaupun orang yang kita cintai sudah tiada. Detik ini dan detik selanjutnya hanya ayah dan dua adik yang masih mengisi daftar anggota keluargaku saat ini.
Aku merasakan kejanggalan. Akhir-akhir ini Ayah terlihat sangat muram, menderita dengan kesendiriannya. Di luar yang kuduga, aku mendengar bahwa dia akan dijodohkan lagi dengan seseorang. Aku tak tahu apakah itu benar atau tidak. Aku tak mau memikirkan hal yang membuatku terganggu. Aku bahkan tak mau mendengar kabar yang tak jelas akarnya dari mana.  Kalau seandainya itu benar, aku tak bisa terima. Terlebih lagi kalau seandainya ayahku menikah lagi.
Sepeninggal Ibu, kami sekeluarga makan dengan dibantu oleh keluarga kami yang lain. Karena aku masih harus sekolah, dan tak mempunyai bakat untuk memasak, pada akhirnya setiap hari kami terpaksa harus menunggu kiriman lauk dari Nenek ataupun Budhe. Tidak jarang pula Ayah membeli sayur dan ikan di warung makan agar lebih praktis.
Benar saja, hidup kami berubah drastis semenjak Ibu meninggal. Ayah harus mengurus kami bertiga, aku dan kedua adikku. Kadang, aku merasa kasihan padanya. Aku ingin Ibu kembali lagi. Tak jarang karena keinginanku melihat Ibu masih ada di sini, aku malah sering bermimpi tentangnya. Karena hal itu aku dapat sedikit merasa bahwa Ibu benar-benar masih ada. Paling tidak hal itu sedikit melegakanku.
Waktu pun berlalu begitu lambat. Aku merasa bahwa kekosongan hidupku kian bertambah tiap harinya. Melihat adik kecilku yang baru menginjak usia 3 tahun sudah tak ber-ibu lagi, terkadang aku menangis dalam doaku. Melas. Terlebih melihat Mia yang semakin bungkam dan matanya terlihat kosong usai Ibu tiada.
 Mia, sang putri kesayangan Ibu, kini ditinggal pergi jauh oleh orang yang selalu memberikan cinta untuknya. Dia selalu dianggap sebagai pengganti adikku, kakak Mia, yang telah meninggal mengidap komplikasi penyakit yang tak kutahu sampai sekarang. Entah benar karena komplikasi penyakitnya atau malah karena disantet orang. Tak tahulah, kudengar banyak orang mencurigai kematiannya yang tiba-tiba.
Mia yang dulu selalu tampak ceria dengan mengumbar tawa lucunya, kini selalu berdiam.  Jarang sekali kulihat dia bermain dengan teman-temannya. Mia yang sekarang hanya bicara kalau di ajak bicara. Selain itu, dia lebih memilih membisu dalam lamunannya yang tak ingin terusik.
Begitu perih menjalar melihat Mia yang begitu hanyut dalam kediamannya, aku akhirnya mengalihkan pandanganku. Aku mengambil album foto yang beberapa hari lalu selesai dicetak. Aku mulai membolak-balik lembar demi lembarnya, memandangi gambar-gambar yang tercetak jelas dalam lembaran kertas yang mengkilat. Kenangan terakhir bersama dengan ibuku.

Beberapa minggu sudah aku hidup dengan penuh penderitaan yang mengganjal dalam nyawaku. Aku tak mau lagi termenung dan menderita bersama keterpurukan itu. Jenuh. Aku harus membebaskan diriku untuk kembali merasa hidup. Mungkin aku akan mencari kesenangan di luar. Kurasa sudah cukup penderitaan yang kudapat dengan hanya jadi setan penunggu rumah.
Aku mulai bertanya-tanya pada diriku sambil memandangi pemandangan di luar melalui sela-sela jendela kamar. Kutemukan di sana banyak kendaraan yang lalu lalang. Ada satu yang mengherankan. Mobil sedan berwarna putih itu tampak seperti cebol diantara dua truk besar yang mengapitnya. Kasihan sekali pengendara sedan itu. pasti dia merasa sangat terjepit. Aku membayangkan kalau saja orang itu baru saja bisa mengendarai mobil. Benarkah dia akan merasa sangat ketakutan diantara monster besi yang setia mengapitnya itu? semoga kesialannya itu cepat berlalu. Melihat kendaraan itu telah tiada dari pandangan mataku, aku mulai sadar kalau aku tadi sedang memikirkan sesuatu. Pastinya di luar pembahasan tentang hal yang sekilas kulihat tadi.
  Ah, mungkin aku harus kembali menemukan cinta yang bisa mengganjal lubang di hatiku. Telah ku kehilangan sosok ibu. Aku merasa lemah tanpa wanita yang rela menyimpan janin diriku di perutnya berbulan-bulan. Berkali-kali sudah aku menahan rindu. Tak bisa sejenak saja tersembuhkan. Rindu itu sudah menjadi penyakit stadium empat yang siap kapan saja membunuh nyawaku. Biarlah, biar saja aku mati. Aku ingin sekali menemukan ibuku di jalan kematian. Tidak, tidak! Aku masih belum boleh mati. Aku harus meyakinkan diriku sendiri untuk tetap terbangun dengan kesadaran penuh bahwa mati adalah hal yang sia-sia saat ini.
AAAAARRRRRGGGHHHH..
Apa yang harus hamba-Mu ini lakukan, Tuhan? Aku bosan terus merasa sedih seperti ini. Kalau Engkau benar-benar mencintai makhluk-Mu, termasuk aku, biarkanlah diriku sanggup untuk menghentikan rasa sakit ini. Begitu dalamnya diriku terpuruk dalam kesendirian. Lantas aku pun mulai tergeletak dengan air mata yang mulai keruh tersirat debu-debu takdir yang menghitam.


Celah yang terdapat di kamarku mengirimkan sinyal, aku harus bangun. Matahari sudah meninggi, mengungguli segala yang tinggi di bumi ini. Dengan mata yang masih terpejam aku memaksa diriku untuk segera mempersiapkan diri pergi ke sekolah. Aku tak perlu repot-repot lagi meyetrika seragamku dan seragam Mia. Dini hari, aku melakukannya. Itupun gara-gara kopi yang kuminum membuatku terus terjaga. Biasanya aku tak mau repot-repot minum kopi yang bisa membuat lidahku menjadi kecut sehabis menenggaknya. Semua karena teh di rumah sudah habis, terpaksa kopi pun menjadi pilihan terakhir. Yah, memang pada waktu itu aku ngidam minuman hangat manis sebagaai teman bersantaiku. Kopi! Gara-garanya aku tak bisa mengatupkan mata sampai waktu menunjukkan lewat tengah malam.
Setibanya di sekolah aku mulai mengatur rencana. Aku ingin mencari suasana baru. Kuputuskan untuk mendekati teman-temanku yang terlihat badung. Aku yakin mereka punya cara tersendiri untuk menyenangkan hati mereka. Menurutku ini kesempatan emas buatku untuk bisa sedikit saja menghilangkan pikiranku yang kacau. Hitung-hitung menikmati masa muda.
Beruntung sekali aku duduk di depan Vira, teman yang kukenal sejak SD. Ku rasa dia sekarang berkumpul dengan para berandalan di luar sana, itu yang kudengar dari desas-desus yang ada yang mengeroyoki telinga-telinga haus akan gosip di sekolahku. Masih SMP berlagak seperti tante-tante. Tukang gossip semua. Mungkin saja termasuk aku, meskipun sesekali saja aku memilih bergabung dengan teman-teman yang sedang ngerumpi. Selainnya, aku memilih tidur saja di kelas.
Dengan cara sederhana, aku mulai mendekatinya untuk mengajak mampir ke rumahku. Lama juga dia tak ke rumahku, pikirku.  Sudah semenjak saat itu. Bukan mauku. Kebetulan rumahku memang tak jauh dari sekolah. Aku menawarinya seperti itu karena dia sering menunggu jemputan dari tukang ojek sewaan bapaknya (aku rasa dia akan sedikit senang bila ku ajak mampir demi sedikit minuman dingin di tempatku). Meskipun demikian, tak jarang pula dia menghindari ojek jemputan itu untuk melewatkan harinya di luaran. Entah apa yang dilakukannya, yang jelas aku ingin bergabung dengannya. Bagiku dia terlihat sangat tegar di antara berbagai permasalahan yang dihadapinya, walau sekarang memang dia memilih jalan yang sedikit beresiko.
Vira yang kutahu dulu adalah anak ceria, pintar, dan baik hati. Dia adalah anak seorang dokter. Sejak ibunya diberhentikan akibat kasus yang menyangkut nyawa seseorang, dia mulai berubah. Dia dicemooh banyak orang. Semua temanku tidak ada yang dengan rela sedikit saja mengobrol dengannya. Gara-gara itu dia sedikit frustasi dan memilih jalan yang seperti teman-temanku bilang.
Meski aku tak sampai hati melakukan hal yang sama padanya, aku tak bisa sekedar berteman dengannya juga. Aku akui aku memang terlalu ikut-ikutan, gampang terpengaruh. Aku khawatir jika aku berteman dengannya, semua teman-temanku akan menjauhiku, sama seperti mereka menjauhi Vira. Bagiku, sekarang hal itu sudah tak menjadi persoalan. Aku tak peduli ucapan mereka lagi jika harus memilih jalan yang seperti ini. Lagi pula apa yang aku dapatkan dengan berteman dengan mereka? Tak ada selain menggosip yang tidak-tidak. Tunggu! Mungkin tidak akan ketahuan bila aku mendekati Vira di belakang mereka. Aku memang tak lagi khawatir dengan sikap mereka, tapi mereka juga teman-temanku. Oke, aku akan mendekati Vira demi mendapatkan sedikit kesenangan dengan cara sembunyi-sembunyi. Jangan sampai ada yang tahu.
Setelah berusaha mendekatinya selama seminggu, akhirnya Vira mulai memperkenalkanku pada teman-temannya, jelasnya di tempat rahasia perkumpulan itu. Aku dibawanya ke sana karena aku meminta untuk pergi keluar bersama. Tak kusangka dia akan secepat ini mengenalkanku ke dunianya. Rencanaku berhasil. Dari cerita Vira, aku bisa menangkap bahwa dia kenal dengan mereka karena mereka adalah tetangga dekat rumahnya. Dulu dia tidak berani hanya menatap wajah mereka, tapi berkat ke-frustasi-annya, dia nekat menjajal teman baru yang diyakininya akan membawa kesenangan dalam hidupnya. Hal itu karena kini tak ada seorangpun di sekolah yang mau berteman dengannya. Sebenarnya dia bisa-bisa saja tidak berteman dengan mereka dan masih menjadi Vira yang dulu, namun dia beralasan bahwa dia juga ingin memiliki masa remaja yang menyenangkan. Aku masih ingat ketika kami masih duduk di bangku sekolah dasar, dia bertanya padaku apa cita-citaku. Aku menjawab kalau cita-citaku adalah menjadi Dokter sedangkan dia memberitahuku bahwa dia ingin menjadi petualang. Kalau hal ini sampai terjadi, itu memang benar-benar Vira. Mungkin aku saja yang terlalu menilai bahwa teman-teman berandalan Vira itu memang berandal. Kita lihat saja nanti.
Suatu ketika aku ingin menanyakan kesediaan Vira untuk menolongku. Hal itu berkaitan dengan satu hal yang kuanggap penting bagi kelangsungan hidupku di sekolah.
"Vir, mau nggak kamu bantu aku?" aku sedikit canggung menanyakannya.
"Bantu apa, Mei?" menyeruput minuman yang kusajikan.
"Vir, bisa nggak kamu merahasiakan pertemanan kita?" kulihat dia mengernyit. Antara tak mengerti dan curiga.
"Maksudnya?" katanya tegas.
"Ehm, ya jangan kasih tahu siapa-siapa kalau kita berteman lagi," lanjutku sedikit was-was menanti jawaban yang akan diberikannya.
"Owh, kamu takut berteman sama aku? Kamu takut kalau nanti teman-teman akan menjauhimu juga? Kamu.."
"Eng..enggak gitu, Virï¾…" potongku
"Terus apa?" selanya
"Aduh, gimana ya?" aku mulai menggaruk kepalaku yang tak gatal. Aku kehabisan ide untuk membuatnya mengerti. Memang benar katanya kalau aku tak ingin dijauhi teman-teman karrena bergaul dengannya. Dia juga tidak salah kalau bersikap seperti itu. Aduh, salah nih. Kenapa juga aku harus minta dia kayak gitu? Ucapku dalam hati.
Melihatku kebingungan dia justru tertawa terbahak-bahak.
"Mei, Mei... Tenang aja kali. Aku tahu kok maksudmu gimana. Aku juga nggak akan bikin kamu dijauhi teman-teman sekolah gara-gara aku. Kamu kenal aku dari kapan sih? Hahahahï¾…" gelak tawanya semakin membuncah, melegakanku.
"Vira.. kamu tuh, rese!" aku memukul kecil bahunya.
"Abisnya kamu keliatan serius banget." Godanya.
"Maaf ya, Vir. Aku nggak bermaksud begitu sama kamu. Aku seneng banget bisa berteman sama kamu lagi." Kataku jujur.
Meskipun dari awal aku sudah berniat mencari keuntungan saja darinya, justru dari sini aku menemukan sisi Vira yang kukenal dulu. Jujur, aku memang merindukan pertemananku dengannya. Gara-gara sikap kekanak-kanakan teman-teman sekolahku, hal yang tak pernah dilakukan Vira malah justru menjadi bumerang baginya. Sungguh tidak adil. Sudahlah, kalau mereka sampai tahu pun aku benar-benar tak akan peduli lagi. Sebaliknya, aku semakin memantapkan hati mengawali petualanganku dengan Vira.

Besok siap-siap buat pergi ke suatu tempat ya. Abis pulang sekolah. Aku tungguin kamu di tempat biasa.
Catatan kecil itu diletakkan begitu saja di meja kelasku. Aku menemukannya ketika kembali dari istirahat. Untung saja tidak ada yang mengetahui isi dari kertas yang sudah berbentuk remasan itu. Seketika aku tersenyum pendek.
Mau diajakin ke mana ya? Pikirku.
Setibanya di rumah aku tak sabar segera menyiapkan baju untuk kupakai besok.
Mau pakai baju apa, nih? Aku aja nggak tahu mau ke mana. Casual atau yang girly? Aduh, dia nggak mungkin ngajakin aku ke tempat-tempat yang mengharuskan aku memakai pakaian girly! Casual aja lah, tambahin jaket warna merah ini. Sip!
Semakin malam aku menjadi semakin penasaran dengan apa yang akan direncanakan Vira esok hari. Karena kelelahan, aku segera saja terlelap.


Bel sekolah berdentang menandakan berakhirnya pelajaran. Melamunkan apa yang akan aku nikmati siang nanti, aku menjadi lebih banyak diam di kelas seharian ini. Sempat pula kejadian yang tak biasa terjadi padaku malah terjadi. Saat pelajaran ketiga, aku belum juga sadar sebelum Arfan memukul punggungku dari belakang tempatku duduk untuk meminjam penghapus. Seberapa menyenangkannya sih rencana Vira sampai-sampai aku harus menanti-nanti seperti ini? Pikirku terheran-heran.
Segera setelah sampai di rumah aku langsung menuju kamar. Aku mengganti seragamku dengan baju yang kupersiapkan tadi malam. Kamarku sedikit berantakan hari ini. Berserakan semua barang-barang yang biasa tertata rapi. Baju tidur di meja rias. Tisu berceceran di luar tempat sampah. Parahnya, pembalutku belum aku bungkus dengan plastik. Kacau. Tak peduli. Sekali-kali saja memangnya dosa apa! Kesalku lebih pada diri sendiri.
Beberapa menit berikutnya aku selesai mengemasi barang-barang penting ke dalam tas, termasuk di dalamnya dompet. Hadiah terakhir dari Ibu. Saat rekreasi dulu dia sempat membelikannya untukku. Untungnya aku masih punya cukup tabungan untuk aku pergunakan sewaktu-waktu. Nggak sia-sia juga pengorbananku tidak jajan di sekolah. Lebay dikit sih, aslinya juga aku jajan, tapi tak banyak. Aku lebih banyak menyisakannya untuk kutabung, meskipun pada akhirnya akan habis juga dalam sekejab mata.
Kini aku benar-benar siap untuk petualanganku. Kulangkahkan kaki menuju tempat di mana Vira menungguku. Belum juga sampai depan rumah Ayah memanggilku,
"Kamu mau ke mana, Mei?" tanyanya.
"Eh.. main, Yah. Ke rumah temen. Ya sudah, Mei berangkat dulu."
Aku cepat-cepat melarikan diri dari Ayah. Aku tidak mau sampai dia tahu aku pergi ke mana dan dengan siapa.
"Mei..!" aku mendengar teriakan yang berasal dari pita suara Ayah, terakan amarah, tapi tak kuhiraukan sama sekali dan justru berlari semakin kencang.
Cukup jauh berlari, aku berhenti sejenak untuk beristirahat. Peluhku mengalir cukup deras di pelipisku, mengucur sampai di dagu. Kuusap dengan tangan telanjang dan kukipas-kipaskan sejenak untuk memberikan sedikit rasa sejuk pada wajahku. Tepat di pemberhentian bus yang akan menuju tempat janjianku dengan Vira, aku duduk menanti bus datang menjemput. Aku duduk di kursi besi bercat merah yang cukup teduh melindungiku dari sengatan matahari. Hal itu tak lain karena tempat itu dilengkapi dengan atap yang terbuat dari bahan plastik berwarna serupa dengan kursi besi yang kududuki. Beberapa menit menanti, akhirnya bus itu datang.
Mungkin Tuhan memberkati kepergianku untuk bertualangan mencari kesenangan. Petanda. Terlihat jelas dari bus yang lengang. Hanya beberapa gelintir orang yang membutuhkan kendaraan umum ini untuk mengantar-jemput mereka. Setelah bus itu benar-benar berhenti dan kondektur member aba-aba untuk segera masuk,aku menggapai batangan besi yang terpasang di pintu masuk bus. Kuraih gagang itu untuk membantuku menaiki dua deret undakan yang membentang di antaranya. Berhasil naik, aku pun mencari sedikit kenyamanan untuk kaki, punggung, dan pantatku di barisan tempat duduk yang banyak tak berpenghuni. Aku memilih tempat yang tak jauh dari supir. Tepat berada di barisan kedua yang dekat dengan jendela. Ah, nyaman sekali menikmati sajian pohon berjalan mundur di sisi kananku yang terlihat lewat kaca jendela. Perlahan mataku mulai sayup-sayup menahan kantuk.
"Mei!" panggilnya.
Bukannya menyahut, aku justru semakin fokus menapakkan kaki di jalanan berbatu. Semak berwarna hijau itu menghiasi sepanjang kaki ini melangkah. Terdengar dari jauh suara jangkrik menyanyikan rintihan syahdunya, beradu mulut dengan lawannya yang tak sebanding. Kodok. Suasana begitu teduh. Dengan senang hati aku pun menerima semilir angin yang menyambutku. Wush..wush..suara itu terdengar damai. Kutengok barang sejenak atap biru yang luar biasa besar berhias setitik gumpalan putih. Kulenggangkan lagi kakiku menuju sumber suara yang semakin tinggi volumenya. Sedikit mengganggu kenikmatan yang diberikan alam padaku.
"Mei, cepet ke sini," gadis itu mulai mengayunkan tangannya ke atas dan ke bawah, menyuruhku cepat-cepat datang kepadanya.
"Iya," jawabku singkat, mencoba berlaku sopan pada sesama makhluk Tuhan.
Jejakkan kakiku berhenti di sebuah rumah persegi panjang bercat abu-abu dengan kombinasi putihnya yang cemerlang. Dari sudut kanan hingga sudut kiri kulihat pagarnya pun panjang minta ampun. Rumah yang unik. Disodorkannya segelas air dingin kepadaku.
"Ini, minum dulu." ujar lelaki bertubuh kurus dan berkulit putih itu. Kuamati sekilas, terlihat tidak asing di mataku.
Kuambil gelas itu dan kutuangkan sedikit isinya ke mulutku. Rasa segar menjalar di kerongkongan ketika Vira mencoba mengenalkan sosok lelaki yang tengah mengutak-atik motor di hadapanku. Vira pun melakukan hal yang sama. Entah sejak kapan dia mempunyai pengetahuan tentang hal yang berbau cowok ini.
"Oh iya, Mei. Ini Tara, teman satu kelas kita waktu SD. Kamu masih ingat, kan?" ucap Vira menghentikan kegiatannya.
"Tara? Tara Caturangga?" tanyaku heran sekaligus tak percaya. Sudah sekian lama tak melihat sosok itu. Cinta pertamaku di Sekolah Dasar dulu.
"Iya. Kamu masih ingat sama aku kan, Armeina?" katanya padaku dengan menoleh padaku sekilas dari titik fokus pertamanya. Membuat hatiku teduh. Jantungku perlahan berdesir, menyejukkan. Tak kusangka bisa bertemu lagi dengan cowok yang dulu pernah menjadi pangeranku. Ingatanku kembali pulih ke masa-masa kecilku yang indah.
Ceritanya, beberapa tahun yang lalu saat aku masih duduk di bangku Sekolah dasar selalu digelar acara tahunan. Acara itu mengharuskan tiap kelas, yaitu kelas 4, 5, dan 6, untuk menampilkan pertunjukan drama. Jumlah kelasnya sekitar 6 kelas. Masing-masing tingkat memiliki dua kelas, A dan B. kebetulan saat itu aku, Tara, juga Vira berada di kelas 5A.  Wali kelas yang bertugas menunjuk siapa saja yang mendapatkan peran. Dia pula yang nantinya akan melatih kami. Tepat dua minggu sebelum pertunjukan bu Arin, wali kelas 5A, sudah menentukan siapa yang akan bermain di drama. Drama yang akan kami mainkan berjudul Cinderella. Suatu kesengajaan atau tidak, aku lah yang menjadi Cinderella dan Tara sebagai pangerannya. Dengan usiaku yang sudah hampir menginjak  puberitas, entah kenapa saat memainkan drama itu aku menjadi berdebar. Bukan karena gugup akan pentas. Bukan juga karena riuh penonton yang membahana. Bukan itu, melainkan ada sesuatu yang meyerang hatiku. Perasaan cinta.  Masa kecil yang indah. Cinta monyet yang menyenangkan. Setelah pertunjukan drama itu aku dan Tara mengalami suatu fase yang sulit tapi kami selalu ketagihan melakukannya. Tiap bertatap mata kami selalu tersipu. Begitu seterusnya sampai suatu saat di awal kelas enam dia pindah ke luar kota. Tak pernah lagi kulihat sosoknya, hingga hari ini tiba.
"Mei," panggilnya seraya mengibaskan tangannya di hadapan wajahku. Mencoba mengembalikanku ke dunia nyata.
"Eh.. oh.. Iya. Masih ingat kok. Tara yang dulu satu kelas di SD kan?" aku menjawab asal. Kudengar tawa Vira menyerual di susul gurauannya yang membuat pipiku bertambah merah.
"Nggak usah nervous gitu dong, Mei. Cie.. yang ketemu cinta monyetnya lagi.."
Tara hanya tersenyum manis menanggapi candaan Vira. Akulah satu-satunya orang yang merasa dijadikan bulan-bulanan. Tapi tak mengapa. Toh aku juga senang-senang saja dengan ini semua. Aku tak menyangka Vira bakal memberikanku kejutan besar ini. Thank you, Vira. Kau membuatku gembira hari ini.
 Terbersit suatu pertanyaan yang tiba-tiba mengganjal.
"Vir, kamu kok bisa tahu Tara sudah kembali ke sini? Terus kok kamu bisa tahu dia tinggal di sini? Aduh, aku jadi bingung nih, suer," dua alisku saling mendekat  pertanda kalau aku sedang heran.
Diberi pertanyaan seperti itu bukannya menjawab, mereka berdua malah asik bermain mata sambil tersenyum-senyum mengejek.
"Jadi kamu itu dulu nggak tahu ya, Mei? Kita berdua kan sepupuan. Jelas aja dong kalau aku tahu Tara tinggal di mana. Oh ya, dia baru balik 2 minggu yang lalu gitu," Vira mencoba menjelaskan dengan nada kemenangan. Yang dijelaskan hanya manyun. Aku.
"Loh? Berarti selama ini kita ketemuan di dekat rumahnya Tara?"
"Iya. Emang kenapa? hahaha.."
"Jadi?"
"Mei, Mei. Polos banget sih. Tau nggak, karena kamu tiba-tiba jadi baik lagi sama aku, yah meskipun di depan teman-teman masih sok acting, aku jadi kepikiran buat nemuin kamu sama Tara. Aku tahu kalian berdua tuh masih suka-sukaan, kan? hayo ngaku!" lanjutnya diakhiri dengan tuduhan pada aku dan Tara.
Karena memang begitulah adanya yang kurasakan, aku semakin menjadi-jadi. Kukejar dia yang sekarang sudah berlari menjauhiku. Di sisi lain Tara kulihat masih tersenyum dan memandangi kami berdua yang meniru adegan di film kartun Tom and Jerry.
"Vira, awas ya kamu! Sini nggak!"
Selanjutnya kami bertiga tertawa bersama.


Tak terasa matahari mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahannya. Semburat merah itu menyebar di langit kelabu.
"Vir, kayaknya aku mau pulang deh. Udah sore banget," aku ku.
"Nggak kerasa ya? Waduh, emang jam segini masih ada bus, Mei?"
"Kayaknya sih masih," kataku ragu.
"Aku anterin aja deh, pake motor." Vira menawari.
"Nggak usah, Vir. Kan lumayan jauh," tolakku
"Biar aku aja, Vir yang nganterin Mei." Sela Tara. Aku kaget mendengarnya.
"Iya tuh, Mei. Biar Tara aja yang anterin. Lumayan jauh, kan? lumayan buat pacaran juga." Tawa Vira meledak. Aku yang diejek jadi semakin serba salah.
"Nggak usah Tar. Aku pulang sendiri aja." Ucapku yang terdengar mengiba. Padahal aku berusaha untuk menolaknya secara halus. Jujur, aku mau tapi malu. Hehe.
"Udah, nggak apa-apa. Ayok!" dia langsung menggandeng tanganku untuk mengikutinya.
Sesampainya di tempat motornya terparkir, dia langsung menyuruhku naik dbelakangnya.
"Ati-ati ya, pacarannya. Jangan pulang malam-malam. Hahaha.." ejek Vira lagi. Kini dengan setengah berteriak karena posisinya ada di teras rumah Tara. Aku hanya tersipu.


Di perjalanan kami hanya bungkam. Tak sepatah kata keluar dari mulut kami berdua. Jalanan tampak begitu brutal. Banyak sekali pengendara yang kebut-kebutan. Memergoki dari kaca spionnya, Tara berhasil menebak ekspresi wajahku yang sedikit ketakutan bercampur dinginnya angin menjelang malam. Diberhentikannya motor itu sejenak di tepian jalan. Kulihat dia mulai membuka jaketnya. Dingin-dingin seperti ini malah dia buka jaket sih? Ucapku dalam hati.
Dia berjalan menuju belakang motornya, belakangku. Disampirkannya jaket itu di pundakku. Aku yang tak menyangka akan diberikan jaket merasa sedikit terkejut. Kutoleh kebelakang. Dia tersenyum dan berujar halus.
"Mei, pakai ini dulu gih. Dingin banget, kan?" diperlakukan seperti itu mulutku menganga takjub. Ku sempurnakan jaket itu sehingga kini berrada tepat di tubuhku, membalutnya dengan hangat. Tara masih memperhatikan. Berhasil mengancingkannya, aku berkata lirih. "Makasih, Tara."
Dia tersenyum semakin lebar seraya mengusap kepalaku. Begitu damai. Inikah yang dinamakan cinta, oh Tuhanku. Begitu indahnya Kau menciptakannya..
Setelah adegan romantis itu, kami berdua melanjutkan perjalanan lagi. Masih setengah jam lagi menuju rumah. Aku merasa sedikit mengantuk akibat hembusan angin. Karena tak kuasa menahan rasa kantukku, kepalaku jatuh ke pundaknya tanpa kusengaja.
"Kalau kamu ngantuk tidur aja, Mei. Taruh tangan kamu di pinggang aku. Aku takut kamu nanti jatuh." Ucapnya dengan memandangku sekilas-sekilas karena masih fokus dengan jalan yang sedikit ramai.
Sebenarnya aku tak lagi sanggup membuka mataku. Tapi rasa malu membangkitkan sistem kerja otot mataku. Meskipun demikian aku tak bergeming. Gugup menghalangiku untuk bereaksi. Mengerti keadaanku, dia menarik tanganku satu persatu sehingga melingkar di perutnya. Di suruhnya aku menyandarkan lagi kepalaku di pundaknya. Kuturuti dengan rasa canggung yang semakin menjadi, boleh jadi dibumbui dengan rasa aneh yang tiba-tiba menjalari tubuhku. Entah, mungkin.. cinta? Cepat-cepat kukoyak pikiranku dengan menggigit bibir bawahku. Aku yakin kalau ini cinta, tapi aku hanya tak mau muka merahku menimbulkan detak jantung yang semakin cepat berdetak. Terlebih, aku tak mau sampai detak jantung itu terdengar oleh Tara, saking keras dan cepatnya.
Lima menit berikutnya kurasakan samar-samar dia mulai memegangi kedua tanganku dengan tangan kirinya. Aku masih membisu diperlakukan seperti itu. Membisu sambil menyunggingkan senyum yang lebar tanpa sepengetahuannya. Akan kunikmati keindahan singkat ini walau hanya 20 menit sebelum sampai rumahku.

awal keterpurukan-sorrow of the morrow-bab 2


Awal Keterpurukan

Mei
Hidupku sungguh diliputi kebahagiaan karena tahun ini aku akan berangkat keluar kota untuk berekreasi bersama. Karena adikku kini lulus dari taman kanak-kanak, ibuku mendaftarkan seluruh anggota keluarga kami untuk ikut pada acara yang diselenggarakan sekolah adikku, Mia. Sayang sekali, Ayah ternyata tidak bisa ikut lantaran mengurusi bisnis keluarga. Akhirnya hanya tinggal aku, dua adikku dan ibuku yang akan berangkat.
Pada tahun itu ponsel atau yang dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan telepon genggam sudah banyak digemari oleh masyarakat. Benda itu banyak digunakan oleh kalangan menengah ke atas di kota asalku. Tak jauh berbeda dengan masyarakat, ayah pun baru saja membeli sebuah ponsel untuk dirinya yang terbilang cukup canggih bagiku.
Di dalam lubuk hatiku yang terdalam aku ingin memilikinya juga. Karena masih dianggap belum pantas untuk membawa dan memiliki alat komunikasi bebas kabel itu, akhirnya aku menyengajakan diri meminta ayah untuk meminjamkan perangkat "canggih" itu untuk dibawa, hanya saat berekreasi saja. Dengan berbagai alasan ayah tetap tidak memperbolehkan. Padahal, aku sungguh teramat ingin membawanya. Walaupun tetap meminta terus-terusan dan merayu dayu, tapi tetap saja ayah menolak.
Sudahlah. Lagian aku juga tidak punya teman yang akan aku hubungi menggunakan alat nggak penting itu (menurutku penting banget, aku mengatakannya karena ingin melegakan perasaanku sendiri). Teman-temanku juga sama denganku, tak punya juga, kan! Pikirku akhirnya
Aku tidak tahu kenapa aku begitu ingin membawa serta alat komunikasi itu. dalam hati kecilku aku seperti merasa akan ada sesuatu yang terjadi, meskipun aku tak tahu itu apa. Menurutku dengan membawanya, aku akan bisa menghubungi ayahku kalau memang terjadi apa-apa. Takdir berkata lain, aku pergi tanpa membawa hasil. Ponsel itu hanya akan jadi impian untuk saat ini. Huh!
Selama perjalanan, aku mengobrol dengan ibu yang memangku adik kecilku di pahanya. Kami berdua mengobrolkan tentang banyak hal. Ketika kami melewati area persawahan, ibu tiba-tiba berkata kalau dia ingin sekali memiliki rumah yang berada di tengah-tengah area pertanian, dilengkapi semilir angin yang berhembus sepoi-sepoi. Dia selau berpikir bahwa akan sangat menyenangkan bila hidup di udara yang bersih, apalagi bisa makan ditengah-tengah semilir angin. Ah.. begitu menggoda. Katanya.
Setelah beberapa jam kami melakukan perjalanan dengan bus ukuran besar, akhirnya kami tiba di tempat tujuan, Yogjakarta, kota yang indah dengan beragam budayanya. Tempat pertama yang kami akan kunjungi adalah taman Kiai Langgeng. Di sana, kami akan bisa bermain-main sepuasnya di area taman yang rindang dan sejuk.
Kebetulan sekali aku membawa kamera (bukan kebetulan sih sebenarnya, aku memang sengaja menyiapkannya, hehe). Kamera manual itu harus di isi dengan rol untuk menghasilkan negative film. Sungguh kamera yang jadul yang hanya bisa kembali bekerja apabila telah diputar di bagian pojok kanannya. Sulit menjelaskan dengan kata-kata tentang alat itu. Yang jelas alat itu sudah termasuk lumayan canggih pada saat peristiwa ini terjadi.
Aku bersama anggota keluargaku, ibu dan dua adikku, mengambil gambar dengan menggunakan kamera itu. Dengan bantuan ibu dari teman adikku, berkali-kali kami dapat terjepret dalam kamera manual tersebut.
Hampir sekitar satu jam berlalu dengan perasaan yang menyenangkan dan mengasyikkan. Lalu berikutnya kami melanjutkan perjalanan ke beberapa tempat yang diakhiri dengan belanja sepuasnya di Malioboro. Semua tempat sangat menyenangkan untuk dikunjungi, termasuk kebun binatang yang hanya menyajikan berbagai jenis binatang di dalamnya. Pada malam harinya, hatiku diliputi kebahagiaan karena bisa minta dibelikan sesuatu pada ibuku sebelum kami melakukan perjalanan pulang.
Sesampainya kami di Malioboro, mataku tertuju pada sorot lampu yang menghiasi jalan-jalan. Bagiku lampu-lampu itu terlihat agak temaram. Entah, mungkin aku terlalu lelah. Mungkin juga efek mendung yang membuatnya seperti itu.
Semua yang ada di dalam bus membaur keluar, termasuk aku dan keluargaku. Aku mulai menapaki jalan beraspal menuju area perbelanjaan itu. Kulihat di area itu berdiri beberapa toko-toko pinggir jalan. Orang-orang terlihat sibuk menjajakan barang dagangan mereka. Tas, sepatu, kerajinan, batik, aksesoris, dan masih banyak lainnya terpampang meminta untuk dibeli. Aku bersama Mia berjalan dengan ibu tepat di belakangku, menggendong adik kecilku dengan selendangnya batik warna merah andalannya.
Belum sampai setengah perjalanan saja tiba-tiba ibuku mengeluhkan kepalanya yang terasa sakit. Dengan segera, aku mengajaknya untuk berhenti sejenak. Di tempat yang ramai dengan hiruk-pikuk penjual dan pembeli itu aku meminjam kursi dari penjaja terdekat. Aku mengambil adik kecilku dari gendongannya. Ku dudukkan ibuku yang sudah terlihat hampir pingsan. Beberapa rombongan terlihat menghampiri kami, menanyakan "ada apa???". Aku bingung harus menjawab apa. Yang aku tahu bahwa aku sangat kebingungan karena aku tak pernah melihat ibuku seperti ini sebelumnya. Ibuku, seorang pekerja keras yang ulet, bahkan semua pekerjaan rumah tangga dia semua yang mengatasi. Dari mencuci baju, memasak, mengepel, menyapu, semuanya. Aku bingung menghadapi situasi yang aku tak pernah menghadapinya sama sekali. Ditambah dengan dua adikku yang masih kecil, aku tak bisa melakukan sesuatu yang berguna. Aku hanya mencoba untuk memberikannya minum dan memijat kepalanya.
Tetanggaku yang kebetulan ikut menghampiri kami berinisiatif untuk membawa ibuku yang kini sudah tak sadarkan diri ke Rumah Sakit. Dia memintaku untuk memanggilkan tukang becak yang banyak berjajar di sekitar area, tempat di mana ibuku tengah pingsan. Banyak yang membantu ibu untuk menempatkannya di becak. Aku bahkan tak tahu siapa saja yang berkerumun di sana. Aku masih bingung dengan kedua adikku yang juga tampak kebingungan dengan wajah polos mereka, walaupun aku tahu bahwa mereka tidak tahu sepenuhnya apa yang terjadi.
Ibu ditemani dengan tetanggaku pergi ke rumah sakit terdekat dan aku bersama tiga adikku menyusul dengan ditemani beberapa guru tempat adikku bersekolah
Setibanya di sana aku diminta untuk menelpon ayahku dan memberitahunya bahwa sekarang ibuku tengah berada di ICU. Betapa aku tidak kuat dengan keadaan yang seperti itu, tapi melihat kedua adikku, aku bersikap tegar. Aku mencoba untuk tetap tenang walaupun sebenarnya aku ingin menangis.
Aku ingat bahwa aku masih berusia 14 tahun kala itu. Dengan usia yang bisa dikatakan masih belum bisa menangani masalah yang seperti itu, aku sudah diberikan kesempatan oleh Tuhan menghadapi kenyataan yang menyakitkan, menyedihkan, menyiksa, menyesakkan. Dan aku??? Aku hanya bisa bersabar dan terus berdoa. Aku mengajak serta adik-adikku untuk berdoa.
Tak terasa langit hitam pekat tak berbintang mulai menunjukkan padaku bahwa sekarang sudah hampir tengah malam. Setelah menunggu sekian lama di dalam ruang berkaca besar bertuliskan ICU, ibuku akhirnya sudah bisa dimasukkan ke dalam ruang perawatan. Kulihat setelahnya bahwa di ruangan itu terdapat korden yang memisahkan pasien satu dengan pasien lainnya. Pertama kali memasuki ruangan itu, hatiku seperti tertusuk pisau yang berkarat, perih dan menimbulkan semacam infeksi yang akan menjadi parah jika tak segera diamputasi. Apa yang terjadi jika hatiku diamputasi? Membayangkannya saja enggan.
Tiit Tiit Tiitï¾…
Bunyi mesin pendeteksi detak jantung itu mulai menggangguku. Mesin yang biasa aku lihat di sinetron itu kini hadir sebagai senapan yang siap menodongku. Ulu hatiku begitu sakit bahwa yang kini terhubung dengannya adalah jantung ibuku. Aku menangis pilu di samping tempatnya berbaring.
Aku menggenggam tangannya yang telah tersambung dengan selang infus. Di antara selang itu, terlihat darah yang mengotori ketransparanan selang kecil itu, darah yang keluar dari tubuh Ibu. Aku kembali menangis sejadinya melihat mesin-mesin itu tertancap dalam tubuh ibuku.
"Bu, sabar ya. Ayah sebentar lagi pasti datang jemput kita. Bertahan ya, Bu. Ya Allah, selamatkanlah Ibu dan berikanlah umur panjang padanya, ya Allah.." Kembali air mataku menetes dan menghangatkan pipi dinginku. Lalu aku dengan ujung jari telunjukku aku menghapus leleran air kesedihan itu.
Meskipun mengantuk, aku tak mau sama sekali meninggalkan Ibu walau satu langkah lebih jauh. Meskipun berulang kali Bu Rahmi, guru yang mengajar adikku, membujukku untuk tidur, aku tetap menolak. Sembari menolak bujukannya, aku melihat di atas sofa yang di sana sudah terbaring dua adik kecilku, meringkuk dalam kesedihan dan kebingungan. Aku bisa melihat dari raut muka yang tertekuk pada Mia. Mungkin dia merasa terluka atas kejadian ini. walau demikian, aku sedikit lega melihat mereka berdua sudah terlelap. Paling tidak, mereka sekarang tidak merasakan apa yang aku rasakan. Beribu kesedihan dan kepiluan dan juga kesengsaraan menjadi satu. Aku harap mereka tidur dengan lelap, benar-benar terlelap seperti yang aku kira dan tidak memikirkan apa yang sekarang terjadi pada Ibu kami.
Beberapa jam kemudian aku benar-benar lelah dan mengantuk. Dengan berat hati aku meninggalkan Ibuku yang terbaring melawan rasa sakitnya. Kemudian aku membaringkan tubuhku di atas sofa yang masih kosong tak terduduki. Aku melihat masih tersisa segelintir orang di ruangan ini, tepatnya hanya dua orang guru TK adikku.
Kelegaan akhirnya mendatangiku bersamaan dengan datangnya Ayah. Ketika dia memasuki ruangan, serta merta aku langsung berlari untuk langsung memeluknya dan berikutnya yang aku lakukan adalah menangis dalam peluk Ayahku. Sambil membelai kepalaku, Ayah menenangkanku dan kemudian menyuruhku untuk kembali tidur. Beberapa menit berikutnya aku sudah terbaring dan memejamkan mata dan juga pikiranku yang galau.
Pagi menyingsing dan aku terbangun. Aku merasa bahwa aku telah bermimpi buruk. Kemudian aku melihat sekelilingku. Bukan, itu bukan mimpi. Itu kenyataan. Dan saat itu juga aku langsung berderai air mata melihat Ayah sedang mengelap tubuh Ibu yang sedang terbaring tak berdaya. Lalu, aku memalingkan muka karena tak tahan dengan rasa sakit yang mendera seluruh tubuh dan hatiku dengan melihat orang yang selama ini merawatku dengan penuh kasih dan sayangnya hanya terbaring lemah tanpa daya, membuka matanya pun dia tak kuasa.
Dengan perlahan Ayah menghampiriku. Dia mengatakan kalau dia ingin aku dan adik-adikku untuk pulang saja ke rumah. Dia berkata bahwa akan memindahkan perawatan Ibu di Rumah Sakit yang lebih dekat dari rumah. Aku pulang tentu saja bersama 2 orang guru yang masih tertinggal dikarenakan rombongan rekreasi sudah meninggalkan tempat tadi malam.
Setelah makan pagi akhirnya kami pulang dengan pamanku yang bertugas mengendarai mobil. Seperti biasa, aku selalu duduk di kursi depan, tempat duduk favoritku. Pada saat bepergian dengan mobil, tempat duduk paling aku sukai adalah tempat di mana aku bisa melihat kearah luar. Menurutku dengan duduk di sana pandanganku tak akan terbatas dengan hanya melihat sisi samping yang terdapat jendela, tapi aku juga bisa melihat ke arah depan depan yang dapat menyajikan pemandangan mobil-mobil dan motor-motor sedang beradu kecepatan, serasa berpacu di arena sirkuit. Aku teringat bahwa Aku sangat senang dan begitu menikmati ketika Ayahku mengajak aku dan adik-adikku jalan-jalan dengan kecepatan sedang. Meskipun demikian, Ayah tetap bisa mengejar mobil-lain lain. Saat ayahku berhasil melewati mobil atau motor di depannya, aku selalu melonjak dan berteriak kegirangan. Begitu juga dengan adik-adikku yang selalu meniru apa yang aku lakukan. Aku pun kemudian hanya bisa tersenyum kecil mengenang hal itu.
Aku tidak duduk sendiri di depan. Aku memangku adik kecilku yang masih berumur 3 tahun dengan Mia duduk di sampingku. Aku memang bertubuh kurus dan kecil untuk ukuran anak SMP sehingga tempat duduk yang di depan, yang biasanya hanya ditempati satu orang, muat kami duduki bertiga. Aku pernah suatu ketika bertanya pada Ayah mengapa aku memiliki tubuh yang kecil dan pendek. Dengan memiliki tubuh yang menurutku tidak sempurna itu, aku merasa bahwa aku tidak bisa menerimanya. Seketika aku pun menangis di pelukan Ayah yang masih berusaha menghiburku. Ayah mengatakan bahwa Tuhan telah memberi kita bentuk yang terbaik untuk kita dan kita harus mensyukurinya. Meskipun tidak terlalu lega dengan hal yang dilontarkannya itu, aku masih bisa sedikit berbesar hati. Aku selalu khawatir kalau suatu hari tubuhku tetap pendek. Aku hanya ingin sedikit lebih tinggi sehingga aku bisa berbaur dengan teman-temanku yang lain tanpa ada yang mengolokku memiliki tubuh pendek, kerdil atau semacamnya.
Asyik dengan pikiran itu, aku kembali teringat dengan Ibuku yang masih koma. Aku mengajak serta adik-adikku untuk berdoa mengharap kesembuhan Ibu kami. Ketika memejamkan mata, aku melihat seseorang yang berbaring dalam balutan kain putih, lalu aku segera membuka mata. Sekejab saja gambar itu sudah hilang dan kini telah merekat kuat dalam otakku. Apa itu? Pikirku. Akupun melanjutkan do'aku yang tertunda oleh sebersit gambar dalam bayanganku. "Ya Allah, sembuhkanlah Ibu, berikanlah ia kekuatan untuk bertahan" pintaku pada-Nya.
Kringï¾…kringï¾…
Bunyi ponsel pamanku menyadarkan lamunan pendekku.
Paman segera meraih telepon genggam yang tergeletak di dasbor mobil
"Halo," sapanya pelan.
"Iya," kulihat dia berkata sambil menganggukkan kepalanya dan masih melihat ke arah depan.
"Iya,"
Klik.
 Dia memencet tombol berwarna merah untuk mematikan dan menghentikan obrolannya dengan seseorang di seberang telepon genggam itu. Kemudian dia kembali memegang setir dengan dua tangannya dan fokus ke arah depan untuk mengejar waktu. Aku tak tahu dia berbicara dengan siapa dan tentang apa. Yang jelas setelah mengakhiri panggilan, aku melihat raut wajahnya berubah.
Segera setelah kami sampai di kota kelahiranku hal yang pertama-tama pamanku harus lakukan adalah mengantar dua orang guru adikku. Di depan rumah Bu Rahmi aku menangkap pembicaraan antara seorang wanita tua dan pamanku. Kelihatannya mereka saling mengenal. Benar, jelas saja paman mengenalnya karena beliau tak lain dan tak bukan adalah istri seorang kyai terpandang di desa itu. Mereka berdua sepertinya terliat dalam obrolan serius karena kutangkap kalau wajah mereka terlihat parau.
"Katanya sudah nggak ada, ya?" samar-samar kudengar sedikit obrolan itu. terlihat wajah wanita itu berubah menjadi sedikit panik lantas meihat ke arahku dan dua adikku.
Begitu dia mendengar ucapan itu, pamanku langsung melihat ke arah kami. Aku masih belum menyadarinya. Setelah berbasa-basi, pamanku berpamitan untuk mengantarkan kami pulang.
Dalam perjalanan pamanku berkata padaku.
"Nanti adik-adikmu titipin di tempat budhe aja yah" dia masih tetap memandang arah depan.
"Kenapa?" tanyaku sambil menyibakkan rambutku ke balik telinga.
"Ya nggak apa-apa. Terus siapa yang mau jaga mereka? Di rumahmu kan nggak ada siapa-siapa." Jawabnya kaku dan masih terlihat seperti menyembunyikan sesuatu.
"Iya deh. Tapi aku ke Bu' Siti (kakak ipar dari ayahku) aja yah. Aku nggak mau di Umi'(kakak kandung ibuku)." Ucapku datar dengan memandang ke arah depan seperti dirinya.
"Ya". Katanya singkat, lalu kulihat dia membanting stir ke arah kanan. Membelok dari tikungan sempit.
Begitulah akhirnya dua adikku dititipkan di Umi' dan aku melanjutkan perjalanan ke rumah Bu' siti yang masih sekitar 15 menitan lagi dari rumah yang baru saja aku datangi. Di tengah perjalanan menuju rumah budhe, aku merasakan ada sesuatu yang janggal. Aku merasa ada yang mengganjal dalam hati dan pikiranku. Aku masih teringat dengan sesosok gambar yang kulihat dalam kelebatan bayangan tadi. Putih. Lalu, seketika aku seolah-olah tersadar dengan mengingat kata-kata wanita yang ada di rumah bu guru, "nggak ada".
Apa itu maksudnya? Apa yang terjadi sebenarnya? Apa? Apa?
Aku memberanikan diri untuk bertanya langsung pada pamanku. "Ibuku.." kata ku terbata. "Ibuku, udahï¾….nggak aï¾…" aku tak sanggup melanjutkan kata-kata itu. sontak pamanku langsung memelukku dan ikut menangis bersamaku.
"Sabar ya, Nduk," katanya singkat dengan masih mengusap kepalaku.
Rasanya seluruh tulang-tulangku meleleh dan otot-ototku lepas dari tempatnya bersemadi. Aku tak sanggup berkata apa-apa. Yang tersisa hanya tinggal nanar. Beribu sayang, air mataku tak kunjung keluar. Padahal, rasa-rasanya air itu sudah memenuhi dan membanjiri seluruh rongga dadaku, jantungku, paru-paruku, hatiku, pokoknya semua tempat yang ada di dalam tubuhku. Penuh dan sesak.
Melihatku datang, seluruh anggota keluarga budhe menghampiriku. Aku masih tetap berjalan dengan didampingi paman dan aku pun masih tetap dalam keadaan diam membisu, tak sanggup berkata. Satu patah kata pun tak mungkin bisa keluar saat ini.
 Melihatku bersikap demikian, sekilas aku memergoki budhe sudah membenamkan muka sedihnya. Aku tak kuat lagi mengatasi bendungan yang kini mulai retak di dalam tubuhku. Air yang ada di sana sudah hampir keluar. Aku tak bisa lagi terus membenamkan air. Tak lagi diriku kuasa, akhirnya aku menjerit histeris disertai deras air yang mengalir dari lubang mataku.
"Arggghhhhhhï¾…..Ibuï¾….Ibuï¾…Kenapa Ibu ninggalin aku.." aku menangis sejadinya dengan dipeluk beberapa orang yang aku tak tahu mereka siapa saja. Aku masih sibuk mengasihani diriku sendiri yang dalam kenyataanya, Ibuku kini sudah meninggalkan dunia ini. Ibu yang membesarkan aku, ibu yang memelukku, ibu yang berlari mengejarku memberikan segelas susu selagi aku menunggu bis untuk pergi sekolah, ibu yang memasakkanku makanan kesukaanku, ibu yang terkadang bertengkar denganku karena permintaanku yang tak dituruti, ibu yang menyusui dua adikku secara bersamaan. Kini, kini dia sudah tak bisa lagi melakukan hal-hal itu. Kini dia tak bisa lagi menciumku dengan bibir hangatnya. Aku ingat, sehari sebelum keberangkatan untuk berekreasi dia mencium keningku, padahal dia sangat jarang melakukan hal-hal seperti itu karena terlalu sibuk mengurus kedua adikku. Ciuman itu ternyata ciuman terakhir yang diberikannya padaku. Ternyata ciuman itu adalah tanda berakhirnya pertemuan kami di dunia. Ciuman itu yang akhirnya menjadi simbol kasih sayangnya padaku. Hal itulah yang masih bisa aku rasakan sampai saat ini.
Betapa berat melepas kepergiannya. Hampir saja aku tak berani melihat wajahnya untuk yang terakhir kalinya. Aku belum siap dengan perpisahan ini.
Dengan berat hati dan juga karena dorongan dari sepupuku, aku akhirnya sadar kalau aku harus pergi untuk melihat ibuku yang sudah tak bernyawa. Pikiran untuk melihat wajah ibuku untuk yang terakhir kalinya, membangkitkanku dari kekosongan jiwa. Dengan segera aku melangkahkan kaki menuju rumah dan menunggu ambulans yang akan membawa ibuku pulang.
Sesampainya di rumah yang berjarak tak begitu jauh dari rumah budhe, mulailah diriku untuk menguatkan hati dan mental. Karena sibuk dengan hal itu,  aku bahkan tak ingat lagi siapa saja yang sudah berkumpul di rumahku, yang jelas sudah banyak orang di situ, menunggu kedatangan  ibuku juga.
Beberapa menit berlalu dan seketika itu juga aku mendengar suara ambulans yang meraung-raung bak singa yang kelaparan. Sungguh suara yang menyesakkan, suara yang mematikan jiwa, suara yang aku takutkan untuk kudengar walau sedetik saja. Dengan dipegangi oleh entah aku tak tahu siapa, aku berdiri melihat ibuku dikeluarkan dari ambulans. Herannya, aku tak bisa lagi mengeluarkan air mata, mungkin saja air mataku itu sudah mongering. Yang kurasakan hanya sesak yang sangat di dada ini. Aku takut, aku gelisah, aku gugup, akuï¾…. Entahlah, semua berkecamuk. Aku belum siap dengan datangnya hari ini.
Pintu mobil berwarna putih itu terbuka dan sesosok lelaki paruh baya itu terlihat berjuang melangkahkan kakinya untuk keluar. Dengan di gandeng oleh lelaki seumurannya, Ayahku tampak begitu kehilangan. Dia kemudian menghampiriku, memelukku, menciumiku. Aku berlinangan air mata dalam peluknya. Ku lihat dia mencoba untuk tegar, mungkin yang terlihat hanya sedikit lemas menggelayut pada raganya. Tak tampak di sana air mata yang mengalir, tapi aku bisa melihat bahwa air mata itu membanjiri rongga dadanya, seperti yang aku rasakan tadi.
Ibuku di angkat untuk dimandikan, dikafani, dan di solati. Sebelum ke area pemakaman, kami, selaku keluarganya disarankan oleh pengurus desa untuk mengucapkan salam perpisahan. Aku, adik kecilku, dan ayahku bergantian menciumi ibuku yang tak bernyawa. Tak tampak dari pandanganku yang tak berbinar bahwa Mia di situ. Sekejab aku melihat mengitari apapun yang ada di ruangan itu. Berikutnya,  sosoknya tertangkap oleh mataku. Dia sedang bergelayut dalam gendongan Umi'. Baru kuketahui setelah pemakaman bahwa Mia merasa takut dengan kejadian tadi. Dia bilang kalau dia tidak mau mendekati Ibu. Dia juga bilang kalau itu bukan Ibu kami.
Aku tahu seorang anak yang masih berusia 5 tahun itu sangat tergoncang jiwanya. Aku merasakan dari sikap diamnya akhir-akhir ini. Selama ini, Mia adalah sesosok gadis kecil yang ceria, tapi kini dia menjadi sangat pendiam. Tak tampak sama sekali gadis kecil yang biasa aku goda sehari-harinya. Dia, Mia, mungkin sangat terpukul dengan kematian Ibu.

sekisah prolog-Sorrow of the Morrow


SEKISAH
PROLOG

Sampai detik ini mataku masih belum lepas menatapi jendela bening. Jendela itu berjarak kira-kira 2 meter dari tempatku terbaring. Sangat mudah bagiku menatapnya karena posisinya yang strategis. Saat itu awan mulai menampakkan warna kelabu muramnya. Cuaca di luar terlihat begitu suram, begitu dingin, berbanding terbalik dengan ruangan ini. Tubuhku merasa hangat, walau hanya dibalut dengan selimut tipis bergaris. Selain memang pendingin ruangan sengaja dimatikan.
Baru sebentar saja kupalingkan wajah dari jendela itu, aku mendengar suara merdu titik-titik hujan mulai bernyanyi lepas. Mereka terdengar begitu riuh menyanyikan kebebasannya. Tapi semakin aku merasakan keriuhan itu, semakin aku merasa suasananya menjadi demikian sendu. Nyanyian rintik air dan semilir angin membahana dengan ritme tak teratur, begitu mewakili tangisan dalam hatiku.
Kukira-kira, mungkin saja saat ini semua orang tengah hilir mudik dengan berbagai aktifitasnya. Barangkali sedang berteduh, berlindung dari basah yang akan ditimbulkan tetesan air dari langit itu.
Di sini, aku tengah terbaring lemah di sebuah ruangan berukuran 4x6. Seluruh temboknya bercat warna putih. Korden berwarna hijau muda--sama persis dengan daun yang masih kuncup--menghiasi kaca jendela yang sekarang terlihat tertutup rapat. Aku, seorang  perempuan yang  bertubuh kurus, tinggi 155 cm, berkulit putih, terlihat agak berkeriput di sekitar leher, kini memandang lurus pada satu arah tanpa melihat apa yang aku lihat. Mereka selalu berkata bahwa dari rona muka pucatku penderitaan yang aku alami sangat berat. Dan mereka memang benar.
Armeina Lavinska, begitulah yang terpajang di depan pintu kamar ini. Hampir 1 minggu aku berada di sini menjalani pengobatan yang menurutku tak akan pernah sanggup aku tersembuhkan dari penyakit itu. Beberapa minggu ini aku lebih memilih untuk diam dan berpaling dari semua wajah yang kukenal. Hanya satu harapanku. MATI. Tak ada lagi yang bisa aku harapkan di dunia ini. Aku telah hancur. Ah, mungkin lebih tepatnya aku telah menghancurkan hidupku. Aku ingin mengubur dalam-dalam diriku dalam kesunyian. Aku tak ingin lagi bertemu dengan diriku yang sudah tega menghancurkan masa depanku sendiri. Lalu, aku mulai melamun untuk kesekian kalinya (karena hanya itu yang menjadi hiburanku selama di tempat ini).
Setengah perjalanan menuju lamunan yang semakin dalam, tiba-tiba saja terdengar bunyi langkah dari luar. Suara itu lebih mirip deru mesin tembak berkekuatan manover. Mungkin seseorang itu sedang berlari atau bahkan lebih dari sekedar berlari, namun sayang sekali, tak kutemukan kata yang tepat untuk menggambarkan hal itu dari bahasa mana pun di dunia (mungkin aku harus menciptakan kata baru lagi yang harus kalian sepakati. Melangkah, berjalan, setengah berlari, berlari, kemudian ber(rikol) atau ber(ridas) atau ber(rigi). Sepertinya kata-kata yang aku ciptakan sangat aneh dan tak bertempat di otak. Tepat sekali, mungkin aku hanya bisa menjelaskannya begini saja, “berlari kesetanan” atau “berlari dengan kecepatan pesawat jet tempur”. Lebih mudah dimengerti bukan?).
Seorang lelaki berkulit putih yang terlihat menumbuhkan jenggot tipis pada dagunya kini mulai menjejakkan kaki untuk memasuki sebuah ruangan. Dia datang dengan hanya membawa seonggok tubuh yang berkeringat dingin di sekitar pelipisnya, tubuhnya sendiri. Kemejanya terlihat basah terkena air hujan. Perlahan dia mendekati tempat tidur yang berada ditengah ruangan itu,  tempat di mana aku tegeletak tak berdaya. Membawa semua lara dari masa-masa terberat dalam hidupku.
“Mei,” katanya bergetar. Seraya mengusap peluh dengan lengan kemejanya, lantas ia menggenggam tangan kananku yang tidak di infus.
Aku hanya terdiam, terpaku. Tanpa kusadari air mata telah membasahi pipi cekungku. Dengan tetap terdiam, aku menyambut genggaman tangan lelaki itu, begitu hangat dan nyaman. Aku mengenggamnya lebih erat dari yang dia lakukan. Kini yang aku rasakan justru berbeda dari sebelumnya. Aku mulai bertanya-tanya, kenapa aku mulai mengalami ketakutan yang sangat? Mungkinkah aku takut mati? Terlebih lagi, mungkinkah kini aku takut mati dengan sia-sia? Padahal, ratusan jam yang lalu aku masih  mengharapkan kematian datang menjemputku. Semuanya kini berubah setelah melihat sosok yang dulu sempat mengisi relung jiwaku. Sosok yang telah lama terkubur damai dalam angan dan hatiku. Kini dia ada di hadapanku, di depan mata kepalaku, di dalam pandanganku, menghangatkan jiwaku. Dia muncul kembali menawarkan cinta yang tak bisa kuraih.
Terpaku beberapa saat, aku mulai memandang sekeliling untuk mengatasi rasa takutku yang berlebih, yang tiba-tiba muncul tanpa aku memintanya. Bola mataku kini berkelana ke sana kemari mencoba menangkap sesuatu yang berusaha kukejar selama belasan tahun. Tertangkap olehku detik jarum jam tepat di atas televisi berwarna di depan pandanganku yang akhirnya membawaku  jauh ke masa lalu. Kembali mengingat Hidupku yang berjalan melintasi waktu bersama ribuan kenangan pahit.



Aku hanya ingin bebas. Aku ingin bernafas. Aku tak ingin terhempas. Terperosok jauh dalam kegelapan yang buas.

Bingkisan kecil dari Tuhan


Rembesan air membasahi kening
Kulitku seakan terlubangi oleh sayatan perih
Air itu kian mengucur, tak lagi merembes, pening
Langkahku gontai tak lagi dapat berdalih

Kualihkan semua prasangka
Aku tak dapat sekalipun menyekanya
Kemudian… pada detik berikutnya,
Kularikan pikiranku tak lagi meraba-raba
Dan kosong kini yang akhirnya berkuasa

aku tergelung oleh sebuah badai
berjuta sayang, otakku memilih untuk terbuai
berhari-hari tubuhku terasa terburai
aku tak sanggup lagi untuk memuai

mungkinkah nyawaku sudah terkebiri?
Karena aku tak lagi merasakannya bersemayam dalam diri.
Mungkinkah ragaku tak menjadi milikku lagi?
Karena aku tak bisa lagi melakukan apapun sesuka hati

Ini ujian ataukah cobaan?
Ini duka ataukah lara?
Oh, sama saja kukira.
Tuhanpun tak pernah mengatakannya

LITA FAUZIAH_19 oktober 2011_17.15