Kenangan Masa Lalu yang Indah
Mei
Sudah 3 bulan berlalu sejak kematian Ibu. Kini aku sadar bahwa kehidupan masih tetap berlangsung, walaupun orang yang kita cintai sudah tiada. Detik ini dan detik selanjutnya hanya ayah dan dua adik yang masih mengisi daftar anggota keluargaku saat ini.
Aku merasakan kejanggalan. Akhir-akhir ini Ayah terlihat sangat muram, menderita dengan kesendiriannya. Di luar yang kuduga, aku mendengar bahwa dia akan dijodohkan lagi dengan seseorang. Aku tak tahu apakah itu benar atau tidak. Aku tak mau memikirkan hal yang membuatku terganggu. Aku bahkan tak mau mendengar kabar yang tak jelas akarnya dari mana. Kalau seandainya itu benar, aku tak bisa terima. Terlebih lagi kalau seandainya ayahku menikah lagi.
Sepeninggal Ibu, kami sekeluarga makan dengan dibantu oleh keluarga kami yang lain. Karena aku masih harus sekolah, dan tak mempunyai bakat untuk memasak, pada akhirnya setiap hari kami terpaksa harus menunggu kiriman lauk dari Nenek ataupun Budhe. Tidak jarang pula Ayah membeli sayur dan ikan di warung makan agar lebih praktis.
Benar saja, hidup kami berubah drastis semenjak Ibu meninggal. Ayah harus mengurus kami bertiga, aku dan kedua adikku. Kadang, aku merasa kasihan padanya. Aku ingin Ibu kembali lagi. Tak jarang karena keinginanku melihat Ibu masih ada di sini, aku malah sering bermimpi tentangnya. Karena hal itu aku dapat sedikit merasa bahwa Ibu benar-benar masih ada. Paling tidak hal itu sedikit melegakanku.
Waktu pun berlalu begitu lambat. Aku merasa bahwa kekosongan hidupku kian bertambah tiap harinya. Melihat adik kecilku yang baru menginjak usia 3 tahun sudah tak ber-ibu lagi, terkadang aku menangis dalam doaku. Melas. Terlebih melihat Mia yang semakin bungkam dan matanya terlihat kosong usai Ibu tiada.
Mia, sang putri kesayangan Ibu, kini ditinggal pergi jauh oleh orang yang selalu memberikan cinta untuknya. Dia selalu dianggap sebagai pengganti adikku, kakak Mia, yang telah meninggal mengidap komplikasi penyakit yang tak kutahu sampai sekarang. Entah benar karena komplikasi penyakitnya atau malah karena disantet orang. Tak tahulah, kudengar banyak orang mencurigai kematiannya yang tiba-tiba.
Mia yang dulu selalu tampak ceria dengan mengumbar tawa lucunya, kini selalu berdiam. Jarang sekali kulihat dia bermain dengan teman-temannya. Mia yang sekarang hanya bicara kalau di ajak bicara. Selain itu, dia lebih memilih membisu dalam lamunannya yang tak ingin terusik.
Begitu perih menjalar melihat Mia yang begitu hanyut dalam kediamannya, aku akhirnya mengalihkan pandanganku. Aku mengambil album foto yang beberapa hari lalu selesai dicetak. Aku mulai membolak-balik lembar demi lembarnya, memandangi gambar-gambar yang tercetak jelas dalam lembaran kertas yang mengkilat. Kenangan terakhir bersama dengan ibuku.
Beberapa minggu sudah aku hidup dengan penuh penderitaan yang mengganjal dalam nyawaku. Aku tak mau lagi termenung dan menderita bersama keterpurukan itu. Jenuh. Aku harus membebaskan diriku untuk kembali merasa hidup. Mungkin aku akan mencari kesenangan di luar. Kurasa sudah cukup penderitaan yang kudapat dengan hanya jadi setan penunggu rumah.
Aku mulai bertanya-tanya pada diriku sambil memandangi pemandangan di luar melalui sela-sela jendela kamar. Kutemukan di sana banyak kendaraan yang lalu lalang. Ada satu yang mengherankan. Mobil sedan berwarna putih itu tampak seperti cebol diantara dua truk besar yang mengapitnya. Kasihan sekali pengendara sedan itu. pasti dia merasa sangat terjepit. Aku membayangkan kalau saja orang itu baru saja bisa mengendarai mobil. Benarkah dia akan merasa sangat ketakutan diantara monster besi yang setia mengapitnya itu? semoga kesialannya itu cepat berlalu. Melihat kendaraan itu telah tiada dari pandangan mataku, aku mulai sadar kalau aku tadi sedang memikirkan sesuatu. Pastinya di luar pembahasan tentang hal yang sekilas kulihat tadi.
Ah, mungkin aku harus kembali menemukan cinta yang bisa mengganjal lubang di hatiku. Telah ku kehilangan sosok ibu. Aku merasa lemah tanpa wanita yang rela menyimpan janin diriku di perutnya berbulan-bulan. Berkali-kali sudah aku menahan rindu. Tak bisa sejenak saja tersembuhkan. Rindu itu sudah menjadi penyakit stadium empat yang siap kapan saja membunuh nyawaku. Biarlah, biar saja aku mati. Aku ingin sekali menemukan ibuku di jalan kematian. Tidak, tidak! Aku masih belum boleh mati. Aku harus meyakinkan diriku sendiri untuk tetap terbangun dengan kesadaran penuh bahwa mati adalah hal yang sia-sia saat ini.
AAAAARRRRRGGGHHHH..
Apa yang harus hamba-Mu ini lakukan, Tuhan? Aku bosan terus merasa sedih seperti ini. Kalau Engkau benar-benar mencintai makhluk-Mu, termasuk aku, biarkanlah diriku sanggup untuk menghentikan rasa sakit ini. Begitu dalamnya diriku terpuruk dalam kesendirian. Lantas aku pun mulai tergeletak dengan air mata yang mulai keruh tersirat debu-debu takdir yang menghitam.
Celah yang terdapat di kamarku mengirimkan sinyal, aku harus bangun. Matahari sudah meninggi, mengungguli segala yang tinggi di bumi ini. Dengan mata yang masih terpejam aku memaksa diriku untuk segera mempersiapkan diri pergi ke sekolah. Aku tak perlu repot-repot lagi meyetrika seragamku dan seragam Mia. Dini hari, aku melakukannya. Itupun gara-gara kopi yang kuminum membuatku terus terjaga. Biasanya aku tak mau repot-repot minum kopi yang bisa membuat lidahku menjadi kecut sehabis menenggaknya. Semua karena teh di rumah sudah habis, terpaksa kopi pun menjadi pilihan terakhir. Yah, memang pada waktu itu aku ngidam minuman hangat manis sebagaai teman bersantaiku. Kopi! Gara-garanya aku tak bisa mengatupkan mata sampai waktu menunjukkan lewat tengah malam.
Setibanya di sekolah aku mulai mengatur rencana. Aku ingin mencari suasana baru. Kuputuskan untuk mendekati teman-temanku yang terlihat badung. Aku yakin mereka punya cara tersendiri untuk menyenangkan hati mereka. Menurutku ini kesempatan emas buatku untuk bisa sedikit saja menghilangkan pikiranku yang kacau. Hitung-hitung menikmati masa muda.
Beruntung sekali aku duduk di depan Vira, teman yang kukenal sejak SD. Ku rasa dia sekarang berkumpul dengan para berandalan di luar sana, itu yang kudengar dari desas-desus yang ada yang mengeroyoki telinga-telinga haus akan gosip di sekolahku. Masih SMP berlagak seperti tante-tante. Tukang gossip semua. Mungkin saja termasuk aku, meskipun sesekali saja aku memilih bergabung dengan teman-teman yang sedang ngerumpi. Selainnya, aku memilih tidur saja di kelas.
Dengan cara sederhana, aku mulai mendekatinya untuk mengajak mampir ke rumahku. Lama juga dia tak ke rumahku, pikirku. Sudah semenjak saat itu. Bukan mauku. Kebetulan rumahku memang tak jauh dari sekolah. Aku menawarinya seperti itu karena dia sering menunggu jemputan dari tukang ojek sewaan bapaknya (aku rasa dia akan sedikit senang bila ku ajak mampir demi sedikit minuman dingin di tempatku). Meskipun demikian, tak jarang pula dia menghindari ojek jemputan itu untuk melewatkan harinya di luaran. Entah apa yang dilakukannya, yang jelas aku ingin bergabung dengannya. Bagiku dia terlihat sangat tegar di antara berbagai permasalahan yang dihadapinya, walau sekarang memang dia memilih jalan yang sedikit beresiko.
Vira yang kutahu dulu adalah anak ceria, pintar, dan baik hati. Dia adalah anak seorang dokter. Sejak ibunya diberhentikan akibat kasus yang menyangkut nyawa seseorang, dia mulai berubah. Dia dicemooh banyak orang. Semua temanku tidak ada yang dengan rela sedikit saja mengobrol dengannya. Gara-gara itu dia sedikit frustasi dan memilih jalan yang seperti teman-temanku bilang.
Meski aku tak sampai hati melakukan hal yang sama padanya, aku tak bisa sekedar berteman dengannya juga. Aku akui aku memang terlalu ikut-ikutan, gampang terpengaruh. Aku khawatir jika aku berteman dengannya, semua teman-temanku akan menjauhiku, sama seperti mereka menjauhi Vira. Bagiku, sekarang hal itu sudah tak menjadi persoalan. Aku tak peduli ucapan mereka lagi jika harus memilih jalan yang seperti ini. Lagi pula apa yang aku dapatkan dengan berteman dengan mereka? Tak ada selain menggosip yang tidak-tidak. Tunggu! Mungkin tidak akan ketahuan bila aku mendekati Vira di belakang mereka. Aku memang tak lagi khawatir dengan sikap mereka, tapi mereka juga teman-temanku. Oke, aku akan mendekati Vira demi mendapatkan sedikit kesenangan dengan cara sembunyi-sembunyi. Jangan sampai ada yang tahu.
Setelah berusaha mendekatinya selama seminggu, akhirnya Vira mulai memperkenalkanku pada teman-temannya, jelasnya di tempat rahasia perkumpulan itu. Aku dibawanya ke sana karena aku meminta untuk pergi keluar bersama. Tak kusangka dia akan secepat ini mengenalkanku ke dunianya. Rencanaku berhasil. Dari cerita Vira, aku bisa menangkap bahwa dia kenal dengan mereka karena mereka adalah tetangga dekat rumahnya. Dulu dia tidak berani hanya menatap wajah mereka, tapi berkat ke-frustasi-annya, dia nekat menjajal teman baru yang diyakininya akan membawa kesenangan dalam hidupnya. Hal itu karena kini tak ada seorangpun di sekolah yang mau berteman dengannya. Sebenarnya dia bisa-bisa saja tidak berteman dengan mereka dan masih menjadi Vira yang dulu, namun dia beralasan bahwa dia juga ingin memiliki masa remaja yang menyenangkan. Aku masih ingat ketika kami masih duduk di bangku sekolah dasar, dia bertanya padaku apa cita-citaku. Aku menjawab kalau cita-citaku adalah menjadi Dokter sedangkan dia memberitahuku bahwa dia ingin menjadi petualang. Kalau hal ini sampai terjadi, itu memang benar-benar Vira. Mungkin aku saja yang terlalu menilai bahwa teman-teman berandalan Vira itu memang berandal. Kita lihat saja nanti.
Suatu ketika aku ingin menanyakan kesediaan Vira untuk menolongku. Hal itu berkaitan dengan satu hal yang kuanggap penting bagi kelangsungan hidupku di sekolah.
"Vir, mau nggak kamu bantu aku?" aku sedikit canggung menanyakannya.
"Bantu apa, Mei?" menyeruput minuman yang kusajikan.
"Vir, bisa nggak kamu merahasiakan pertemanan kita?" kulihat dia mengernyit. Antara tak mengerti dan curiga.
"Maksudnya?" katanya tegas.
"Ehm, ya jangan kasih tahu siapa-siapa kalau kita berteman lagi," lanjutku sedikit was-was menanti jawaban yang akan diberikannya.
"Owh, kamu takut berteman sama aku? Kamu takut kalau nanti teman-teman akan menjauhimu juga? Kamu.."
"Eng..enggak gitu, Virï¾…" potongku
"Terus apa?" selanya
"Aduh, gimana ya?" aku mulai menggaruk kepalaku yang tak gatal. Aku kehabisan ide untuk membuatnya mengerti. Memang benar katanya kalau aku tak ingin dijauhi teman-teman karrena bergaul dengannya. Dia juga tidak salah kalau bersikap seperti itu. Aduh, salah nih. Kenapa juga aku harus minta dia kayak gitu? Ucapku dalam hati.
Melihatku kebingungan dia justru tertawa terbahak-bahak.
"Mei, Mei... Tenang aja kali. Aku tahu kok maksudmu gimana. Aku juga nggak akan bikin kamu dijauhi teman-teman sekolah gara-gara aku. Kamu kenal aku dari kapan sih? Hahahahï¾…" gelak tawanya semakin membuncah, melegakanku.
"Vira.. kamu tuh, rese!" aku memukul kecil bahunya.
"Abisnya kamu keliatan serius banget." Godanya.
"Maaf ya, Vir. Aku nggak bermaksud begitu sama kamu. Aku seneng banget bisa berteman sama kamu lagi." Kataku jujur.
Meskipun dari awal aku sudah berniat mencari keuntungan saja darinya, justru dari sini aku menemukan sisi Vira yang kukenal dulu. Jujur, aku memang merindukan pertemananku dengannya. Gara-gara sikap kekanak-kanakan teman-teman sekolahku, hal yang tak pernah dilakukan Vira malah justru menjadi bumerang baginya. Sungguh tidak adil. Sudahlah, kalau mereka sampai tahu pun aku benar-benar tak akan peduli lagi. Sebaliknya, aku semakin memantapkan hati mengawali petualanganku dengan Vira.
Besok siap-siap buat pergi ke suatu tempat ya. Abis pulang sekolah. Aku tungguin kamu di tempat biasa.
Catatan kecil itu diletakkan begitu saja di meja kelasku. Aku menemukannya ketika kembali dari istirahat. Untung saja tidak ada yang mengetahui isi dari kertas yang sudah berbentuk remasan itu. Seketika aku tersenyum pendek.
Mau diajakin ke mana ya? Pikirku.
Setibanya di rumah aku tak sabar segera menyiapkan baju untuk kupakai besok.
Mau pakai baju apa, nih? Aku aja nggak tahu mau ke mana. Casual atau yang girly? Aduh, dia nggak mungkin ngajakin aku ke tempat-tempat yang mengharuskan aku memakai pakaian girly! Casual aja lah, tambahin jaket warna merah ini. Sip!
Semakin malam aku menjadi semakin penasaran dengan apa yang akan direncanakan Vira esok hari. Karena kelelahan, aku segera saja terlelap.
Bel sekolah berdentang menandakan berakhirnya pelajaran. Melamunkan apa yang akan aku nikmati siang nanti, aku menjadi lebih banyak diam di kelas seharian ini. Sempat pula kejadian yang tak biasa terjadi padaku malah terjadi. Saat pelajaran ketiga, aku belum juga sadar sebelum Arfan memukul punggungku dari belakang tempatku duduk untuk meminjam penghapus. Seberapa menyenangkannya sih rencana Vira sampai-sampai aku harus menanti-nanti seperti ini? Pikirku terheran-heran.
Segera setelah sampai di rumah aku langsung menuju kamar. Aku mengganti seragamku dengan baju yang kupersiapkan tadi malam. Kamarku sedikit berantakan hari ini. Berserakan semua barang-barang yang biasa tertata rapi. Baju tidur di meja rias. Tisu berceceran di luar tempat sampah. Parahnya, pembalutku belum aku bungkus dengan plastik. Kacau. Tak peduli. Sekali-kali saja memangnya dosa apa! Kesalku lebih pada diri sendiri.
Beberapa menit berikutnya aku selesai mengemasi barang-barang penting ke dalam tas, termasuk di dalamnya dompet. Hadiah terakhir dari Ibu. Saat rekreasi dulu dia sempat membelikannya untukku. Untungnya aku masih punya cukup tabungan untuk aku pergunakan sewaktu-waktu. Nggak sia-sia juga pengorbananku tidak jajan di sekolah. Lebay dikit sih, aslinya juga aku jajan, tapi tak banyak. Aku lebih banyak menyisakannya untuk kutabung, meskipun pada akhirnya akan habis juga dalam sekejab mata.
Kini aku benar-benar siap untuk petualanganku. Kulangkahkan kaki menuju tempat di mana Vira menungguku. Belum juga sampai depan rumah Ayah memanggilku,
"Kamu mau ke mana, Mei?" tanyanya.
"Eh.. main, Yah. Ke rumah temen. Ya sudah, Mei berangkat dulu."
Aku cepat-cepat melarikan diri dari Ayah. Aku tidak mau sampai dia tahu aku pergi ke mana dan dengan siapa.
"Mei..!" aku mendengar teriakan yang berasal dari pita suara Ayah, terakan amarah, tapi tak kuhiraukan sama sekali dan justru berlari semakin kencang.
Cukup jauh berlari, aku berhenti sejenak untuk beristirahat. Peluhku mengalir cukup deras di pelipisku, mengucur sampai di dagu. Kuusap dengan tangan telanjang dan kukipas-kipaskan sejenak untuk memberikan sedikit rasa sejuk pada wajahku. Tepat di pemberhentian bus yang akan menuju tempat janjianku dengan Vira, aku duduk menanti bus datang menjemput. Aku duduk di kursi besi bercat merah yang cukup teduh melindungiku dari sengatan matahari. Hal itu tak lain karena tempat itu dilengkapi dengan atap yang terbuat dari bahan plastik berwarna serupa dengan kursi besi yang kududuki. Beberapa menit menanti, akhirnya bus itu datang.
Mungkin Tuhan memberkati kepergianku untuk bertualangan mencari kesenangan. Petanda. Terlihat jelas dari bus yang lengang. Hanya beberapa gelintir orang yang membutuhkan kendaraan umum ini untuk mengantar-jemput mereka. Setelah bus itu benar-benar berhenti dan kondektur member aba-aba untuk segera masuk,aku menggapai batangan besi yang terpasang di pintu masuk bus. Kuraih gagang itu untuk membantuku menaiki dua deret undakan yang membentang di antaranya. Berhasil naik, aku pun mencari sedikit kenyamanan untuk kaki, punggung, dan pantatku di barisan tempat duduk yang banyak tak berpenghuni. Aku memilih tempat yang tak jauh dari supir. Tepat berada di barisan kedua yang dekat dengan jendela. Ah, nyaman sekali menikmati sajian pohon berjalan mundur di sisi kananku yang terlihat lewat kaca jendela. Perlahan mataku mulai sayup-sayup menahan kantuk.
"Mei!" panggilnya.
Bukannya menyahut, aku justru semakin fokus menapakkan kaki di jalanan berbatu. Semak berwarna hijau itu menghiasi sepanjang kaki ini melangkah. Terdengar dari jauh suara jangkrik menyanyikan rintihan syahdunya, beradu mulut dengan lawannya yang tak sebanding. Kodok. Suasana begitu teduh. Dengan senang hati aku pun menerima semilir angin yang menyambutku. Wush..wush..suara itu terdengar damai. Kutengok barang sejenak atap biru yang luar biasa besar berhias setitik gumpalan putih. Kulenggangkan lagi kakiku menuju sumber suara yang semakin tinggi volumenya. Sedikit mengganggu kenikmatan yang diberikan alam padaku.
"Mei, cepet ke sini," gadis itu mulai mengayunkan tangannya ke atas dan ke bawah, menyuruhku cepat-cepat datang kepadanya.
"Iya," jawabku singkat, mencoba berlaku sopan pada sesama makhluk Tuhan.
Jejakkan kakiku berhenti di sebuah rumah persegi panjang bercat abu-abu dengan kombinasi putihnya yang cemerlang. Dari sudut kanan hingga sudut kiri kulihat pagarnya pun panjang minta ampun. Rumah yang unik. Disodorkannya segelas air dingin kepadaku.
"Ini, minum dulu." ujar lelaki bertubuh kurus dan berkulit putih itu. Kuamati sekilas, terlihat tidak asing di mataku.
Kuambil gelas itu dan kutuangkan sedikit isinya ke mulutku. Rasa segar menjalar di kerongkongan ketika Vira mencoba mengenalkan sosok lelaki yang tengah mengutak-atik motor di hadapanku. Vira pun melakukan hal yang sama. Entah sejak kapan dia mempunyai pengetahuan tentang hal yang berbau cowok ini.
"Oh iya, Mei. Ini Tara, teman satu kelas kita waktu SD. Kamu masih ingat, kan?" ucap Vira menghentikan kegiatannya.
"Tara? Tara Caturangga?" tanyaku heran sekaligus tak percaya. Sudah sekian lama tak melihat sosok itu. Cinta pertamaku di Sekolah Dasar dulu.
"Iya. Kamu masih ingat sama aku kan, Armeina?" katanya padaku dengan menoleh padaku sekilas dari titik fokus pertamanya. Membuat hatiku teduh. Jantungku perlahan berdesir, menyejukkan. Tak kusangka bisa bertemu lagi dengan cowok yang dulu pernah menjadi pangeranku. Ingatanku kembali pulih ke masa-masa kecilku yang indah.
Ceritanya, beberapa tahun yang lalu saat aku masih duduk di bangku Sekolah dasar selalu digelar acara tahunan. Acara itu mengharuskan tiap kelas, yaitu kelas 4, 5, dan 6, untuk menampilkan pertunjukan drama. Jumlah kelasnya sekitar 6 kelas. Masing-masing tingkat memiliki dua kelas, A dan B. kebetulan saat itu aku, Tara, juga Vira berada di kelas 5A. Wali kelas yang bertugas menunjuk siapa saja yang mendapatkan peran. Dia pula yang nantinya akan melatih kami. Tepat dua minggu sebelum pertunjukan bu Arin, wali kelas 5A, sudah menentukan siapa yang akan bermain di drama. Drama yang akan kami mainkan berjudul Cinderella. Suatu kesengajaan atau tidak, aku lah yang menjadi Cinderella dan Tara sebagai pangerannya. Dengan usiaku yang sudah hampir menginjak puberitas, entah kenapa saat memainkan drama itu aku menjadi berdebar. Bukan karena gugup akan pentas. Bukan juga karena riuh penonton yang membahana. Bukan itu, melainkan ada sesuatu yang meyerang hatiku. Perasaan cinta. Masa kecil yang indah. Cinta monyet yang menyenangkan. Setelah pertunjukan drama itu aku dan Tara mengalami suatu fase yang sulit tapi kami selalu ketagihan melakukannya. Tiap bertatap mata kami selalu tersipu. Begitu seterusnya sampai suatu saat di awal kelas enam dia pindah ke luar kota. Tak pernah lagi kulihat sosoknya, hingga hari ini tiba.
"Mei," panggilnya seraya mengibaskan tangannya di hadapan wajahku. Mencoba mengembalikanku ke dunia nyata.
"Eh.. oh.. Iya. Masih ingat kok. Tara yang dulu satu kelas di SD kan?" aku menjawab asal. Kudengar tawa Vira menyerual di susul gurauannya yang membuat pipiku bertambah merah.
"Nggak usah nervous gitu dong, Mei. Cie.. yang ketemu cinta monyetnya lagi.."
Tara hanya tersenyum manis menanggapi candaan Vira. Akulah satu-satunya orang yang merasa dijadikan bulan-bulanan. Tapi tak mengapa. Toh aku juga senang-senang saja dengan ini semua. Aku tak menyangka Vira bakal memberikanku kejutan besar ini. Thank you, Vira. Kau membuatku gembira hari ini.
Terbersit suatu pertanyaan yang tiba-tiba mengganjal.
"Vir, kamu kok bisa tahu Tara sudah kembali ke sini? Terus kok kamu bisa tahu dia tinggal di sini? Aduh, aku jadi bingung nih, suer," dua alisku saling mendekat pertanda kalau aku sedang heran.
Diberi pertanyaan seperti itu bukannya menjawab, mereka berdua malah asik bermain mata sambil tersenyum-senyum mengejek.
"Jadi kamu itu dulu nggak tahu ya, Mei? Kita berdua kan sepupuan. Jelas aja dong kalau aku tahu Tara tinggal di mana. Oh ya, dia baru balik 2 minggu yang lalu gitu," Vira mencoba menjelaskan dengan nada kemenangan. Yang dijelaskan hanya manyun. Aku.
"Loh? Berarti selama ini kita ketemuan di dekat rumahnya Tara?"
"Iya. Emang kenapa? hahaha.."
"Jadi?"
"Mei, Mei. Polos banget sih. Tau nggak, karena kamu tiba-tiba jadi baik lagi sama aku, yah meskipun di depan teman-teman masih sok acting, aku jadi kepikiran buat nemuin kamu sama Tara. Aku tahu kalian berdua tuh masih suka-sukaan, kan? hayo ngaku!" lanjutnya diakhiri dengan tuduhan pada aku dan Tara.
Karena memang begitulah adanya yang kurasakan, aku semakin menjadi-jadi. Kukejar dia yang sekarang sudah berlari menjauhiku. Di sisi lain Tara kulihat masih tersenyum dan memandangi kami berdua yang meniru adegan di film kartun Tom and Jerry.
"Vira, awas ya kamu! Sini nggak!"
Selanjutnya kami bertiga tertawa bersama.
Tak terasa matahari mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahannya. Semburat merah itu menyebar di langit kelabu.
"Vir, kayaknya aku mau pulang deh. Udah sore banget," aku ku.
"Nggak kerasa ya? Waduh, emang jam segini masih ada bus, Mei?"
"Kayaknya sih masih," kataku ragu.
"Aku anterin aja deh, pake motor." Vira menawari.
"Nggak usah, Vir. Kan lumayan jauh," tolakku
"Biar aku aja, Vir yang nganterin Mei." Sela Tara. Aku kaget mendengarnya.
"Iya tuh, Mei. Biar Tara aja yang anterin. Lumayan jauh, kan? lumayan buat pacaran juga." Tawa Vira meledak. Aku yang diejek jadi semakin serba salah.
"Nggak usah Tar. Aku pulang sendiri aja." Ucapku yang terdengar mengiba. Padahal aku berusaha untuk menolaknya secara halus. Jujur, aku mau tapi malu. Hehe.
"Udah, nggak apa-apa. Ayok!" dia langsung menggandeng tanganku untuk mengikutinya.
Sesampainya di tempat motornya terparkir, dia langsung menyuruhku naik dbelakangnya.
"Ati-ati ya, pacarannya. Jangan pulang malam-malam. Hahaha.." ejek Vira lagi. Kini dengan setengah berteriak karena posisinya ada di teras rumah Tara. Aku hanya tersipu.
Di perjalanan kami hanya bungkam. Tak sepatah kata keluar dari mulut kami berdua. Jalanan tampak begitu brutal. Banyak sekali pengendara yang kebut-kebutan. Memergoki dari kaca spionnya, Tara berhasil menebak ekspresi wajahku yang sedikit ketakutan bercampur dinginnya angin menjelang malam. Diberhentikannya motor itu sejenak di tepian jalan. Kulihat dia mulai membuka jaketnya. Dingin-dingin seperti ini malah dia buka jaket sih? Ucapku dalam hati.
Dia berjalan menuju belakang motornya, belakangku. Disampirkannya jaket itu di pundakku. Aku yang tak menyangka akan diberikan jaket merasa sedikit terkejut. Kutoleh kebelakang. Dia tersenyum dan berujar halus.
"Mei, pakai ini dulu gih. Dingin banget, kan?" diperlakukan seperti itu mulutku menganga takjub. Ku sempurnakan jaket itu sehingga kini berrada tepat di tubuhku, membalutnya dengan hangat. Tara masih memperhatikan. Berhasil mengancingkannya, aku berkata lirih. "Makasih, Tara."
Dia tersenyum semakin lebar seraya mengusap kepalaku. Begitu damai. Inikah yang dinamakan cinta, oh Tuhanku. Begitu indahnya Kau menciptakannya..
Setelah adegan romantis itu, kami berdua melanjutkan perjalanan lagi. Masih setengah jam lagi menuju rumah. Aku merasa sedikit mengantuk akibat hembusan angin. Karena tak kuasa menahan rasa kantukku, kepalaku jatuh ke pundaknya tanpa kusengaja.
"Kalau kamu ngantuk tidur aja, Mei. Taruh tangan kamu di pinggang aku. Aku takut kamu nanti jatuh." Ucapnya dengan memandangku sekilas-sekilas karena masih fokus dengan jalan yang sedikit ramai.
Sebenarnya aku tak lagi sanggup membuka mataku. Tapi rasa malu membangkitkan sistem kerja otot mataku. Meskipun demikian aku tak bergeming. Gugup menghalangiku untuk bereaksi. Mengerti keadaanku, dia menarik tanganku satu persatu sehingga melingkar di perutnya. Di suruhnya aku menyandarkan lagi kepalaku di pundaknya. Kuturuti dengan rasa canggung yang semakin menjadi, boleh jadi dibumbui dengan rasa aneh yang tiba-tiba menjalari tubuhku. Entah, mungkin.. cinta? Cepat-cepat kukoyak pikiranku dengan menggigit bibir bawahku. Aku yakin kalau ini cinta, tapi aku hanya tak mau muka merahku menimbulkan detak jantung yang semakin cepat berdetak. Terlebih, aku tak mau sampai detak jantung itu terdengar oleh Tara, saking keras dan cepatnya.
Lima menit berikutnya kurasakan samar-samar dia mulai memegangi kedua tanganku dengan tangan kirinya. Aku masih membisu diperlakukan seperti itu. Membisu sambil menyunggingkan senyum yang lebar tanpa sepengetahuannya. Akan kunikmati keindahan singkat ini walau hanya 20 menit sebelum sampai rumahku.