Kerontang meradang pada bibir ini. merasa ada yang terbengkalai. Usang menjamah pada keranuman bak awan senja. Merah merekah nan sumringah, namun tak lekang oleh sendu. Dan kini menjadi gelisah sudah. Ia mencari-cari di mana pemakamannya sendiri. Ia merasa tlah mati saat ini. Gersang menghinggapi dalam rekahannya yang meng-ilalang pucat penuh rasa kehausan. Sekalipun tersiram air liur, ia tetap kembali meradang. Usapan lembut dari sang penderita menggubahnya menjadi derita. Nyinyir terasa kala suara titik embun berkelana dalam derasnya desiran dalam dada. Ia rasakan tak sanggup lagi memikul padang pasir di permukaannya yang kini berputiran kasar.
Malam pun bersenandung. Sang penderita menyingkapkan kekesalannya pada sebuah gambar. Ia cermati gambar itu. Sebentar saja ia telah terpaku pada seonggok buku harian yang membayang. Bibir itu kini menderita hayalan panjang. Bibir bersemu merah padam menahan amarah. Ia kesal pada tulisan itu yang kini bersemayam di atas lembaran. ia kesal pada jemari yang menari menorehkan kata-kata yang pilu, membuatnya semakin mengiba. Mungkin sebaiknya ia tutup matanya. Kubur kekeringannya. Tak menghayalkan sedikit pun tentang dewa pujaannya.
Namun gagal. ia tetap merindukan untuk terjamah oleh sedikit ranum dari pujaannya. tak ayal. Kini, Ia menamakan dirinya keterbengkalaian.
No comments:
Post a Comment
Write me your comment