Tuesday 31 July 2012

terjerumus sepi


Ada sebuah cerita pada sebuah masa. Ketika itu tak ada kata derita di sana. di sana hanya ada gempita. Di sana tak pernah ada gulana. Bayangkan saja cerita itu memang benar adanya. Tampak di sana. suatu ketika itu mengayunlah ayunan bambu yang kecoklatan terpanggang bara sang surya. Seseorang bergayutan di sana. di pipinya bersemayam lubang kecil, dua-duanya. Giginya rata meringis terkikik-kikik. Hatinya gembira berayunan di sana. seperti tak ada lara. Seperti air mata hanya terbendung rapat dalam kubangan dalam matanya, tak ingin menampakkan wajahnya. Kala itu angin bertiup begitu santun. Menghempaskan sedikit demi sedikit rambutnya yang mengayun berlawanan dengan ayunan ayunan yang di dudukinya itu. wush…bertiuplah sepoi. Wush…berhembus dengan asoy…
Tiga puluhan menit ia bayangkan dirinya di surga, meski tak sekali pun ia pernah mengunjunginya. Nampak pada matanya sesosok peri kecil menghampirinya. Ia sapa kilauan yang bergerak itu. berhentilah, menghampirilah, tersenyumlah peri itu padanya. Apa yang tengah kau lakukan dengan terbang di sekitarku? Katanya merasa sama sekali tak terganggu. Diam jawabnya. Sekali lagi ia bertanya. Kau itu apa? kau tak sama sepertiku. Kau bahkan bisa terbang. Katanya sedikit kecewa. Hening menjadi jawabnya. Ayunan terhenti begitu saja. tak lagi-lagi kaki mungil itu mengayuhnya ke depan ke belakang. Ia pandang makhluk mungil di hadapannya. Berkediplah ia dengan kedipan panjang. buka mata yang berikutnya kilauan berlian yang terbang kini hilang. Kepalanya ia tolehkan ke kanan kiri belakang depan menyerong. Lenyaplah. Ia berdiri memunggungi tunggangannya yang mengantar hayalannya sampai di surga. Hening lagii. Kali ini disertailah tatapan mencari. Ia berdiri tertegun sepi.
Begitu mengherankan merasakan perasaanya kala itu. ia tak pernah merasa seperti itu. ia tak sekalipun mengetahui perasaan apa itu. dia terbiasa dengan dirinya sendiri. ia selalu bahagia dengan dirinya sendiri, itu waktu sebelumnya. Sebelum peri kecil itu tiba-tiba tiba. Muncul dengan senyuman di hadapan kedua matanya yang tak pernah menatap mata lain selain matanya sendiri dalam cermin.
Ada ganjalan yang memanas di matanya. Mata jernih itu kini tercemari. Bendungan dalam dalam matanya telah binasa. Air bah menggenang dalam matanya yang jernih. Setetes yang deras tiba di pipinya yang menggunduk penuh. Meliuklah air itu di permukaannya. Air itu jatuh dalam genggamannya. Ia kata pada dirinya, apa ini? air apa yang tiba-tiba jatuh dari mataku ini? ia tak tahu. Perasaannya mengelabui rasa penasarannya yang rasional menjadikannya irasional. Seperti mendidih. Seperti tertindih. Dadanya berat. Napasnya membeban. Ia tarik dalam-dalam. Apa ini yang terjadi pada dadaku yang dulu selalu ringan? Ia tak pernah mengerti.
Apa ini salah peri itu yang mengutuk jiwaku? Bukan! Jawabnya sendiri. ia pikir lagi kemudian. Tak menemukan jawabnya. Termenung lagi. Merenung lagi. Apa ini? yang selalu menjadikannya gelisah. ia tak tahu lagi. Kemudian ia baru menyadari. Ia merasakan ada yang hilang seperti hilangnya peri itu. matanya yang menemukan mata lainnya itu seperti kehilangan jati diri. Meski terbiasa sendiri, ia tak menyangka akan datang seorang peri yang memasung perasaan suka yang yang dulu tak terganti. Memang, ia tercipta sendiri. tapi seharusnya ia mengetahui dan menyadari, jika seseorang telah menghadiri relung hati yang terbiasa sepi, ia akan segera tahu bahwa ia tak bisa untuk ditinggalkan sendiri. meski tercipta dalam kesendirian, jika ada yang mampu menemani, tak sanggup ia akan hidup sendiri. ditinggalkan sepi. 

No comments:

Post a Comment

Write me your comment