Ada sebuah cerita pada sebuah masa. Ketika itu tak ada kata
derita di sana. di sana hanya ada gempita. Di sana tak pernah ada gulana. Bayangkan
saja cerita itu memang benar adanya. Tampak di sana. suatu ketika itu mengayunlah
ayunan bambu yang kecoklatan terpanggang bara sang surya. Seseorang bergayutan
di sana. di pipinya bersemayam lubang kecil, dua-duanya. Giginya rata meringis
terkikik-kikik. Hatinya gembira berayunan di sana. seperti tak ada lara. Seperti
air mata hanya terbendung rapat dalam kubangan dalam matanya, tak ingin
menampakkan wajahnya. Kala itu angin bertiup begitu santun. Menghempaskan sedikit
demi sedikit rambutnya yang mengayun berlawanan dengan ayunan ayunan yang di
dudukinya itu. wush…bertiuplah sepoi. Wush…berhembus dengan asoy…
Tiga puluhan menit ia bayangkan dirinya di surga, meski tak
sekali pun ia pernah mengunjunginya. Nampak pada matanya sesosok peri kecil
menghampirinya. Ia sapa kilauan yang bergerak itu. berhentilah, menghampirilah,
tersenyumlah peri itu padanya. Apa yang tengah kau lakukan dengan terbang di
sekitarku? Katanya merasa sama sekali tak terganggu. Diam jawabnya. Sekali lagi
ia bertanya. Kau itu apa? kau tak sama sepertiku. Kau bahkan bisa terbang. Katanya
sedikit kecewa. Hening menjadi jawabnya. Ayunan terhenti begitu saja. tak
lagi-lagi kaki mungil itu mengayuhnya ke depan ke belakang. Ia pandang makhluk
mungil di hadapannya. Berkediplah ia dengan kedipan panjang. buka mata yang
berikutnya kilauan berlian yang terbang kini hilang. Kepalanya ia tolehkan ke
kanan kiri belakang depan menyerong. Lenyaplah. Ia berdiri memunggungi
tunggangannya yang mengantar hayalannya sampai di surga. Hening lagii. Kali ini
disertailah tatapan mencari. Ia berdiri tertegun sepi.
Begitu mengherankan merasakan perasaanya kala itu. ia tak
pernah merasa seperti itu. ia tak sekalipun mengetahui perasaan apa itu. dia
terbiasa dengan dirinya sendiri. ia selalu bahagia dengan dirinya sendiri, itu
waktu sebelumnya. Sebelum peri kecil itu tiba-tiba tiba. Muncul dengan senyuman
di hadapan kedua matanya yang tak pernah menatap mata lain selain matanya
sendiri dalam cermin.
Ada ganjalan yang memanas di matanya. Mata jernih itu kini tercemari.
Bendungan dalam dalam matanya telah binasa. Air bah menggenang dalam matanya
yang jernih. Setetes yang deras tiba di pipinya yang menggunduk penuh. Meliuklah
air itu di permukaannya. Air itu jatuh dalam genggamannya. Ia kata pada
dirinya, apa ini? air apa yang tiba-tiba jatuh dari mataku ini? ia tak tahu. Perasaannya
mengelabui rasa penasarannya yang rasional menjadikannya irasional. Seperti mendidih.
Seperti tertindih. Dadanya berat. Napasnya membeban. Ia tarik dalam-dalam. Apa ini
yang terjadi pada dadaku yang dulu selalu ringan? Ia tak pernah mengerti.
Apa ini salah peri itu yang mengutuk jiwaku? Bukan! Jawabnya
sendiri. ia pikir lagi kemudian. Tak menemukan jawabnya. Termenung lagi. Merenung
lagi. Apa ini? yang selalu menjadikannya gelisah. ia tak tahu lagi. Kemudian ia
baru menyadari. Ia merasakan ada yang hilang seperti hilangnya peri itu.
matanya yang menemukan mata lainnya itu seperti kehilangan jati diri. Meski terbiasa
sendiri, ia tak menyangka akan datang seorang peri yang memasung perasaan suka
yang yang dulu tak terganti. Memang, ia tercipta sendiri. tapi seharusnya ia
mengetahui dan menyadari, jika seseorang telah menghadiri relung hati yang
terbiasa sepi, ia akan segera tahu bahwa ia tak bisa untuk ditinggalkan
sendiri. meski tercipta dalam kesendirian, jika ada yang mampu menemani, tak
sanggup ia akan hidup sendiri. ditinggalkan sepi.
No comments:
Post a Comment
Write me your comment