Friday 6 July 2012

sebercak kebahagiaan


Sebercak Kebahagiaan

Mei
Seminggu sudah aku memutuskan untuk lebih mengeratkan hubunganku dengan Tara. Kemunculannya lagi dalam hidupku membawa kegembiraan yang layak kusyukuri di tengah penderitaanku.
Usai perkenalan ulang kami yang tidak terlalu singkat maupun panjang, satu bulan, Tara mengakui perasaannya terhadapku yang dia simpan selama bertahun-tahun. Sejak kejadian Cinderella sampai dia bertemu denganku lagi dia sadar bahwa gadis yang diidolakannya tetaplah aku. Aku sungguh terharu mendengar pengakuannya. Jujur saja, meski aku memang dulu sempat pula menyukainya, aku tak sampai hati membiarkan hati ini menderita untuk sekadar mengenang cinta monyetku yang telah hilang. Kenyataannya, kini ia telah kembali. Aku merasa masa kecilku yang bahagia kembali merasuk. Tara menjadi simbol nyata bahwa kehadirannya mencerahkan tiap puing-puing hari yang kumiliki. Aku memang masih punya sesuatu yang bisa membuatku kembali merasakan indahnya hidup.
Kupikir hidup memang tidak seindah yang dilantunkan pujangga. Hidup bagiku adalah hukuman. Yang patut kusalahkan di sini adalah Adam, sang manusia pertama yang diciptakan oleh Tuhanku. Kenapa dia bisa terjebak dengan tipu muslihat setan yang terkutuk? Kalau saja dia tidak sampai memakan buah bangsat itu, pastilah kini semua manusia bisa berbahagia di surga.
Aku kembali merenung. Bukannya yang patut disalahkan adalah setan? Kenapa pula dia tega membuat Adam, sesama makhluk ciptaan Tuhan yang sama sepertinya, menjadi sengsara dan harus dikirim ke dunia. Dia sungguh laknat dengan mengirim Adam menderita di bawah kenikmatan yang tak tergapai lagi olehnya. Ditambah dia harus menjalani bertahun-tahun mengarungi belahan dunia demi menemukan Hawa, si perempuan yang membuat Adam menjadi ingin untuk merasakan buah biadab itu. Tunggu! Kenapa bukan Hawa yang harus disalahkan? Kenapa aku menyalahkan setan yang hanya ingin menguji seberapa tinggikah derajat makhluk saingannya itu? ah, Hawa! Hawalah yang harus disalahkan. Dia penyebab semua penderitaan manusia. Dasar perempuan penggoda. Berani-beraninya dia membuat Adam memakan buah terlarang.
Bukan. Bukan Hawa yang salah. Sebenarnya dibalik semua ini, yang berperan penting adalah buah itu. Buah bangsat, keparat, laknat. Buah itu yang menjadi sumber permasalahan. Betapa bodohnya Adam bisa sampai memakannya. Bukannya Tuhan pun telah melarang Adam supaya jangan sampai mendekati, bahkan sampai memakannya. Kalau begitu keadaannya, kenapa Tuhan menciptakan buah itu? apabila memang terlarang, seharusnya Dia tidak menciptakannya. Untuk apa? Untuk apa semua ini? aku justru merasa kalau semua ini hanyalah permainan Tuhan. Dia yang mengadu domba, Dia pula yang menyelesaikan permasalahan. Bukannnya itu jelas menunjukkan kalau Tuhanlah yang membuat kita menjadi bidak-Nya? Kita, makhluk ciptaan-Nya harus menjalani berbagai rintangan yang telah dipersiapkannya sejak awal. Kata orang, Takdir. Tak bisalah kita merubah skenario hidup kita yang telah diciptakan Tuhan. Berarti aku bisa menyimpulkan bahwa Tuhanlah yang bersalah.
Apa yang salah? Kenapa salah? Memangnya salah apa? Aku kembali mempertanyakannya lagi pada diriku di tengah gema Adzan yang menyejukkan. Tuhan tidak salah. Tidak ada yang salah. Bahkan setan pun tak pernah salah dalam hal ini. Ini sepenuhnya adalah hak dan kuasa Tuhan sebagai Sang Pencipta. Dia sudah berlaku adil seadil-adilnya pada kita. Tak pernah sekalipun Dia menghianati apa yang sudah dikatakan-Nya. Dia adalah Sang Penguasa. Pantaslah Dia membuat adegan-adegan manusia, setan, malaikat, dan semua makhluk ciptaannya dalam baris dan kolom yang sesuai dengan takaran semula. Tak ada yang kurang, tak pun ada yang lebih. Dia-lah Sang Maha Adil.
Pancar hangat matahari segera memudar terganti sang rembulan yang mengintip dari balik awan. Jemariku merasa kosong tanpa sentuhan. Aku menaungi diri sendiri dalam angkuhnya malam. Dingin, sepi, merana, hampa. Rentetan kata yang setia mendampingiku.
Berkali-kali sudah ku pasrahkan kebahagianku kepada Tuhan. Tuhan pula yang akhirnya menciptakan kebahagiaan untukku. Dia pula lah yang mnenentukan arah hidupku.  Dengan seonggok tubuh yang mati rasa, aku terbaring tanpa kata.
Kring.. kring..
Telepon rumah berdering melengking. Berkali-kali ritmenya berulang. Tak ada jawaban. Aku merasa malas hanya untuk beranjak dari tempatku mengaduh dari kepenatan. Kring.. kring.. bunyi tetap terdengar meminta segera dibungkam. Ah, mengganggu saja. Memangnya Ayah kemana pula sampai tak ada yang mengangkat telepon sialan itu. Terpaksa kuangkat tubuhku menjauh dari tempat tidur, membuka pintu, lalu memasuki ruangan yang berisik akibat ulah mesin panggilan itu.
“Halo. Dengan siapa ini?” ucapku melalui lubang-lubang kecil yang memenuhi bulatan pada gagang telepon.
“Mei? Ini aku, Vira. Kamu bisa nggak ke café belakang sekolah sekarang. ada sesuatu yang mau aku omongin. Penting!” ujarnya runtut.
“Kenapa nggak ke rumahku aja, sih?” jawabku malas.
“Aduh, nggak bisa. Pokoknya aku tunggu sekarang. Aku duduk di pojok belakang. Sebelah kiri. Cepet ya.”
Tut tut tut…
“Halo, Vir? Halo!” aku memanggilnya walau aku tahu nada TUT yang berirama cepat telah membahana di lubang telingaku.
Ngapain sih,vira. Masa malam-malam begini ngajakin keluar. Mana sepi lagi di rumah. Ayah mana? Kok nggak kelihatan, sih? Gumamku pada diri sendiri.
“Ayah. Ayah!” panggilku. Tak ada jawaban.
Aku menuju tempat istirahat Ayah. Sesampainya di sana yang kudapati hanya kekosongan. Kulajukan lagi diriku ke kamar Mia. Kosong. DI MANA SEMUA ORANG! Jeritku dalam hati.
Kudapati secarik kertas mengayun-ayun tak sempurna di atas lemari es. Magnet penjepitnya hanya satu yang terpasang sempurna di sisi kanan kertas yang kira-kira berukuran 10x5 cm itu. Aku mulai membaca hurufnya satu-satu. Tulisan orang tua jaman dulu.
Ayah sama adik-adik pergi ke rumah Nenek.
Ayah ngetok pintu kamu, kamunya nggak nyahut.
Nanti pulang jam 9.
Suatu kebetulan yang tak diduga. Aku tak perlu meminta ijinnya untuk keluar rumah. Siap-siap ah. Pasti Vira sudah menampakkan wajah uring-uringan karena menungguku lama. Biarlah.
Selesai sudah persiapanku. Ketika itulah jam dinding berbentuk hati itu menunjukkan waktu tepat pukul 8. Kurang dari sepuluh menit aku berdandan seadanya untuk menemui Vira di café dekat sekolah. Kaos kuning bergambar kucing setia menjadi padanan jeans warna krem. Kukalungkan tas kemudian aku segera melarikan kakiku ke tempat tersebut.
Ku dapati café yang bernuansa ceria berbalut hiasan warna-warninya di depan pintu masuk. Aku berjalan semakin jauh. Kulihat sosok yang samar. Sepertinya bukan Vira yang duduk di meja favorit kami. Bahkan rambutnya pun tidak panjang. Apa mataku rabun? Jelas tidak! Aku sangat suka memakan wortel, meskipun kadang kutemukan yang berasa anyir. Tapi diriku sendiri yang menuntut supaya aku menyukai makanan kelinci itu. Aku tak mau mataku rusak dan menyebabkan hidupku semakin kacau lagi. Cukuplah hanya keadaanku yang kacau. Alat pemberian Tuhan ini akan kujaga baik-baik jangan sampai rusak. Tak ada yang menjual gantinya bila tiba-tiba rusak. Sungguh Tuhan Maha Besar. Dia ciptakan alat sehebat ini untuk menangkap cahaya yang membuat manusia bisa melihat dengan jelas.
Kusipitkan mataku tak bulat, ingin segera mengetahui siapa gerangan yang duduk di meja itu dengan wajahnya yang tak asing.
“TARA!” kagetku
“Kamu ngapain di sini? Vira mana?” aku menuntut jawaban darinya. Dia hanya tersenyum. Senyum yang selalu membuat luluh jantungku. Aku mengatur detak jantungku, menerka apa yang tengah dia lakukan di sini, ketika Vira menyuruhku memnemuinya. Feeling-ku aneh.
“Duduk, Mei.” Ucapnya singkat. Yang diajak bicara hanya menurut tanpa sebab. Aku.
“Tunggu, deh. Aku jadi bingung. Bukannya tadi yang nelpon tuh Vira? Kok kamu yang jadi ada di sini?” ucapku dengan irama heran yang membludak.
“Iya, nih. Aku juga nggak tahu. Tadi sih emang ada Vira. Tapi dia bilang mau pergi dulu. Aku disuruh nungguin kamu.” Jawabnya.
“So?” ujarku lagi masih bingung dan ditambah lagi dengan rasa kikuk yang tiba-tiba menyerang.
“Ya, udah. Kita deh yang tersisa di sini.” Katanya sambil masih tersenyum manis. Versiku.
“Terus?” tanyaku pasrah, meskipun dalam hati aku senang. Kusembunyikan dengan rapi, tak membolehkannya untuk tahu apa yang terjadi di hatiku.
“Oh iya. Kamu pesen dulu, gih. Mbak!” panggilnya ke pelayan café.
Perempuan berseragam itu datang dengan membawa catatan di genggamannya.
“Mau pesen apa?”
“Lemon tea, kamu apa?” matanya kini mengarah tetap sasaran, jantungku.
“eh..oh.. apa yah?” jawabku gelimpungan.
“Ehm, jus jambu aja, mbak.” Ucapku kemudian, masih mencoba membendung perasaan kacau.
Sepeninggal pelayan café itu, kami bungkan sejenak. Lalu suara itu timbul kepermukaan lagi.
“Mei, aku punya sesuatu buat kamu,” dia menyodorkan kertas yang baru saja dirogohnya dari saku jaket hitamnya. Kusambut dengan tangan kananku menggapai kertas yang terlipat tersebut.
“Boleh dibuka?” tanyaku
“Dibaca juga boleh,” jawabnya.
Aku mulai membuka lipatannya. Kutemukan berbaris kata berbahasa asing. Bahasa Inggris, mata pelajaran favoritku di sekolah. Dengan segera kulafalkan dalam hatiku barisan kata itu.
How can I even forget?
Hiding behind my mind
Appearing while I’m singing
Last, hurt me with a sharp knife
Now, as a part of my life
Now sorrow had come home
I had been alone in a long time without a warm
It takes so long to you to come along
I start to sing a song
Never wish to be alone
Since you are here to make my lonely gone

Aku menghayati puisi itu. Sedikitpun tak ada yang meleset. Makna yang terkandung tepat seperti apa yang aku kini tengah rasakan sejak kemunculan Tara. Kupandangi kertas itu dan Tara secara bergantian, masih mencari tahu apa yang sebenarnya ingin dia utarakan. Ketika itulah pesanan kami datang.
Tak sepatah katapun keluar dari mulut kami berdua. Minuman kami hanya tinggal seperempat. Karena kebungkaman mulut Tara, aku pun tak mau kalah. Aku memilih untuk tidak mengeluarkan sedikit pun suara dari mulutku. Kami sama-sama tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. Sampai pada akhirnya Tara mengaku kalah. Dia mengawali lagi untuk membuka mulutnya. Bukannya memilih topik untuk mengobrol, Tara malah mengajakku untuk pergi dari sini. Aku sedikit kecewa.
Setelah membayar, dia yang memaksa untuk membayarkan minumanku, kami melenggang keluar dari tempat romantis itu.
“Ayok, ikut aku.” Ajaknya singkat tanpa mempedulikan perasaan kecewaku yang terbenam hingga lama di dalam hati,
“Mau ke mana?” aku menimpali dengan wajah sedikit cemberut. Berharap malam bersamanya tak kunjung usai.
“Ikut aja,” dia menarik tanganku lembut. Melambunglah diriku ke kahyangan bersama bintang-bintang.
Sambil terus menggandengku, Tara dan aku terus berjalan beriringan. Kuketahui setelahnya, kami sedang menuju taman masjid. Saat itu dia mulai melepas genggamannya.
Taman itu agak luas dengan dihiasi banyak bunga mawar di sekitar. Terdapat 2 buah ayunan di tengah arealnya. Cukup untuk tempat dudukku dan Andro. Kebetulan malam itu masjid terlihat lengang. Setelah memilih posisi yang tepat diatas ayunan, Tara melanjutkan niatnya.
“Mei, aku mau kamu tahu satu hal” aku masih terbengong dan tak mengucapkan satu patah kata pun.
“Armeina Lavinska, maukah engkau menjadi orang yang akan kuserahi hatiku?” ucapnya sepenuh hati, membuatku tersontak kaget. Tak percaya Tara akan mengucapkan hal semanis itu.
“Aku ingin kamu yang membawa hatiku dan aku ingin kamu menitipkan hatimu padaku” lanjutnya. Dan aku masih tidak bisa mengucapkan apapun.
“Mei, tolong jawab. Kamu mau kan, Mei,” Tara mengarahkan tangannya pada tanganku seraya menggenggam keduanya dengan erat. Semakin erat tiap detik yang mendebarkan bagiku dan dia. Akhirnya kuputuskan untuk membuka mulutku. Mengeluarkan isi hatiku yang sedari tadi tak menentu saking kaget dan senangnya.
“Tara,” kataku terbata dan aku melanjutkannya dengan menghela napas panjang.
“Kamu serius?” tanyaku.
“Tentu, Mei.  Aku sangat serius dengan ucapanku. Apa kamu mau bukti?” Tara menantangku.
“Sssstt… Aku nggak mau bukti apa-apa, Tara. Aku hanya ingin memastikan keseriusanmu.” Ucapku menenangkannya.
“Aku benar-benar serius, Mei. Kamu mau kan?” mohonnya padaku sambil mengencangkan genggamannya pada tanganku yang kini semakin dingin. Aku semakin terdiam.
“Kamu mau jadi princessku, kan?”
Dengan cepat aku mengeluarkan pena dan kertas dari dalam tasku. Aku mulai menggoresnya dengan cepat pula. Dia terlihat bingung dengan apa yang tengah aku lakukan.
I WILL TRY TO BE YOUR PRINCESS AND YOU CAN BRING MY HEART WITH YOU.
Aku menarik tangan Tara kemudian meletakkan kertas itu di tangannya. Setelah itu aku berlari sekencang-kencangnya tanpa menoleh lagi ke arahnya. Aku memprediksikan bahwa sekarang pasti wajahku sudah sangat merah menahan antara rasa senang dan malu.
“Makasih, Mei. I LOVE YOU!” teriak Tara yang sempat aku dengar sebelum jauh. Aku meresponnya dengan semakin melebarkan senyumanku tanpa sepengetahuannya. Tetap sambil berlari tentunya.
Sesampainya di rumah kulihat seluruh anggota keluargaku sudah berkumpul. Mereka seperti menungguku untuk melengkapi formasinya. Dengan perasaan yang masih melayang aku hanya menyembunyikan senyum di hadapan mereka.
“Dari mana, Mei?” tanya ayah yang terlihat tidak marah dengan kedatanganku yang agak malam. Kupikir dia akan mengamuk, tapi ayahku itu nampak mengerti.
“Cuma nongkrong di café, Yah. Tadi sepi di rumah. Aku ke kamar dulu, Yah.” Timpalku mengakhiri pembicaraan yang coba dimulai oleh Ayah. Tak ada sahutan, hanya anggukan kecil keluar dari kepalanya.
Sampai di kamar aku langsung merogoh laci meja di kamar. Berharap menemukan sesuatu. Nihil. Kucari lagi sesuatu itu dalam temaram yang teredam rembulan. Ketemu! Aku menggapai sebuah buku di atas meja putihku. Meja yang terletak di sudut yang agak jauh dari jangkauanku. Kenapa pula ada di sana. Aku lupa.
Kuraih juga pena yang terdampar tepat di sampingnya. Pena berwarna hitam itu kini telah menuju titik yang membuatku waspada. Sepertinya aku harus membeli yang baru. Yang lebih tahan lama, pikirku. Kucabut kepala pena itu sehingga mengeluarkan bunyi yang sangat familier di telingaku. “CTAK”. Mulai kugoreskan mata pena, membentang keseluruh permukaan yang putih dan kini terlihat tak lagi putih, penuh bercak, penuh goresan, tapi hal itu mampu membuatku mengingat semua. Semua yang aku rasakan dan yang aku alami. Aku mulai menulis lagi. Kutulis rasa yang sedang aku alami. Sepertinya mala mini aku akan bermimpi indah.
Love you Tara.
Tiga kata itu mengakhiri goresan penaku malam ini.

No comments:

Post a Comment

Write me your comment