Entah apa lagi ini yang mendera dalam hidupku. Hari-hari yang menyakitkan. Hari yang memuakkan. Sampai aku harus merasakan kesakitan yang mengoyak relung hati. Tak tahu lagi apa yang sebenarnya terjadi. semua ini gara-gara perasaan konyol yang bernama “cinta”. Apa itu!!! kata bodoh yang tercipta dari otak sang pengembara kenikmatan dunia. Omong kosong belaka. Aku terlalu meninggikannya! Tapi tak akan lagi aku memuja perasaan yang kini menghinakanku itu. aku muak dengan akal bulus yang ditawarkan cinta padaku. Kenyataannya?? Aku yang kini harus menaggung getirnya.
Menguasaiku, memperbudakku, menggerogoti otak dan hatiku. Cinta! Ingin membinasakannya dari hidupku. Tak ingin lagi tergoda dengan bujuk rayunya yang meraung-raung minta terbelai oleh halus perasaanku. Tak bisa lagi kurasakan halus itu. kini perasaanku membuas, mengaum, mencakar-cakar setiap organ-organ yang mengatas-namakan cinta. Mati saja, pikirku. Bukan. Bukan aku yang mati. Nanti saja kurasakan kematian bila memang ajal menjemputku. Aku rela. Kini yang harus mati adalah sang “cinta” yang dulu kuelukan. Kini pergilah saja. biarkan saja diriku menjalani hidup tanpa cinta yang membutakan segalanya. Memperdaya iman. Menggodai akal. Mengelabui sistem kerja hati yang murni, menjadikannya merana.
Biar saja aku dicerca oleh sang pecinta “cinta”. Biar saja aku dihina oleh sang penikmat “cinta”. Biar saja aku dicaci oleh sang pelantun makna indah “cinta”. Bagiku, “cinta” kini tak lain adalah kehinaan yang ingin melingkupi kesadaranku. Bagiku, “cinta” hanyalah seonggok kata yang bermakna “sampah”, sisa-sisa yang kudapatkan hanya luka.
Tapi, apa aku bisa hidup tanpa “cinta”? aku kembali dilema. Bukannya aku memang tercipta dari kata itu. “cinta” lah yang mengadakan aku. “cinta” lah yang menciptakan aku. “cinta” lah yang menghidupkanku. Bagaimana ini? apa aku mendurhakai “cinta”? atau aku harus lebih bijaksana dalam memperlakukan “cinta”?
Benar. Mungkin sebaiknya bukan “cinta” yang kubunuh. Mungkin bukan “cinta” yang semestinya aku maki dari tadi. Mungkin aku yang salah mendewakannya. Bukan ia yang mengelabuiku. Aku hanya salah menempatkannya. Aku hanya harus lebih cerdas meletakkan cinta, bukan di atas segalanya, namun diantara apa-apa yang ada. Aku sebaiknya menyisipkan satu kata lagi biar ku tak lagi merasa bahwa “cinta” telah memperdayai kemurnian hatiku. Mungkin aku harus membubuhkannya pada setiap hela napasku. Kata itu.. kata yang kuharapkan sedikit mengendorkan saraf angkara murkaku. IKHLAS.
No comments:
Post a Comment
Write me your comment