Awal Keterpurukan
Mei
Hidupku sungguh diliputi kebahagiaan karena tahun ini aku akan berangkat keluar kota untuk berekreasi bersama. Karena adikku kini lulus dari taman kanak-kanak, ibuku mendaftarkan seluruh anggota keluarga kami untuk ikut pada acara yang diselenggarakan sekolah adikku, Mia. Sayang sekali, Ayah ternyata tidak bisa ikut lantaran mengurusi bisnis keluarga. Akhirnya hanya tinggal aku, dua adikku dan ibuku yang akan berangkat.
Pada tahun itu ponsel atau yang dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan telepon genggam sudah banyak digemari oleh masyarakat. Benda itu banyak digunakan oleh kalangan menengah ke atas di kota asalku. Tak jauh berbeda dengan masyarakat, ayah pun baru saja membeli sebuah ponsel untuk dirinya yang terbilang cukup canggih bagiku.
Di dalam lubuk hatiku yang terdalam aku ingin memilikinya juga. Karena masih dianggap belum pantas untuk membawa dan memiliki alat komunikasi bebas kabel itu, akhirnya aku menyengajakan diri meminta ayah untuk meminjamkan perangkat "canggih" itu untuk dibawa, hanya saat berekreasi saja. Dengan berbagai alasan ayah tetap tidak memperbolehkan. Padahal, aku sungguh teramat ingin membawanya. Walaupun tetap meminta terus-terusan dan merayu dayu, tapi tetap saja ayah menolak.
Sudahlah. Lagian aku juga tidak punya teman yang akan aku hubungi menggunakan alat nggak penting itu (menurutku penting banget, aku mengatakannya karena ingin melegakan perasaanku sendiri). Teman-temanku juga sama denganku, tak punya juga, kan! Pikirku akhirnya
Aku tidak tahu kenapa aku begitu ingin membawa serta alat komunikasi itu. dalam hati kecilku aku seperti merasa akan ada sesuatu yang terjadi, meskipun aku tak tahu itu apa. Menurutku dengan membawanya, aku akan bisa menghubungi ayahku kalau memang terjadi apa-apa. Takdir berkata lain, aku pergi tanpa membawa hasil. Ponsel itu hanya akan jadi impian untuk saat ini. Huh!
Selama perjalanan, aku mengobrol dengan ibu yang memangku adik kecilku di pahanya. Kami berdua mengobrolkan tentang banyak hal. Ketika kami melewati area persawahan, ibu tiba-tiba berkata kalau dia ingin sekali memiliki rumah yang berada di tengah-tengah area pertanian, dilengkapi semilir angin yang berhembus sepoi-sepoi. Dia selau berpikir bahwa akan sangat menyenangkan bila hidup di udara yang bersih, apalagi bisa makan ditengah-tengah semilir angin. Ah.. begitu menggoda. Katanya.
Setelah beberapa jam kami melakukan perjalanan dengan bus ukuran besar, akhirnya kami tiba di tempat tujuan, Yogjakarta, kota yang indah dengan beragam budayanya. Tempat pertama yang kami akan kunjungi adalah taman Kiai Langgeng. Di sana, kami akan bisa bermain-main sepuasnya di area taman yang rindang dan sejuk.
Kebetulan sekali aku membawa kamera (bukan kebetulan sih sebenarnya, aku memang sengaja menyiapkannya, hehe). Kamera manual itu harus di isi dengan rol untuk menghasilkan negative film. Sungguh kamera yang jadul yang hanya bisa kembali bekerja apabila telah diputar di bagian pojok kanannya. Sulit menjelaskan dengan kata-kata tentang alat itu. Yang jelas alat itu sudah termasuk lumayan canggih pada saat peristiwa ini terjadi.
Aku bersama anggota keluargaku, ibu dan dua adikku, mengambil gambar dengan menggunakan kamera itu. Dengan bantuan ibu dari teman adikku, berkali-kali kami dapat terjepret dalam kamera manual tersebut.
Hampir sekitar satu jam berlalu dengan perasaan yang menyenangkan dan mengasyikkan. Lalu berikutnya kami melanjutkan perjalanan ke beberapa tempat yang diakhiri dengan belanja sepuasnya di Malioboro. Semua tempat sangat menyenangkan untuk dikunjungi, termasuk kebun binatang yang hanya menyajikan berbagai jenis binatang di dalamnya. Pada malam harinya, hatiku diliputi kebahagiaan karena bisa minta dibelikan sesuatu pada ibuku sebelum kami melakukan perjalanan pulang.
Sesampainya kami di Malioboro, mataku tertuju pada sorot lampu yang menghiasi jalan-jalan. Bagiku lampu-lampu itu terlihat agak temaram. Entah, mungkin aku terlalu lelah. Mungkin juga efek mendung yang membuatnya seperti itu.
Semua yang ada di dalam bus membaur keluar, termasuk aku dan keluargaku. Aku mulai menapaki jalan beraspal menuju area perbelanjaan itu. Kulihat di area itu berdiri beberapa toko-toko pinggir jalan. Orang-orang terlihat sibuk menjajakan barang dagangan mereka. Tas, sepatu, kerajinan, batik, aksesoris, dan masih banyak lainnya terpampang meminta untuk dibeli. Aku bersama Mia berjalan dengan ibu tepat di belakangku, menggendong adik kecilku dengan selendangnya batik warna merah andalannya.
Belum sampai setengah perjalanan saja tiba-tiba ibuku mengeluhkan kepalanya yang terasa sakit. Dengan segera, aku mengajaknya untuk berhenti sejenak. Di tempat yang ramai dengan hiruk-pikuk penjual dan pembeli itu aku meminjam kursi dari penjaja terdekat. Aku mengambil adik kecilku dari gendongannya. Ku dudukkan ibuku yang sudah terlihat hampir pingsan. Beberapa rombongan terlihat menghampiri kami, menanyakan "ada apa???". Aku bingung harus menjawab apa. Yang aku tahu bahwa aku sangat kebingungan karena aku tak pernah melihat ibuku seperti ini sebelumnya. Ibuku, seorang pekerja keras yang ulet, bahkan semua pekerjaan rumah tangga dia semua yang mengatasi. Dari mencuci baju, memasak, mengepel, menyapu, semuanya. Aku bingung menghadapi situasi yang aku tak pernah menghadapinya sama sekali. Ditambah dengan dua adikku yang masih kecil, aku tak bisa melakukan sesuatu yang berguna. Aku hanya mencoba untuk memberikannya minum dan memijat kepalanya.
Tetanggaku yang kebetulan ikut menghampiri kami berinisiatif untuk membawa ibuku yang kini sudah tak sadarkan diri ke Rumah Sakit. Dia memintaku untuk memanggilkan tukang becak yang banyak berjajar di sekitar area, tempat di mana ibuku tengah pingsan. Banyak yang membantu ibu untuk menempatkannya di becak. Aku bahkan tak tahu siapa saja yang berkerumun di sana. Aku masih bingung dengan kedua adikku yang juga tampak kebingungan dengan wajah polos mereka, walaupun aku tahu bahwa mereka tidak tahu sepenuhnya apa yang terjadi.
Ibu ditemani dengan tetanggaku pergi ke rumah sakit terdekat dan aku bersama tiga adikku menyusul dengan ditemani beberapa guru tempat adikku bersekolah
Setibanya di sana aku diminta untuk menelpon ayahku dan memberitahunya bahwa sekarang ibuku tengah berada di ICU. Betapa aku tidak kuat dengan keadaan yang seperti itu, tapi melihat kedua adikku, aku bersikap tegar. Aku mencoba untuk tetap tenang walaupun sebenarnya aku ingin menangis.
Aku ingat bahwa aku masih berusia 14 tahun kala itu. Dengan usia yang bisa dikatakan masih belum bisa menangani masalah yang seperti itu, aku sudah diberikan kesempatan oleh Tuhan menghadapi kenyataan yang menyakitkan, menyedihkan, menyiksa, menyesakkan. Dan aku??? Aku hanya bisa bersabar dan terus berdoa. Aku mengajak serta adik-adikku untuk berdoa.
Tak terasa langit hitam pekat tak berbintang mulai menunjukkan padaku bahwa sekarang sudah hampir tengah malam. Setelah menunggu sekian lama di dalam ruang berkaca besar bertuliskan ICU, ibuku akhirnya sudah bisa dimasukkan ke dalam ruang perawatan. Kulihat setelahnya bahwa di ruangan itu terdapat korden yang memisahkan pasien satu dengan pasien lainnya. Pertama kali memasuki ruangan itu, hatiku seperti tertusuk pisau yang berkarat, perih dan menimbulkan semacam infeksi yang akan menjadi parah jika tak segera diamputasi. Apa yang terjadi jika hatiku diamputasi? Membayangkannya saja enggan.
Tiit Tiit Tiitナ
Bunyi mesin pendeteksi detak jantung itu mulai menggangguku. Mesin yang biasa aku lihat di sinetron itu kini hadir sebagai senapan yang siap menodongku. Ulu hatiku begitu sakit bahwa yang kini terhubung dengannya adalah jantung ibuku. Aku menangis pilu di samping tempatnya berbaring.
Aku menggenggam tangannya yang telah tersambung dengan selang infus. Di antara selang itu, terlihat darah yang mengotori ketransparanan selang kecil itu, darah yang keluar dari tubuh Ibu. Aku kembali menangis sejadinya melihat mesin-mesin itu tertancap dalam tubuh ibuku.
"Bu, sabar ya. Ayah sebentar lagi pasti datang jemput kita. Bertahan ya, Bu. Ya Allah, selamatkanlah Ibu dan berikanlah umur panjang padanya, ya Allah.." Kembali air mataku menetes dan menghangatkan pipi dinginku. Lalu aku dengan ujung jari telunjukku aku menghapus leleran air kesedihan itu.
Meskipun mengantuk, aku tak mau sama sekali meninggalkan Ibu walau satu langkah lebih jauh. Meskipun berulang kali Bu Rahmi, guru yang mengajar adikku, membujukku untuk tidur, aku tetap menolak. Sembari menolak bujukannya, aku melihat di atas sofa yang di sana sudah terbaring dua adik kecilku, meringkuk dalam kesedihan dan kebingungan. Aku bisa melihat dari raut muka yang tertekuk pada Mia. Mungkin dia merasa terluka atas kejadian ini. walau demikian, aku sedikit lega melihat mereka berdua sudah terlelap. Paling tidak, mereka sekarang tidak merasakan apa yang aku rasakan. Beribu kesedihan dan kepiluan dan juga kesengsaraan menjadi satu. Aku harap mereka tidur dengan lelap, benar-benar terlelap seperti yang aku kira dan tidak memikirkan apa yang sekarang terjadi pada Ibu kami.
Beberapa jam kemudian aku benar-benar lelah dan mengantuk. Dengan berat hati aku meninggalkan Ibuku yang terbaring melawan rasa sakitnya. Kemudian aku membaringkan tubuhku di atas sofa yang masih kosong tak terduduki. Aku melihat masih tersisa segelintir orang di ruangan ini, tepatnya hanya dua orang guru TK adikku.
Kelegaan akhirnya mendatangiku bersamaan dengan datangnya Ayah. Ketika dia memasuki ruangan, serta merta aku langsung berlari untuk langsung memeluknya dan berikutnya yang aku lakukan adalah menangis dalam peluk Ayahku. Sambil membelai kepalaku, Ayah menenangkanku dan kemudian menyuruhku untuk kembali tidur. Beberapa menit berikutnya aku sudah terbaring dan memejamkan mata dan juga pikiranku yang galau.
Pagi menyingsing dan aku terbangun. Aku merasa bahwa aku telah bermimpi buruk. Kemudian aku melihat sekelilingku. Bukan, itu bukan mimpi. Itu kenyataan. Dan saat itu juga aku langsung berderai air mata melihat Ayah sedang mengelap tubuh Ibu yang sedang terbaring tak berdaya. Lalu, aku memalingkan muka karena tak tahan dengan rasa sakit yang mendera seluruh tubuh dan hatiku dengan melihat orang yang selama ini merawatku dengan penuh kasih dan sayangnya hanya terbaring lemah tanpa daya, membuka matanya pun dia tak kuasa.
Dengan perlahan Ayah menghampiriku. Dia mengatakan kalau dia ingin aku dan adik-adikku untuk pulang saja ke rumah. Dia berkata bahwa akan memindahkan perawatan Ibu di Rumah Sakit yang lebih dekat dari rumah. Aku pulang tentu saja bersama 2 orang guru yang masih tertinggal dikarenakan rombongan rekreasi sudah meninggalkan tempat tadi malam.
Setelah makan pagi akhirnya kami pulang dengan pamanku yang bertugas mengendarai mobil. Seperti biasa, aku selalu duduk di kursi depan, tempat duduk favoritku. Pada saat bepergian dengan mobil, tempat duduk paling aku sukai adalah tempat di mana aku bisa melihat kearah luar. Menurutku dengan duduk di sana pandanganku tak akan terbatas dengan hanya melihat sisi samping yang terdapat jendela, tapi aku juga bisa melihat ke arah depan depan yang dapat menyajikan pemandangan mobil-mobil dan motor-motor sedang beradu kecepatan, serasa berpacu di arena sirkuit. Aku teringat bahwa Aku sangat senang dan begitu menikmati ketika Ayahku mengajak aku dan adik-adikku jalan-jalan dengan kecepatan sedang. Meskipun demikian, Ayah tetap bisa mengejar mobil-lain lain. Saat ayahku berhasil melewati mobil atau motor di depannya, aku selalu melonjak dan berteriak kegirangan. Begitu juga dengan adik-adikku yang selalu meniru apa yang aku lakukan. Aku pun kemudian hanya bisa tersenyum kecil mengenang hal itu.
Aku tidak duduk sendiri di depan. Aku memangku adik kecilku yang masih berumur 3 tahun dengan Mia duduk di sampingku. Aku memang bertubuh kurus dan kecil untuk ukuran anak SMP sehingga tempat duduk yang di depan, yang biasanya hanya ditempati satu orang, muat kami duduki bertiga. Aku pernah suatu ketika bertanya pada Ayah mengapa aku memiliki tubuh yang kecil dan pendek. Dengan memiliki tubuh yang menurutku tidak sempurna itu, aku merasa bahwa aku tidak bisa menerimanya. Seketika aku pun menangis di pelukan Ayah yang masih berusaha menghiburku. Ayah mengatakan bahwa Tuhan telah memberi kita bentuk yang terbaik untuk kita dan kita harus mensyukurinya. Meskipun tidak terlalu lega dengan hal yang dilontarkannya itu, aku masih bisa sedikit berbesar hati. Aku selalu khawatir kalau suatu hari tubuhku tetap pendek. Aku hanya ingin sedikit lebih tinggi sehingga aku bisa berbaur dengan teman-temanku yang lain tanpa ada yang mengolokku memiliki tubuh pendek, kerdil atau semacamnya.
Asyik dengan pikiran itu, aku kembali teringat dengan Ibuku yang masih koma. Aku mengajak serta adik-adikku untuk berdoa mengharap kesembuhan Ibu kami. Ketika memejamkan mata, aku melihat seseorang yang berbaring dalam balutan kain putih, lalu aku segera membuka mata. Sekejab saja gambar itu sudah hilang dan kini telah merekat kuat dalam otakku. Apa itu? Pikirku. Akupun melanjutkan do'aku yang tertunda oleh sebersit gambar dalam bayanganku. "Ya Allah, sembuhkanlah Ibu, berikanlah ia kekuatan untuk bertahan" pintaku pada-Nya.
Kringナkringナ
Bunyi ponsel pamanku menyadarkan lamunan pendekku.
Paman segera meraih telepon genggam yang tergeletak di dasbor mobil
"Halo," sapanya pelan.
"Iya," kulihat dia berkata sambil menganggukkan kepalanya dan masih melihat ke arah depan.
"Iya,"
Klik.
Dia memencet tombol berwarna merah untuk mematikan dan menghentikan obrolannya dengan seseorang di seberang telepon genggam itu. Kemudian dia kembali memegang setir dengan dua tangannya dan fokus ke arah depan untuk mengejar waktu. Aku tak tahu dia berbicara dengan siapa dan tentang apa. Yang jelas setelah mengakhiri panggilan, aku melihat raut wajahnya berubah.
Segera setelah kami sampai di kota kelahiranku hal yang pertama-tama pamanku harus lakukan adalah mengantar dua orang guru adikku. Di depan rumah Bu Rahmi aku menangkap pembicaraan antara seorang wanita tua dan pamanku. Kelihatannya mereka saling mengenal. Benar, jelas saja paman mengenalnya karena beliau tak lain dan tak bukan adalah istri seorang kyai terpandang di desa itu. Mereka berdua sepertinya terliat dalam obrolan serius karena kutangkap kalau wajah mereka terlihat parau.
"Katanya sudah nggak ada, ya?" samar-samar kudengar sedikit obrolan itu. terlihat wajah wanita itu berubah menjadi sedikit panik lantas meihat ke arahku dan dua adikku.
Begitu dia mendengar ucapan itu, pamanku langsung melihat ke arah kami. Aku masih belum menyadarinya. Setelah berbasa-basi, pamanku berpamitan untuk mengantarkan kami pulang.
Dalam perjalanan pamanku berkata padaku.
"Nanti adik-adikmu titipin di tempat budhe aja yah" dia masih tetap memandang arah depan.
"Kenapa?" tanyaku sambil menyibakkan rambutku ke balik telinga.
"Ya nggak apa-apa. Terus siapa yang mau jaga mereka? Di rumahmu kan nggak ada siapa-siapa." Jawabnya kaku dan masih terlihat seperti menyembunyikan sesuatu.
"Iya deh. Tapi aku ke Bu' Siti (kakak ipar dari ayahku) aja yah. Aku nggak mau di Umi'(kakak kandung ibuku)." Ucapku datar dengan memandang ke arah depan seperti dirinya.
"Ya". Katanya singkat, lalu kulihat dia membanting stir ke arah kanan. Membelok dari tikungan sempit.
Begitulah akhirnya dua adikku dititipkan di Umi' dan aku melanjutkan perjalanan ke rumah Bu' siti yang masih sekitar 15 menitan lagi dari rumah yang baru saja aku datangi. Di tengah perjalanan menuju rumah budhe, aku merasakan ada sesuatu yang janggal. Aku merasa ada yang mengganjal dalam hati dan pikiranku. Aku masih teringat dengan sesosok gambar yang kulihat dalam kelebatan bayangan tadi. Putih. Lalu, seketika aku seolah-olah tersadar dengan mengingat kata-kata wanita yang ada di rumah bu guru, "nggak ada".
Apa itu maksudnya? Apa yang terjadi sebenarnya? Apa? Apa?
Aku memberanikan diri untuk bertanya langsung pada pamanku. "Ibuku.." kata ku terbata. "Ibuku, udahナ.nggak aナ" aku tak sanggup melanjutkan kata-kata itu. sontak pamanku langsung memelukku dan ikut menangis bersamaku.
"Sabar ya, Nduk," katanya singkat dengan masih mengusap kepalaku.
Rasanya seluruh tulang-tulangku meleleh dan otot-ototku lepas dari tempatnya bersemadi. Aku tak sanggup berkata apa-apa. Yang tersisa hanya tinggal nanar. Beribu sayang, air mataku tak kunjung keluar. Padahal, rasa-rasanya air itu sudah memenuhi dan membanjiri seluruh rongga dadaku, jantungku, paru-paruku, hatiku, pokoknya semua tempat yang ada di dalam tubuhku. Penuh dan sesak.
Melihatku datang, seluruh anggota keluarga budhe menghampiriku. Aku masih tetap berjalan dengan didampingi paman dan aku pun masih tetap dalam keadaan diam membisu, tak sanggup berkata. Satu patah kata pun tak mungkin bisa keluar saat ini.
Melihatku bersikap demikian, sekilas aku memergoki budhe sudah membenamkan muka sedihnya. Aku tak kuat lagi mengatasi bendungan yang kini mulai retak di dalam tubuhku. Air yang ada di sana sudah hampir keluar. Aku tak bisa lagi terus membenamkan air. Tak lagi diriku kuasa, akhirnya aku menjerit histeris disertai deras air yang mengalir dari lubang mataku.
"Arggghhhhhhナ..Ibuナ.IbuナKenapa Ibu ninggalin aku.." aku menangis sejadinya dengan dipeluk beberapa orang yang aku tak tahu mereka siapa saja. Aku masih sibuk mengasihani diriku sendiri yang dalam kenyataanya, Ibuku kini sudah meninggalkan dunia ini. Ibu yang membesarkan aku, ibu yang memelukku, ibu yang berlari mengejarku memberikan segelas susu selagi aku menunggu bis untuk pergi sekolah, ibu yang memasakkanku makanan kesukaanku, ibu yang terkadang bertengkar denganku karena permintaanku yang tak dituruti, ibu yang menyusui dua adikku secara bersamaan. Kini, kini dia sudah tak bisa lagi melakukan hal-hal itu. Kini dia tak bisa lagi menciumku dengan bibir hangatnya. Aku ingat, sehari sebelum keberangkatan untuk berekreasi dia mencium keningku, padahal dia sangat jarang melakukan hal-hal seperti itu karena terlalu sibuk mengurus kedua adikku. Ciuman itu ternyata ciuman terakhir yang diberikannya padaku. Ternyata ciuman itu adalah tanda berakhirnya pertemuan kami di dunia. Ciuman itu yang akhirnya menjadi simbol kasih sayangnya padaku. Hal itulah yang masih bisa aku rasakan sampai saat ini.
Betapa berat melepas kepergiannya. Hampir saja aku tak berani melihat wajahnya untuk yang terakhir kalinya. Aku belum siap dengan perpisahan ini.
Dengan berat hati dan juga karena dorongan dari sepupuku, aku akhirnya sadar kalau aku harus pergi untuk melihat ibuku yang sudah tak bernyawa. Pikiran untuk melihat wajah ibuku untuk yang terakhir kalinya, membangkitkanku dari kekosongan jiwa. Dengan segera aku melangkahkan kaki menuju rumah dan menunggu ambulans yang akan membawa ibuku pulang.
Sesampainya di rumah yang berjarak tak begitu jauh dari rumah budhe, mulailah diriku untuk menguatkan hati dan mental. Karena sibuk dengan hal itu, aku bahkan tak ingat lagi siapa saja yang sudah berkumpul di rumahku, yang jelas sudah banyak orang di situ, menunggu kedatangan ibuku juga.
Beberapa menit berlalu dan seketika itu juga aku mendengar suara ambulans yang meraung-raung bak singa yang kelaparan. Sungguh suara yang menyesakkan, suara yang mematikan jiwa, suara yang aku takutkan untuk kudengar walau sedetik saja. Dengan dipegangi oleh entah aku tak tahu siapa, aku berdiri melihat ibuku dikeluarkan dari ambulans. Herannya, aku tak bisa lagi mengeluarkan air mata, mungkin saja air mataku itu sudah mongering. Yang kurasakan hanya sesak yang sangat di dada ini. Aku takut, aku gelisah, aku gugup, akuナ. Entahlah, semua berkecamuk. Aku belum siap dengan datangnya hari ini.
Pintu mobil berwarna putih itu terbuka dan sesosok lelaki paruh baya itu terlihat berjuang melangkahkan kakinya untuk keluar. Dengan di gandeng oleh lelaki seumurannya, Ayahku tampak begitu kehilangan. Dia kemudian menghampiriku, memelukku, menciumiku. Aku berlinangan air mata dalam peluknya. Ku lihat dia mencoba untuk tegar, mungkin yang terlihat hanya sedikit lemas menggelayut pada raganya. Tak tampak di sana air mata yang mengalir, tapi aku bisa melihat bahwa air mata itu membanjiri rongga dadanya, seperti yang aku rasakan tadi.
Ibuku di angkat untuk dimandikan, dikafani, dan di solati. Sebelum ke area pemakaman, kami, selaku keluarganya disarankan oleh pengurus desa untuk mengucapkan salam perpisahan. Aku, adik kecilku, dan ayahku bergantian menciumi ibuku yang tak bernyawa. Tak tampak dari pandanganku yang tak berbinar bahwa Mia di situ. Sekejab aku melihat mengitari apapun yang ada di ruangan itu. Berikutnya, sosoknya tertangkap oleh mataku. Dia sedang bergelayut dalam gendongan Umi'. Baru kuketahui setelah pemakaman bahwa Mia merasa takut dengan kejadian tadi. Dia bilang kalau dia tidak mau mendekati Ibu. Dia juga bilang kalau itu bukan Ibu kami.
Aku tahu seorang anak yang masih berusia 5 tahun itu sangat tergoncang jiwanya. Aku merasakan dari sikap diamnya akhir-akhir ini. Selama ini, Mia adalah sesosok gadis kecil yang ceria, tapi kini dia menjadi sangat pendiam. Tak tampak sama sekali gadis kecil yang biasa aku goda sehari-harinya. Dia, Mia, mungkin sangat terpukul dengan kematian Ibu.
No comments:
Post a Comment
Write me your comment