Thursday, 28 February 2013

menjadi tua

hidup dan menjadi tua, dan akhirnya tiada. roda kayak gitu pasti dialamin sama semua orang. ada yang menyukai hidup, ada yang lebih memilih untuk mati. ada yang sampai rela minum sesaji ilmu kebal mati, ada yang rela mati bunuh diri. entahlah.. setiap orang mempunyai jalan hidupnya sendiri. 
tulisan ini terinspirasi dari nenek saya yang sudah renta. dulu dia hidup muda dan sepertinya bahagia, maka dia memilih untuk melanjutkan hidupnya sampai tua. saya kira seperti itu. mungkin juga dia seorang wanita yang kuat, itu pun kalau seandainya saja ia tidak bahagia di masa lalunya. tak ada yang tahu seperti apa perasaannya. hanya beberapa cerita yang sempat saya dengarkan dari mulut nenek saya. dan itu tidak lantas membuat saya bisa menarik kesimpulan apa-apa. 
wanita tua itu, yang merupakan nenek saya, sudah begitu lanjut usia. berjalan lurus saja ia tak kuasa. jangankan berjalan, berdiri tegak ia pun terhuyung. begitu nelangsa hati saya melihat wanita yang tak lain adalah ibunda dari bapak saya. saya jadi berpikir bahwa usia senja adalah momok terbesar dalam hidup tiap manusia. tapi tidak. menjadi tua adalah kenormalan dan kewajaran sebagai manusia. ah, bukan. lebih tepatnya adalah keharusan (itu pun kalau tuhan memberikan kesempatan).
menjadi tua memang hal yang tak diinginkan semua orang, termasuk saya juga pastinya. sayang, kita tak bisa menghindari atau berlari dari masa tua ketika tuhan berkehendak kita menjadi tua. nah, ini dia yang menjadikan beberapa orang memilih untuk mencari aji-aji hidup muda selamanya, atau bahkan bunuh diri di usia sebelum tua. entahlah... suka-suka mereka. suka-suka saya juga memilih yang mana. suka suka tuhan juga mentakdirkan kita seperti apa.
nenek saya memang sudah berusia senja. harapan satu-satunya adalah anak-anak keturunannya bisa menjadi tumpuan hidupnya. sejak saat itu saya sadar bahwa harta terbesar manusia adalah keluarga. dan datu lagi, keikhlasan. dari satu kata ikhlas menjadikan hidup kita lebih bermakna.
PS: ini cuma percikan dari perasaan saya yang bahkan saya sendiri tak tahu kenapa saya menuliskannya dalam kalimat-kalimat yang terasa yang menggantung bagi saya sendiri.

Monday, 25 February 2013

coretan gila

kadang aku hanya ingin berlari sejauh-jauhnya sampai kakiku akhirnya patah. namun saat aku membayangkan kakiku yang patah karena berlari, aku urungkan niat itu di dalam diri. kadang aku ingin tidur selama-lamanya sampai malaikat maut datang menjemputku dalam tidur. namun saat membayangkan maut, aku menjadi takut, takut karena aku tak memiliki apa pun untuk hidupku di alam baka. kadang ada saatnya mulutku ingin mengutuki kesedihan yang ku alami sampai akhirnya mulutku akan menjadi robek sendiri. namun saat aku berpikir bahwa mulutku akan robek, aku lalu bersegera menyumpal mulutku agar tak bersuara.
semua pernyataan dan pikiran di atas hanya dalam batas "pikiran". mungkin saja memang tak akan terjadi. aku terlalu pengecut hanya untuk sekedar memuaskan nafsu belaka. aku selalu menahan diri karena jika aku tak menahan diri, nantinya aku akan menyesali.
tapi tidak sesederhana itu. sekarang justru aku berperang melawan pikiranku sendiri, menantang diri sendiri. apakah tidak boleh aku memuaskan nafsuku sekedar untuk merealisasikannya meski akibatnya seperti yang kubayangkan di atas? entahlah. tak ada yang tahu kecuali pembuat jalan hidupku. siapa yang membuat jalan hidupku? AKU. aku yang akhirnya harus memutuskan akan melakukan apa untuk melanjutkan cerita hidupku yang sudah basi. aku ingin memperbaruinya dengan sedikit hal gila yang akan kukenang dan kutertawai. entahlah, aku bahkan tak tahu kalau sekarang saja aku pun sudah menjadi gila.
tunggu, bukankah tidak ada orang gila yang merasa bahwa dirinya gila? tapi aku heran bahwa aku justru mengaku bahwa aku telah gila. ataukah aku ini memang gila? tidak. sebenarnya tidak ada orang gila. yang ada hanya orang yang tak bisa mengatur keinginan dan kesadarannya sendiri. itu bukan gila, tapi hanya ketidakmampuan seseorang. itu bukan gila, hanya ketidaknormalan yang wajar terjadi. mungkin ada baiknya kalau kita buang saja teori-teori kegilaan yang ada. karena tak ada orang yang gila. mereka hanya lelah menjadi seperti biasanya. dan mereka ingin mencari dunia baru yang diinginkannya. yang pada kenyataanya tak banyak orang bisa mengerti keadaan yang mereka alami sesungguhnya. lantas, mereka menyebutnya gila
entahlah, mungkin ini hanya tulisan gila yang benar-benar gila. semakin kamu membacanya, kemungkinan besar kau juga akan menjadi gila. dan aku? hanya akan tertawa saja. atau paling tidak mari kita tertawa bersama, menertawakan kesedihan dan luka kita, dari pada harus berkubang dan menderita karenanya.

Bintang, katakan padanya.

bintang, kutitipkan salam untuknya
dia yang ada di sana
dia yang selalu ada di sini
di dalam hatiku yang selalu menantinya

kini hujan mulai berjatuhan
dan air mataku di sini mengalir lagi
senja memperjelas kerinduan yang amat dalam
memperlihatkan kekosongan

ku ingin sekedar memeluknya 
mengatakan apa yang kurasa
oh bintang kumohon katakan padanya
ku ingin memeluknya

bintang, kerlipmu menyilaukan mata
mengingatkanku akan dirinya
dia yang jauh di sana
ku ingin bersamanya, melihat senyumnya

kini kusadari bahwa ini hanya mimpi
dia tak ada lagi
dia yang tlah pergi
dia yang tak kembali

Friday, 22 February 2013

SKK 3


Babak Baru dalam Sebuah Permulaan yang Baru





Walau surya sudah bongak dengan posisinya yang nyaman di atas sana, sang gadis masih terlihat kesusahan untuk membebaskan dirinya sendiri dari nyeri yang dipikul. Ia tak bisa sekadar duduk sembari memberi salam pada matahari, justru hanya keluhan yang pertama kali hinggap di bibir hitamnya.
“Sialan. Nggak tahu apa kalau aku sakit. Masih saja matahari itu menyengatku. Aku udah kepanasan tahu! Sialan! Sial!”
Ia masih dalam keadaan meringkuk. Dengan setengah hati ia menghalau siraman panas matahari menggunakan telapaknya yang berlukiskan debu. Dalam keterpurukannya menahan tubunya yang ringkih, ia terlihat mengerang kata-kata serapah yang  makin lama makin membuat jantung siapapun berhenti saat itu juga. Teramat menyakitkan hingga semut pun teinjak mati oleh kata serapahnya. Beruntung tak ada siapapun di sana. Yang mengelilinginya cuma tumpukan sisa-sisa penghidupan.
Sebenarnya bongkahan puing-puing menyengat yang mengelilingi tubuhnya itu tak memungkinkan bagi jiwa manusia untuk bertahan hidup. Namun, kepekatan indra untuk mengadopsi suasana pekat sejak usia dini membuatnya lebih tangguh dari manusia lain. Sehingga itulah dia masih tetap betah mengerutkan onggokan tubuh ringkihnya kian menyatu, tetap pada tempat semula selama hampir dua jam. Ia tak terlindung dari apapun. Hanya kardus tipis melapisi dan karung beras menyelimuti.
Dari kejauhan terdengar sampah-sampah itu terseok, tertendang kaki yang mengamuk. Suara itu begitu mengusik bagi indra pendengaran seseorang yang terkapar sakit. Lama kelamaan suara itu kian terdengar kian mendekat. Sejurus, suara berat pun keluar dari mulut seseorang yang kini telah berdiri menantang di dekat onggokan tubuh yang terkapar. Ia pun memandang tubuh terbaring yang berada di dekat kaki telanjangnya itu dengan mata mengkilat. Tangannya mulai gatal untuk segera berkacak pinggang.
“Heh! Koe iki enak-enak ngebo! (kau ini enak-enakan tidur!) Perutku sudah lapar! Cepat cari duit sana!”
Lelaki tua bertubuh gempal itu serta merta menendang tubuh yang masih meringkuk di bawah pandangan matanya. Gadis yang ditendang semakin merekatkan rengkuhan tangannya pada lutut yang ditekuk. Ia masih tak bergeming. Ia tak peduli dengan apa yang terjadi pada tubuhnya yang tertendang. Menurutnya, tendangan itu tidak seberapa dibanding dengan rasa sakit yang menjalari tubuhnya.
Melihat gadis itu tak bergeming, sesosok manusia yang telanjang dada itu kian berang. Amarahnya bahkan tak dapat tersapu sedikit saja oleh sengatan bau sampah yang mulai menyebar. Akhirnya gadis yang merana itu berpaling ke arah lelaki kejam itu. Matanya tertuju pada sosok yang terlihat menjijikkan. Pandangan mata itu melemah, tapi ia tetap bisa memperhatikan lemak-lemak yang bergelayutan pada perut lelaki gempal itu sangat kokoh. Tak sedikit pun mampu terkikis oleh sapuan tangan. Jelas sekali bahwa pemandangan menjemukan yang berasal dari buncitnya perut itu adalah efek dari minuman keras yang tiap malam diminumnya. Tak hanya menjijikkan lantaran lemak bergantungan itu. Peluh pun tetap setia menyarang di sana yang membuat tubuh itu tak tertolong lagi tingkat kejijikannya. Hitam, mengkilat. Gadis itu pun berpikir, usai berbuat apa sampai keringat basi itu menggenangi tubuhnya jika yang dikerjakan hanya menadah. Melihat gadis itu memandangnya dengan tatapan sayu, ia justru semakin berang.
“Dasar tak tahu diuntung! Mending dulu aku ora ngasih hidup! Untung dulu masih ada setan lewat yang buat aku nulungi koe! A*u!”
Berkali-kali ditendang, akhirnya si gadis menegakkan punggungnya dengan susah payah. Sesekali ia merintih menahan sakit yang begitu menusuk persendiannya yang kaku. Dengan sekuat tenaga, ia pun duduk bersimpuh. Matanya terlihat lebih memerah, semerah tetesan darah, saat ia mencoba memandang lebih jelas pada sosok yang tengah berdiri di depannya. Kesadarannya masih belum pulih walau sudah beberapa detik berlalu. Melihat gadis yang tadi ditendangnya telah menegakkan tubuh, lelaki tua berperawakan ganas pun mau juga berhenti menyepakkan kakinya.
Opo maneh to, Pak!? Aku iki ora enak awak! (apa lagi sih, Pak!? Saya itu sedang tidak enak badan!) Tega benar kau masih menyuruh aku bekerja dalam keadaan seperti ini!” protesnya keras tak mau kalah, menggunakan sisa-sisa kekuatannya untuk meluapkan emosi.
A*u tenan koe, Ter! Tak peduli kau ini sakit atau tidak. Kau harus tetap cari uang. Birku sudah habis!” tuntutan lelaki tambun beruban itu justru semakin menjadi.
Meskipun dalam keadaan loyo gadis yang diketahui bernama “Kenter” itu kini mencoba untuk berdiri. Rasa takut untuk disiksa lagi telah menggiringnya untuk menguatkan diri sendiri. Walau sudah berusaha keras untuk menyangkal bahwa dirinya sakit, ia tak akan bisa menyangkal kalau tubuhnya tak terhindar dari ketersempoyongan. Kepalanya berputar dengan cepat, begitu setidaknya yang ia rasakan ketika kakinya berhasil menapak.
Kenter. Nama yang aneh untuk ukuran nama manusia. Namanya itu diambil dari Bahasa Jawa yang berarti hanyut. Memang gadis itu ditemukan di sungai oleh lelaki tua yang tega menendangnya. Pria tua yang biasa dipanggil germo itu memungutnya dengan tujuan pasti. Untung saja Kenter tak pernah tahu siapa dirinya. Bukan hanya karena terantuk batu dengan sangat keras, ia pun ditemukan saat usianya masih keci. Alhasil, Kenter tak pernah ingat siapa dirinya. Baginya, dari dulu hingga sekarang namanya adalah Kenter. 
Sudah hampir dua belas tahun berlalu, tapi perihal penyelamatan sang lelaki tua masih tetap menjadi jimat yang mujarab untuk membuat Kenter bekerja untuk dirinya. Tak pernah sekalipun gadis belia itu diberi kesempatan mengistirahatkan tubuhnya barang sehari. Kata lelaki tua, jika ia berkeinginan untuk istirahat, ia harus beristirahat selama-lamanya—yang berarti mati. Itu yang terkadang membuat Kenter bergidik tiap mengingatnya.
Pernah suatu kali Kenter pergi melarikan diri. Akan tetapi bekas-bekas kecerdikan lelaki tua dalam keterampilan merampok masih sangat paten. Tak ayal, kemanapun Kenter lari, ia masih tetap bisa ditemukan lagi. Sampai akhirnya ia pun pasrah saja jika disuruh bekerja banting tulang untuk memenuhi keinginan sang penyelamat. Dari sanalah sifat asli yang dimiliki Kenter diam-diam luntur terganti dengan kekerasan jiwa. Ia merasa tersiksa dengan keadaan yang seperti itu, namun apalah daya seorang gadis tanpa siapa-siapa itu? Dalam pikiran Kenter, hanya sosok lelaki tua tambun itu yang diketahuinya paling berjasa dalam hidupnya. Ia pun pasrah walau tetap saja, ia jengah.
Maka, ia pun akhirnya pergi melaksanakan perintah lelaki tua dengan bersungut. Meski masih ada sedikit nyeri menggerogoti tubuhnya, ia berusaha tak peduli. Dikayuhnya kaki-kaki yang bergetar itu mengelilingi area pembuangan sampah. Ke sana kemari mencari benda-benda berharga yang dapat dijualnya ke penadah. Benar. Ia seorang pemulung. Tak ada yang dapat ia lakukan untuk menghasilkan uang selain memulung. Dari kecil hingga sekarang, pekerjaan satu-satunya yang ia ketahui adalah memulung.
Ia lalu melarikan tangannya yang masih begitu lemas untuk mengais benda-benda di sekitarnya. Benda yang akan menjadi pilihannya adalah botol plastik atau pecahan kaca yang bisa banyak meningkatkan pundi-pundi yang akan didapatnya nanti.
Sedari tadi masih belum ditemukan benda-benda terbuang itu. ia masih sibuk mengais-ais. Karena tak terlalu berdaya, ia pun hanya mengorak-arik sampah yang mengubur harta karunnya dengan kakinya yang juga melemah. Bau menyengat kian memuncak kadar kekhasannya. Ia tak terpengaruh walau sedikit oleh sengatan bau yang ternyata berasal dari nasi busuk. Ia lalu menjauhkannya pula dari dari harta karun yang masih belum ia dapatkan. Semakin ia berusaha dengan keras, ia justru tak mendapatkan hasil apa-apa. maka ia pun beralih dari tempatnya menuju tempat yang terdapat seorang wanita tua di sana.
Dengan wajahnya yang memucat lebih pucat dari sebelumnya, ia lalu berjalan dengan terseok. Usai tubuh ringkih itu mencapai tempat yang ia tuju, ia pun berhenti. Ia kemudian merampas karung dari si wanita tua. Wanita tua itu hanya pasrah melihat Kenter yang mengambil barang temuannya tanpa ijin. Ia tak berkutik karena takut terjadi sesuatu pada dirinya. Sangat dapat dipastikan bahwa Kenter lah yang menguasai tempat itu. Jadilah si wanita tua hanya menyingkir pasrah.
Ah, sifat keras yang diajarkan lelaki tua itu membuatnya selalu memenangkan perebutan dan pertengkaran yang terjadi. Oleh sebabnya, ia akhirnya dapat menguasai tempatnya sendiri tanpa ada yang berani macam-macam dengannya.
Setelah merampas dari sang wanita tua, ia kembali memungut untuk menambah hasil yang akan ia dapat. Tak jauh dari sana, satu persatu dipungutnya materi tak terpakai yang terbengkalai. Suatu keberuntungan besar memang. Sedari tadi ternyata yang dicarinya berkumpul di tempat itu. Pantas saja wanita tua itu mendapatkan begitu banyak. Ternyata tempat berkumpulnya sampah jempolan tepat berada di sana.
Lalu, ia pungut dengan tangan kosong sampah-sampah berharga itu. Di susunnya acak di dalam karungnya yang banyak berlubang. Dari sekian banyak benda pungutannya, tak ada satu pun yang mampu menolongnya untuk sedikit meringankan pikulannya. Kebayakan yang ditemukan olehnya adalah pecahan kaca yang bervolume lumayan, lumayan berat. Tumpukan sampah itu sudah hampir memenuhi kadar kekuatan Kenter untuk dipikul. Tak seperti biasanya, Kenter semakin giat berkeluh kesah pada alam. Ingin rasanya menumpukan barang pikulan itu pada punggungnya, namun tak kuasa. Ia lantas menyeretnya dengan sisa tenaganya.
Ia berjalan semakin lambat. Dua karung itu mulai menjadi beban yang tak terelakkan. Ingin rasanya membuang isi karung itu. Sayang, ia tak bisa hanya begitu saja membuangnya. Dengan tubuhnya yang tak terbendung lagi rasa sakit yang menjalar di dalamnya, ia pun akhirnya menyerah. Ia terduduk lemah kian meratapi nasibnya yang tak beruntung. Di saat itu, ingin rasanya ia mati saja di sambar petir atau bahkan terjun ke jurang. Namun, bahkan di sana tidak sedang terjadi hujan apalagi jurang untuk menjatuhkan dirinya. Jelas sekali tak ada. Dan sekali lagi ia meratap. Dengan posisi duduk yang hanya berlapis selembar Koran bekas yang dipungut dari dalam karungnya, ia kemudian menyelonjorkan kedua kakinya. Walau hawa panas menyeruak dari dalam tubuhnya, ia kini lebih teratur menghembuskan napas.
Tak terasa hari semakin sore. Semburat kemerahan terlihat menghampiri. Burung-burung pun kini tengah terbang berlari, memulangkan raga mereka yang kelelahan atau justru memulai waktu untuk mengais makanan. Namun, kawasan tempat Kenter terduduk sudah sangat lengang. Semua orang telah berpulang. Sebagian ada yang mulai mengepulkan dapur, mencoba memberi kehidupan pada cacing-cacing yang telah meronta di perut anak-anak mereka. Sebagian lainnya berkumpul tak karuan di wilayah-wilayah rawan kejahatan.
Sekarang tujuan Kenter tinggal pergi ke penadah yang siap memberinya segepok uang recehan. Ia mulai menegakkan tubuhnya lagi, berjalan menyusuri jalan yang penuh dengan kutu busuk menyarang, melewati kelokan air bah menggenang, pun ia harus melompati gunungan tong besi berserakan. Ia menguatkan dirinya sendiri walau kenyataannya ia sudah tak sanggup lagi.
Benar saja, dalam beberapa menit perjalanan menuju tempat tujuan, ia limbung. Banyak sekali deretan hitam menusuki kedua matanya. Kepalanya berdenyut kencang. Perlahan pandangannya mulai kabur. Barang-barang bawaannya luput dari cengkeraman tangan yang tiba-tiba mengendor. Saat semua benda itu terkena daya gravitasi, saat itu pun Kenter seperti tertarik medan magnet. Dia tak bisa meraih apa-apa untuk menggagalkan dirinya sendiri gugur ke tanah. Semua tak terelakkan lagi. Tiba-tiba dunia menjadi gelap dan semakin gelap.


ps: follow my twitter and i will let u know when i have posted my next stuff >> @leetalit

thanks for reading my old things.^^

Thursday, 21 February 2013

SKK 2




12 tahun silam
Sepasang anak Adam tengah terpaku pada romansa. Mereka saling bercengkrama tentang indahnya suasana, teduhnya alam raya, dan cantiknya bentangan lukisan sang illahi yang kian tampak memadai. Di sana, ada sebongkah langit yang terlihat anggun dengan rona kebiruannya yang segar.
Awan kian berarak menimbulkan bentuk-bentuk yang lucu. Mata yang menangkap bentuk itu begitu terpaut. Harus ada konsentrasi penuh untuk sekadar mendapatkan sesosok ikan hiu yang menganga. Di sisi awan berbentuk hiu itu menggumpal kapas tebal. Gulungan awan tebal yang terlihat empuk itu seakan meminta untuk dinikmati kelembutannya. Lagi, langit yang tepat di atas kepala menunjukkan sebentuk hati yang nian mempesona. Hati itu membumbung tinggi layaknya ia tak memiliki beban sama sekali. Subhanallah, sungguh Maha besar Allah yang menciptakan atap biru sebesar itu dengan awan yang senantiasa meneduhkan umat manusia yang bernaung di bawahnya.
Kalau di atas langit menyajikan pemandangan yang sangat mengesankan, tak berbeda jauh di daratan hijau bumi. Bentangan karpet hijau berserabut mengguncang batin untuk bergelung di sana. Di sana tampak beberapa ekor kelinci lucu yang tengah melompat riang. Kelinci-kelinci itu terlihat tengah mengumpulkan sesuatu dalam polahnya yang tak terdefinisi. Ada keluguan, ada pula kecongkakan dalam gaya mereka. Lompatannya yang mungil mengacu pada elemen yang membuat suasana hati menjadi terkikik. Tak bisalah manusia sanggup menirukannya. Begitu alami, khas sebentuk hewani.
 Di atas bentangan rumput menghanyutkan dan di bawah atap meneduhkan, terduduk  dengan beralas daun-daun kering dua manusia yang berlainan jenis. Mereka saling menautkan jemari, berharap dapat saling melengkapi.
Beberapa menit sebelum mereka terduduk dalam nuansa romantis, sang istri telah menyiapkan teremos berukuran sedang. Di antara keheningan yang tercipta, sang istri mulai bergerak perlahan. Tak ada maksud untuk menjauhi belahan jiwanya, ia hanya akan lebih memanjakannya. Diraihnya teremos yang sudah ada di hadapannya itu lalu ia angkat cangkir kopi keramik bercorak polkadot. Ia membuka perlahan tutup teremos itu. suaminya hanya menatapnya. Tatapan itu kian membara. Cinta yang terbaring dalam hatinya mulai bermain-main, melompat-lompat, dan berteriak kegirangan. Betapa bahagia yang ia rasakan dengan hanya mengamat-amati istrinya saat ia menuangkan sesuatu dari dalam teremos.
Aroma hangatnya kopi panas mulai merebak kala sang wanita menuangkan isi termos ke dalam cangkir. Suara gemericiknya menggugah. Di telannya ludah perlahan, sang suami kini mulai mendekati istrinya yang bercengkrama dengan kopi dan cangkir yang beradu. Ada kecemburuan dalam hati sang suami. Ia tak ingin istrinya lebih memfokuskan pikirannya pada kopi, teremos, dan cangkir yang tengah berada dalam genggamannya. Ia segera merampas cangkir yang sudah terisi setengah itu dengan lembut.
Dalam suasana hangat berteman kopi hangat, terdengar gemericik lain yang senantiasa menunjang keramahan alam yang mereka tempati. Sungai berwarna jernih menyempurnakan dengan penuh kebahagiaan. Sungai itu tepat berada dalam jangkauan mata berbinar mereka berdua. Mereka pun tak lepas-lepasnya mengamati ke arah aliran air tenang yang terbendung dalam kungkungan lubang memanjang.
Tak hanya sungai sejuk itu yang mengundang perhatian. Di kejauhan, terdapat juga bukit-bukit kecil yang berpencar dalam keasimetrisan. Ada hamparan rumput hijau kekuningan di sana. Ada juga pohon karet yang menjulang, mengitari perbukitan itu. Pohon-pohon itu berjajar rapi menantang surya. Terlihat tak merasa canggung sedikitpun pada Tuhan yang maha dahsyat yang menciptakannya. Mereka berbaris begitu apik. Tercipta laksana payung yang menjadi peluruh sengatan matahari. itu.
Dalam kenikmatan yang telah mereka raih, sekilat gelombang suara mencicit.
“Bapak, Bapak, Bila mau main air.”
Meski rengekan gadis kecil itu kian bertambah kapasitasnya, hal itu tak mengganggu sedikit pun cita mereka berdua. Mereka berdua bangkit dari duduk mereka. Sang suami sudah dalam posisi lurus terlebih dahulu. Lantas, ia pun mengulurkan tangannya pada sang istri, meminta disambut. Ia pun menarik istrinya untuk dapat menegakkan kakinya. Segera saja mereka berdua mendekati anak kecil yang berceloteh manja..
“Bila mau main, ya? Sini, biar Bapak yang pegangin. Hati-hati, Nak. Itu, di sebelah sana saja yang dangkal.”
Lelaki itu membimbing si anak gadis menuruni sungai yang terlihat dangkal. Usai merasakan keberhasilannya menaklukkan rintangan tanah yang terjal di sekitar danau, si anak kian bersemangat. Celotehnya menggugah sang Ibu untuk segera bergabung dengan kemeriahan itu.
“Bu’, ayo sini. Bila mau ditemenin Ibu’.” Tangan si gadis cilik melambai, memohon kesediaan emaknya untuk menemani bermain.
“Owalah, Nak. Kamu mbok ya main sendiri saja. Masa Ibu’ mau nyebur seperti kamu?” godanya pada balita hasil buah cintanya dengan sang suami.
Atmosfir yang demikian telah dirasakan keluarga itu berulang kali. Menyenangkan, menggembirakan. Benar. Mereka bertiga selalu menyempatkan sedikit waktu untuk mengunjungi desa terdekat untuk berlibur. Meskipun sudah 2 tahun merantau ke kota yang sangat  jauh dari tempat lahir pasangan suami istri itu, mereka tak pernah bisa melupakan suasana yang meredakan tiap sendi-sendi kehidupan yang pongah dan kejam.
Namun tak seperti biasa, tempat rindang yang membentangkan sungai jernih, sungai yang biasa digunakan untuk anak mereka bermain, terlihat dan terdengar mengalir dengan sangat deras. Entah karena apa. Mungkin saja sungai itu dimasuki paksa oleh air bah. Atau mungkin juga sungai itu memang masih ingin berlarian. Tak ada satupun dari mereka berdua yang tahu. Apalagi anak balita mereka. Anak kecil itu masih tetap berkreasi menciprat-ciprat air pada ibu bapaknya. Tak ada yang mengira dan mereka apa yang terjadi dalam alirannya yang tak biasa. Yang pasti juga, mereka tidak merasakan adanya bahaya yang mengancam nyawa putri semata wayang mereka.
Jauh terdengar di ujung sana. Suara gedebug kaki yang saling menanjak dengan ritme tak beraturan membuat suasana sedikit keruh. Suara hiruk pikuk itu semakin dekat tercium baunya. Jika diamat-amati, banyak sekali kaki-kaki yang saling berkejaran itu. Barangkali dua puluhan pasang kaki tengah memburu mangsa berkaki empat yang telanjang.
“MALING…MALING…”
Teriakan bertubi puluhan orang itu terdengar semakin lantang. Ada yang tak sengaja bersamaan, ada pula yang memang menyengaja untuk bergantian. Semua riuh dalam keramaian nan bebal untuk diterjemahkan. Kedua anak manusia yang tengah bersantai ria itu terpaksa berlari mendekati karena rasa penasaran mereka yang menancap dalam. Begitu sampai di pinggiran tepi jalan, barulah mereka sadar ketika keramaian itu pergi menghilang. Boleh jadi mereka berdiri di sana sudah sepuluh menit berlalu. Mereka teringat balita yang tengah bermain di aliran sungai deras, yang ditinggalkan sendiri oleh mereka berdua.
“Sayang!” sang istri tolah-toleh tergugup.
“Nabila! Nabila mana, Sayang?” kegugupan itu membuat desiran hati suaminya mengganas.
Mereka berlari pontang-panting. Kaki-kaki itu mengayun tanpa batas kecepatan yang jelas. Sesaat begitu cepat, namun ketika kaki itu diharuskan untuk menghindari batu yang berserakan, langkahnya melambat. Jalan yang harus mereka lalui terasa sangat jauh. Akhirnya mereka mulai menyusuri aliran sungai yang berubah semakin dahsyat.
Gemuruh riak sungai terkalahkan oleh gemuruh dalam hati sang istri. Air mata segera membanjir di pelupuk mata keturunan hawa itu. Berkali-kali ia harus sesenggukan menahan air yang memaksa untuk keluar dari matanya. Sesekalu diusapkan punggung tangannya ke pipi mulus yang ternoda leleran air mata.
Mereka berdua masih berlari kencang. Dalam hati, sang suami terbeban oleh sebuah penyesalan. Bisa-bisanya ia meninggalkan putri semata wayangnya itu demi mengejar keingin-tahuannya pada suara yang tiba-tiba terpekik. Di saat mereka tengah berlari dengan tenaga yang masih tersisa, sang istri seketika tersandung batu-batu liar. Baginya, batu-batu itu seakan menyalahkan kelalaiannya pada sang buah hati.
“Sayang.. Nabila..hiks,” sedu sedan sang istri pun semakin menjadi, meraung kesetanan karena kehilangan sebagian nyawanya.
“Bagaimana ini, Dek? Sudah berjam-jam kita mencari Nabila, tapi dia tak kunjung kita temukan. Mari, tak usah menangis lagi. Kita segera berangkat ke Balai Desa untuk memberitahu Kepala Desa tentang ini.”
Sang suami mencoba bersikap tegar walau sebenarnya hatinya kini terbelah oleh kapak besar yang tetap tak berhenti mencincangnya habis-habisan. Mereka berdua pun akhirnya pergi dalam keadaan limbung. Tergorok oleh ratusan pisau tak bertudung.


Sementara itu di belahan kehidupan yang lain, yang memakan jarak tak begitu jauh lagi dari tempat mereka sempat berhenti.
“Edan. Aku sudah berlari sepanjang itu,”
Hosh hosh. Suara tarikan napasnya membara.
“Untung ada tempat ini. Mereka pasti tak akan tahu kalau aku di sini.” Masih dengan napas yang berat, ia kian menggumam.
Lelaki berperawakan besar itu tengah berjongkok di lubang besar yang dulu biasa di lempari sampah. Blumbang, orang jawa menyebutnya demikian. Kini, nasib blumbang yang satu itu tak sama dengan blumbang-blumbang yang lain. Kering. Tak ada seorangpun warga desa yang membuang sampah mereka di sana. tak ada sebab lain kecuali karena  isu yang tersebar. Benar bahwa mereka masih sedikit percaya adanya tahayul dan sebagainya. Warga Desa Cagak Watu banyak yang terpengaruh oleh kabar yang tak jelas dari mana datangnya. Dari mulut ke mulut mereka akhirnya menyangka bahwa blumbang itu membawa kesialan bagi siapa saja yang membuang sesuatu di kubang besar itu. Demikianlah mereka tak pernah lagi mendekati tempat tersebut untuk sekadar membuang sisa hajat mereka.
            “Ah, apa itu?” sontaknya kaget.
Dia melihat seonggok tubuh kecil mengejang pada bebatuan besar di tengah sungai. Dihampirinya onggokan yang pucat tak bergerak itu. Setelah sampai di tengah sungai yang masih mengalirkan derasnya air, dia segera menggotong tubuh itu ke tepian. Seperti sudah tak ada nyawa, wajah gadis kecil itu begitu pucat. Bibirnya kebiruan menahan dingin. Kebekuan tersimpan dalam pipihannya. Mata bulatnya kian tertutup oleh pelupuk yang mengerut. Tak ada lagi yang bisa diharapkan. Mungkin ia sudah dikira mati jika gerakan cepat pada dadanya tidak tergambar jelas. Satu-satunya hal yang membuktikan bahwa gadis itu masih bernapas. Ia masih hidup. Nyawa masih tertata rapi dalam raganya.
Berbekal ilmu kesehatan yang diperolehnya dari televisi colongan yang beberapa kali ia sempat nyalakan di rumahnya,—dia cepat-cepat menjual TV itu agar tak menarik perhatian warga sekitar. Ia takut kalau-kalau ada orang yang menganggap bahwa orang semelarat dia bisa mempunyai televisi besar berharga jutaan—dia melakukan hal yang sama pada sosok mungil yang kini ada di pangkuannya. Ia memberikannya napas buatan, mengecek detak jantungnya, kemudian menepuk-nepuk punggung gadis mungil itu dengan tenaga yang sama sekali tidak besar.
Uhuk uhuk.
Suara batuk yang melegakan itu muncul dibarengi dengan kelopak mata yang berusaha untuk tak mengatup lagi. Air tumpah dari mulutnya. Dengan lemasnya ia menggeliat. Sesaat setelah itu ia pun mengerjabkan matanya dengan usaha yang begitu keras. Ia tersadar dalam keadaan pucat pasi. Tak bisa sekedar mengangkat tubuhnya yang berkali-kali terantuk batu kali.
Melihatnya tersadar, lelaki itu lalu menggotongnya ke tempat di mana ia menghabiskan waktu untuk menyembunyikan dirinya, di rumah persembunyiannya. Dalam perjalanannya menuju ke sana, ia setengah berlari dan sesekali menoleh ke belakang. Ia takut bila tiba-tiba ada yang menyergapnya dari arah yang tak diketahuinya. Perjalanan yang biasanya dirasakan begitu singkat, kini ia rasakan sangat lama. Namun tak mengapa. Ia sama sekali tak merasakan kelelahan fisik dengan tubuh liatnya itu. yang terjadi hanyalah kelelahan otak yang teramat kejam mencengkeram otaknya yang tumpul. Ia sama sekali tak merasakan pegal pada punggungnya yang mengangkat beban seberat 10 kg. nah, begitu ia sampai di depan rumahnya, ia segera membaringkan tubuh kecil itu di atas lincaknya.
Usai membaringkan tubuh terkulai itu, ia kian linglung. Di sandarkan tubuh tambunnya itu pada pinggiran tembok bata tak berplamir. Ia terduduk di sisa lincak yang tak terpakai oleh tubuh kecil yang dibaringkannya. Ia pun mengipas-ngipas wajahnya dengan tangannya yang berurat kasar. Dala keadaan yang sadar, ia pun berbicara pada diri sendiri.
“Ah, aku harus kembali ke desaku sendiri. Di desa Cagakwatu ini hanya kesialan yang kudapat. Hampir saja aku mati. Alah. Ada anak ini juga! Hmm, lumayan lah. Siapa tahu dia berguna. Akan kumanfaatkan dia untuk mencari uang saja. Sudah saatnya bagiku untuk bersenang-senang tanpa susah payah mengumpulkan uang lagi.”
 Mata berkeriput itu lalu terpaku pada gadis yang tengah terbaring. Gadis itu masih terlihat lemah, tapi napasnya sudah mulai teratur. Melihatnya seperti kedinginan, pria yang aslinya memang berwatak kemanusiaan itu kemudian menyelimuti gadis kecil itu dengan kain sarung yang hampir sebulan tak pernah dicuci. Pria itu pun tenggelam dalam lamunnya, sejurus ia tertidur dengan ocehan yang tak menentu.

Beberapa hari telah berlalu. Kini anak perempuan itu sudah sehat kembali setelah sempat tak sadarkan diri.
Tekadnya membulat. Meski pagi ini belum ada makanan singgah di perutnya, dengan cekatan ia membopong anak perempuan itu untuk kembali ke desa tempat ia dulu dilahirkan. Memang sudah tak ada siapa-siapa di tanah kelahirannya. Tapi, paling tidak ia bisa menempati rumah reot warisan keluarganya yang mati terkubur sampah di sana. Ia harus segera kembali ke desa Sukmodirjo.
Ia tak mau menunggu lagi kapan saat yang tepat. Baginya hari itu adalah kesempatan terakhir baginya untuk menghindar dari amukan massa. Ia sempat curiga karena beberapa hari yang ia lalui setelah pengejaran itu, tak satupun warga mau memandang ke gubuknya. Ia berkata pada diri sendiri bahwa polahnya benar-benar telah tercium. Terlebih, ada anak kecil itu. Ia tak ingin semakin terpuruk dalam mata-mata yang siap menusuk.

***

Terpaan silau pada sembabnya mata terlalu menyakitkan. Bau sengau kian memancar dan menggelungkan dirinya untuk dapat masuk lewat lubang hidung. Mereka saling berebut untuk bisa mencubit saluran yang terbentang di sana. Mereka nan berjubel mesra untuk mendapatkan kehangatan di dalam paru-paru insan dunia. Bau anyir, amis, sengak, dan bau-bau lainnya menohok sisa-sisa oksigen di rongga dada. Terbaring gadis remaja yang tampak lusuh dengan bajunya yang kumuh. Gadis itu tampak mengerjabkan sedikit demi sedikit kelopak matanya. Bengkak membingkai dan menggantung di kantung mata. Dalam tubuhnya hanya bersemayam rasa sakit. Tak satupun urat nadi yang tak kempis. Hanya satu yang masih terlihat sangat indah pada gadis itu walau kini seluruh badannya hanya dihiasi tulang dan kulit. Bola mata itu penuh jika terbuka. Bulatan hitam sempurna yang disandingkan putih jernih di sisi-sisinya. Mungkin sedikit deretan merah tak beraturan membuatnya agak layu.
Selama bertahun-tahun Nabila diperlakukan kasar oleh lelaki bernama Darso. Darso memang bukan keturunan orang alim, ia pun tak mengenal adanya dosa. Ia hanya tahu kalau ia akan sumringah bila uang berdatangan membanjiri tubuhnya yang apek. Ia pun hanya tahu bahwa ia akan gelisah jika tak ada segenggam botol arak memenuhi jemarinya. Ia merasa sedikit hampa dan kosong bila tenggakan terakhir yang bisa dilakukannya hanya berlangsung sepersekian detik. Dalam detik itu pula ia akan kembali membantai apa saja yang ada dalam jangkauan beringas kepalannya. Di situlah, Nabila yang tak mengerti apa-apa, merajut benang kehidupannya. Sakit, perih, letih.
            Namun bagi Nabila, Darso sudah lebih dari cukup untuk mengusir gemericik air yang membuatnya takut. Darso pula lah yang memberikannya pengetahuan yang berharga bagi onggokan otaknya yang termakan sisa-sisa peradaban yang kalut. Baginya, Darsolah yang selama ini membuatnya tak sendiri menghitung hari. Hanya Darso tambatan jiwanya yang layu dalam keangkuhan dunia yang diajarkan oleh tua bangka berperut tambun itu.
            Bahwa orang kaya tak manusiawi. Bahwa hanya kalangan mereka yang mempunyai kebaikan hati. Bahwa tak ada seorang pun yang pantas dipercaya. Satu bahwa lagi. Hanya Darso yang bisa membuatnya hidup di dunia ini.
            Kehidupan keras yang dialami Nabila begitu nista. Tak segan Darso menguburnya dalam tong besar jika ia tak mau bekerja. Tak berhati pula jika Darso selalu mencuci otaknya dengan berbagai cara. Bahwa yang buruk itu baik, dan yang baik itu buruk. Ah, bagi makhluk yang bernama manusia, apalagi yang beradab, pasti melihat Nabila dan dunia ciptaan Darso merupakan satu kesatuan yang carut. Betapa bumi ini telah terparut. Lebur tertabur dalam jurang yang terpekur. Hilang dalam blingsatan malam yang mengambang.








Awal dari Sebuah Permulaan (SKK 1)




Pendar lampu disko berkerlap-kerlip. Terlihat seakan warna-warni itu sibuk berebut ingin menunjukkan dirinya masing-masing. Kata orang, Show Off.
Warna warni itu silih berganti tanpa ada yang bisa menebak urutannya. Mungkin bukan pada tak bisa menebaknya itu yang diutamakan. Siapa juga yang mau menebak jika tak ada yang memperhatikan sama sekali? Semua memilih untuk sibuk dengan gempita masing-masing. Adu keringat, adu abab, adu semangat. Pria, wanita, wanita setengah pria, pria setengah wanita, semua beradu. Tak ada yang ingin sekadar berdiam dalam suasana asoy macam itu. Mungkin hanya segelintir orang yang tengah lengser dari tempatnya bertahta. Mereka kini duduk dipojokan sambil menyesap pekatnya alkohol berwarna kecoklatan. Tak ketinggalan, deretan wanita berpakaian tak lengkap menyerbu onggokan uang yang terselip pada kantong-kantong pria berduit. Sekumpulan pria itu kini tak berdaya oleh gairah mereka sendiri.
Dentam alunan musik membahana. Semua tempat dapat terjangkau oleh kilatan suara berdebum. Akan tetapi satu yang nampak terlihat dan terasa begitu lengang.
Sekilas, ruang yang sunyi tak terpantau suara dentaman itu mirip dengan ruang kantor. Barangkali desainnya yang memang dibuat sedemikian rupa. Hanya saja, ketika kita melihat dan mengintip ke dalamnya, deretan pintu terpampang jelas. Benar jika kita hanya tahu kalau itu adalah kamar kecil. Di depan pintu-pintu itu terpasang wastafel berwarna putih. Akan tetapi, kalau kita memberanikan diri untuk menangkap seraut sinar dari lubang kunci, kita dapat menyaksikan pemandangan yang tak pernah kita sangka. Seberkas gambar tanpa adegan sensor.
Untuk menyewa ruang khusus itu kita harus merogoh kocek dalam-dalam. Mereka selalu berkata bahwa fasilitas yang disediakan sangat lengkap. Yah, dengan uang yang terhitung besar tersebut yang mampu menyewanya hanya kalangan menengah ke atas, High class society.
Tak perlu khawatir, bagi pelanggan yang ingin menyewa kamar bersantai, tapi uang hanya pas-pasan, ada ruang yang khusus disediakan bagi kaum awam, yang uangnya tak begitu tebal terselip dalam dompet.
Ruang itu dibangun di pojokan. Kalau kamar mewah terpampang berderet di depan wastafel, Kamar sederhana itu berdiri menyempil. Hanya dua kamar, pojok kiri dan pojok kanan. Memang tak banyak yang menyewanya karena pelanggan tempat itu merupakan kalangan borjuis. Hanya beberapa saja yang asal coba-coba mengunjungi tempat mewah yang menyajikan musik pembangkit semangat tersebut.
Kini, di kamar yang dapat disewa dengan harga lebih rendah, yang hanya menawarkan kenyamanan terbatas, tengah ditempati sepasang lelaki dan perempuan muda. Ditilik dari KTP yang mereka tunjukkan pada petugas pemeriksaan, usia pasangan itu terpaut hanya satu tahun. Raut muka sang gadis memang nampak lebih muda, namun tak lantas menjadi seperti kelihatannya. Sang gadis lah yang lebih tua.
Mereka berdua berasal dari kota dan desa yang sama. Mereka pun berkuliah di kampus yang sama. Hal itu yang sering dibicarakan orang. Bagi mereka, omongan itu hanya berbekas seumur jagung. Tak satu pun di antara mereka berdua menggubrisnya.
Meski banyak orang yang pada akhirnya membicarakan hubungan mereka, tak ada yang tahu kalau hubungan mereka seintim itu. Yang diketahui oleh orang, terutama yang mengenal mereka di kota itu, bahwa mereka hanya saling kenal dan sesekali menyempatkan hangout singkat. Tak ada yang spesial. Namun dibalik itu, mereka kerap sekali meluangkan waktu hanya untuk beradegan mesra di singgasana empuk dan setelahnya berpisah kembali. Mereka berdua termakan bujuk rayu setan. Mereka telah tergiur akan kenikmatan duniawi. Mereka sering menyebut hubungan itu sebagai have fun date.
Satu tahun mereka habiskan dengan hura-hura sejenis. Masih belum ada yang tahu menahu. Masih belum ada pula yang merasa kecewa. Namun, seiring waktu yang berjalan, sang perempuan memilih untuk pergi meninggalkan segala yang ia tahu di sana. Ia memilih untuk melarikan diri ke luar pulau. Hampir selama dua tahun. Tanpa ada yang tahu.
Walau dua tahun yang lalu mereka berdua sempat berpisah, masih tak ada yang tahu di mana keberadaan sang gadis waktu itu. Ia tertelan bumi. Semua orang mencari. Orang yang mengenalnya tentu saja. Salah satu orang tersebut adalah sang pria. Tak pernah ada yang bisa menemukannya. Orang tua sang gadis pun begitu terpukul atas kehilangan anak gadis mereka. walau begitu, ternyata diam-diam sang gadis tak lupa memberitahukan orang tua mereka kalau ia masih baik-baik saja. ada syaratnya tentu saja. mereka berdua, orang tua sang gadis, disuruh bungkam. Mereka hanya orang awam, tentu saja mau-mau saja jika sang anak sudah memohon. Selesai cerita. Tak ada lagi yang mampu menemukannya.
Akhirnya, beberapa tahun setelahnya, gadis itu muncul kembali tanpa kata. Tak ada pemberitahuan apa-apa. Yang tahu pun hanya orang tuanya. Sekali lagi hanya kedua orang tuanya. Mereka masih dibungkam, mereka berdua. Mau-maunya, pikir mereka.
Dari alasan yang terbersit di benaknya, gadis itu hanya ingin melupakan masa lalunya. Ia ingin melupakan kenangan yang membawakannya luka perih. Meski demikian, ia hanya diam saja mengetahui luka perih itu bersemayam di sana, di hatinya. Namun, ketika bertemu lagi dengan kekasih hatinya yang tak sempat sampai, rasa cintanya muncul lagi secara tiba-tiba. Rasa kecewanya yang semula tak terbendung telah pudar. Ia kini kembali ke pelukan lelaki idamannya. Dengan rasa tanpa rasa kecewa, dengan hati tanpa perih hati. Ia luluh dalam peluk pria yang dicintainya. Sekalipun demikian, ia masih harus menyembunyikan sebuah rahasia. Rahasia itu hanya aka nada dalam hidupnya yang dengan susah payah ia tinggalkan di sebuah kota asing. Rahasia itu akan aman di dalam hatinya. Tapi, hal besar itu tak dapat disangkal. Gumpalan luka masih akan ada.
Ternyata, Di balik keputus-asaan si gadis, lelaki jangkung itu, yang dicintai si gadis, merasakan kehilangan yang sangat saat ia ditinggalkan oleh perempuan yang diam-diam dicintainya. Ternyata mereka berdua merasakan sebuah hal yang sama tanpa ada yang tahu satu sama lain. Hubungan yang semula dianggap mereka sebagai having fun ternyata sangat bermakna bagi mereka. Lalu, pada suatu malam kelulusan sang lelaki, mereka berdua meluangkan waktu bernostalgia. Tanpa mereka prediksi, tanpa mereka sadari dengan kesadaran penuh, mereka kian bersatu kembali. Menyatukan hati, pun lebih parahnya lagi menyatukan raga di malam itu. Mereka saling bertaut. Tenang dalam gemuruh, hangat dalam badai.
Kejadian itu tak lagi memukul, terutama memukul jiwa sang gadis. Pada akhirnya lelaki itu, lelaki yang dahulu sempat ia ragukan mempunyai rasa yang menyambar-nyambar onggokan jantungnya, merasa harus bertanggung jawab. Suka pun dirasa oleh sang gadis. Ia tak lagi ingin pergi menghilang.
Namun, ada sesuatu yang terpendam dari kebahagiaan yang ia rasa. Mungkin kecewa, mungkin juga penyesalan. Benar, ia semakin menyesal. Telah ia tinggalkan sesuatu dalam keraguan, dahulu, ketika ia menghilang. Ia melakukan itu hanya karena ia takut dibilang wanita jalang. Bukankah ia memang jalang? Lantas siapa yang berhak mengecam seseorang itu jalang ataupun malang? Hanya gadis itu yang bisa menjawab. Benarkah ia jalang atau hanya malang.
Kemalangan itu terkubur agak dalam. Sekarang, lelaki itu jelas-jelas ingin segera menikahi wanita yang tahun-tahun lalu sempat meragu. Sayang sekali, dari apa yang terbaca nanti, nasib akan berkata lain. Bukanlah bahagia yang mereka akan dapati. Kesukaran yang akan dan masih selalu akan bertambah. Mungkin itu adalah pembalasan. Tak ada yang tahu. Tak seorangpun. Pembalasan dari sang maha kuasa. Siapa yang tahu! Mungkin sebaiknya tak ada yang tahu. Bahkan aku, sang penulis, tak akan memberitahukanmu. Akan ada akhir bahagia atau duka, aka nada tangis atau tawa? Carilah jawabannya sendiri.






Serbet Kotak-Kotak


Serbet kotak-kotak. Mungkin hanya kain itu saja yang aku ingat paling berjasa dalam hidupku. Serbet kotak-kotak. Mungkin itu hanya kain berserabut kasar yang di jual dengan harga murah. Serbet kotak-kotak. Kain berbau gersang yang siap menggorok saraf penciuman siapa saja jika telah terlumat oleh berbagai jenis kotoran. Nah, tentu saja kau mengetahui guna serbet kotak-kotak itu, kain lap. Semua orang menggunakannya sebagai barang yang seolah tak bernilai. Hanya seonggok kain yang hanya pantas bersentuhan dengan apa saja yang bersifat tidak bersih, tidak suci, tidak higienis. Paling parahnya, serbet kotak-kotak itu hanya akan menjadi sarang kuman kala semua telah tuntas, terentas oleh kain sekecil itu. mengerikan jika kita melihatnya melalui teleskop. Pasti akan ada banyak hal menjijikkan di selembaran kain usang itu.
Itu semua bagi orang awam yang menganggapnya demikian. Menurutku aku berbeda dengan mereka. meski aku sama halnya dengan mereka, orang awam, namun aku ingin menjadi minoritas saja. Aku tak mau menyamakan diriku dengan mereka. Bagiku, selembar kain usang itu adalah benda yang kuanggap paling berharga di dunia. Aku sungguh mencintainya, ah menghargainya lebih tepatnya. Kain itulah yang membuatku tersadar bahwa tak semua hal kecil itu tak berguna. Tidak semua yang dianggap orang hina adalah benar-benar tercela. Tak semua yang buruk itu bernilai buruk. Tinggal dari mana kita memandang dan meletakkannya. Tergantung kita mau membuatnya menjadi seperti apa.
Kain serbet kotak-kotak itu sebagai contohnya. Ia kini terpajang anggun tepat di tembok ruang tamuku. Ia terpaku dalam bingkai emas yang bercorak bunga berwarna emas pula. Bukan corak, namun ukiran. Begitu memikat. Jika disandingkan dengan kain itu, tentu saja, terlihat sekali bahwa kedua benda itu sungguh berbeda nilainya. Sengaja kuletakkan di sana. Aku ingin semua orang tahu. Aku ingin semua orang mengerti. Aku ingin semua orang memahami. Aku ingin semua orang meresapi, bahwa segala sesuatu yang terbingkai indah akan tetap buruk jika di dalamnya sendiri ada sesuatu keburukan. Meski demikian, aku tak ingin mereka lantas sepaham dengan pendapatku. Justru aku ingin menunjukkan bahwa benda yang begitu tak ada harganya dapat terpajang mempesona di dalam bingkai indah. Aku ingin mereka tahu bahwa sesuatu yang tak berharga pun masih layak mendapatkan yang terbaik, masih layak diperlakukan terhormat, dan seharusnya layak mendapatkan simpati yang besar dari kalangan yang belum begitu beradab. Entah, siapa saja yang merasa belum beradab aku pun tak tahu pasti. Mungkin Anda? Ataukah Aku sendiri?
Benar. Tak ada yang mau mengakui. Tak ada yang akan mengakui jika diri mereka belum beradab. Semua orang merasa sudah beradab, tak terkecuali diriku sendiri. Mana mau aku lantas disebut tak beradab! Kau pun juga tak mau jika aku menyangkamu tak mempunyai adab. Sudahlah, tak ingin aku menuduh. Terlebih, aku tak ingin menggurui. Aku hanya ingin membuatmu tahu apa yang tersimpan dalam otak ini, terlebih mengenai peranan kain yang kubahas tadi.
Sebenarnya dengan meletakkan pajangan aneh itu aku tak mempunyai maksud  tertentu. Aku sama sekali tak berniat untuk merugikan mata-mata yang memandang. Justru yang terpikir dalam anganku adalah keinginanku untuk sekadar membuat decak heran tamuku bergema. Aku ingin dan hanya ingin sekali melihat mata mereka bertaut heran, lalu aku pun bisa segera memulai untuk mengisahkan riwayat tentang seorang hamba. Besar inginku untuk menceritakan pengalaman ini pada mereka, cerita tentang seorang hamba yang mempunyai hutang jasa pada selembar kain kotak-kotak itu.

Monday, 18 February 2013

Pancake Resep Cinta Nangka Saus Coklat Istimewaaah

Bulan Februari, bulan penuh cinta. Itu kata para pujangga. Meskipun aku bukan pujangga, aku juga nggak mau kalah sama mereka. Ini saatnya menunjukkan bahwa aku pun punya cinta.
Sudah beberapa bulan ini aku tinggal di rumah setelah lulus dari pendidikanku di luar kota. Banyak hal yang sempat hilang, termasuk kasih sayangku yang tak pernah kutunjukkan pada adik-adikku tersayang.
Demi membuat mereka ceria, aku punya ide untuk membuat menu yang spesial buat mereka. Pancake nangka saus coklat istimewaaaah buat dua adikku yang tercinta.
Kenapa lantas aku melakukan ini untuk mereka berdua? satu alasannya. Aku menyayangi mereka berdua dan aku ingin mereka tahu bahwa masih ada aku yang bisa menyayangi mereka. yah, sejak ibu kami meninggal, tidak pernah lagi ada kejutan masakan istimewa darinya. Tapi tenang saja, adik-adikku sayang. Kakakmu yang baik hati ini pasti akan selalu ada buat kalian. 
Sehari sebelumnya aku sudah menyiapkan bahan-bahan yang aku dapat dari web resepkita yang keren abis. meskipun aku ini nggak jago masak, dengan resep yang yahud itu aku jadi kayak koki beneran. Serasa jadi chef Fara Quinn aja, tau.. hahhaha... Beneran.
Nah, waktu hari H, aku langsung praktekin cara bikinnya. Tidak menunggu lama, hasil masakanku sudah matang. Saatnya memberi kejutan buat adik-adikku tercinta.. Voila..


Rasanya benar-benar menyenangkan melihat mereka excited sama masakan aku yang simple tapi penuh cinta ini. Aku dan dua adikku benar-benar merasakan bahwa kami saling memiliki. Kukatakan juga pada mereka berdua untuk saling menyayangi sesama saudara. Itu yang akan membuat kami kuat. Meskipun ibu tiada, aku tak ingin mereka merasakan bahwa kasih sayangnya hilang juga. Ibu akan selalu ada di hati kami dengan kita yang selalu saling menyayangi dan melindungi satu sama lain.
Love you my sister and brother. always and forever.

Saturday, 16 February 2013

Dont judge people by the FB cover

emangnya kalau aplod foto itu tandanya narsis, ya? wah wah.... ada yang salah sangka nih...
hm,,, ga juga, sih. ada benernya emang. aku aja suka males liatin orang aplod foto diri sendiri. apalagi yang posenya udah maklumat. apalagi liatin anak yang baru abis daftaran jadi abg, terus kenalan sama sosmed... apalagi liatin foto tante-tante yang aduhai semlohay sok bohay.....aduh...males deh...
ups.... emang sebenernya mereka ga salah kok. siapa tahu itu mereka anggap sebagai pencarian jati diri. positifnya gini. kalau misalnya anak yang barusan abg (males pake sebutan alay, kan nggak semua anak abg alay ^^) ngaplod foto yang posenya standar, itu nunjukin dia ingin diperhatikan... dia pengen orang-orang sadar kalau dia juga satu diantara makhluk ciptaan tuhan yang maha kuasa.. sebagai anak abg, tentu aja mereka butuh yang namanya pengakuan. nah, makanya itu.. mereka jadi ikutin tahap-tahap sebagai warga sosmed yang baik. sadar nggak sadar, foto-foto pertamaku waktu masih baru kenal sosmed juga gitu kok.. alay.... (sampai sekarang juga masih sok kece, padahal aslinya enggak kece blas. -_-)
terus... kalau pas lagi ada tante-tante yang ikutan efek alay, itu berarti tante-tantenya emang telat ngeksis. secara jaman dulu sosmed masih belum se-eksis sekarang. makanya, biarin aja tante-tante itu berbahagia dengan keeksisan mereka memajang foto khas banci fotonya. biarkan sajalah.... siapa tahu mereka lagi pengen cari berondong? siapa tahu mereka bosen di rumah ngurusin dapur? kasian. makanya sosmed mereka jadiin hiburan mereka.
yang jelas, mereka itu nggak salah. toh, yang namanya sosmed itu emang dibuat untuk ajang pengenalan jati diri... kalau masih aja keganggu sama foto-foto maklumat mereka, delete aja pertemanan kamu sama dia. nggak usah susah-susah, nak... biarin orang-orang hepi...kamu juga pengen hepi, kan? kita semua punya hak untuk hepi.
nah, ini cuma sekedar kalian tahu aja, sih. kalau misalnya aku emang tiba-tiba aplod foto diri sendiri, terus pajang buat pp, pasang cover, itu cuma buat asik-asikan aja. cuma sekedar pengen menghias page sosmed aja... daripada kosong,.. yah, ibarat punya buku gambar, kalau halamannya masih tetep kosong kan nggak seru juga,
cukup sudah....tumben-tumbenan nulis beginian.. tahu deh. ini beneran iseng. inspirasi lagi numpang di wc tetangga. lagi diare katanya. makanya otak jadi mampet. (hubungannya apa, ya? -_-)
aduh.... ini beneran jadi nggak jelas.
ya sudah, kalo mau komentar, silakan komentar,. kalau mau mengece silakan ngece,... kalian punya hak, kok.. kita semua punya hak. junjung harkat dan mrtabat kita sebagai manusia!
HORAS! #loh?? -_-

bonus... foto editan iseng-iseng... kalau ada yang minat fotonya aku editin....sok atuh..hasilnya pasti mirip..mirip gambar di uang kertas 500 jaman dulu. wakakkakakkak




fotonya sok iyes banged. malesin, tapi entah kenapa tetep aja aku taroh di sini. 
udah. nggak usah komentar. baca tulisan di atas! :D


temen baikku yang satu ini emang paling josss. eksyennya imut banget... :)

foto sok iyes lagi. haduhh... kapan aku bisa jadi normal seperti wanita kebanyakan, Tuhan.. :D


gue suka gaya loe.... semrangaaaat!!!!!





keterangan gambar
place: pantai bandengan jepara
time: early in the morning.. jam sembilanan, lah. pagi, bukan??? :D
fotografer:
fotoku- maya  
fotonya maya: aku  
editor: aku dewe
ps: thanks for my best ever friend, maya jamilah yang udah mengunjungi diri ini yang sedang sumpek menggeje ria di rumah. kapan-kapan lagi, coy... lol

Keputus-asaan


Kacau. Perasaanku kacau. Seperti ada kerikil tajam menggelitiki otakku. Kerikil itu mulai menyusupinya. Menggerogoti satu-persatu sistem saraf yang ada di sana. satu-persatu kabelnya putus. Aku menghilang bersama otakku yang tak berfungsi. Aku sekarat dalam ketidak-pastian yang aku ada-adakan sendiri.
Aku merasakan hatiku membatu. Mengeras layaknya Kristal berbau. Melimbah bagai sampah. Teronggok tak terurus. Nyawanya tinggal sebiji kopi, lantas perlahan ia mati. Ia menguburkan dirinya sendiri dalam sepi.
Tubuhku hanyut dalam kesepian. Meranggas bagai hutan yang terbakar panas matahari. Musim kemarau mendatangi jiwa yang tak kusapa berjuta kali. Ia bagaikan sepotong peti mati yang terbujur dalam lemari. Tak ada yang mempedulikan kesepiannya. Ia hanya berteman dengan debu dan hiasan laba-laba mati. Ia pasrah menunggu mayat yang tak kunjung bersedia memeluknya dalam dingin kubangan tanah. Ia menyendiri menunggu belaian sang tuan.
Sakitku ini merampas sisa waktu yang berharga. Aku seharusnya tertawa, paling tidak aku harusnya tersenyum ceria. Bukan apa-apa. aku hanya merasakan semuanya sia-sia. Tuhan menciptakanku hanya untuk menikmati penyakit ini. penyakit yang tak kunjung membawaku mati. Penyakit yang hanya mengalungkan liontin penuh duri. Waktu membuatku terus mengutuki diri sendiri.
Aku ingin menghentikan waktu. Aku ingin semuanya berhenti berjalan, berhenti mengayuh, mengejar, menggapai. Aku ingin berhenti bersandiwara dalam panggung yang Dia ciptakan. Panggung yang penuh bara membakar tubuh ini dengan  beringasnya.
Mungkin ini secuil perasaan yang tak berarti untuk disimak dan direnungi. Aku hanya kepingan koin yang berjamur. Aku hanya gulungan kertas yang rapuh, menunggu teremas dan akhirnya musnah.

Wednesday, 13 February 2013

salahkah?

ingin bergelut dalam argumentasi. 
ingin mengadu tentang ketaksepahamanku. 
mengapa tercipta aturan yang membelenggu manusiamu 
mengapa kau buai mreka dalam angan yang teralir beku?? 
ini semua bukan berarti ak tak mempercYaimu 
bukan bermakna pula aku tak meninggikanmu 
hanya kau ingin aku percaya padamu yang tak tampak di mataku. 
kubisu bukan berarti bungkam 
tak mungkin lagi aku mengecam 
kau yang menjelma 
kau pula yang mencipta 
biru ini adalah deritaku 
namun.. 
kau tawar aku untuk menerima yang tak ingin kubawa. 
kau rayu aku untuk mencinta yang kutak suka. 
bukan maksud ku mengecammu. 
ku tak ingin sekalipun menjadi hina di depanmu 
memang ku tak bisa melihatmu dalam nyataku. 
tapi paling tidak tunjukkanlah padaku kebenaranmu 
berikanlah kuncimu 
kalau aku memang tertakdir untuk meyakinimu.

5 juli 2012

ratusan kilometer fajar itu


fajar itu ku lihat mataku nanar,  seharian bergelut bersama angin yang bertiup kasar. pantas. memang hanya angin buatan manusia yang mendayu menghunus tubuhku yang gemetar.detik ini aku dalam batas dimana aku tak mengenali lagi keelokan sang alam. mataku mencermati pesona langit yang begitu membakar. begitu menyilaukan terik itu. kututup sebagian gelambir biru yang menggantung pasrah dalam buaian sang pemalsu. gentar melawan pendar. kututup mata. ah...kini ku gelisah resah mendesah dalam muramnya hati yang terbelah. teringat kasih yang mengecup, teringat kasih yang mendekap. kubuka lagi mata ini. terik. cahayanya yang menelisik sembunyi2  mengiris mataku yang telanjang. ah..serba salah lagi. waktu tak kunjung berlari saja, batinku. sudah enam jam duduk meringkuk diiringi gelak tawa asing di belakangku, tangis meraung dari arah depan, kedipan mata brutal di sampingku.
brengsek. ku eja kata itu dalam hati muramku.
anjing. kulafalkan gonggongan itu dalam otakku.
harus sampai kapan aku mendapati siksaan ini?
bersabarlah..kataku pada aku yang lain. mencoba lagi menutup mata....
terdengar rauman samar...hai..bangunlah wahai otak kerdilku yang mendamba. hai... bangkitlah wahai onggokan hati usangku yang merana. hai...tegaplah wahai tubuhku yang tak bisa menahan luka dan cerca...
kuterbangun akhirnya. getar tak ada lagi menyambut pendar yang meredup. senja kini berlabuh...namun mataku tetaplah mata yang nanar...
20 juli 2012

Tuesday, 12 February 2013

MUSIK

musik. entah mengapa tiba-tiba aneh mendengar kata itu. menyanyi. kata kerja itu juga terasa aneh. alat musik. bagaimana bisa sebuah benda menjadi begitu berfungsi menghibur indra pendengaran kita. lirik. sebuah jajaran kata-kata yang bermakna. nada. yang mempersatukan itu semua.
musik. sejak kapan musik ada di dunia? sejak kapan aktifitas menyanyi beralih menjadi profesi. sejak kapan musik mendominasi perkembangan jiwa manusia? tanda tanya. tanda tanya. tanda tanya.
hampir semua orang menyukai musik. tapi ada beberapa yang anti. penyuka musik bisa berkata bahwa musik adalah hidup mereka. para anti mengatakan bahwa musik adalah kemaksiatan belaka. 
musik. musik. musik.
ini saatnya bagiku untuk mengutarakan apa yang ada dalam benakku.
musik.
sebuah alunan yang diatur sedemikian rupa dengan tujuan-tujuan tertentu di dalamnya.
musik.
sebuah pesan yang tersiar tanpa harus menalarnya lamat-lamat.
musik.
salah satu cara untuk mengubah hidup seseorang.
musik.
salah satu cara untuk mengubah dunia.
musik.
ritme beraturan yang terkadang membius pendengarnya.
musik.
pembawa gairah yang menyilaukan.
musik.
pemberi belenggu tajam bagi otak sehat karena hati telah termakan.
entahlah...musik..aku menyukainya. aku mengaguminya.
musik. pemberi kenikmatan sekaligus kesengsaraan.
musik. begitu luas dapat diartikan.

Monday, 11 February 2013

aku wanita. aku perempuan


Aku wanita. Aku perempuan.
Aku punya vagina seperti kebanyakan perempuan.
Aku punya payudara seperti wanita kebanyakan.
Aku punya rambut panjang yang rentan kerontokan,
Sama seperti wanita dan perempuan kebanyakan.

Aku wanita. Aku perempuan.
Mereka bilang tugasku ada di dapur penuh kepulan.
Mereka bilang kodratku mengurus keturunan.
Mereka bilang kewajibanku memuaskan di ranjang.
Mereka bilang aku tak wajib bersekolah panjang-panjang.
“toh, nantinya kamu jadi istri juga.” Kata mereka lantang.

Aku wanita. Aku perempuan.
Aku pun manusia sama seperti kalian, wahai pejantan.
Aku iri pada kalian yang bisa mengeluarkan keluh kesah kalian.
Apa kalian pikir aku tak punya omelan?
Apa kalian pikir aku hanya ditakdirkan untuk mengangkang?

Aku wanita. Aku perempuan.
Aku memang sering terdiam.
Bukan karena pasrah pada keadaan.
Aku hanya menunggu kesempatan untuk membungkam mulut kalian.
Ini bukan peperangan. Ini hanya tuntutan keadilan.
Memang kita beda kelamin, tapi kita sama punya otak, bukan?




Saturday, 2 February 2013

biarkan waktu bicara (last)


Seperti yang kukira. Teman baikku benar-benar mulai memikirkan masa depan. Suatu ketika ia menyuntik soreku dengan tulisan. Tulisan tentang berumah tangga dan sebagainya. Haha, aku tertawa saja meski tak luput juga tulisan itu kubaca. Aku mulai penasaran mendengar cerita. Cerita tentangnya dan perjodohannya. Kutanya dia.
“Gimana? Ada perkembangan apa? udah tanya dia keputusannya apa?”
Terdiam. Mungkin ia bingung bagaimana menjelaskan keadaan. Kuberondong lagi dengan permohonan untuk menceritakan. Sedikit memaksa sepertinya. Aku terkekeh jadinya. Berhasil. Ia mulai bercerita.
“kayaknya aku ga nyampe setahun, deh,” ucapnya singkat.
“Ha? Apa maksudnya?” kujawab dengan cepat.
“Iya. Jadi dia nunggu aku setahun ini. Abis itu kita bakalan punya hidup baru.” Lanjutnya.
“What? Serius kamu? Jangan bercanda dong.” Kataku masih tak percaya.
Benar-benar tak kusangka. Perjodohan itu membuka mataku lebar-lebar. Ternyata usia kami memang sudah sempurna untuk ke jenjang yang lebih cetar (kok jadi ikut-ikut artis sok iyes itu, sih? -_-). Kubuka lagi telingaku yang beberapa detik menjadi samar.
“Kalau aku udah mantep, keputusannya gitu.” Dia mencoba memperjelas keadaan yang dialaminya. Aku yang mendengar tiba-tiba tercengang. Lagi. Terdiam. Lagi.
“Woy, katanya pengen diceritain?” katanya sambil menepuk bahuku. Lamunanku yang samar jadi buyar.
“Iya, iya. Lagi mikir aja.” Kataku terkekeh.
Setelahnya kami terdiam beberapa saat. Tak saling bicara. Kami memikirkan hal yang terbersit dalam otak kami berdua. Aku berpikir bahwa memang dunia ini aneh. Penuh dengan cerita aneh. Penuh dengan misteri yang aneh. Penuh dengan teka-teki yang tak kalah aneh. Siapa sangka jalan cerita teman baikku sedemikian tak terbaca. Jelas saja. Tuhan memang merahasiakannya.
“Menurut kamu, aku udah pantes belum?” tanyanya padaku.
“Pantes buat? Nikah?”
“Iya, masa pantes buat jadi setan!” gerutunya.
“Hmm… lha kamunya udah siap?”
“Belum. Nah, makanya itu. Katanya, dia akan nunggu setahun. Tapi kalau lebih dari itu dan aku masih belum siap, dia lepasin.”
Dia kemudian melanjutkan ceritanya hingga akhir. Dia bilang padaku bahwa ia masih memikirkan satu hal yang mengganjal pikirannya. Ya. Mantan kekasihnya. Dia sepertinya masih belum merelakannya. Itu yang kubaca saat ia bercerita tentangnya. seperti masih ada harapan untuk bersama. Masih ada harapan untuk bisa saling berpeluk dalam cinta. Duh, insan muda. Sebegitu besarnya mengartikan cinta hingga ia sendiri yang sengsara. Jangan kau pikir aku tak sama seperti mereka. Aku pula begitu bodohnya mengartikan cinta. Seperti kamu, kamu, kamu, dan mereka.
“Oh iya. Kamu udah bilang kamu belum siap sama mas itu?” tanyaku lagi tiba-tiba. Memecah keheningan yang ada.
“Iya. Aku bilangnya masih banyak yang harus aku selesein dulu. Awalnya dia shock waktu aku bilang belum siap,”
“ Waduh, bener-bener serius tuh orang. Ati-ati kalau bikin keputusan. Emang apa lagi yang bikin kamu nggak siap?” tanyaku memberondong.
Dia menjelaskan bahwa ia dalam segi mental sudah siap. Dia justru tidak punya pikiran yang ribet dalam hal pernikahan. Yang dia bingungkan dan belum siapkan adalah sang calonnya kelak. Wajar saja, kupikir dia memang masih menunggu lelaki yang tepat. Pastinya dia sudah memikir mantap-mantap. Atau jangan-jangan belum pernah menjadi mantap? Masih menunggunya yang membuat hatinya berdebar cepat. Ah sepertinya ada yang terlewat. Maka kutanyakan cepat-cepat.
“Kamu sama mr x gimana? Udah rampung masalahnya?”
“Udah sempet aku tanyain ke dianya. Gimana kelanjutan kisah kita? Aku tanya gitu. Setelah dia menjawab, akhirnya kita udah nggak nggantung lagi. Meskipun berat. Tapi, ya sudahlah. Ada yang belum aku omongkan juga sama dia. Aku masih belum bicara tentang mas ini sama dia. Aku takut. Tahu sendiri, aku masih ingin sekali aja ketemu. Mungkin ntar pas kita ketemu, aku baru ngasih dia tahu,” ceritanya lengkap.
“Ehmm.. emang sih aku sama dia udah nggak gantung. Justru hubunganku sama mas ini yang gantung. Aku gantung dia karena aku emang belum siap. tapi, dengan keadaan yang udah pasti, secara aku udah nggak digantung lagi sama dia, mr x,  keyakinanku jadi bertambah aku akan sama siapa nantinya.” Lanjutnya masih tetap lengkap.
“Iya, sih. Paling nggak kalau kamu udah mantep, coba kamu relain sedikit-sedikit sama mr x.” kataku padanya memberi nasehat.
“Iya. aku yakin, hidup itu pilihan. gak semua hal bisa aku dapat sesuai mauku, tapi juga harus aku pertimbangkan apa yang lebih aku butuhkan. Life is hard, isn't it?
“Bener. Life is exactly hard. Life is a choice.”
Memang benar kata sahabat baikku. Hidup itu pilihan. Memang kadang kita tak tahu apa yang benar kita butuhkan. Kita sering kali terjebak dengan hal yang hanya kita inginkan. Hal demikian yang membuat kita lantas tak bisa menang. Kalah melawan ego yang bertentangan. Namun satu yang pasti, Tuhan selalu menyediakan apa yang kita butuhkan. Lalu, apa yang harus kita perbuat? Mungkin kali ini kita lihat saja, biarkan waktu yang bicara.