12 tahun silam
Sepasang anak Adam tengah terpaku pada romansa. Mereka
saling bercengkrama tentang indahnya suasana, teduhnya alam raya, dan cantiknya
bentangan lukisan sang illahi yang kian tampak memadai. Di sana, ada sebongkah
langit yang terlihat anggun dengan rona kebiruannya yang segar.
Awan kian berarak menimbulkan bentuk-bentuk yang lucu. Mata
yang menangkap bentuk itu begitu terpaut. Harus ada konsentrasi penuh untuk
sekadar mendapatkan sesosok ikan hiu yang menganga. Di sisi awan berbentuk hiu
itu menggumpal kapas tebal. Gulungan awan tebal yang terlihat empuk itu seakan
meminta untuk dinikmati kelembutannya. Lagi, langit yang tepat di atas kepala
menunjukkan sebentuk hati yang nian mempesona. Hati itu membumbung tinggi layaknya
ia tak memiliki beban sama sekali. Subhanallah, sungguh Maha besar Allah yang
menciptakan atap biru sebesar itu dengan awan yang senantiasa meneduhkan umat
manusia yang bernaung di bawahnya.
Kalau di atas langit menyajikan pemandangan yang sangat mengesankan,
tak berbeda jauh di daratan hijau bumi. Bentangan karpet hijau berserabut
mengguncang batin untuk bergelung di sana. Di sana tampak beberapa ekor kelinci
lucu yang tengah melompat riang. Kelinci-kelinci itu terlihat tengah
mengumpulkan sesuatu dalam polahnya yang tak terdefinisi. Ada keluguan, ada
pula kecongkakan dalam gaya mereka. Lompatannya yang mungil mengacu pada elemen
yang membuat suasana hati menjadi terkikik. Tak bisalah manusia sanggup
menirukannya. Begitu alami, khas sebentuk hewani.
Di atas bentangan
rumput menghanyutkan dan di bawah atap meneduhkan, terduduk dengan beralas daun-daun kering dua manusia
yang berlainan jenis. Mereka saling menautkan jemari, berharap dapat saling
melengkapi.
Beberapa menit sebelum mereka terduduk dalam nuansa
romantis, sang istri telah menyiapkan teremos berukuran sedang. Di antara
keheningan yang tercipta, sang istri mulai bergerak perlahan. Tak ada maksud
untuk menjauhi belahan jiwanya, ia hanya akan lebih memanjakannya. Diraihnya
teremos yang sudah ada di hadapannya itu lalu ia angkat cangkir kopi keramik
bercorak polkadot. Ia membuka perlahan tutup teremos itu. suaminya hanya
menatapnya. Tatapan itu kian membara. Cinta yang terbaring dalam hatinya mulai
bermain-main, melompat-lompat, dan berteriak kegirangan. Betapa bahagia yang ia
rasakan dengan hanya mengamat-amati istrinya saat ia menuangkan sesuatu dari
dalam teremos.
Aroma hangatnya kopi panas mulai merebak kala sang wanita
menuangkan isi termos ke dalam cangkir. Suara gemericiknya menggugah. Di
telannya ludah perlahan, sang suami kini mulai mendekati istrinya yang
bercengkrama dengan kopi dan cangkir yang beradu. Ada kecemburuan dalam hati
sang suami. Ia tak ingin istrinya lebih memfokuskan pikirannya pada kopi,
teremos, dan cangkir yang tengah berada dalam genggamannya. Ia segera merampas
cangkir yang sudah terisi setengah itu dengan lembut.
Dalam suasana hangat berteman kopi hangat, terdengar
gemericik lain yang senantiasa menunjang keramahan alam yang mereka tempati.
Sungai berwarna jernih menyempurnakan dengan penuh kebahagiaan. Sungai itu
tepat berada dalam jangkauan mata berbinar mereka berdua. Mereka pun tak
lepas-lepasnya mengamati ke arah aliran air tenang yang terbendung dalam
kungkungan lubang memanjang.
Tak hanya sungai sejuk itu yang mengundang perhatian. Di
kejauhan, terdapat juga bukit-bukit kecil yang berpencar dalam keasimetrisan.
Ada hamparan rumput hijau kekuningan di sana. Ada juga pohon karet yang
menjulang, mengitari perbukitan itu. Pohon-pohon itu berjajar rapi menantang surya.
Terlihat tak merasa canggung sedikitpun pada Tuhan yang maha dahsyat yang
menciptakannya. Mereka berbaris begitu apik. Tercipta laksana payung yang
menjadi peluruh sengatan matahari. itu.
Dalam kenikmatan yang telah mereka raih, sekilat gelombang
suara mencicit.
“Bapak, Bapak, Bila mau main air.”
Meski rengekan gadis kecil itu kian bertambah kapasitasnya,
hal itu tak mengganggu sedikit pun cita mereka berdua. Mereka berdua bangkit
dari duduk mereka. Sang suami sudah dalam posisi lurus terlebih dahulu. Lantas,
ia pun mengulurkan tangannya pada sang istri, meminta disambut. Ia pun menarik
istrinya untuk dapat menegakkan kakinya. Segera saja mereka berdua mendekati
anak kecil yang berceloteh manja..
“Bila mau main, ya? Sini, biar Bapak yang pegangin. Hati-hati,
Nak. Itu, di sebelah sana saja yang dangkal.”
Lelaki itu membimbing si anak gadis menuruni sungai yang
terlihat dangkal. Usai merasakan keberhasilannya menaklukkan rintangan tanah
yang terjal di sekitar danau, si anak kian bersemangat. Celotehnya menggugah
sang Ibu untuk segera bergabung dengan kemeriahan itu.
“Bu’, ayo sini. Bila mau ditemenin Ibu’.” Tangan si gadis
cilik melambai, memohon kesediaan emaknya untuk menemani bermain.
“Owalah, Nak. Kamu mbok ya main sendiri saja. Masa Ibu’ mau
nyebur seperti kamu?” godanya pada balita hasil buah cintanya dengan sang
suami.
Atmosfir yang demikian telah dirasakan keluarga itu berulang
kali. Menyenangkan, menggembirakan. Benar. Mereka bertiga selalu menyempatkan
sedikit waktu untuk mengunjungi desa terdekat untuk berlibur. Meskipun sudah 2
tahun merantau ke kota yang sangat jauh
dari tempat lahir pasangan suami istri itu, mereka tak pernah bisa melupakan
suasana yang meredakan tiap sendi-sendi kehidupan yang pongah dan kejam.
Namun tak seperti biasa, tempat rindang yang membentangkan
sungai jernih, sungai yang biasa digunakan untuk anak mereka bermain, terlihat
dan terdengar mengalir dengan sangat deras. Entah karena apa. Mungkin saja
sungai itu dimasuki paksa oleh air bah. Atau mungkin juga sungai itu memang
masih ingin berlarian. Tak ada satupun dari mereka berdua yang tahu. Apalagi
anak balita mereka. Anak kecil itu masih tetap berkreasi menciprat-ciprat air
pada ibu bapaknya. Tak ada yang mengira dan mereka apa yang terjadi dalam
alirannya yang tak biasa. Yang pasti juga, mereka tidak merasakan adanya bahaya
yang mengancam nyawa putri semata wayang mereka.
Jauh terdengar di ujung sana. Suara gedebug kaki yang saling
menanjak dengan ritme tak beraturan membuat suasana sedikit keruh. Suara hiruk
pikuk itu semakin dekat tercium baunya. Jika diamat-amati, banyak sekali
kaki-kaki yang saling berkejaran itu. Barangkali dua puluhan pasang kaki tengah
memburu mangsa berkaki empat yang telanjang.
“MALING…MALING…”
Teriakan bertubi puluhan orang itu terdengar semakin
lantang. Ada yang tak sengaja bersamaan, ada pula yang memang menyengaja untuk
bergantian. Semua riuh dalam keramaian nan bebal untuk diterjemahkan. Kedua
anak manusia yang tengah bersantai ria itu terpaksa berlari mendekati karena
rasa penasaran mereka yang menancap dalam. Begitu sampai di pinggiran tepi
jalan, barulah mereka sadar ketika keramaian itu pergi menghilang. Boleh jadi
mereka berdiri di sana sudah sepuluh menit berlalu. Mereka teringat balita yang
tengah bermain di aliran sungai deras, yang ditinggalkan sendiri oleh mereka
berdua.
“Sayang!” sang istri tolah-toleh tergugup.
“Nabila! Nabila mana, Sayang?” kegugupan itu membuat desiran
hati suaminya mengganas.
Mereka berlari pontang-panting. Kaki-kaki itu mengayun tanpa
batas kecepatan yang jelas. Sesaat begitu cepat, namun ketika kaki itu
diharuskan untuk menghindari batu yang berserakan, langkahnya melambat. Jalan
yang harus mereka lalui terasa sangat jauh. Akhirnya mereka mulai menyusuri
aliran sungai yang berubah semakin dahsyat.
Gemuruh riak sungai terkalahkan oleh gemuruh dalam hati sang
istri. Air mata segera membanjir di pelupuk mata keturunan hawa itu.
Berkali-kali ia harus sesenggukan menahan air yang memaksa untuk keluar dari
matanya. Sesekalu diusapkan punggung tangannya ke pipi mulus yang ternoda
leleran air mata.
Mereka berdua masih berlari kencang. Dalam hati, sang suami
terbeban oleh sebuah penyesalan. Bisa-bisanya ia meninggalkan putri semata
wayangnya itu demi mengejar keingin-tahuannya pada suara yang tiba-tiba
terpekik. Di saat mereka tengah berlari dengan tenaga yang masih tersisa, sang
istri seketika tersandung batu-batu liar. Baginya, batu-batu itu seakan
menyalahkan kelalaiannya pada sang buah hati.
“Sayang.. Nabila..hiks,” sedu sedan sang istri pun semakin
menjadi, meraung kesetanan karena kehilangan sebagian nyawanya.
“Bagaimana ini, Dek? Sudah berjam-jam kita mencari Nabila,
tapi dia tak kunjung kita temukan. Mari, tak usah menangis lagi. Kita segera
berangkat ke Balai Desa untuk memberitahu Kepala Desa tentang ini.”
Sang suami mencoba bersikap tegar walau sebenarnya hatinya
kini terbelah oleh kapak besar yang tetap tak berhenti mencincangnya
habis-habisan. Mereka berdua pun akhirnya pergi dalam keadaan limbung. Tergorok
oleh ratusan pisau tak bertudung.
Sementara itu di belahan kehidupan yang lain, yang memakan
jarak tak begitu jauh lagi dari tempat mereka sempat berhenti.
“Edan. Aku sudah berlari sepanjang itu,”
Hosh hosh. Suara tarikan napasnya membara.
“Untung ada tempat ini. Mereka pasti tak akan tahu kalau aku
di sini.” Masih dengan napas yang berat, ia kian menggumam.
Lelaki berperawakan besar itu tengah berjongkok di lubang
besar yang dulu biasa di lempari sampah. Blumbang, orang jawa menyebutnya
demikian. Kini, nasib blumbang yang satu itu tak sama dengan blumbang-blumbang
yang lain. Kering. Tak ada seorangpun warga desa yang membuang sampah mereka di
sana. tak ada sebab lain kecuali karena
isu yang tersebar. Benar bahwa mereka masih sedikit percaya adanya
tahayul dan sebagainya. Warga Desa Cagak Watu banyak yang terpengaruh oleh
kabar yang tak jelas dari mana datangnya. Dari mulut ke mulut mereka akhirnya
menyangka bahwa blumbang itu membawa
kesialan bagi siapa saja yang membuang sesuatu di kubang besar itu. Demikianlah
mereka tak pernah lagi mendekati tempat tersebut untuk sekadar membuang sisa
hajat mereka.
“Ah, apa itu?” sontaknya kaget.
Dia melihat seonggok tubuh kecil mengejang pada bebatuan
besar di tengah sungai. Dihampirinya onggokan yang pucat tak bergerak itu.
Setelah sampai di tengah sungai yang masih mengalirkan derasnya air, dia segera
menggotong tubuh itu ke tepian. Seperti sudah tak ada nyawa, wajah gadis kecil
itu begitu pucat. Bibirnya kebiruan menahan dingin. Kebekuan tersimpan dalam
pipihannya. Mata bulatnya kian tertutup oleh pelupuk yang mengerut. Tak ada
lagi yang bisa diharapkan. Mungkin ia sudah dikira mati jika gerakan cepat pada
dadanya tidak tergambar jelas. Satu-satunya hal yang membuktikan bahwa gadis
itu masih bernapas. Ia masih hidup. Nyawa masih tertata rapi dalam raganya.
Berbekal ilmu kesehatan yang diperolehnya dari televisi
colongan yang beberapa kali ia sempat nyalakan di rumahnya,—dia cepat-cepat
menjual TV itu agar tak menarik perhatian warga sekitar. Ia takut kalau-kalau
ada orang yang menganggap bahwa orang semelarat dia bisa mempunyai televisi
besar berharga jutaan—dia melakukan hal yang sama pada sosok mungil yang kini
ada di pangkuannya. Ia memberikannya napas buatan, mengecek detak jantungnya,
kemudian menepuk-nepuk punggung gadis mungil itu dengan tenaga yang sama sekali
tidak besar.
Uhuk uhuk.
Suara batuk yang melegakan itu muncul dibarengi dengan
kelopak mata yang berusaha untuk tak mengatup lagi. Air tumpah dari mulutnya.
Dengan lemasnya ia menggeliat. Sesaat setelah itu ia pun mengerjabkan matanya
dengan usaha yang begitu keras. Ia tersadar dalam keadaan pucat pasi. Tak bisa
sekedar mengangkat tubuhnya yang berkali-kali terantuk batu kali.
Melihatnya tersadar, lelaki itu lalu menggotongnya ke tempat
di mana ia menghabiskan waktu untuk menyembunyikan dirinya, di rumah
persembunyiannya. Dalam perjalanannya menuju ke sana, ia setengah berlari dan
sesekali menoleh ke belakang. Ia takut bila tiba-tiba ada yang menyergapnya
dari arah yang tak diketahuinya. Perjalanan yang biasanya dirasakan begitu
singkat, kini ia rasakan sangat lama. Namun tak mengapa. Ia sama sekali tak
merasakan kelelahan fisik dengan tubuh liatnya itu. yang terjadi hanyalah
kelelahan otak yang teramat kejam mencengkeram otaknya yang tumpul. Ia sama
sekali tak merasakan pegal pada punggungnya yang mengangkat beban seberat 10
kg. nah, begitu ia sampai di depan rumahnya, ia segera membaringkan tubuh kecil
itu di atas lincaknya.
Usai membaringkan tubuh terkulai itu, ia kian linglung. Di
sandarkan tubuh tambunnya itu pada pinggiran tembok bata tak berplamir. Ia
terduduk di sisa lincak yang tak terpakai oleh tubuh kecil yang dibaringkannya.
Ia pun mengipas-ngipas wajahnya dengan tangannya yang berurat kasar. Dala
keadaan yang sadar, ia pun berbicara pada diri sendiri.
“Ah, aku harus kembali ke desaku sendiri. Di desa Cagakwatu
ini hanya kesialan yang kudapat. Hampir saja aku mati. Alah. Ada anak ini juga!
Hmm, lumayan lah. Siapa tahu dia berguna. Akan kumanfaatkan dia untuk mencari
uang saja. Sudah saatnya bagiku untuk bersenang-senang tanpa susah payah mengumpulkan
uang lagi.”
Mata berkeriput itu
lalu terpaku pada gadis yang tengah terbaring. Gadis itu masih terlihat lemah,
tapi napasnya sudah mulai teratur. Melihatnya seperti kedinginan, pria yang
aslinya memang berwatak kemanusiaan itu kemudian menyelimuti gadis kecil itu
dengan kain sarung yang hampir sebulan tak pernah dicuci. Pria itu pun
tenggelam dalam lamunnya, sejurus ia tertidur dengan ocehan yang tak menentu.
Beberapa
hari telah berlalu. Kini anak perempuan itu sudah sehat kembali setelah sempat
tak sadarkan diri.
Tekadnya membulat. Meski pagi ini belum ada makanan singgah
di perutnya, dengan cekatan ia membopong anak perempuan itu untuk kembali ke
desa tempat ia dulu dilahirkan. Memang sudah tak ada siapa-siapa di tanah
kelahirannya. Tapi, paling tidak ia bisa menempati rumah reot warisan
keluarganya yang mati terkubur sampah di sana. Ia harus segera kembali ke desa
Sukmodirjo.
Ia tak mau menunggu lagi kapan saat yang tepat. Baginya hari
itu adalah kesempatan terakhir baginya untuk menghindar dari amukan massa. Ia
sempat curiga karena beberapa hari yang ia lalui setelah pengejaran itu, tak
satupun warga mau memandang ke gubuknya. Ia berkata pada diri sendiri bahwa
polahnya benar-benar telah tercium. Terlebih, ada anak kecil itu. Ia tak ingin
semakin terpuruk dalam mata-mata yang siap menusuk.
***
Terpaan silau pada sembabnya mata terlalu menyakitkan. Bau
sengau kian memancar dan menggelungkan dirinya untuk dapat masuk lewat lubang
hidung. Mereka saling berebut untuk bisa mencubit saluran yang terbentang di
sana. Mereka nan berjubel mesra untuk mendapatkan kehangatan di dalam paru-paru
insan dunia. Bau anyir, amis, sengak, dan bau-bau lainnya menohok sisa-sisa
oksigen di rongga dada. Terbaring gadis remaja yang tampak lusuh dengan bajunya
yang kumuh. Gadis itu tampak mengerjabkan sedikit demi sedikit kelopak matanya.
Bengkak membingkai dan menggantung di kantung mata. Dalam tubuhnya hanya
bersemayam rasa sakit. Tak satupun urat nadi yang tak kempis. Hanya satu yang
masih terlihat sangat indah pada gadis itu walau kini seluruh badannya hanya
dihiasi tulang dan kulit. Bola mata itu penuh jika terbuka. Bulatan hitam
sempurna yang disandingkan putih jernih di sisi-sisinya. Mungkin sedikit
deretan merah tak beraturan membuatnya agak layu.
Selama bertahun-tahun Nabila diperlakukan kasar oleh lelaki
bernama Darso. Darso memang bukan keturunan orang alim, ia pun tak mengenal
adanya dosa. Ia hanya tahu kalau ia akan sumringah bila uang berdatangan
membanjiri tubuhnya yang apek. Ia pun hanya tahu bahwa ia akan gelisah jika tak
ada segenggam botol arak memenuhi jemarinya. Ia merasa sedikit hampa dan kosong
bila tenggakan terakhir yang bisa dilakukannya hanya berlangsung sepersekian
detik. Dalam detik itu pula ia akan kembali membantai apa saja yang ada dalam
jangkauan beringas kepalannya. Di situlah, Nabila yang tak mengerti apa-apa,
merajut benang kehidupannya. Sakit, perih, letih.
Namun bagi Nabila, Darso sudah lebih
dari cukup untuk mengusir gemericik air yang membuatnya takut. Darso pula lah
yang memberikannya pengetahuan yang berharga bagi onggokan otaknya yang
termakan sisa-sisa peradaban yang kalut. Baginya, Darsolah yang selama ini
membuatnya tak sendiri menghitung hari. Hanya Darso tambatan jiwanya yang layu
dalam keangkuhan dunia yang diajarkan oleh tua bangka berperut tambun itu.
Bahwa orang kaya tak manusiawi.
Bahwa hanya kalangan mereka yang mempunyai kebaikan hati. Bahwa tak ada seorang
pun yang pantas dipercaya. Satu bahwa lagi. Hanya Darso yang bisa membuatnya
hidup di dunia ini.
Kehidupan keras yang dialami Nabila
begitu nista. Tak segan Darso menguburnya dalam tong besar jika ia tak mau
bekerja. Tak berhati pula jika Darso selalu mencuci otaknya dengan berbagai
cara. Bahwa yang buruk itu baik, dan yang baik itu buruk. Ah, bagi makhluk yang
bernama manusia, apalagi yang beradab, pasti melihat Nabila dan dunia ciptaan
Darso merupakan satu kesatuan yang carut. Betapa bumi ini telah terparut. Lebur
tertabur dalam jurang yang terpekur. Hilang dalam blingsatan malam yang
mengambang.