Thursday 21 February 2013

SKK 2




12 tahun silam
Sepasang anak Adam tengah terpaku pada romansa. Mereka saling bercengkrama tentang indahnya suasana, teduhnya alam raya, dan cantiknya bentangan lukisan sang illahi yang kian tampak memadai. Di sana, ada sebongkah langit yang terlihat anggun dengan rona kebiruannya yang segar.
Awan kian berarak menimbulkan bentuk-bentuk yang lucu. Mata yang menangkap bentuk itu begitu terpaut. Harus ada konsentrasi penuh untuk sekadar mendapatkan sesosok ikan hiu yang menganga. Di sisi awan berbentuk hiu itu menggumpal kapas tebal. Gulungan awan tebal yang terlihat empuk itu seakan meminta untuk dinikmati kelembutannya. Lagi, langit yang tepat di atas kepala menunjukkan sebentuk hati yang nian mempesona. Hati itu membumbung tinggi layaknya ia tak memiliki beban sama sekali. Subhanallah, sungguh Maha besar Allah yang menciptakan atap biru sebesar itu dengan awan yang senantiasa meneduhkan umat manusia yang bernaung di bawahnya.
Kalau di atas langit menyajikan pemandangan yang sangat mengesankan, tak berbeda jauh di daratan hijau bumi. Bentangan karpet hijau berserabut mengguncang batin untuk bergelung di sana. Di sana tampak beberapa ekor kelinci lucu yang tengah melompat riang. Kelinci-kelinci itu terlihat tengah mengumpulkan sesuatu dalam polahnya yang tak terdefinisi. Ada keluguan, ada pula kecongkakan dalam gaya mereka. Lompatannya yang mungil mengacu pada elemen yang membuat suasana hati menjadi terkikik. Tak bisalah manusia sanggup menirukannya. Begitu alami, khas sebentuk hewani.
 Di atas bentangan rumput menghanyutkan dan di bawah atap meneduhkan, terduduk  dengan beralas daun-daun kering dua manusia yang berlainan jenis. Mereka saling menautkan jemari, berharap dapat saling melengkapi.
Beberapa menit sebelum mereka terduduk dalam nuansa romantis, sang istri telah menyiapkan teremos berukuran sedang. Di antara keheningan yang tercipta, sang istri mulai bergerak perlahan. Tak ada maksud untuk menjauhi belahan jiwanya, ia hanya akan lebih memanjakannya. Diraihnya teremos yang sudah ada di hadapannya itu lalu ia angkat cangkir kopi keramik bercorak polkadot. Ia membuka perlahan tutup teremos itu. suaminya hanya menatapnya. Tatapan itu kian membara. Cinta yang terbaring dalam hatinya mulai bermain-main, melompat-lompat, dan berteriak kegirangan. Betapa bahagia yang ia rasakan dengan hanya mengamat-amati istrinya saat ia menuangkan sesuatu dari dalam teremos.
Aroma hangatnya kopi panas mulai merebak kala sang wanita menuangkan isi termos ke dalam cangkir. Suara gemericiknya menggugah. Di telannya ludah perlahan, sang suami kini mulai mendekati istrinya yang bercengkrama dengan kopi dan cangkir yang beradu. Ada kecemburuan dalam hati sang suami. Ia tak ingin istrinya lebih memfokuskan pikirannya pada kopi, teremos, dan cangkir yang tengah berada dalam genggamannya. Ia segera merampas cangkir yang sudah terisi setengah itu dengan lembut.
Dalam suasana hangat berteman kopi hangat, terdengar gemericik lain yang senantiasa menunjang keramahan alam yang mereka tempati. Sungai berwarna jernih menyempurnakan dengan penuh kebahagiaan. Sungai itu tepat berada dalam jangkauan mata berbinar mereka berdua. Mereka pun tak lepas-lepasnya mengamati ke arah aliran air tenang yang terbendung dalam kungkungan lubang memanjang.
Tak hanya sungai sejuk itu yang mengundang perhatian. Di kejauhan, terdapat juga bukit-bukit kecil yang berpencar dalam keasimetrisan. Ada hamparan rumput hijau kekuningan di sana. Ada juga pohon karet yang menjulang, mengitari perbukitan itu. Pohon-pohon itu berjajar rapi menantang surya. Terlihat tak merasa canggung sedikitpun pada Tuhan yang maha dahsyat yang menciptakannya. Mereka berbaris begitu apik. Tercipta laksana payung yang menjadi peluruh sengatan matahari. itu.
Dalam kenikmatan yang telah mereka raih, sekilat gelombang suara mencicit.
“Bapak, Bapak, Bila mau main air.”
Meski rengekan gadis kecil itu kian bertambah kapasitasnya, hal itu tak mengganggu sedikit pun cita mereka berdua. Mereka berdua bangkit dari duduk mereka. Sang suami sudah dalam posisi lurus terlebih dahulu. Lantas, ia pun mengulurkan tangannya pada sang istri, meminta disambut. Ia pun menarik istrinya untuk dapat menegakkan kakinya. Segera saja mereka berdua mendekati anak kecil yang berceloteh manja..
“Bila mau main, ya? Sini, biar Bapak yang pegangin. Hati-hati, Nak. Itu, di sebelah sana saja yang dangkal.”
Lelaki itu membimbing si anak gadis menuruni sungai yang terlihat dangkal. Usai merasakan keberhasilannya menaklukkan rintangan tanah yang terjal di sekitar danau, si anak kian bersemangat. Celotehnya menggugah sang Ibu untuk segera bergabung dengan kemeriahan itu.
“Bu’, ayo sini. Bila mau ditemenin Ibu’.” Tangan si gadis cilik melambai, memohon kesediaan emaknya untuk menemani bermain.
“Owalah, Nak. Kamu mbok ya main sendiri saja. Masa Ibu’ mau nyebur seperti kamu?” godanya pada balita hasil buah cintanya dengan sang suami.
Atmosfir yang demikian telah dirasakan keluarga itu berulang kali. Menyenangkan, menggembirakan. Benar. Mereka bertiga selalu menyempatkan sedikit waktu untuk mengunjungi desa terdekat untuk berlibur. Meskipun sudah 2 tahun merantau ke kota yang sangat  jauh dari tempat lahir pasangan suami istri itu, mereka tak pernah bisa melupakan suasana yang meredakan tiap sendi-sendi kehidupan yang pongah dan kejam.
Namun tak seperti biasa, tempat rindang yang membentangkan sungai jernih, sungai yang biasa digunakan untuk anak mereka bermain, terlihat dan terdengar mengalir dengan sangat deras. Entah karena apa. Mungkin saja sungai itu dimasuki paksa oleh air bah. Atau mungkin juga sungai itu memang masih ingin berlarian. Tak ada satupun dari mereka berdua yang tahu. Apalagi anak balita mereka. Anak kecil itu masih tetap berkreasi menciprat-ciprat air pada ibu bapaknya. Tak ada yang mengira dan mereka apa yang terjadi dalam alirannya yang tak biasa. Yang pasti juga, mereka tidak merasakan adanya bahaya yang mengancam nyawa putri semata wayang mereka.
Jauh terdengar di ujung sana. Suara gedebug kaki yang saling menanjak dengan ritme tak beraturan membuat suasana sedikit keruh. Suara hiruk pikuk itu semakin dekat tercium baunya. Jika diamat-amati, banyak sekali kaki-kaki yang saling berkejaran itu. Barangkali dua puluhan pasang kaki tengah memburu mangsa berkaki empat yang telanjang.
“MALING…MALING…”
Teriakan bertubi puluhan orang itu terdengar semakin lantang. Ada yang tak sengaja bersamaan, ada pula yang memang menyengaja untuk bergantian. Semua riuh dalam keramaian nan bebal untuk diterjemahkan. Kedua anak manusia yang tengah bersantai ria itu terpaksa berlari mendekati karena rasa penasaran mereka yang menancap dalam. Begitu sampai di pinggiran tepi jalan, barulah mereka sadar ketika keramaian itu pergi menghilang. Boleh jadi mereka berdiri di sana sudah sepuluh menit berlalu. Mereka teringat balita yang tengah bermain di aliran sungai deras, yang ditinggalkan sendiri oleh mereka berdua.
“Sayang!” sang istri tolah-toleh tergugup.
“Nabila! Nabila mana, Sayang?” kegugupan itu membuat desiran hati suaminya mengganas.
Mereka berlari pontang-panting. Kaki-kaki itu mengayun tanpa batas kecepatan yang jelas. Sesaat begitu cepat, namun ketika kaki itu diharuskan untuk menghindari batu yang berserakan, langkahnya melambat. Jalan yang harus mereka lalui terasa sangat jauh. Akhirnya mereka mulai menyusuri aliran sungai yang berubah semakin dahsyat.
Gemuruh riak sungai terkalahkan oleh gemuruh dalam hati sang istri. Air mata segera membanjir di pelupuk mata keturunan hawa itu. Berkali-kali ia harus sesenggukan menahan air yang memaksa untuk keluar dari matanya. Sesekalu diusapkan punggung tangannya ke pipi mulus yang ternoda leleran air mata.
Mereka berdua masih berlari kencang. Dalam hati, sang suami terbeban oleh sebuah penyesalan. Bisa-bisanya ia meninggalkan putri semata wayangnya itu demi mengejar keingin-tahuannya pada suara yang tiba-tiba terpekik. Di saat mereka tengah berlari dengan tenaga yang masih tersisa, sang istri seketika tersandung batu-batu liar. Baginya, batu-batu itu seakan menyalahkan kelalaiannya pada sang buah hati.
“Sayang.. Nabila..hiks,” sedu sedan sang istri pun semakin menjadi, meraung kesetanan karena kehilangan sebagian nyawanya.
“Bagaimana ini, Dek? Sudah berjam-jam kita mencari Nabila, tapi dia tak kunjung kita temukan. Mari, tak usah menangis lagi. Kita segera berangkat ke Balai Desa untuk memberitahu Kepala Desa tentang ini.”
Sang suami mencoba bersikap tegar walau sebenarnya hatinya kini terbelah oleh kapak besar yang tetap tak berhenti mencincangnya habis-habisan. Mereka berdua pun akhirnya pergi dalam keadaan limbung. Tergorok oleh ratusan pisau tak bertudung.


Sementara itu di belahan kehidupan yang lain, yang memakan jarak tak begitu jauh lagi dari tempat mereka sempat berhenti.
“Edan. Aku sudah berlari sepanjang itu,”
Hosh hosh. Suara tarikan napasnya membara.
“Untung ada tempat ini. Mereka pasti tak akan tahu kalau aku di sini.” Masih dengan napas yang berat, ia kian menggumam.
Lelaki berperawakan besar itu tengah berjongkok di lubang besar yang dulu biasa di lempari sampah. Blumbang, orang jawa menyebutnya demikian. Kini, nasib blumbang yang satu itu tak sama dengan blumbang-blumbang yang lain. Kering. Tak ada seorangpun warga desa yang membuang sampah mereka di sana. tak ada sebab lain kecuali karena  isu yang tersebar. Benar bahwa mereka masih sedikit percaya adanya tahayul dan sebagainya. Warga Desa Cagak Watu banyak yang terpengaruh oleh kabar yang tak jelas dari mana datangnya. Dari mulut ke mulut mereka akhirnya menyangka bahwa blumbang itu membawa kesialan bagi siapa saja yang membuang sesuatu di kubang besar itu. Demikianlah mereka tak pernah lagi mendekati tempat tersebut untuk sekadar membuang sisa hajat mereka.
            “Ah, apa itu?” sontaknya kaget.
Dia melihat seonggok tubuh kecil mengejang pada bebatuan besar di tengah sungai. Dihampirinya onggokan yang pucat tak bergerak itu. Setelah sampai di tengah sungai yang masih mengalirkan derasnya air, dia segera menggotong tubuh itu ke tepian. Seperti sudah tak ada nyawa, wajah gadis kecil itu begitu pucat. Bibirnya kebiruan menahan dingin. Kebekuan tersimpan dalam pipihannya. Mata bulatnya kian tertutup oleh pelupuk yang mengerut. Tak ada lagi yang bisa diharapkan. Mungkin ia sudah dikira mati jika gerakan cepat pada dadanya tidak tergambar jelas. Satu-satunya hal yang membuktikan bahwa gadis itu masih bernapas. Ia masih hidup. Nyawa masih tertata rapi dalam raganya.
Berbekal ilmu kesehatan yang diperolehnya dari televisi colongan yang beberapa kali ia sempat nyalakan di rumahnya,—dia cepat-cepat menjual TV itu agar tak menarik perhatian warga sekitar. Ia takut kalau-kalau ada orang yang menganggap bahwa orang semelarat dia bisa mempunyai televisi besar berharga jutaan—dia melakukan hal yang sama pada sosok mungil yang kini ada di pangkuannya. Ia memberikannya napas buatan, mengecek detak jantungnya, kemudian menepuk-nepuk punggung gadis mungil itu dengan tenaga yang sama sekali tidak besar.
Uhuk uhuk.
Suara batuk yang melegakan itu muncul dibarengi dengan kelopak mata yang berusaha untuk tak mengatup lagi. Air tumpah dari mulutnya. Dengan lemasnya ia menggeliat. Sesaat setelah itu ia pun mengerjabkan matanya dengan usaha yang begitu keras. Ia tersadar dalam keadaan pucat pasi. Tak bisa sekedar mengangkat tubuhnya yang berkali-kali terantuk batu kali.
Melihatnya tersadar, lelaki itu lalu menggotongnya ke tempat di mana ia menghabiskan waktu untuk menyembunyikan dirinya, di rumah persembunyiannya. Dalam perjalanannya menuju ke sana, ia setengah berlari dan sesekali menoleh ke belakang. Ia takut bila tiba-tiba ada yang menyergapnya dari arah yang tak diketahuinya. Perjalanan yang biasanya dirasakan begitu singkat, kini ia rasakan sangat lama. Namun tak mengapa. Ia sama sekali tak merasakan kelelahan fisik dengan tubuh liatnya itu. yang terjadi hanyalah kelelahan otak yang teramat kejam mencengkeram otaknya yang tumpul. Ia sama sekali tak merasakan pegal pada punggungnya yang mengangkat beban seberat 10 kg. nah, begitu ia sampai di depan rumahnya, ia segera membaringkan tubuh kecil itu di atas lincaknya.
Usai membaringkan tubuh terkulai itu, ia kian linglung. Di sandarkan tubuh tambunnya itu pada pinggiran tembok bata tak berplamir. Ia terduduk di sisa lincak yang tak terpakai oleh tubuh kecil yang dibaringkannya. Ia pun mengipas-ngipas wajahnya dengan tangannya yang berurat kasar. Dala keadaan yang sadar, ia pun berbicara pada diri sendiri.
“Ah, aku harus kembali ke desaku sendiri. Di desa Cagakwatu ini hanya kesialan yang kudapat. Hampir saja aku mati. Alah. Ada anak ini juga! Hmm, lumayan lah. Siapa tahu dia berguna. Akan kumanfaatkan dia untuk mencari uang saja. Sudah saatnya bagiku untuk bersenang-senang tanpa susah payah mengumpulkan uang lagi.”
 Mata berkeriput itu lalu terpaku pada gadis yang tengah terbaring. Gadis itu masih terlihat lemah, tapi napasnya sudah mulai teratur. Melihatnya seperti kedinginan, pria yang aslinya memang berwatak kemanusiaan itu kemudian menyelimuti gadis kecil itu dengan kain sarung yang hampir sebulan tak pernah dicuci. Pria itu pun tenggelam dalam lamunnya, sejurus ia tertidur dengan ocehan yang tak menentu.

Beberapa hari telah berlalu. Kini anak perempuan itu sudah sehat kembali setelah sempat tak sadarkan diri.
Tekadnya membulat. Meski pagi ini belum ada makanan singgah di perutnya, dengan cekatan ia membopong anak perempuan itu untuk kembali ke desa tempat ia dulu dilahirkan. Memang sudah tak ada siapa-siapa di tanah kelahirannya. Tapi, paling tidak ia bisa menempati rumah reot warisan keluarganya yang mati terkubur sampah di sana. Ia harus segera kembali ke desa Sukmodirjo.
Ia tak mau menunggu lagi kapan saat yang tepat. Baginya hari itu adalah kesempatan terakhir baginya untuk menghindar dari amukan massa. Ia sempat curiga karena beberapa hari yang ia lalui setelah pengejaran itu, tak satupun warga mau memandang ke gubuknya. Ia berkata pada diri sendiri bahwa polahnya benar-benar telah tercium. Terlebih, ada anak kecil itu. Ia tak ingin semakin terpuruk dalam mata-mata yang siap menusuk.

***

Terpaan silau pada sembabnya mata terlalu menyakitkan. Bau sengau kian memancar dan menggelungkan dirinya untuk dapat masuk lewat lubang hidung. Mereka saling berebut untuk bisa mencubit saluran yang terbentang di sana. Mereka nan berjubel mesra untuk mendapatkan kehangatan di dalam paru-paru insan dunia. Bau anyir, amis, sengak, dan bau-bau lainnya menohok sisa-sisa oksigen di rongga dada. Terbaring gadis remaja yang tampak lusuh dengan bajunya yang kumuh. Gadis itu tampak mengerjabkan sedikit demi sedikit kelopak matanya. Bengkak membingkai dan menggantung di kantung mata. Dalam tubuhnya hanya bersemayam rasa sakit. Tak satupun urat nadi yang tak kempis. Hanya satu yang masih terlihat sangat indah pada gadis itu walau kini seluruh badannya hanya dihiasi tulang dan kulit. Bola mata itu penuh jika terbuka. Bulatan hitam sempurna yang disandingkan putih jernih di sisi-sisinya. Mungkin sedikit deretan merah tak beraturan membuatnya agak layu.
Selama bertahun-tahun Nabila diperlakukan kasar oleh lelaki bernama Darso. Darso memang bukan keturunan orang alim, ia pun tak mengenal adanya dosa. Ia hanya tahu kalau ia akan sumringah bila uang berdatangan membanjiri tubuhnya yang apek. Ia pun hanya tahu bahwa ia akan gelisah jika tak ada segenggam botol arak memenuhi jemarinya. Ia merasa sedikit hampa dan kosong bila tenggakan terakhir yang bisa dilakukannya hanya berlangsung sepersekian detik. Dalam detik itu pula ia akan kembali membantai apa saja yang ada dalam jangkauan beringas kepalannya. Di situlah, Nabila yang tak mengerti apa-apa, merajut benang kehidupannya. Sakit, perih, letih.
            Namun bagi Nabila, Darso sudah lebih dari cukup untuk mengusir gemericik air yang membuatnya takut. Darso pula lah yang memberikannya pengetahuan yang berharga bagi onggokan otaknya yang termakan sisa-sisa peradaban yang kalut. Baginya, Darsolah yang selama ini membuatnya tak sendiri menghitung hari. Hanya Darso tambatan jiwanya yang layu dalam keangkuhan dunia yang diajarkan oleh tua bangka berperut tambun itu.
            Bahwa orang kaya tak manusiawi. Bahwa hanya kalangan mereka yang mempunyai kebaikan hati. Bahwa tak ada seorang pun yang pantas dipercaya. Satu bahwa lagi. Hanya Darso yang bisa membuatnya hidup di dunia ini.
            Kehidupan keras yang dialami Nabila begitu nista. Tak segan Darso menguburnya dalam tong besar jika ia tak mau bekerja. Tak berhati pula jika Darso selalu mencuci otaknya dengan berbagai cara. Bahwa yang buruk itu baik, dan yang baik itu buruk. Ah, bagi makhluk yang bernama manusia, apalagi yang beradab, pasti melihat Nabila dan dunia ciptaan Darso merupakan satu kesatuan yang carut. Betapa bumi ini telah terparut. Lebur tertabur dalam jurang yang terpekur. Hilang dalam blingsatan malam yang mengambang.








No comments:

Post a Comment

Write me your comment