Thursday 21 February 2013

Awal dari Sebuah Permulaan (SKK 1)




Pendar lampu disko berkerlap-kerlip. Terlihat seakan warna-warni itu sibuk berebut ingin menunjukkan dirinya masing-masing. Kata orang, Show Off.
Warna warni itu silih berganti tanpa ada yang bisa menebak urutannya. Mungkin bukan pada tak bisa menebaknya itu yang diutamakan. Siapa juga yang mau menebak jika tak ada yang memperhatikan sama sekali? Semua memilih untuk sibuk dengan gempita masing-masing. Adu keringat, adu abab, adu semangat. Pria, wanita, wanita setengah pria, pria setengah wanita, semua beradu. Tak ada yang ingin sekadar berdiam dalam suasana asoy macam itu. Mungkin hanya segelintir orang yang tengah lengser dari tempatnya bertahta. Mereka kini duduk dipojokan sambil menyesap pekatnya alkohol berwarna kecoklatan. Tak ketinggalan, deretan wanita berpakaian tak lengkap menyerbu onggokan uang yang terselip pada kantong-kantong pria berduit. Sekumpulan pria itu kini tak berdaya oleh gairah mereka sendiri.
Dentam alunan musik membahana. Semua tempat dapat terjangkau oleh kilatan suara berdebum. Akan tetapi satu yang nampak terlihat dan terasa begitu lengang.
Sekilas, ruang yang sunyi tak terpantau suara dentaman itu mirip dengan ruang kantor. Barangkali desainnya yang memang dibuat sedemikian rupa. Hanya saja, ketika kita melihat dan mengintip ke dalamnya, deretan pintu terpampang jelas. Benar jika kita hanya tahu kalau itu adalah kamar kecil. Di depan pintu-pintu itu terpasang wastafel berwarna putih. Akan tetapi, kalau kita memberanikan diri untuk menangkap seraut sinar dari lubang kunci, kita dapat menyaksikan pemandangan yang tak pernah kita sangka. Seberkas gambar tanpa adegan sensor.
Untuk menyewa ruang khusus itu kita harus merogoh kocek dalam-dalam. Mereka selalu berkata bahwa fasilitas yang disediakan sangat lengkap. Yah, dengan uang yang terhitung besar tersebut yang mampu menyewanya hanya kalangan menengah ke atas, High class society.
Tak perlu khawatir, bagi pelanggan yang ingin menyewa kamar bersantai, tapi uang hanya pas-pasan, ada ruang yang khusus disediakan bagi kaum awam, yang uangnya tak begitu tebal terselip dalam dompet.
Ruang itu dibangun di pojokan. Kalau kamar mewah terpampang berderet di depan wastafel, Kamar sederhana itu berdiri menyempil. Hanya dua kamar, pojok kiri dan pojok kanan. Memang tak banyak yang menyewanya karena pelanggan tempat itu merupakan kalangan borjuis. Hanya beberapa saja yang asal coba-coba mengunjungi tempat mewah yang menyajikan musik pembangkit semangat tersebut.
Kini, di kamar yang dapat disewa dengan harga lebih rendah, yang hanya menawarkan kenyamanan terbatas, tengah ditempati sepasang lelaki dan perempuan muda. Ditilik dari KTP yang mereka tunjukkan pada petugas pemeriksaan, usia pasangan itu terpaut hanya satu tahun. Raut muka sang gadis memang nampak lebih muda, namun tak lantas menjadi seperti kelihatannya. Sang gadis lah yang lebih tua.
Mereka berdua berasal dari kota dan desa yang sama. Mereka pun berkuliah di kampus yang sama. Hal itu yang sering dibicarakan orang. Bagi mereka, omongan itu hanya berbekas seumur jagung. Tak satu pun di antara mereka berdua menggubrisnya.
Meski banyak orang yang pada akhirnya membicarakan hubungan mereka, tak ada yang tahu kalau hubungan mereka seintim itu. Yang diketahui oleh orang, terutama yang mengenal mereka di kota itu, bahwa mereka hanya saling kenal dan sesekali menyempatkan hangout singkat. Tak ada yang spesial. Namun dibalik itu, mereka kerap sekali meluangkan waktu hanya untuk beradegan mesra di singgasana empuk dan setelahnya berpisah kembali. Mereka berdua termakan bujuk rayu setan. Mereka telah tergiur akan kenikmatan duniawi. Mereka sering menyebut hubungan itu sebagai have fun date.
Satu tahun mereka habiskan dengan hura-hura sejenis. Masih belum ada yang tahu menahu. Masih belum ada pula yang merasa kecewa. Namun, seiring waktu yang berjalan, sang perempuan memilih untuk pergi meninggalkan segala yang ia tahu di sana. Ia memilih untuk melarikan diri ke luar pulau. Hampir selama dua tahun. Tanpa ada yang tahu.
Walau dua tahun yang lalu mereka berdua sempat berpisah, masih tak ada yang tahu di mana keberadaan sang gadis waktu itu. Ia tertelan bumi. Semua orang mencari. Orang yang mengenalnya tentu saja. Salah satu orang tersebut adalah sang pria. Tak pernah ada yang bisa menemukannya. Orang tua sang gadis pun begitu terpukul atas kehilangan anak gadis mereka. walau begitu, ternyata diam-diam sang gadis tak lupa memberitahukan orang tua mereka kalau ia masih baik-baik saja. ada syaratnya tentu saja. mereka berdua, orang tua sang gadis, disuruh bungkam. Mereka hanya orang awam, tentu saja mau-mau saja jika sang anak sudah memohon. Selesai cerita. Tak ada lagi yang mampu menemukannya.
Akhirnya, beberapa tahun setelahnya, gadis itu muncul kembali tanpa kata. Tak ada pemberitahuan apa-apa. Yang tahu pun hanya orang tuanya. Sekali lagi hanya kedua orang tuanya. Mereka masih dibungkam, mereka berdua. Mau-maunya, pikir mereka.
Dari alasan yang terbersit di benaknya, gadis itu hanya ingin melupakan masa lalunya. Ia ingin melupakan kenangan yang membawakannya luka perih. Meski demikian, ia hanya diam saja mengetahui luka perih itu bersemayam di sana, di hatinya. Namun, ketika bertemu lagi dengan kekasih hatinya yang tak sempat sampai, rasa cintanya muncul lagi secara tiba-tiba. Rasa kecewanya yang semula tak terbendung telah pudar. Ia kini kembali ke pelukan lelaki idamannya. Dengan rasa tanpa rasa kecewa, dengan hati tanpa perih hati. Ia luluh dalam peluk pria yang dicintainya. Sekalipun demikian, ia masih harus menyembunyikan sebuah rahasia. Rahasia itu hanya aka nada dalam hidupnya yang dengan susah payah ia tinggalkan di sebuah kota asing. Rahasia itu akan aman di dalam hatinya. Tapi, hal besar itu tak dapat disangkal. Gumpalan luka masih akan ada.
Ternyata, Di balik keputus-asaan si gadis, lelaki jangkung itu, yang dicintai si gadis, merasakan kehilangan yang sangat saat ia ditinggalkan oleh perempuan yang diam-diam dicintainya. Ternyata mereka berdua merasakan sebuah hal yang sama tanpa ada yang tahu satu sama lain. Hubungan yang semula dianggap mereka sebagai having fun ternyata sangat bermakna bagi mereka. Lalu, pada suatu malam kelulusan sang lelaki, mereka berdua meluangkan waktu bernostalgia. Tanpa mereka prediksi, tanpa mereka sadari dengan kesadaran penuh, mereka kian bersatu kembali. Menyatukan hati, pun lebih parahnya lagi menyatukan raga di malam itu. Mereka saling bertaut. Tenang dalam gemuruh, hangat dalam badai.
Kejadian itu tak lagi memukul, terutama memukul jiwa sang gadis. Pada akhirnya lelaki itu, lelaki yang dahulu sempat ia ragukan mempunyai rasa yang menyambar-nyambar onggokan jantungnya, merasa harus bertanggung jawab. Suka pun dirasa oleh sang gadis. Ia tak lagi ingin pergi menghilang.
Namun, ada sesuatu yang terpendam dari kebahagiaan yang ia rasa. Mungkin kecewa, mungkin juga penyesalan. Benar, ia semakin menyesal. Telah ia tinggalkan sesuatu dalam keraguan, dahulu, ketika ia menghilang. Ia melakukan itu hanya karena ia takut dibilang wanita jalang. Bukankah ia memang jalang? Lantas siapa yang berhak mengecam seseorang itu jalang ataupun malang? Hanya gadis itu yang bisa menjawab. Benarkah ia jalang atau hanya malang.
Kemalangan itu terkubur agak dalam. Sekarang, lelaki itu jelas-jelas ingin segera menikahi wanita yang tahun-tahun lalu sempat meragu. Sayang sekali, dari apa yang terbaca nanti, nasib akan berkata lain. Bukanlah bahagia yang mereka akan dapati. Kesukaran yang akan dan masih selalu akan bertambah. Mungkin itu adalah pembalasan. Tak ada yang tahu. Tak seorangpun. Pembalasan dari sang maha kuasa. Siapa yang tahu! Mungkin sebaiknya tak ada yang tahu. Bahkan aku, sang penulis, tak akan memberitahukanmu. Akan ada akhir bahagia atau duka, aka nada tangis atau tawa? Carilah jawabannya sendiri.






No comments:

Post a Comment

Write me your comment