Pendar lampu disko berkerlap-kerlip. Terlihat seakan
warna-warni itu sibuk berebut ingin menunjukkan dirinya masing-masing. Kata
orang, Show Off.
Warna warni itu silih berganti tanpa ada yang bisa menebak
urutannya. Mungkin bukan pada tak bisa menebaknya itu yang diutamakan. Siapa
juga yang mau menebak jika tak ada yang memperhatikan sama sekali? Semua
memilih untuk sibuk dengan gempita masing-masing. Adu keringat, adu abab, adu
semangat. Pria, wanita, wanita setengah pria, pria setengah wanita, semua
beradu. Tak ada yang ingin sekadar berdiam dalam suasana asoy macam itu.
Mungkin hanya segelintir orang yang tengah lengser dari tempatnya bertahta.
Mereka kini duduk dipojokan sambil menyesap pekatnya alkohol berwarna
kecoklatan. Tak ketinggalan, deretan wanita berpakaian tak lengkap menyerbu
onggokan uang yang terselip pada kantong-kantong pria berduit. Sekumpulan pria
itu kini tak berdaya oleh gairah mereka sendiri.
Dentam alunan musik membahana. Semua tempat dapat terjangkau
oleh kilatan suara berdebum. Akan tetapi satu yang nampak terlihat dan terasa
begitu lengang.
Sekilas, ruang yang sunyi tak terpantau suara dentaman itu
mirip dengan ruang kantor. Barangkali desainnya yang memang dibuat sedemikian
rupa. Hanya saja, ketika kita melihat dan mengintip ke dalamnya, deretan pintu
terpampang jelas. Benar jika kita hanya tahu kalau itu adalah kamar kecil. Di
depan pintu-pintu itu terpasang wastafel berwarna putih. Akan tetapi, kalau
kita memberanikan diri untuk menangkap seraut sinar dari lubang kunci, kita
dapat menyaksikan pemandangan yang tak pernah kita sangka. Seberkas gambar
tanpa adegan sensor.
Untuk menyewa ruang khusus itu kita harus merogoh kocek
dalam-dalam. Mereka selalu berkata bahwa fasilitas yang disediakan sangat
lengkap. Yah, dengan uang yang terhitung besar tersebut yang mampu menyewanya
hanya kalangan menengah ke atas, High
class society.
Tak perlu khawatir, bagi pelanggan yang ingin menyewa kamar
bersantai, tapi uang hanya pas-pasan, ada ruang yang khusus disediakan bagi
kaum awam, yang uangnya tak begitu tebal terselip dalam dompet.
Ruang itu dibangun di pojokan. Kalau kamar mewah terpampang
berderet di depan wastafel, Kamar sederhana itu berdiri menyempil. Hanya dua
kamar, pojok kiri dan pojok kanan. Memang tak banyak yang menyewanya karena
pelanggan tempat itu merupakan kalangan borjuis. Hanya beberapa saja yang asal
coba-coba mengunjungi tempat mewah yang menyajikan musik pembangkit semangat
tersebut.
Kini, di kamar yang dapat disewa dengan harga lebih rendah,
yang hanya menawarkan kenyamanan terbatas, tengah ditempati sepasang lelaki dan
perempuan muda. Ditilik dari KTP yang mereka tunjukkan pada petugas
pemeriksaan, usia pasangan itu terpaut hanya satu tahun. Raut muka sang gadis memang
nampak lebih muda, namun tak lantas menjadi seperti kelihatannya. Sang gadis
lah yang lebih tua.
Mereka berdua berasal dari kota dan desa yang sama. Mereka
pun berkuliah di kampus yang sama. Hal itu yang sering dibicarakan orang. Bagi
mereka, omongan itu hanya berbekas seumur jagung. Tak satu pun di antara mereka
berdua menggubrisnya.
Meski banyak orang yang pada akhirnya membicarakan hubungan
mereka, tak ada yang tahu kalau hubungan mereka seintim itu. Yang diketahui
oleh orang, terutama yang mengenal mereka di kota itu, bahwa mereka hanya
saling kenal dan sesekali menyempatkan
hangout singkat. Tak ada yang spesial. Namun dibalik itu, mereka kerap
sekali meluangkan waktu hanya untuk beradegan mesra di singgasana empuk dan
setelahnya berpisah kembali. Mereka berdua termakan bujuk rayu setan. Mereka
telah tergiur akan kenikmatan duniawi. Mereka sering menyebut hubungan itu
sebagai have fun date.
Satu tahun mereka habiskan dengan hura-hura sejenis. Masih
belum ada yang tahu menahu. Masih belum ada pula yang merasa kecewa. Namun,
seiring waktu yang berjalan, sang perempuan memilih untuk pergi meninggalkan
segala yang ia tahu di sana. Ia memilih untuk melarikan diri ke luar pulau.
Hampir selama dua tahun. Tanpa ada yang tahu.
Walau dua tahun yang lalu mereka berdua sempat berpisah,
masih tak ada yang tahu di mana keberadaan sang gadis waktu itu. Ia tertelan
bumi. Semua orang mencari. Orang yang mengenalnya tentu saja. Salah satu orang
tersebut adalah sang pria. Tak pernah ada yang bisa menemukannya. Orang tua
sang gadis pun begitu terpukul atas kehilangan anak gadis mereka. walau begitu,
ternyata diam-diam sang gadis tak lupa memberitahukan orang tua mereka kalau ia
masih baik-baik saja. ada syaratnya tentu saja. mereka berdua, orang tua sang
gadis, disuruh bungkam. Mereka hanya orang awam, tentu saja mau-mau saja jika
sang anak sudah memohon. Selesai cerita. Tak ada lagi yang mampu menemukannya.
Akhirnya, beberapa tahun setelahnya, gadis itu muncul
kembali tanpa kata. Tak ada pemberitahuan apa-apa. Yang tahu pun hanya orang
tuanya. Sekali lagi hanya kedua orang tuanya. Mereka masih dibungkam, mereka
berdua. Mau-maunya, pikir mereka.
Dari alasan yang terbersit di benaknya, gadis itu hanya
ingin melupakan masa lalunya. Ia ingin melupakan kenangan yang membawakannya
luka perih. Meski demikian, ia hanya diam saja mengetahui luka perih itu
bersemayam di sana, di hatinya. Namun, ketika bertemu lagi dengan kekasih
hatinya yang tak sempat sampai, rasa cintanya muncul lagi secara tiba-tiba.
Rasa kecewanya yang semula tak terbendung telah pudar. Ia kini kembali ke
pelukan lelaki idamannya. Dengan rasa tanpa rasa kecewa, dengan hati tanpa
perih hati. Ia luluh dalam peluk pria yang dicintainya. Sekalipun demikian, ia
masih harus menyembunyikan sebuah rahasia. Rahasia itu hanya aka nada dalam
hidupnya yang dengan susah payah ia tinggalkan di sebuah kota asing. Rahasia
itu akan aman di dalam hatinya. Tapi, hal besar itu tak dapat disangkal.
Gumpalan luka masih akan ada.
Ternyata, Di balik keputus-asaan si gadis, lelaki jangkung
itu, yang dicintai si gadis, merasakan kehilangan yang sangat saat ia
ditinggalkan oleh perempuan yang diam-diam dicintainya. Ternyata mereka berdua
merasakan sebuah hal yang sama tanpa ada yang tahu satu sama lain. Hubungan
yang semula dianggap mereka sebagai having
fun ternyata sangat bermakna bagi mereka. Lalu, pada suatu malam kelulusan
sang lelaki, mereka berdua meluangkan waktu bernostalgia. Tanpa mereka
prediksi, tanpa mereka sadari dengan kesadaran penuh, mereka kian bersatu
kembali. Menyatukan hati, pun lebih parahnya lagi menyatukan raga di malam itu.
Mereka saling bertaut. Tenang dalam gemuruh, hangat dalam badai.
Kejadian itu tak lagi memukul, terutama memukul jiwa sang
gadis. Pada akhirnya lelaki itu, lelaki yang dahulu sempat ia ragukan mempunyai
rasa yang menyambar-nyambar onggokan jantungnya, merasa harus bertanggung
jawab. Suka pun dirasa oleh sang gadis. Ia tak lagi ingin pergi menghilang.
Namun, ada sesuatu yang terpendam dari kebahagiaan yang ia
rasa. Mungkin kecewa, mungkin juga penyesalan. Benar, ia semakin menyesal.
Telah ia tinggalkan sesuatu dalam keraguan, dahulu, ketika ia menghilang. Ia
melakukan itu hanya karena ia takut dibilang wanita jalang. Bukankah ia memang
jalang? Lantas siapa yang berhak mengecam seseorang itu jalang ataupun malang?
Hanya gadis itu yang bisa menjawab. Benarkah ia jalang atau hanya malang.
Kemalangan itu terkubur agak dalam. Sekarang, lelaki itu
jelas-jelas ingin segera menikahi wanita yang tahun-tahun lalu sempat meragu.
Sayang sekali, dari apa yang terbaca nanti, nasib akan berkata lain. Bukanlah
bahagia yang mereka akan dapati. Kesukaran yang akan dan masih selalu akan
bertambah. Mungkin itu adalah pembalasan. Tak ada yang tahu. Tak seorangpun.
Pembalasan dari sang maha kuasa. Siapa yang tahu! Mungkin sebaiknya tak ada
yang tahu. Bahkan aku, sang penulis, tak akan memberitahukanmu. Akan ada akhir
bahagia atau duka, aka nada tangis atau tawa? Carilah jawabannya sendiri.
No comments:
Post a Comment
Write me your comment