Serbet kotak-kotak. Mungkin hanya kain itu saja yang aku
ingat paling berjasa dalam hidupku. Serbet kotak-kotak. Mungkin itu hanya kain
berserabut kasar yang di jual dengan harga murah. Serbet kotak-kotak. Kain
berbau gersang yang siap menggorok saraf penciuman siapa saja jika telah
terlumat oleh berbagai jenis kotoran. Nah, tentu saja kau mengetahui guna
serbet kotak-kotak itu, kain lap. Semua orang menggunakannya sebagai barang
yang seolah tak bernilai. Hanya seonggok kain yang hanya pantas bersentuhan
dengan apa saja yang bersifat tidak bersih, tidak suci, tidak higienis. Paling
parahnya, serbet kotak-kotak itu hanya akan menjadi sarang kuman kala semua
telah tuntas, terentas oleh kain sekecil itu. mengerikan jika kita melihatnya
melalui teleskop. Pasti akan ada banyak hal menjijikkan di selembaran kain
usang itu.
Itu semua bagi orang awam yang menganggapnya demikian.
Menurutku aku berbeda dengan mereka. meski aku sama halnya dengan mereka, orang
awam, namun aku ingin menjadi minoritas saja. Aku tak mau menyamakan diriku
dengan mereka. Bagiku, selembar kain usang itu adalah benda yang kuanggap
paling berharga di dunia. Aku sungguh mencintainya, ah menghargainya lebih
tepatnya. Kain itulah yang membuatku tersadar bahwa tak semua hal kecil itu tak
berguna. Tidak semua yang dianggap orang hina adalah benar-benar tercela. Tak
semua yang buruk itu bernilai buruk. Tinggal dari mana kita memandang dan
meletakkannya. Tergantung kita mau membuatnya menjadi seperti apa.
Kain serbet kotak-kotak itu sebagai contohnya. Ia kini
terpajang anggun tepat di tembok ruang tamuku. Ia terpaku dalam bingkai emas
yang bercorak bunga berwarna emas pula. Bukan corak, namun ukiran. Begitu
memikat. Jika disandingkan dengan kain itu, tentu saja, terlihat sekali bahwa
kedua benda itu sungguh berbeda nilainya. Sengaja kuletakkan di sana. Aku ingin
semua orang tahu. Aku ingin semua orang mengerti. Aku ingin semua orang
memahami. Aku ingin semua orang meresapi, bahwa segala sesuatu yang terbingkai
indah akan tetap buruk jika di dalamnya sendiri ada sesuatu keburukan. Meski
demikian, aku tak ingin mereka lantas sepaham dengan pendapatku. Justru aku
ingin menunjukkan bahwa benda yang begitu tak ada harganya dapat terpajang
mempesona di dalam bingkai indah. Aku ingin mereka tahu bahwa sesuatu yang tak
berharga pun masih layak mendapatkan yang terbaik, masih layak diperlakukan
terhormat, dan seharusnya layak mendapatkan simpati yang besar dari kalangan
yang belum begitu beradab. Entah, siapa saja yang merasa belum beradab aku pun
tak tahu pasti. Mungkin Anda? Ataukah Aku sendiri?
Benar. Tak ada yang mau mengakui. Tak ada yang akan mengakui
jika diri mereka belum beradab. Semua orang merasa sudah beradab, tak
terkecuali diriku sendiri. Mana mau aku lantas disebut tak beradab! Kau pun
juga tak mau jika aku menyangkamu tak mempunyai adab. Sudahlah, tak ingin aku
menuduh. Terlebih, aku tak ingin menggurui. Aku hanya ingin membuatmu tahu apa
yang tersimpan dalam otak ini, terlebih mengenai peranan kain yang kubahas
tadi.
Sebenarnya dengan meletakkan pajangan aneh itu aku tak
mempunyai maksud tertentu. Aku sama
sekali tak berniat untuk merugikan mata-mata yang memandang. Justru yang
terpikir dalam anganku adalah keinginanku untuk sekadar membuat decak heran
tamuku bergema. Aku ingin dan hanya ingin sekali melihat mata mereka bertaut
heran, lalu aku pun bisa segera memulai untuk mengisahkan riwayat tentang
seorang hamba. Besar inginku untuk menceritakan pengalaman ini pada mereka,
cerita tentang seorang hamba yang mempunyai hutang jasa pada selembar kain
kotak-kotak itu.
No comments:
Post a Comment
Write me your comment