Kacau. Perasaanku kacau. Seperti ada
kerikil tajam menggelitiki otakku. Kerikil itu mulai menyusupinya. Menggerogoti
satu-persatu sistem saraf yang ada di sana. satu-persatu kabelnya putus. Aku menghilang
bersama otakku yang tak berfungsi. Aku sekarat dalam ketidak-pastian yang aku
ada-adakan sendiri.
Aku merasakan hatiku membatu. Mengeras
layaknya Kristal berbau. Melimbah bagai sampah. Teronggok tak terurus. Nyawanya
tinggal sebiji kopi, lantas perlahan ia mati. Ia menguburkan dirinya sendiri
dalam sepi.
Tubuhku hanyut dalam kesepian. Meranggas
bagai hutan yang terbakar panas matahari. Musim kemarau mendatangi jiwa yang
tak kusapa berjuta kali. Ia bagaikan sepotong peti mati yang terbujur dalam
lemari. Tak ada yang mempedulikan kesepiannya. Ia hanya berteman dengan debu
dan hiasan laba-laba mati. Ia pasrah menunggu mayat yang tak kunjung bersedia
memeluknya dalam dingin kubangan tanah. Ia menyendiri menunggu belaian sang
tuan.
Sakitku ini merampas sisa waktu
yang berharga. Aku seharusnya tertawa, paling tidak aku harusnya tersenyum
ceria. Bukan apa-apa. aku hanya merasakan semuanya sia-sia. Tuhan menciptakanku
hanya untuk menikmati penyakit ini. penyakit yang tak kunjung membawaku mati. Penyakit
yang hanya mengalungkan liontin penuh duri. Waktu membuatku terus mengutuki
diri sendiri.
Aku ingin menghentikan waktu. Aku
ingin semuanya berhenti berjalan, berhenti mengayuh, mengejar, menggapai. Aku ingin
berhenti bersandiwara dalam panggung yang Dia ciptakan. Panggung yang penuh
bara membakar tubuh ini dengan
beringasnya.
Mungkin ini secuil perasaan yang
tak berarti untuk disimak dan direnungi. Aku hanya kepingan koin yang berjamur.
Aku hanya gulungan kertas yang rapuh, menunggu teremas dan akhirnya musnah.
No comments:
Post a Comment
Write me your comment