Saturday, 16 February 2013

Keputus-asaan


Kacau. Perasaanku kacau. Seperti ada kerikil tajam menggelitiki otakku. Kerikil itu mulai menyusupinya. Menggerogoti satu-persatu sistem saraf yang ada di sana. satu-persatu kabelnya putus. Aku menghilang bersama otakku yang tak berfungsi. Aku sekarat dalam ketidak-pastian yang aku ada-adakan sendiri.
Aku merasakan hatiku membatu. Mengeras layaknya Kristal berbau. Melimbah bagai sampah. Teronggok tak terurus. Nyawanya tinggal sebiji kopi, lantas perlahan ia mati. Ia menguburkan dirinya sendiri dalam sepi.
Tubuhku hanyut dalam kesepian. Meranggas bagai hutan yang terbakar panas matahari. Musim kemarau mendatangi jiwa yang tak kusapa berjuta kali. Ia bagaikan sepotong peti mati yang terbujur dalam lemari. Tak ada yang mempedulikan kesepiannya. Ia hanya berteman dengan debu dan hiasan laba-laba mati. Ia pasrah menunggu mayat yang tak kunjung bersedia memeluknya dalam dingin kubangan tanah. Ia menyendiri menunggu belaian sang tuan.
Sakitku ini merampas sisa waktu yang berharga. Aku seharusnya tertawa, paling tidak aku harusnya tersenyum ceria. Bukan apa-apa. aku hanya merasakan semuanya sia-sia. Tuhan menciptakanku hanya untuk menikmati penyakit ini. penyakit yang tak kunjung membawaku mati. Penyakit yang hanya mengalungkan liontin penuh duri. Waktu membuatku terus mengutuki diri sendiri.
Aku ingin menghentikan waktu. Aku ingin semuanya berhenti berjalan, berhenti mengayuh, mengejar, menggapai. Aku ingin berhenti bersandiwara dalam panggung yang Dia ciptakan. Panggung yang penuh bara membakar tubuh ini dengan  beringasnya.
Mungkin ini secuil perasaan yang tak berarti untuk disimak dan direnungi. Aku hanya kepingan koin yang berjamur. Aku hanya gulungan kertas yang rapuh, menunggu teremas dan akhirnya musnah.

No comments:

Post a Comment

Write me your comment