Babak Baru dalam Sebuah Permulaan yang
Baru
Walau surya sudah bongak dengan posisinya yang nyaman di
atas sana, sang gadis masih terlihat kesusahan untuk membebaskan dirinya
sendiri dari nyeri yang dipikul. Ia tak bisa sekadar duduk sembari memberi
salam pada matahari, justru hanya keluhan yang pertama kali hinggap di bibir
hitamnya.
“Sialan. Nggak tahu apa kalau aku sakit. Masih saja matahari
itu menyengatku. Aku udah kepanasan tahu! Sialan! Sial!”
Ia masih dalam keadaan meringkuk. Dengan setengah hati ia
menghalau siraman panas matahari menggunakan telapaknya yang berlukiskan debu.
Dalam keterpurukannya menahan tubunya yang ringkih, ia terlihat mengerang
kata-kata serapah yang makin lama makin
membuat jantung siapapun berhenti saat itu juga. Teramat menyakitkan hingga
semut pun teinjak mati oleh kata serapahnya. Beruntung tak ada siapapun di
sana. Yang mengelilinginya cuma tumpukan sisa-sisa penghidupan.
Sebenarnya bongkahan puing-puing menyengat yang mengelilingi
tubuhnya itu tak memungkinkan bagi jiwa manusia untuk bertahan hidup. Namun,
kepekatan indra untuk mengadopsi suasana pekat sejak usia dini membuatnya lebih
tangguh dari manusia lain. Sehingga itulah dia masih tetap betah mengerutkan
onggokan tubuh ringkihnya kian menyatu, tetap pada tempat semula selama hampir
dua jam. Ia tak terlindung dari apapun. Hanya kardus tipis melapisi dan karung
beras menyelimuti.
Dari kejauhan terdengar sampah-sampah itu terseok,
tertendang kaki yang mengamuk. Suara itu begitu mengusik bagi indra pendengaran
seseorang yang terkapar sakit. Lama kelamaan suara itu kian terdengar kian
mendekat. Sejurus, suara berat pun keluar dari mulut seseorang yang kini telah
berdiri menantang di dekat onggokan tubuh yang terkapar. Ia pun memandang tubuh
terbaring yang berada di dekat kaki telanjangnya itu dengan mata mengkilat.
Tangannya mulai gatal untuk segera berkacak pinggang.
“Heh! Koe iki
enak-enak ngebo! (kau ini enak-enakan tidur!) Perutku sudah lapar! Cepat
cari duit sana!”
Lelaki tua bertubuh gempal itu serta merta menendang tubuh
yang masih meringkuk di bawah pandangan matanya. Gadis yang ditendang semakin
merekatkan rengkuhan tangannya pada lutut yang ditekuk. Ia masih tak bergeming.
Ia tak peduli dengan apa yang terjadi pada tubuhnya yang tertendang.
Menurutnya, tendangan itu tidak seberapa dibanding dengan rasa sakit yang
menjalari tubuhnya.
Melihat gadis itu tak bergeming, sesosok manusia yang
telanjang dada itu kian berang. Amarahnya bahkan tak dapat tersapu sedikit saja
oleh sengatan bau sampah yang mulai menyebar. Akhirnya gadis yang merana itu
berpaling ke arah lelaki kejam itu. Matanya tertuju pada sosok yang terlihat
menjijikkan. Pandangan mata itu melemah, tapi ia tetap bisa memperhatikan
lemak-lemak yang bergelayutan pada perut lelaki gempal itu sangat kokoh. Tak
sedikit pun mampu terkikis oleh sapuan tangan. Jelas sekali bahwa pemandangan
menjemukan yang berasal dari buncitnya perut itu adalah efek dari minuman keras
yang tiap malam diminumnya. Tak hanya menjijikkan lantaran lemak bergantungan
itu. Peluh pun tetap setia menyarang di sana yang membuat tubuh itu tak
tertolong lagi tingkat kejijikannya. Hitam, mengkilat. Gadis itu pun berpikir,
usai berbuat apa sampai keringat basi itu menggenangi tubuhnya jika yang
dikerjakan hanya menadah. Melihat gadis itu memandangnya dengan tatapan sayu,
ia justru semakin berang.
“Dasar tak tahu diuntung! Mending dulu aku ora ngasih hidup! Untung dulu masih ada
setan lewat yang buat aku nulungi koe!
A*u!”
Berkali-kali ditendang, akhirnya si gadis menegakkan
punggungnya dengan susah payah. Sesekali ia merintih menahan sakit yang begitu
menusuk persendiannya yang kaku. Dengan sekuat tenaga, ia pun duduk bersimpuh.
Matanya terlihat lebih memerah, semerah tetesan darah, saat ia mencoba
memandang lebih jelas pada sosok yang tengah berdiri di depannya. Kesadarannya
masih belum pulih walau sudah beberapa detik berlalu. Melihat gadis yang tadi
ditendangnya telah menegakkan tubuh, lelaki tua berperawakan ganas pun mau juga
berhenti menyepakkan kakinya.
“Opo maneh to, Pak!?
Aku iki ora enak awak! (apa lagi sih, Pak!? Saya itu sedang tidak enak
badan!) Tega benar kau masih menyuruh aku bekerja dalam keadaan seperti ini!”
protesnya keras tak mau kalah, menggunakan sisa-sisa kekuatannya untuk
meluapkan emosi.
“A*u tenan koe, Ter!
Tak peduli kau ini sakit atau tidak. Kau harus tetap cari uang. Birku sudah
habis!” tuntutan lelaki tambun beruban itu justru semakin menjadi.
Meskipun dalam keadaan loyo gadis yang diketahui bernama
“Kenter” itu kini mencoba untuk berdiri. Rasa takut untuk disiksa lagi telah menggiringnya
untuk menguatkan diri sendiri. Walau sudah berusaha keras untuk menyangkal
bahwa dirinya sakit, ia tak akan bisa menyangkal kalau tubuhnya tak terhindar
dari ketersempoyongan. Kepalanya berputar dengan cepat, begitu setidaknya yang
ia rasakan ketika kakinya berhasil menapak.
Kenter. Nama yang aneh untuk ukuran nama manusia. Namanya
itu diambil dari Bahasa Jawa yang berarti hanyut. Memang gadis itu ditemukan di
sungai oleh lelaki tua yang tega menendangnya. Pria tua yang biasa dipanggil
germo itu memungutnya dengan tujuan pasti. Untung saja Kenter tak pernah tahu
siapa dirinya. Bukan hanya karena terantuk batu dengan sangat keras, ia pun
ditemukan saat usianya masih keci. Alhasil, Kenter tak pernah ingat siapa
dirinya. Baginya, dari dulu hingga sekarang namanya adalah Kenter.
Sudah hampir dua belas tahun berlalu, tapi perihal
penyelamatan sang lelaki tua masih tetap menjadi jimat yang mujarab untuk
membuat Kenter bekerja untuk dirinya. Tak pernah sekalipun gadis belia itu
diberi kesempatan mengistirahatkan tubuhnya barang sehari. Kata lelaki tua,
jika ia berkeinginan untuk istirahat, ia harus beristirahat selama-lamanya—yang
berarti mati. Itu yang terkadang membuat Kenter bergidik tiap mengingatnya.
Pernah suatu kali Kenter pergi melarikan diri. Akan tetapi
bekas-bekas kecerdikan lelaki tua dalam keterampilan merampok masih sangat
paten. Tak ayal, kemanapun Kenter lari, ia masih tetap bisa ditemukan lagi.
Sampai akhirnya ia pun pasrah saja jika disuruh bekerja banting tulang untuk
memenuhi keinginan sang penyelamat. Dari sanalah sifat asli yang dimiliki
Kenter diam-diam luntur terganti dengan kekerasan jiwa. Ia merasa tersiksa
dengan keadaan yang seperti itu, namun apalah daya seorang gadis tanpa
siapa-siapa itu? Dalam pikiran Kenter, hanya sosok lelaki tua tambun itu yang
diketahuinya paling berjasa dalam hidupnya. Ia pun pasrah walau tetap saja, ia
jengah.
Maka, ia pun akhirnya pergi melaksanakan perintah lelaki tua
dengan bersungut. Meski masih ada sedikit nyeri menggerogoti tubuhnya, ia
berusaha tak peduli. Dikayuhnya kaki-kaki yang bergetar itu mengelilingi area
pembuangan sampah. Ke sana kemari mencari benda-benda berharga yang dapat
dijualnya ke penadah. Benar. Ia seorang pemulung. Tak ada yang dapat ia lakukan
untuk menghasilkan uang selain memulung. Dari kecil hingga sekarang, pekerjaan
satu-satunya yang ia ketahui adalah memulung.
Ia lalu melarikan tangannya yang masih begitu lemas untuk
mengais benda-benda di sekitarnya. Benda yang akan menjadi pilihannya adalah
botol plastik atau pecahan kaca yang bisa banyak meningkatkan pundi-pundi yang
akan didapatnya nanti.
Sedari tadi masih belum ditemukan benda-benda terbuang itu.
ia masih sibuk mengais-ais. Karena tak terlalu berdaya, ia pun hanya
mengorak-arik sampah yang mengubur harta karunnya dengan kakinya yang juga
melemah. Bau menyengat kian memuncak kadar kekhasannya. Ia tak terpengaruh
walau sedikit oleh sengatan bau yang ternyata berasal dari nasi busuk. Ia lalu
menjauhkannya pula dari dari harta karun yang masih belum ia dapatkan. Semakin
ia berusaha dengan keras, ia justru tak mendapatkan hasil apa-apa. maka ia pun
beralih dari tempatnya menuju tempat yang terdapat seorang wanita tua di sana.
Dengan wajahnya yang memucat lebih pucat dari sebelumnya, ia
lalu berjalan dengan terseok. Usai tubuh ringkih itu mencapai tempat yang ia
tuju, ia pun berhenti. Ia kemudian merampas karung dari si wanita tua. Wanita
tua itu hanya pasrah melihat Kenter yang mengambil barang temuannya tanpa ijin.
Ia tak berkutik karena takut terjadi sesuatu pada dirinya. Sangat dapat
dipastikan bahwa Kenter lah yang menguasai tempat itu. Jadilah si wanita tua
hanya menyingkir pasrah.
Ah, sifat keras yang diajarkan lelaki tua itu membuatnya
selalu memenangkan perebutan dan pertengkaran yang terjadi. Oleh sebabnya, ia
akhirnya dapat menguasai tempatnya sendiri tanpa ada yang berani macam-macam
dengannya.
Setelah merampas dari sang wanita tua, ia kembali memungut
untuk menambah hasil yang akan ia dapat. Tak jauh dari sana, satu persatu
dipungutnya materi tak terpakai yang terbengkalai. Suatu keberuntungan besar
memang. Sedari tadi ternyata yang dicarinya berkumpul di tempat itu. Pantas
saja wanita tua itu mendapatkan begitu banyak. Ternyata tempat berkumpulnya
sampah jempolan tepat berada di sana.
Lalu, ia pungut dengan tangan kosong sampah-sampah berharga
itu. Di susunnya acak di dalam karungnya yang banyak berlubang. Dari sekian
banyak benda pungutannya, tak ada satu pun yang mampu menolongnya untuk sedikit
meringankan pikulannya. Kebayakan yang ditemukan olehnya adalah pecahan kaca
yang bervolume lumayan, lumayan berat. Tumpukan sampah itu sudah hampir
memenuhi kadar kekuatan Kenter untuk dipikul. Tak seperti biasanya, Kenter
semakin giat berkeluh kesah pada alam. Ingin rasanya menumpukan barang pikulan
itu pada punggungnya, namun tak kuasa. Ia lantas menyeretnya dengan sisa
tenaganya.
Ia berjalan semakin lambat. Dua karung itu mulai menjadi
beban yang tak terelakkan. Ingin rasanya membuang isi karung itu. Sayang, ia
tak bisa hanya begitu saja membuangnya. Dengan tubuhnya yang tak terbendung
lagi rasa sakit yang menjalar di dalamnya, ia pun akhirnya menyerah. Ia
terduduk lemah kian meratapi nasibnya yang tak beruntung. Di saat itu, ingin
rasanya ia mati saja di sambar petir atau bahkan terjun ke jurang. Namun,
bahkan di sana tidak sedang terjadi hujan apalagi jurang untuk menjatuhkan
dirinya. Jelas sekali tak ada. Dan sekali lagi ia meratap. Dengan posisi duduk
yang hanya berlapis selembar Koran bekas yang dipungut dari dalam karungnya, ia
kemudian menyelonjorkan kedua kakinya. Walau hawa panas menyeruak dari dalam
tubuhnya, ia kini lebih teratur menghembuskan napas.
Tak terasa hari semakin sore. Semburat kemerahan terlihat
menghampiri. Burung-burung pun kini tengah terbang berlari, memulangkan raga
mereka yang kelelahan atau justru memulai waktu untuk mengais makanan. Namun,
kawasan tempat Kenter terduduk sudah sangat lengang. Semua orang telah
berpulang. Sebagian ada yang mulai mengepulkan dapur, mencoba memberi kehidupan
pada cacing-cacing yang telah meronta di perut anak-anak mereka. Sebagian
lainnya berkumpul tak karuan di wilayah-wilayah rawan kejahatan.
Sekarang tujuan Kenter tinggal pergi ke penadah yang siap
memberinya segepok uang recehan. Ia mulai menegakkan tubuhnya lagi, berjalan
menyusuri jalan yang penuh dengan kutu busuk menyarang, melewati kelokan air
bah menggenang, pun ia harus melompati gunungan tong besi berserakan. Ia
menguatkan dirinya sendiri walau kenyataannya ia sudah tak sanggup lagi.
Benar saja, dalam beberapa menit perjalanan menuju tempat
tujuan, ia limbung. Banyak sekali deretan hitam menusuki kedua matanya.
Kepalanya berdenyut kencang. Perlahan pandangannya mulai kabur. Barang-barang
bawaannya luput dari cengkeraman tangan yang tiba-tiba mengendor. Saat semua
benda itu terkena daya gravitasi, saat itu pun Kenter seperti tertarik medan
magnet. Dia tak bisa meraih apa-apa untuk menggagalkan dirinya sendiri gugur ke
tanah. Semua tak terelakkan lagi. Tiba-tiba dunia menjadi gelap dan semakin
gelap.
ps: follow my twitter and i will let u know when i have posted my next stuff >> @leetalit
thanks for reading my old things.^^
No comments:
Post a Comment
Write me your comment