Sunday, 9 November 2014

Year 1

Telah amat banyak balok-balok memori yang kita susun dalam kehidupan kita. Memori ini bukan mengenai siapa aku, siapa kamu, melainkan mengenai kita. Kita tertawa, kita berduka, kita saling diam, marah, tidak suka, dan semua hal yang membuat kita saling merindu.
Kadang sedikit salah paham membuat kita saling adu siapa yang benar, di dalam hati maupun pikiran kita. Mungkin ada juga yang terserak keluar dari mulut yang kepanasan, Seringkali aku yang membuatmu marah, tapi kau selalu memaafkanku, kau selalu kembali tersenyum. Kadang pula kau yang membuatku sedikit jengkel. Entah karena aku yang sedang datang bulan dan emosi meluap, atau memang kau yang sedang bertingkah menyebalkan. Begitu banyak hal yang membuatku berpikir betapa kita memiliki hal yang tak kita sukai. Dan aku selalu menikmatinya. Semoga kau sama.
Sayang, perjalanan kita masih sampai di sini. Akan ada banyak hal yang akan kita lalui nanti. Aku jadi teringat betapa aku tak pernah berpikir kau adalah seseorang yang nantinya akan kucintai sebanyak ini. Kau tau, aku sulit menyukai seseorang, apalagi mencintai. Butuh waktu sangat lama hingga aku menyadari kau telah masuk ke dalam hatiku.
Ah, aku ingat. Dulu hari-hari pertama kita bertemu. Aku sebal ketika suatu malam kau mengirim pesan di ponselku. Sok mengerjaiku, kan? Aku tau itu kamu. Siapa lagi kalau bukan kamu. Aku tak punya teman dengan nomor lokal. Dan banyak clue yang membuatku mengira memang itu kamu. Lantas kubiarkan saja hari itu lewat.
Dan kau ingat pertama kita pergi bersama? Aku mengajakmu. Tentu saja kau masih ingat. Dan kau mengiyakan ajakanku. Menjemputku. Entahlah.. aku jadi bertanya, apa memang kau begitu baik? Atau kau memang kasihan padaku? Haa…
Tapi aku menikmatinya. Aku menikmati kebersamaan kita. Meskipun pembicaraan awal kita adalah mengenai masa lalumu, masa laluku. Yah, kupikir itu sangat fair untuk mengenal kamu. Dan kalau boleh jujur, aku mulai nyaman denganmu saat itu. Walau tentu saja aku tak berpikir untuk menjadikanmu kekasihku. He..
Well, sudah setahun kita bersama, setahun lebih sih pastinya. Tapi setahun pas pada tanggal ini. Setahun yang lalu ketika kau mengucapkan keinginanmu untuk menjadikanku kekasihmu. Hmmm,,, aku tidak menyangka kau akan mengatakannya padaku. Kupikir kau sedang mengigau. Kau tak pernah tau betapa aku sangat ingin menertawai hal ini. Serius kamu ingin aku jadi pacarmu? Hehee.. aku sudah sangat nyaman denganmu walau tidak ada kejelasan di dalam hubungan kita. Dan yang jelas kamu tau aku menyukaimu, dan aku tau kamu menyukaiku. Taruhan apa?? Yaiyalah. Kalau kau tidak menyukaiku, aku tidak menyukaimu, kita pasti tidak akan rela menghabiskan waktu bersama, yah, kecuali memang kita merasa tak ada orang lain lagi yang bisa kita ajak hang out. Wkkwkwkkw.
Sayang, kau pasti tidak mengira aku mengingat hari ini. Tentu saja aku mengingatnya. Entah tepat atau tidak. Yang jelas kau memberitahukan bahwa tepat tanggal 10 november, dan itu pasti hari minggu, kau pertama kali memberanikan diri memintaku untuk menjadi kekasihmu. Hmm… entah setan apa yang merasukimu, wkkkwkww, tapi aku bahagia kau telah mengucapkan itu. Paling tidak aku tau kau adalah sebuah kepastian. Dan entah kenapa aku juga bisa mengiyakan. Yang jelas aku yakin kau mampu membahagiakanku.
Terimakasih, sayang… semoga kita bisa selalu tertawa, bahagia, berduka, dan menjalani cerita kita dalam satu buku.. tanpa akhir.. karena akhirnya adalah aku dan kamu. Selalu seperti itu. I love you


Sunday, 2 November 2014

i dont know place


Well, I dont really know what the name of this place, but, can i call that the raped land?? lol. yeah, it just because of the land been raped by the super machine. no no no.. actually, it's been crafted well so i could just took aphotos there with such a beautiful landscape. by the way, it wasnt bad, though. super cool, with the super dust. haha
here we go my several photos that been taken from there.

of course, you have no idea to reach that place. some magical thoughts helped me to be there. yeah... thank you to let me feel different point of view. =)


Friday, 4 July 2014

#6

Hari kemarin mendapatkan pandangan baru. Terkait masalah pencalonan presiden periode 14-19, tiba-tiba salah seorang dari kami mulai membahas tentang hal yang berhubungan dg manusia satu dengan  lainnya. Memang, kita tak bisa terhindar dari yang namanya bertemu dengan orang lain di dunia ini. Kita saling bersosialisasi, kita saling menyisihkan waktu mengusap peluh, tapi tak sedikit dari kita merasa bahwa kita yang harusnya mendominasi. Tak perlu bantuan atau uluran tangan dari siapa saja. Dan begitulah.. manusia memiliki egonya sendiri-sendiri.
Tapi, jauh ke dalam lagi.. kita tak pernah menyadari bahwa kita memang memiliki ketergantungan satu sama lainnya. Misalnya, apa jadinya Negara ini tanpa presiden? Apa kita bisa menyediakan kebutuhan semuanya untuk diri kita sendiri? kita perlu perantara untuk membuka jalur dengan Negara lainnya. Itulah guna ada pemimpin, yang kita harapkan betul bisa mengayomi kepentingan bersama seluruh rakyat.
Itu masih tentang presiden yang mungkin seumur hidup tidak pernah akan kita temui. Coba bayangkan skeluarga kita sendiri. Tanpa ayah ibu, apa kita bisa berdiri, menginjak bumi ini? Tanpa mereka yang menyisihkan waktu membenamkan sperma ke dalam indung telur, menjadikan kita ada, apa kita mampu melihat indahnya dunia? Merasakan bahagianya dicintai dan mencintai. Tentu saja Tuhan dibalik ini semua. Membuatnya terlihat begitu sederhana.
Yang masih aku ingat tentang pembicaraan kami, betapa mudahnya sesuatu bisa hancur seketika ketika keseimbangan tak tercipta. Apa jadinya jika seorang manusia tak memiliki kepala? Tentu saja tak akan mungkin bisa. Begitu juga  kita. Semua orang saling berkaitan. Ada satu cerita, di sebuah perusahaan yang sangat besar, hanya karena satu orang yang bisa mengatur segalanya dengan baik, lantas orang itu akhirnya meninggal. Tanda ada yang mem-backup-I, tentu saja akhirnya perusahaan itu roboh. Bangkrut dan carut marut. Seperti halnya kita. Apa lagi salah satu diantara kita yang pernah merasakan kehilangan orang tua. Begitu dunia seakan roboh seketika itu juga. Seperti tak ingin melanjutkan hidup kita.
Tapi.. sekali lagi. Tuhan itu maha baik. Tuhan itu maha pengasih. Selalu saja Dia menggantikan kesedihan dengan nikmat. Selalu saja ada keseimbangan. Karena kita percaya Tuhan, maka Tuhanlah yang akan menolong kita dalam keadaan apapun juga. Tapi kita harus ingat juga, Tuhanpun tak ingin menolong kita kalau kita sendiri tidak berusaha. Seimbang. Begitulah hidup. Seimbang. Itu kata kuncinya.
Dan begitulah.. bersyukur masih memiliki banyak orang di sekitarku yang berpandangan terbuka. Membagikan pikirannya pada kita. Dengan mudah mereka memberikan mindset baru yang sebelumnya tak pernah kita pikirkan. Yang mungkin terbersit namun tak kita hiraukan sebelumnya.


Wednesday, 2 July 2014

little secret

Beberapa hari menjalankan puasa sudahkah membuat kita menyerah? Atau justru semakin semangat untuk menyambut kemenangan? Pastinya itu semua tergantung niat masing-masing, yah..
Hmm.. di sini aku cuma ingin berbagi cerita saja tentang kenangan-kenangan maupun angan-angan.
Duh, baru saja ponsel kena banting sama aku, sekarang dia lagi memperjuangkan kehidupannya dengan merestart dirinya sendiri. Niatnya ingin update status di sosmed, tapi ya itu. Mati. Ya sudahlah, mending memang aku fokus saja di sini. Siapa tau bisa sedikit mengobati hari-hari kalian yang sedikit kurang gairah, halah.
(Oke, plis nggak usah nengok ke hape yang ga idup2)<< talk to myself
Oh iya, sekarang aku akan bercerita tentang jaman dulu lagi. Semoga tidak bosan dengan cerita yang itu-itu saja. Cerita mengenai aku sendiri dan orang-orang di sekitarku.
Dulu, pas puasa seperti ini, sehabis tarawih, biasanya aku menuju kamar. Tahu untuk apa? Untuk menuju ke tempat harta karunku berada. Pasti menebak-nebak apa harta karun Lita kecil. Bukan barang berharga yang berkilau, apalagi handphone canggih layar sentuh yang sekarang hits. Bukan. Jelas bukan. Itu sekitar tahun 1990an. Tepatnya lupa. Yang jelas aku sudah bisa puasa penuh.
Lita kecil yang dulu begitu polosnya, tertutup dan suka membuat beberapa rahasia kecil untuknya saja yang tahu. Salah satunya ini.
Di sebuah kamar yang sekarang sudah tidak seperti dulu, di bawah meja belajar yang sekarang nangkring dengan tidak sopannya di kamar atas, yang sudah di cat sembarangan olehnya sendiri saking tak ada kerjaannya, Lita kecil menyembunyikan makanan kecil yang begitu berharga baginya. Makanan favorit yang sekarang sudah tidak pernah ditemuinya lagi di manapun.
Makanan kecil itu di sembunyikan dengan rapih di sela-sela kayu yang menyangga bawah meja belajar hingga tak ada yang bisa menemukan. Seingatku aku membelinya sendiri dengan uang hasil tabungan uang saku sehari-hari. Itu salah satu kenapa makanan itu berharga.
Satu persatu aku lahap makanan kecil itu di kamar, hingga bapak ataupun ibuk tak tahu sama sekali (maklum saja, bapak agak keras sama Lita kecil karena sering sakit-sakitan, alhasil Lita kecil jarang dibolehi makan sembarangan, tapi tetap saja. Tak ada yang bisa melarang). Selain itu, Lita kecil juga tak ingin makanan berharganya itu dijamah oleh adik-adiknya yang suka ngributin minta, membuatnya bete. Kriuk.. kriuk.. gurih, kadang rasa keju, kadang rasa jagung, kadang rasa ayam. Favoritku rasa keju. Sedap rasanya, membuatku tak bisa berhenti memakannya. Seandainya satu bungkus isinya banyak, pasti senang rasanya. Sayang, makanan itu tak punya hati, sedikit sekali satu bungkusnya. Jadi, Lita kecil benar-benar menikmatinya segigit demi segigit agar tak cepat habis.
Setelah puas menikmati beberapa keping, aku keluar kamar. Pura-pura tak melakukan apapun di sana. Melenggang dengan enaknya. Tanpa rasa bersalah (yaiyalah. Ngapain merasa bersalah? Kan enak).
Begitulah, setiap hari aku kumpulkan beberapa ribu rupiah untuk membeli makanan itu sesempatnya. Canasta. Makanan favorit sepanjang masa, yang sekarang sudah tak pernah kucicipi lagi rasanya. Keripik tepung kentang yang ditiru beberapa jenis snack yang masih eksis, tapi aku tetap memberikan hatiku padanya. Canasta oh canasta,,, kenapa bapakmu tak memproduksimu lagi? Atau aku yang tak bisa menemukanmu dan tak mencarimu dengan sungguh-sungguh. Barang siapa yang saat ini masih bisa menemukannya, kabari aku. Heee
Baiklah.. itu saja cerita konyolku, konyol ga si? Hahahha…. Entahlah. Gudnite…


Tuesday, 1 July 2014

tiket surga

Anyong haseo… itadakimassu untuk teman-teman semua yang berbuka puasa.
Sebenarnya sudah selesai dari tadi adzan magribnya. Ini pun sudah usai jamaah tarawihannya. Tapi tetap tak lupa inginku sampaikan kegembiraan menyambut datangnya berbuka. Setelah seharian perut kita kosong, alangkah nikmat terasa begitu kentara. Kalau sudah begini begitu tersadar bahwa semua ujian dan cobaan dari Tuhan yang membuat kita bisa merasakan nikmat sebenar-benarnya.
Dan begitulah, aku merasa bahwa layaknya memang aku perlu berterima-kasih, bukan hanya untuk apa yang membuatku bahagia, tapi juga yang membuatku kecewa. Karena pada dasarnya, kita memang butuh keseimbangan. Sebentar senang, sebentar galau, sebentar tidak peduli, sebentar terlalu berpikir. Tak bisa begitu saja kita merasakan nikmat kalau terus bahagia yang kita dapat. Tahu akan menjadi apa jika terus monoton? Bosan.
Tak ada manusia yang ingin merasa bosan, maka dari itu tuhan berbaik hati menciptakan akal. Untuk berpikir, untuk berkreativitas, agar manusia ciptaanNya tak merasa bosan hidup di dunia. Agar manusia bisa tetap terbangun dari mimpi buruknya, bahwa sebenarnya di dunia ini hanya ladang, ladang untuk menyemai kebaikan dan menuai pahala. Begitu kira-kira tujuan kita. Membeli tiket ke surga dengan mata uang pahala.
Dannn,,,,, apa kamu tahu? Inilah saatnya, saatnya bagi kita menyemai berbagai macam kebaikan di bulan suci. Dengan ke-Maha-besaran Tuhan, dengan kebaikan Tuhan, kita diberi kesempatan sebanyaknya untuk mengambil pahala kita. Hanya dengan membaca Quran saja sudah berlipat ganda pahalanya, apalagi amalan sunah yang lain. Begitu bernilainya, begitu bermaknanya bulan suci ini. Maka beruntung sekali kita diberi kesempatan emas ini untuk menjemput tiket surga kita nantinya. Fastabiqul khoirot, berlombalah dalam berbuat kebaikan. Masa bodoh dengan orang-orang yang membencimu, memakimu, mencacimu, maafkan mereka. Enyahkanlah perasaan dendam dan dengki. Buang semua yang membuat tiket surgamu melayang dan semua yang kau lakukan selama ini sia-sia.

Itulah, begitu besarnya kemurahan Tuhan. Betapa baiknya Tuhan. Membuat kita memiliki akal untuk memikirkan yang terbaik. Memikirkan segala hal yang bisa membuat kita terentas dari perjalanan kita di dunia. Karena tujuan kita bukan bahagia hanya di dunia, tapi di akhirat. Dunia yang kekal.

Sunday, 29 June 2014

#1

Well.. Ini adalah hari ke satu bulan Ramadhan, atau yang pada umumnya sering kita sebut bulan puasa, “poso” kata orang Jawa. Masih sama seperti dulu, dan akan tetap sama waktunya, mulai dari  imsak sampai ke azan magrib kita diwajibkan untuk menahan hawa nafsu. Nafsu makan, nafsu minum, nafsu birahi, dan nafsu-nafsu yang lain (jadi kepikiran sama capres cawapres kita, kalau mereka bernafsu untuk mendapatkan kekuasaan tertinggi di Negara kita, mereka harusnya puasa juga dari nafsu koar-koarnya kali yah? Hee).
Hmm… jadi terpikir juga sewaktu dulu masih kecil. Kira-kira usiaku masih dapat dihitung dengan jari tangan. Sewaktu sepupu-sepupuku juga masih anak ingusan. Dulu begitu indah bulan puasa. Banyak hal yang dapat kukenang. Ada yang indah dan tak indah tentunya, tapi yang pasti, begitu menyenangkan. Dapat kurasakan selalu tiap paginya musim puasa, menyegarkan, melegakan, membuat jantungku berdebaran (bukan karena apa, hanya karena aku memikirkan berapa banyak baju lebaran yang akan dibelikan ibuku) hingga kurasakan haus sangat di tenggorokanku kala aku sudah sampai di rumah sehabis jalan-jalan pagi bersama saudara-saudara sebayaku.
Ada satu cerita lucu, ceritaku dan teman sebayaku yang juga teman sekelasku yang juga tetanggaku. Rumah kami berdekatan, hanya terpaut satu rumah dan suatu gang kecil. Nah, ceritanya, sewaktu musim puasa tiba, pasti di desaku ada saja yang menjalankan tradisi “tete’an” (oy, jangan mikir jorok, bukan “tetek” ini “Tete’an” atau “klotekan”). Itu adalah semacam anak-anak kecil yang berkumpul dan membentuk grup musik di jalanan. Maksudnya, mereka itu memukul-mukul benda seadanya untuk membuat irama yang bisa mengiringi sahutan mereka “sahuuuurr… sahuuurrr…..” benar! Itu adalah semacam parade di jalanan untuk membangunkan orang untuk sahur. Biasanya mereka mulai sekitar jam satu dini hari, biasanya sampai jam dua. Eh, jadi lupa ceritanya yah. Ceritanya.. aku dan juga temanku yang bernama, sebut saja Bibah (nama yang sebenarnya), berinisiatif untuk melihat secara langsung siapa-siapa yang biasanya rebut-ribut membangunkan orang sahur.
Waktu itu sekitar pukul setengah dua dini hari, saat itu belum marak yang namanya ponsel, maka dari itu sabelumnya kami sudah janjian. Nah, aku paksa tubuhku untuk beranjak dari kasur, memerkosa mataku agar membelalak, menyiksa tubuhku yang tak terbalut baju tebal dengan tusukan hawa dingin dini hari. Aku terseok-seok keluar, mencoba tetap dalam sikap damai hingga tak menimbulkan suara yang bisa membuat ayah-ibuku bangun. Akhirnya kubuka gerbang depan dan melintasi beberapa kursi jalan, menuju depan rumah Bibah yang kutahu pasti datang lebih lambat. Kutunggu, kutunggu, kutunggu. Dia keluar rumah juga akhirnya. Sepi. Hanya jalanan lengan yang kami dapati. Beberapa menit kami hanya terdiam. “mana, sih? Kok ga ada?” keluhku. “iya, kok ga lewat, yah?” sahut Bibah sama kecewanya. Lalu kami mulai berbincang hal tak penting yang sekarang sudah kulupa, saking tak pentingnya. Lalu kami mulai menguap. Menahan sisa-sisa kantuk yang masih setia hinggap di pelupuk mata.
Seperempat jam berlalu dengan nihilnya. Lantas kami sudah terlanjur kecewa dan memutuskan untuk menyerah saja. “pulang aja, yuk?” ajakku. “iya, ayuk!” lalu kami melenggang ke rumah masing-masing. Hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk lagi memaksakan diri untuk sekedar ingin tahu pada hal tak penting yang membuat hati kami kecewa. Cukup sekali aku menunggu hal tak pasti. Lalu kami memutuskan untuk tak lagi membahas masalah ini, masalah keinginan kami melihan “tetek” (maaf, bukan tetek yang itu, tetek yang jadi tradisi membangunkan sahur warga dengan memukul-mukur barang seadanya)

Nah itu salah satu cerita tentang ramadhan favoritku yang selalu terkenang. Masih banyak lagi.. tapi besok saja lagi kuceritakan. 

Tuesday, 17 June 2014

never been like this

Senyap merayap. Hanya tergambar wajahmu yang tak pernah lenyap. Sekilas senyum, sesumbar tawa, meraja dalam relung. Pun aku lantas ingin segera tertidur, berharap dalam-dalam nanti bertemumu dalam angan yang tak kunjung mengabur.
Aku sudah cukup bahagia dengan ini semua, meski tak lengkap lagi tanpa mama. Tak apa. Aku bahagia. dengan menjadi begini saja. Melihat riuh canda. Melihat gempita bina matamu saja tiap harinya. Begini saja. Hanya rasa yang seperti ini saja. Kamu dan aku selalu bersama.

Saturday, 12 April 2014

Lamun

Aku meraba lenganku sendiri. Ada yang aneh. Tanpa kusadari, sejak dulu ternyata aku memiliki sebaris tanda lahir yang melekat erat di sana, menyatu dengan kulitku yang lebih terang.
Bagaimana bisa aku tak pernah menyadari bahwa aku mempunyai noda hitam kecoklatan itu? Ah, mungkin saja bercak itu bukan lahir dalam Rahim ibuku. Mungkin saja itu baru muncul beberapa hari yang lalu. Atau, bercak itu memang baru saja ada sepersekian detik saat aku merabanya. Yah, aku benar-benar tak tahu, itu intinya.
Aku mulai terdiam.
Gelap. Dini hari dan aku tertidur pulas. Aku terbangun satu jam kemudian, selalu seperti itu setiap malam. Tapi tidak. Ada yang janggal saat aku terbangun. Rasa-rasanya aku ingin makan sesuatu. Aku lapar, benar. Seharian perutku kosong tak terisi. Maklum saja. Aku bukan seperti konglomerat itu yang bisa makan apa saja setiap saat. Aku hanya seorang diri di bilik berukuran sedang yang terbuat dari triplek bekas bangunan yang sudah dihancurkan, bangunan-bangunan yang sudah dirubuhkan yang kini berdiri mall raksasa. Di pinggir jalan sana, yang ramai, yang setiap malam riuh dengan adegan motor dihentakkan gasnya. Membuatku sedikit mengeluh pada Tuhan. Tapi begitulah, begitulah yang harus kualami tiap malam. Dan aku sudah terbiasa. Dan aku sudah menerimanya. Tidak. Tidak akan sebenarnya. Dengan hidupku ini saja aku sudah mengutukinya, kadang.
Aku lapar. Perutku keroncongan. Harus bagaimana aku tak tahu. Lalu kugerakkan kakiku. Kuberdirikan tubuhku. Kutampar denyut jantungku agar lantas ia berdenyut dan membuatku punya kekuatan untuk berjalan. Lalu kubuka pintu, keluar dari bilik dan angin malam menyongsongku, menerpaku, menusukku, begitu dingin. Mau ke mana? Tentu saja aku tak tahu.
Belum genap seratus langkah, kutemui bak sampah yang penuh. Kuhampiri bak sampah itu dengan menghilangkan rasa jijikku—hmm.. sebenarnya rasa jijik yang ada dalam diri manusiaku sudah lama hilang, semenjak aku tak kenal lagi dengan yang namanya kebahagiaan—kukeluarkan satu persatu beberapa sampah yang memang tak bisa dimakan. Kukeluarkan dengan jeli, mencoba menemukan sesuatu yang masih bisa kukunyah dan membuat perutku berhenti berteriak. Memang kubaui aroma tak sedap dari beberapa sampah yang tercecer, yang mungkin sudah berhari-hari di sana. Lalu ada sepercik harap. Datang dua orang manusia yang membawa sampahnya. Dua kardus makanan yang mungkin saja sudah mereka lahap habis, tapi apa salahnya tetap berharap mereka masih menyisakan beberapa jumput nasi dan sambal. Mereka semakin mendekat, dan aku sedikit menjauh.
Seorang laki-laki bertubuh besar dan temannya yang gondrong, sedikit bertubuh kurus dan pendek. Mereka memandangku sejenak sebelum akhirnya membuang kardus makanan itu. “Betapa mulia sekali hati mereka hingga mau membuang sampah di tempat yang seharusnya, tak seperti kebanyakan orang di Negara ini, membuang sampah di mana saja mereka sukai. Pantas saja banyak manusia yang menghuni Negara ini jadi terlantar, mungkin mereka anggap kami ini sampah.” pikirku dalam hati.
Mereka mulai menjauh, sedikit melirikku saat melenggang pergi, melirikku yang kini duduk mendekap lututku sendiri.
Kuikuti tubuh mereka dengan mataku. Sekiranya mereka sudah beberapa meter jauhnya, baru aku akan menghambur pada makan malamku. Semoga. Semoga ada yang tersisa.
Belum lagi kutengok pada tempat sampah itu, sudah berdiri di sana satu orang yang sepertinya kukenal. Yah, gelandangan juga sepertiku. Tapi tempatnya berteduh tak sekomplek denganku. Atau bisa dibilang kami adalah musuh. Saling memusuhi demi mendapatkan apa yang menjadi incaran kami. Sesuap nasi. Kadang kami bertengkar saat ada yang memberikan uang recehan, kadang kami bertengkar ketika kudapati ia curang, mengambil beberapa botol minuman yang sudah seharian aku kumpulkan.
“Heh, itu jatahku! Aku sudah menungguinya sejak tadi!” kataku padanya.
“Enak saja. Aku yang mengambilnya lebih dulu!” ia julurkan lidahnya. Kulihat sudah ada kardus di tangannya, terbuka, dengan isi di dalamnya yang masih setengah penuh.
Lalu kami pun bertengkar. Bergelut, adu kekuatan. Saling merebut makanan. Kulihat rokoknya masih tersangkut di mulutnya, membuat ia sedikit kesulitan. Lalu dengan mudah kurebut nasi kotak itu darinya. Aku berlari, berlari seperti kuda. Tapi, aku terlalu lemah. Aku tak kuat berlari lagi, sampai akhirnya napasku yang berlarian, tersengal-sengal. Tak kusadari musuh sudah dekat, aku malah jatuh tersungkur ke tanah. Ah, biarlah. Aku menyerah.
Sebelum ia merenggut makan malamku, ia meninggalkan kenang-kenangan untukku.
AAAAAHHHHHHH
Aku kesakitan. Ia membuat lenganku tersengat rokoknya. Begitu panas, perih. Dan ia pun tertawa, berlari dengan makananku di tangannya. Aku tergeletak tak berdaya… gelap semakin menyerang mataku.
“Rosiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii………………”
Aku tersentak. Ah, Mama. Mengganggu lamunanku saja.



Friday, 21 February 2014

tentang adik saya

Namanya Shihab. Dia adik laki-laki saya satu-satunya. Satu-satunya pula yang selalu membuat ulah. Wajar, dia pejantan satu-satunya dari hasil perkawinan sperma ayah dan indung telur ibu. Dulu, betapa bersyukurnya ibu saya ketika ia lahir ke dunia. Betapa bangganya ia hingga ia tak bisa berkata-kata. Memang, aku pun bahagia memiliki adik laki-laki setelah sebelumnya mempunyai dua adik perempuan, meski yang satu, yang paling dekat dengan saya, telah diambil kembali oleh Tuhan. Senang hati saya memiliki adik laki-laki yang sudah lama pula diimpikan ibu dan ayah saya.
Saya pikir ibu saya akan hidup lebih lama, sayang, hanya tiga tahun saja ia menikmati buah hatinya yang berjenis kelamin seperti Adam. Sayang pula, Shihab hanya bisa menikmati tiga tahun saja pelukan ibu saya. Kadang saya merasa saya beruntung bisa memilikinya lebih lama dari adik-adik saya, tapi ketika melihat Shihab yang kini beranjak dewasa, selama itu pulalah ia tak pernah terbelai oleh ibu saya.
Memang pilu jika membayangkan Shihab kecil yang harus terpisah dari ibu. Anak sekecil itu yang ia sendiri saja tak pernah ingat kejadian sewaktu ibu tiada, sudah harus terlepas dari kasih sayang ibunya. Hanya tiga tahun usianya saat itu. Kini ia sudah hampir 15 tahun. Sudah akil baligh. Sudah seharusnya tahu dan mengenal apa rasanya cinta. Tapi saya ragu, apa dia sudah sebesar itu sekarang? Saya masih tetap menganggapnya anak kecil yang dulu ditinggal mati ibunya. Anak kecil yang tak menangis sama sekali ketika mencium jasad ibunya. Iya. Karena ketidaktahuannya. Ia tak tahu apa yang terjadi kala itu.
Berbicara tentang cinta. Shihab sudah pernah bercerita bahwa ia menyukai gadis manis anak Pak Kiai di sekitar rumah saya. Tinggi juga seleranya. Gadis itu memang mempesona. Selain pintar, ia pun cantik dan tidak banyak bicara. Kutanya Shihab suatu ketika, apakah ia tak ingin mengungkapkan perasaannya. Ia jawab. Sudah pernah mengatakannya. Kutanya lagi dengan berondongan pertanyaan menggoda. apa jawabnya? Pasti ia menolak? Ia jawab. Iya. Kukatakan padanya. Iyalah, kamu jelek owk. Malesan, ga pernah belajar, ga dapat ranking. Pantas ia menolak. Ia tertawa. Aku dan adik perempuanku yang ikut ada bersama kami juga tertawa. Kami bertiga tertawa, seperti tak ada beban. Anak-anak manusia yang hanya bisa menikmati masa hidupnya tanpa kehadiran ibundanya. Yah, hanya dengan itu saja saya bahagia.
Ada satu hal yang saya benci dari Shihab. Ia selalu tak pernah mendengarkan nasehat apapun yang keluar dari mulut ayah. Apalagi saya. Selalu ada saja balasan perkataan yang akan ia lontarkan. Kesal rasanya. Dibantahnya apa saja. Seperti tak pernah merasa salah. Tapi ya sudahlah. Lelah lama-lama jika berdebat dengannya. Mungkin memang ada baiknya jika kadang hanya mendiamkannya.

Ah, pernah suatu ketika ia dimarahi ayahku. Marah besar, entah apa perkaranya tak tahu. Tiga hari ia tak disapa atau diajak bicara ayahku. Tak sadar pula anak itu. Tapi semakin lama semakin menempel pada ayahku. Ia godai ayahku. Memeluk ayah hingga ayah menampik pelukannya. Bergelayutan pada ayah hingga ayah merasa iba padanya. Ah, begitu itu yang kadang membuat ayah kasihan padanya. Sering kali ayah menangis karena Shihab. Shihab kecil yang dulu menggemaskan bertransformasi menjadi Shihab ABG yang kadang menjengkelkan, tapi selalu membuat kami akhirnya tertawa. Entah karena kepolosannya, entah karena celotehannya. Bagaimanapun ia tumbuh, kami tetap menyayanginya. Dan kami, ingin melihatnya tumbuh menjadi lelaki yang kuat dan tangguh. Menjadi lelaki yang bertanggung jawab pada keluarganya. Menjadi adik laki-laki saya dan adik perempuan saya yang nantinya bisa kami andalkan. Semoga. Semoga ibu saya di sana juga selalu mengiringi jalannya.



pic of Shihab and Mia

Thursday, 20 February 2014

missing mom (again)

Hi, Mommy…. It is good to talk to you this way. So.. you should understand what I am saying, okey. I know you good in English too that I never know. Yes, I have ever heard you talk to the mister bule when I was a little girl. It was really long time ago. Yes. It was too long to not remember it. It was the time when this town so much wealthy. There were many foreigners here to increase our income, here, in our country. It happened before the economic condition in this country collapse. Was that right, Mom?? Oh my god what I was talking about. Do you understand that, Mom. I know you do. Right? But let us not to talk about the hard thing like that. I just need a little rest to just talk about chips thing. Easy and simple.
Mom… I know u know me missing you all the time. Of course, Mommy. It was taking almost eleven years since you closed your eyes forever. I didn’t remember the date, and I didn’t want to remember when I cried so much loud that I couldn’t let you go from my life, from our family’s life. Without you this family never be perfect. U made it be. But you went there, catching up with my lil sister who went first. I hope you two had met there and live well waiting us to be one as a family in heaven.
Mom… do you remember your little cute son, the only son u dreamed forever to have? He was in his 13th now, 14th in this year, the age of mine when you left us. Lemme tell you a little thing about him. You know, Mom. He grew up so fast, he almost like a man.. but I thought he never felt that way. Yeah, I know. He was the youngest, and he always act like kids all the time, though. Sometimes I cried for him to never have your kindness of mother soul, was that pity as I thought? Whatever. I love him, though. I also love my lil sister who grew faster than me. I love them till death. And I don’t want you to be sad to let us go, I know I can have a strength to make them live well. I promised, Mom.

Well, Mom.. have I ever said I love you directly? No? yes.. I never did, right? I know, Mom. I didn’t have that chance anymore. But I know you could hear me as well as you hear me begging for something I want and I yelled at the world till you made my wishes come true. Yes, Mom. I wanted to say I love you. So I miss you.. thank you for the whole life of yours to raise me up till I have a good life like this. I knew I just can have you for a little while. But you would be in my heart forever. I love you.

Wednesday, 5 February 2014

tulisan ke 100

Saya ingin sekali bisa membaca pikiran. Terutama membaca pikiran orang-orang yang saya sayang. Saya ingin tahu benar, apa yang dimaui mereka. Saya begitu ingin memahami mereka. Apalagi jika saya mengetahui saya salah. Saya ingin tahu  dengan cara apa saya bisa dimaafkan.
Tapi apakah benar dengan mengetahui pikiran mereka saya lantas bisa bahagia? Bisa lebih sempurna? Jangan-jangan nanti saya kecewa. Jangan-jangan nanti saya terluka. Mungkin memang benar Tuhan tidak memberikan kita kemampuan itu, karena memang tiada guna selain membuat celaka.
Yah, tapi terkadangan saya ingin sesekali diberikan daya lebih untuk tahu pikiran orang-orang di sekitar saya. Saya ingin tahu seperti apa saya di mata mereka. Mungkin saya memang egois, mungkin saya memang suka semaunya, mungkin saya memang suka tega, tidak peka, itulah. Saya mengakuinya. Tapi apakah keburukan saya itu akan lebih buruk atau lebih tidak buruk di mata mereka?
Sudah, mari hentikan rasa ingin saya untuk bisa membaca pikiran. Saya rasa hal itu tak akan mungkin hidup dalam diri saya.
Lalu, apa yang akan saya  bicarakan lagi?
Sesekali saya ingin membicarakan cinta. Sudah lama saya tidak menulis tentang cinta. Ah, iyakah? Terakhir menulis tentang cinta?? Saya lupa. Sungguh. Mungkin baru beberapa hari yang lalu. Buka di sini, tapi di hati saya. Saya mungkin jarang sekali berbicara mengenai hal ini, tapi percayalah. Saya tidak mati rasa.
Saya ingin menuliskan sesuatu di sini, untuk siapa? Rahasia. :D
Aku melihat bayangan putih
Bukan setan, pocong, kuntilanak, atau sebagainya
Aku melihat sekelebat cerah
Bukan matahari yang kini memerah
Aku melihat kerlip kekuningan
Bukan sorotan lampu jalan,
bukan pula bintang di angkasa yang menggantung riang
aku melihatmu, melihat sinar yang matamu
aku melihatmu, melihat kerlip cerah di senyummu
lalu aku terpaku
aku terdiam lama dan tak kunjung tahu menahu
apa ini yang mengaliri pedihku?
Itu kamu, kamu yang ada di sini, di hamparan dalamnya hati
Kau tahu?
Aku selalu suka caramu menggenggam tanganku yang dingin
Aku selalu menyukai pembicaraan kita yang kadang tak masuk akal
Aku selalu suka caramu tertawa yang membuat duniaku berwarna
Aku tentu saja suka bersandar di bahumu untuk sekedar melepas lelahku
Nah, aku tersenyum sekarang. Aku selalu begitu jika memikirkanmu
Sudah, aku sekarang tersipu malu
Pasti sekarang kau membacai tulisanku
Cukup. Aku cukupkan tulisanku.
Tapi tenang saja, sayang, tak akan kusudahi cintaku padamu.

Nb: tulisan ini begitu kacau, tapi ya terserah saya. Kalau tidak suka, tak usah baca. Eh, jangan, kalu ada masalah dengan tulisan saya, silakan komentar. Kalau diam, tandanya tak ada masalah bukan?? :D



Tuesday, 4 February 2014

sariawan

Saya belum pernah membaca karakter atau tokoh di novel terkena penyakit yang namanya sariawan. Kalau seandainya ada yang pernah tahu, tolong, beritahu saya judul novel itu biar saya membacanya. Sebegitu tidak pentingkah sariawan menurut penulis-penulis novel itu? Ah, yang jelas saya ingin tahu karena saya sedang mengalami sebuah peristiwa di mana mulut saya terluka, menganga, perih, sakit, yah, begitulah. Kau tahu sendiri jika menderita sariawan.
Sariwan. Kenapa saya bisa sering terkena sariawan. Mungkin memang makanan yang saya konsumsi tidak terlalu banyak membantu kesehatan saya. Mungkin juga karena susunan gigi saya yang tidak mendukung. Saya beritahu padamu, gigi saya tak ada yang rata. Semua mengandung taring. Yah, mungkin hanya gigi depan saya yang atas yang masih sedikit rata, meskipun, hmm.. meskipun sama juga, posisinya menjorok ke dalam. Kau ingin tahu gigi taring saya? Satu di bagian kiri atas terkena guncangan gigi lainnya, hingga akhirnya ia tak punya tempat bernaung untuk kehidupannya. Lantas ia akhirnya memilih untuk menjorok ke depan. Ah, pusing sendiri kau nanti jika kujelaskan satu persatu gigi saya. Yang pasti gigi saya tidak rata. Itu saja. Dan kau tahu lagi, itulah mengapa saya sering menggigit sendiri mulut saya hingga terluka. Itu. Benar itu. Sariawan!
Pernah suatu hari, dulu sekali, saya ingin mencoba membuat rata gigi saya dengan sistem pemagaran. Ya, sistem behel kalau bahasa afdholnya sekarang. Tapi sayang, sayang beribu sayang. Saya urungkan niat saya itu karena saya harus merelakan satu gigi saya tercerabut dari gusi saya. Saya tentu tak rela. Apalagi sayang pernah mendengar bahwa jika gigi normal dicabut, akan berdampak pada kerusakan saraf. Takutlah saya. Bagaimana jika saya nanti gila karena saraf saya putus? Putus cinta saja sakit, apalagi putus saraf. Tidak terbayangkan betapa saya akan menangis setahun penuh (mungkin saya akan menangis sepanjang hidup saya, di rumah sakit jiwa, jika saya akhirnya gila tentu saja).
Yah, begitulah tentang curahan sariawan saya. Betapa sangat mengganggunya luka yang menganga pada mulut saya itu. Hingga akhirnya saya rela, bahkan membuka mulut lebar-lebar untuk mengkonsumsi makanan yang rasanya nauzubillah kecutnya (ngaruh nggak sih makan yang kecut-kecut. Katanya vitamin C kan yang kecut-kecut. Lah, emangnya saya hamil? Ngidamnya yang kecut, hah, entahlah)
Cukup sekian dan terima kasih. Semoga dengan ini penderitaan yang kamu rasakan sedikit terkurangi, karena di sini saya merasakan sariawan ini begitu melukai. Sakit hingga ke ulu hati.


Sunday, 2 February 2014

Makhluk masa lalu

pikiranku melayang. mungkin sekarang telah terbang ke awan-awan. aku berharap ada segerombolan awan yang lalu menghiburnya. karena apa? karena pikiranku ingin pergi jauh dariku. jika pikiranku pergi, aku harus berpikir dengan apa nanti? pikiranku memang terkadang liar, terkadang jinak, terkadang membosankan dengan pembahasan yang itu-itu saja. tapi, aku mencintainya. pikiranku yang kupuja. pikiranku yang bisa membawaku lepas dari belenggu kepenatan yang menyiksa.
yah, paling tidak, jika nanti pikiranku melayang, awan putih bisa sekedar menenangakannya untukku. paling tidak awan itu bisa mencoba berubah bentuk dengan menariknya hingga pikiranku nanti senang. paling tidak awan itu bisa menghentikan pikiranku dari pikiran untuk lari dari diriku. dan akhirnya pikiranku bisa kembali lagi padaku. memenuhi hariku dengan berbagai ide-ide cemerlang untuk masa depan.
tapi terkadang aku ingin pikiranku pergi dariku. aku ingin mengusirnya jika tiba-tiba dia mulai menyesakiku dengan makhluk-makhluk di masa laluku. hal yang paling aku tidak suka, mengingat. aku tidak suka mengingat. dan jika pikiranku memaksaku mengingat, aku akan murka dan ingin segera melemparkannya ke neraka.
pikiranku suka sekali menyimpan memori. berbagai gambar terekam, berbagai adegan terfilmkan dengan rapi di deretan memori. ada kalanya aku memang suka jika pikiranku mengajakku diam dan mengingat ketika bahagia menjelangku. tapi aku akan mulai gila jika pikiranku menarikku pada makhluk masa lalu yang tak begitu jelas dalam ingatan. kepalaku selalu saja berhasil dibuatnya nyeri, dibuatnya menggerutu dan mengiba kelu. ah, kenapa juga aku selalu benci mengingat makhluk masa lalu. bukannya aku tidak menghargai kebaikan mereka, tapi aku hanya tak ingin mengingatnya. ah, satu saja makhluk yang bisa kutolerir keberadaannya. ibu. yah, ibu saja. ibu yang melahirkan aku ke dunia. tentu saja aku bisa dengan mudah mengingatnya. bukan hanya ingat. di luar kepala sudah. untuk hal itu, aku tak bisa marah pada pikiranku.

Saturday, 1 February 2014

what is happy family?


Saya tiba-tiba ingin hilang ingatan jika sudah menyangkut persoalan “happy family”. Dulu mungkin saya merasa kalau bahagia di dalam keluarga itu saat ibu, ayah, saya, dan adik-adik saya menghabiskan waktu bersama di pantai. Memakan bekal yang dibawa ibu saya di sana dengan menggelar tikar usang. Lalu, bermain air di pantai pagi yang bening hingga bisa lihat berbagai kerang berkilauan tanpa menyibak airnya. Bahagia lainnya? Tentu saja ketika permintaan saya dituruti ayah ibu saya. Yah, pastinya sering dipenuhi. Tahu kenapa? Karena jika sampai saya tak mendapatkan apa yang saya minta, saya pasti akan mencoba mengancam untuk bunuh diri, lompat dari genteng rumah nenek saya yang hanya tiga meteran dari permukaan tanah. Entahlah itu benar-benar terjadi atau tidak, yang pasti sepupu saya yang menceritakan kenakalan saya di masa lalu.
Lalu apa itu “happy family” yang sekarang saya miliki? Entah. Apa saya masih memilikinya atau tidak. Yang jelas, setelah ibu saya pergi meninggalkan dunia hal yang pernah kami lakukan bersama seakan turut pergi bersamanya. Tak ada lagi libur di pantai. Tak ada lagi makan bekal. Tak ada lagi melihat air laut yang sebening Kristal. Saya sudah ditinggal pergi semua itu, atau sayalah yang sudah pergi meninggalkan semua kebahagiaan itu. Saya pula tak tahu menahu.
Ah, sekarang saya bisa mengartikan bahagia lebih sederhana dari sekedar berlibur bersama-sama. Saya merasa bahagia jika bisa berbincang bersama ayah saya, bercanda dengan adik-adik saya, dan bisa memasakkan masakan yang lezat untuk mereka (tidak termasuk ayah saya karena dia tak pernah mau memakan masakan saya, hehe). Memang saya tidak jago memasak. Tapi saya suka mencobai resep yang sekiranya saya dapat menemukannya di pasar dekat rumah saya. Biasanya saya dapat mood untuk memasak saat libur dari dunia kerja, sabtu dan minggu. Saya suka melirik resep masakan di web dan mencoba merealisasikannya. Yah, seringkali rasanya tidak karuan, tapi di situlah bahagia saya dapatkan. Jackpot saya dapatkan ketika saya berhasil membuat masakan yang saya inginkan dengan hasil yang enak (bisa dilihat seberapa cepat masakan saya itu terlahap oleh lidah adik-adik saya). Saya saat itu berdobel bahagia.
Happy family?
Hanya itu yang bisa saya deskripsikan dari hati terdalam saya.
Mungkin saja ada banyak yang bisa membuat saya bahagia. Tapi jika menyangkut masalah keluarga… sulit bagi saya menjelaskan. Dengan berbagai lika liku yang terjadi dalam keluarga saya setelah kepergian ibunda tersayang. Entahlah… mungkin saja ibu memang tiang kebahagiaan keluarga saya. Dan dia telah pergi, rumah saya ambrukkah kini?? Keluarga saya hancurkah kini?? Entahlah. Mungkin saya yang harus membuat tiang itu ada lagi itu menyangga seluruh hidup bahagia anggota keluarga saya. 

Draw a map, find a path take a deep breath….
Wishing it comes true. Get a Happy family once more and forever will be.



ps: images taken from google

That Night

Lepas tertawaku kali ini. Parade komedi yang apik telah menyudahi kekesalan hati. Namun hati ini kadang merasa binal, mencoba menapaki apa yang seharusnya hanya menjadi angan, ingini hari tak pernah berganti.
**
Kupeluk ia erat. Seperti ia akan pergi sejauhnya dari genggaman tanganku. Napas kuatur satu-satu hanya demi membuat semua yang menghantui menghamba pada harapku. Bahkan, tanganku yang biasanya dingin kulawan dengan seluruh hawa panas dari tubuhku. Hingga sejengkal saja rasa takut menyerangku, aku akan membakarnya. Seperti aku mempunyai elemen api dalam nadiku. 
Lalu aku lagi-lagi memeluknya dengan sisa kekuatanku. Berharap akan ada temali mengikat dia dan aku. Lantas kurasa dia seperti merasa yang sama. Entah juga aku tak tahu. Bendungan apa ini yang akhirnya tumpah menyeruak di hati. desirannya semakin kuat ketika ia menggenggam tanganku erat. Oh, Tuhan. bolehkah aku mencintainya sekuat aku mencintaiMu? 
Mungkin seharusnya apa yang aku rasakan kukatakan padanya. Bahwa aku tak rela dia melepas genggamannya, meskipun saat itu ia harus melawan mautnya. Mungkin seharusnya tak kukatakan bahwa seandainya aku bisa mengatakan apa yang ada di hatiku adalah melulu tentang aku takut kehilangannya. Mungkin aku hanya boleh memikirkannya dalam hati saja jika memang benar aku ingin dia yang hanya ada. Atau mungkin juga aku harus bilang bahwa aku tak ingin hujan berhenti dan membawaku pulang tanpanya. Aku hanya tak ingin malam itu berakhir begitu saja. Paling tidak, tidak berakhir secepat itu. Tapi kau tahu, hal itu seperti tahayul yang menyebar ke pembuluh nadi. Antara harap dan nyata. Antara percaya dan tiada. Tapi, bisakah kau memelukku sekali lagi? sekali saja yang erat hingga aku bisa membawa hangatmu dalam bahagia.

Wednesday, 29 January 2014

Marah? jangan!

Alasan mengapa kita marah biasanya karena hati kita tersentak oleh hal yang muncul tidak sama seperti yang kita pikirkan, yang kita inginkan, yang kita rasakan. Mungkin karena sisi diri kita menolak untuk dipersalahkan. Yah, bagaimana tidak. Tiap manusia pasti punya sisi egois yang hampir tidak pernah kita didik dengan benar. Nyatanya? kita jadi gampang berpikir buruk ketika sesuatu yang buruk menimpa kita. Hal itu tidak lain karena kita TIDAK ingin diri kita salah ataupun merasa dirugikan, baik di mata kita sendiri, orang lain, atau bahkan Tuhan.
Marah.
Sungguh kata itu mempunyai aura merah. Nyalang tajam.
M.A.R.A.H
Entah bagaimana kata itu tercipta hingga bisa mewakili perasaan bergemuruh di dalam jiwa kita, Pernahkah kita berpikir untuk mengobrak-abrik seluruh dunia jika kita terluka batin? kita sadari atau tidak, pasti iya.
Marah.
perasaan yang muncul hanya karena hati kita punah pengecap rasanya. Buta. tertutup kelabu tua. Hitam.
tapi saya coba ingatkan bahwa marah adalah hal yang merugikan.
buktinya?? jika kita marah. siapa yang lantas lelah? kita sendiri. jiwa kita. hati kita. bukan orang lain. ah, merugikan sekali, bukan?
tidak ada sama sekali keuntungan yang didapat jika kita melampiaskan emosi kita berlebihan.
Boleh memang jika kita marah, tapi sekedarnya. tapi setelah itu introspeksilah. jangan-jangan memang kamu yang salah pada awalnya. siapa tahu? karena ada akibat pasti ada sebab.
saya coba ingatkan lagi. Marah tidak akan pernah menyelesaikan masalah. justru akan menambah masalah. emosi boleh saja dilampiaskan, tapi dalam bentuk positif. coba berpikir positif. coba benahi diri lagi. barangkali memang kita yang mengakibatkan sesuatu hal itu.
dan.... jangan lupa. saling mengingatkan sesama manusia. kalau semuanya bisa jadi lebih baik dengan tidak merajakan amarah, kenapa harus marah??

Sunday, 26 January 2014

spending time a la me

Abis nonton video tutorial langsung praktekin. hihihi... iseng2 soalnya hari minggu nih. mumpung  libur... haha
soooooooooooo... this is it.

Saturday, 25 January 2014

cemara 1

Waktu adalah teman berhargaku selama ini. Waktu yang mengajariku untuk
menghargai sesuatu. Waktu memaksaku menyadari tindakanku. Waktu
menyampaikan padaku tentang pelajaran hidup yang aku harus tahu. Waktu
pulalah yang mempertemukan aku dengannya. Sehingga di waktu sekarang,
hatiku penuh dengan kehadirannya. Meski ia tak di sini, di sampingku,
tapi aku tahu, dia di sana juga memikirkan aku. Jelas aku berharap
itu.
Yah. Aku cemara. Mendiang Ibu yang memberi nama itu. Ayah berkata
bahwa Ibu berharap aku bisa seindah cemara yang melambung tinggi,
seperti hendak menggapai langit. Meraup bintang kemerlipan. Meraihnya
setinggi itu, namun tetap kokoh berpijak mencengkeram bumi yang
menjadikannya ada. Entahlah, Ayah tak begitu jelas bercerita. Seperti
tiap harinya, ia jarang berbicara. Tapi aku sayang dia. Satu-satunya
manusia yang dengan tulus merawatku hingga aku dewasa. Sendiri.
Sejak ibu tiada, aku seperti hilang kendali. Tapi aku bisa merasa
hidup lagi semenjak aku memutuskan untuk kemanapun yang aku ingini.
Sejak itu aku begitu suka melakukan petualangan. Kemana saja. Ke
tempat di mana aku tak mengenal siapapun juga. Petualangan yang
akhirnya memberiku banyak cerita. Menghiasi hidupku yang banyak
berkalang derita. Dulu. Entahlah esok, hanya Tuhan yang tahu jadi
bagaimana. Aku hanya mengikuti alurnya, yang kadang kala kuharap
alurnya akan seperti apa yang kuinginkan, dengan segala waktu yang
Tuhan telah hadiahkan.

***

Hujan mulai membisiki supaya aku tertidur lelap. Tapi mataku tak ingin
kututup. Aku masih ingin menyaksikan hidupku berjalan dengan detik jam
yang masih berputar.
Ah, bukan. Aku bukannya tak ingin mengistirahatkan jiwa dan batinku
sejenak. Aku hanya tak bisa beranjak. Aku menunggu paket sepatu
gunungku. Sepatu yang aku inginkan selama setahun ini. Untung saja aku
cerdik, menyisihkan uang sakuku tiap hari demi mendapatkan apa yang
aku ingini. Tak perlu menyusahkan ayahku. Tak perlu merengek minta
dikasihani, eh, dikasih duit maksudnya.
Dan gemuruh knalpot motor pak pos pun bersenandung di telingaku.
Cepat-cepat kularikan kakiku. Kuinjak-injak lantai rumahku dengan
debum keras, cepat, dan tergesa. Lalu aku sudah sampai di sana, di
depan gerbang rumah yang sudah kubuka lebar. Aku pun membelalakkan
mata, mulutku tak sengaja kubuka. Lalu langkah pak pos semakin dekat.
Ia bawa serta kotak coklat, berisi sepatu gunungku yang kupesan
seminggu lalu.
"Selamat siang, dengan mbak Cemara? Ini ada kiriman paketnya untuk
mbak Cemara." Kata pak pos santun.
"Iya, pak. Ini dengan saya sendiri" kataku menyambut sodoran kotak     
itu. Kuraih cepat dan lekas menandatangani kertas yang ditunjukkan
lelaki berseragam senja itu.
"Terima kasih, pak"
Lalu aku berlari, ke kamarku sendiri. Tak sabar ingin segera membuka
bungkusan itu.
"Waaa... Akhirnya aku benar-benar bisa ke puncak Panderman di
Malang.." Kataku pada diri sendiri.
***

ma mode la selfie


I am Back

o may gooooodddddddd.,,, udah lama banget ga ngeblog. Rasa-rasanya blog saya udah tewas, dimakan cacing tanah. but its okey... ternyata masih baik-baik aja kok si blog ini. makasih udah nungguin saya yah, Sayang.
Yah, secara, lepi sekarat, wifi modar, mau apa lagi coba. yasudah akhirnya saya selingkuh dengan yang namanya kasur.
But I am BACK!!!! now I am back, baby!!
nih, saya kasih kata-kata paling puitis abad kini. nemu di fesbuk. makasih yah yang udah bikin ini... hahha. gud job!!